Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK NOVEL

SAMAN KARYA AYU UTAMI


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 tidak hanya membawa kebebasan untuk
bersuara, berpendapat dan berekspresi, namun turut mempengaruhi perkembangan sastra
Indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan banyak bermunculan pengarang dan sastrawan
baru yang kritis dan lugas dalam mengeluarkan karya-karya sastra yang bersifat experimental
dengan menyuarakan kondisi-kondisi sosial yang selama ini menjadi hal tabu untuk
dibicarakan untuk diangkat sebagai karya sastra. Banyak karya sastra pada zaman orde baru
yang dicekal dan dilarang bahkan untuk menyimpan atau sekadar membaca karena dianggap
tidak sesuai dengan rezim. Mungkin itu sebabnya ketika orde baru tumbang dan Soeharto
dipaksa turun dari singgasananya dan militer tak bisa terlalu dominan dalam kehidupan
politik di negeri ini buku-buku kiri yang tadinya dilarang dan hanya bisa diakses secara
sembunyi-sembunyi dengan resiko hukuman penjara diterbitkan kembali secara luas dan
ternyata laris manis (Anton Kurnia: 54-55,2004). Kini setelah reformasi orang bebas untuk
membaca, memiliki, tanpa takut untuk dan sembunyi-sembunyi dan sekarang banyak kita
jumpai serta diperjual-belikan di toko-toko buku.
Novel Saman  karya Ayu Utami merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat
novel tersebut diciptakan. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat
Indonesia yang berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-
an). Novel Saman merupakan gambaran peristiwa sengketaan tanah dan kerusuhan yang
terjadi di Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi
masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi
masyarakat merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum
penguasa di Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk
untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran
petani, penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan
membunuh. Pada masa itu juga terjadi kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa buruh yang
memunculkan wajah rasis.
Pemerintah dalam menanggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan
menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer yang
membela kepentingan Soeharto, yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tuntutan itu
dijawab dengan pentungan, gas air mata, aksi penangkapan ilegal, penculikan dan penyiksaan
Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah
membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan
adanya LSM ini, bukannya membawa keadaan semakin membaik, tetapi LSM dianggap
sebagai gerakan kiri atau gerakan yang melawan pemerintah. Pada masa rezim Soeharto,
LSM selalu diidentikkan sebagai “agen dan antek asing”, “penjual”, dan “pengkhianat
bangsa”. Peryataan ini dilakukan untuk mengurangi keberadaan LSM di mata rakyat,
mengingat LSM saat itu adalah satu-satunya elemen masyarakat yang kritis terhadap
pemerintah Soeharto. Posisi LSM dan rezim Soeharto selalu dalam posisi berlawanan. LSM
telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, wajar bila pemerintah
selalu mencurigai aktivis LSM. Pemerintah juga melakukan tindakan pengejaran dan
penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM.
Selain itu, novel Saman juga bercerita mengenai perjuangan seorang pemuda bernama
Saman, yang dalam perjalanan karirnya sebagai seorang pastor harus menyaksikan
penderitaan penduduk desa yang tertindas oleh negara melalui aparat militernya. Saman
akhirnya menanggalkan jubah kepastorannya itu, dan menjadi aktivis buron. Sebagai seorang
aktivis, Saman mengembangkan hubungan seksual dengan sejumlah perempuan. Keempat
tokoh perempuan dalam novel Saman antara lain Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin.
Mereka muda, berpendidikan dan berkarir. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar
cerita mengenai pengalaman-pengalaman cinta, keresahan dan pertanyaan-pertanyaan mereka
dalam mendefinisikan seksualitas perempuan.
Kemunculan novel Saman menjelang saat-saat jatuhnya rezim Soeharto pada tahun
1998, sempat menghebohkan dunia sastra Indonesia karena isinya yang dianggap
kontroversial, mendobrak berbagai tabu di Indonesia baik mengenai represi politik,
intoleransi beragama, dan seksualitas perempuan. Ada pihak-pihak yang mengkritik novel
tersebut karena dianggap terlalu berani dan panas dalam membicarakan persoalan seks.
Banyak pula yang memujinya karena penggambaran novel tersebut apa adanya, polos, tanpa
kepura-puraan.
Di tengah kontroversi itu, Saman berhasil mendapat penghargaan Dewan Kesenian
Jakarta 1998. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel
pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila Tak Mampir di New York. Pada tahun 2000,
novel Saman mendapatkan penghargaan bergengsi dari negeri Belanda yaitu
Penghargaan Prince Clause Award. Suatu penghargaan yang diberikan kepada orang-orang
dari dunia ketiga yang berprestasi dalam bidang kebudayaan dan pembangunan. Novel
tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Samans Missie, yang
diluncurkan di Amsterdam pada 9 April 2001 dan dihadiri sendiri oleh Ayu Utami.
Ayu Utami merupakan salah satu pengarang wanita yang dinobatkan sebagai
pemenang pertama dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta.
Penobatan ini seperti telah menjadi perayaan terhadap “kebangkitan” pengarang wanita
dalam khazanah sastra di Tanah Air. Kemenangan Ayu Utami tidak saja telah memberi
kepercayaan diri kepada pengarang wanita lain untuk menerbitkan karya-karya mereka, tetapi
secara substansif telah mendeskontruksi jarak yang tadinya terbentang antara pengarang
dengan pembacanya.
Saman banyak mendapat perhatian dari ilmuwan terkemuka, diantaranya Sapardi
Djoko Damono dan Faruk H. T. Sapardi menganggap komposisi Saman sepanjang
pengetahuannya tidak ditemukan di negeri lain, padahal karya-karya Ondaatje, Salman
Rushdie, Vikram Seth, Milan Kudera adalah contoh cara bercerita sealiran dengan Saman.
Yang menyenangkan adalah bahwa teknik itu, aliran bertutur itu, kini hadir dalam sebuah
novel Indonesia.
Menurut Faruk, apa yang dilakukan oleh Ayu adalah keberanian melakukan
aksentuasi terhadap sesuatu yang tadinya bermakna tabu. “Ini juga patut dihargai, ia telah
mengaksentuasikan sesuatu nilai yang tadinya sangat tabu dikatakan oleh kaum perempuan”.
Dari segi sosiologi khususnya menggunakan teori Strukturalisme Genetik belum pernah ada
yang meneliti. Novel Saman  karya Ayu Utami sangat menarik dan perlu dikaji, karena
novel Saman mempunyai hubungan antara lingkungan sosial saat novel tersebut diciptakan
dengan lingkungan sosial pengarang. Oleh karena itu dari pengkajian novel Saman ini dapat
diketahui pandangan dunia pengarang.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimanakah eksistensi tokoh utama (Wisanggeni/Saman)?
2.      Bagaimanakah lingkungan sosial-budaya pengarang (Ayu Utami)?
3.      Bagaimanakah lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman?
4.      Bagaimanakah pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman?

C.    Tujauan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1.      Mendeskripsikan eksistensi tokoh utama (Wisanggeni/Saman).
2.      Mendeskripsikan lingkungan sosial-budaya pengarang (Ayu Utami).
3.      Mendeskripsikan lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman.
4.      Mendeskripsikan pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman.

D.    Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan praktis. Secara
teoritis hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmu sosial khususnya sosiologi sastra.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran sastra
dalam mengapresiasi novel-novel Indonesia, khususnya dalam hal ini novel Saman karya
Ayu Utami.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat,
telaah tentang lembaga dan proses sosial (Damono 1978: 6). Seperti halnya sosiologi, sastra
juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha
manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis
disebut sosiologi sastra (Damono 1978: 6).
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan pendekatan
sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra (Damono 1978: 2). Menurut Damono (1978: 2),
ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan
yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka.
Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan
sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode
yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam
lagi gejala di luar sastra.
Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem
kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari
masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali
masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara
sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya
pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus
membentuknya (Semi 1993: 73).
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan
respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau
percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang
dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih
baik dengan dunia sekitarnya (Fananie 2000: 117).
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan) merupakan
refleksi pada zaman karya sastra (kesusastraan) itu ditulis yaitu masyarakat yang melingkupi
penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya.
Wellek dan Warren (dalam Damono 1978: 3) mengemukakan tiga klasifikasi yang
berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1.      Sosiologi pengarang. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar
belakang sosial, status pengarang, dan ideologi.
2.      Sosiologi karya sastra. Masalah yang dibahas mengenai isi karya sastra, tujuan atau amanat,
dan hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan berkaitan dengan masalah
sosial.
3.      Sosiologi pembaca. Membahas masalah pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap
pembaca.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren tidak jauh berbeda dengan
klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt dalam eseinya
yang berjudul “Literatur Society” (dalam Damono 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan
timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Pertama, konteks sosial pengarang. Ini
ada hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan
dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang
mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari
masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam
kepengarangan: sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan
(c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan
masyarakat, sebab masyarakat yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat: sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama mendapat
perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada
waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan
penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya, (c) genre sastra merupakan sikap sosial
kelompok tertentu, bahkan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk
menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai
cermin pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra
sebagai cermin masyarakat. Ketiga,  fungsi sosial sastra. Hal yang perlu dipertanyakan adalah
sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra
dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut
pandang ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi
dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu
dengan cara menghibur (Damono 1978: 3-4).
Selain itu Laurenson (dalam Fananie 2000: 133) mengemukakan ada tiga perspektif
yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1.      Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan
refleksi situasi pada masa satra tersebut diciptakan;
2.      Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya;
3.      Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau
peristiwa sejarah.
Menurut Wellek dan Warren (1995: 111) hubungan sastra dengan masyarakat dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan
situasi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra, latar
belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan
di dalam karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain tersirat dalam karya
sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga,  permasalahan pembaca
dan dampak sosial sastra.
Menurut Goldmann (Endraswara 2003: 57) karya sastra sebagai struktur bermakna itu
akan mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan sebagai
anggota masyarakatnya. Sehingga karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika
totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja.
Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang. Oleh karena itu,
karya sastra dapat dipahami asalnya dan kejadiannya (unsur genetiknya) dari latar belakang
sosial tertentu. Keterkaitan pandangan dunia pengarang dengan ruang dan waktu tertentu
tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik. Oleh karena itu, muncullah teori yang
disebut dengan Strukturalisme Genetik.
Strukturalisme Genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang
kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, Strukturalisme Genetik tetap mengedepankan juga
aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar, tetap dianggap penting bagi
pemahamah karya sastra (Endraswara 2003: 60).
Dalam skripsi ini digunakan klasifikasi yang kedua dari Wellek dan Warren, yaitu
sosiologi karya sastra. Dalam klasifikasi sosiologi karya sastra ini akan dibahas mengenai
masalah-masalah sosial dan dalam kaitannya dengan isi karya sastra, tujuan, amanat dan hal-
hal lain yang tersirat dalam karya sastra. Jadi, dalam sosiologi karya sastra yang menjadi
pokok bahasan adalah karya sastra itu sendiri. Pendekatan sosiologi karya sastra akan
mengkaji karya sastra yang isinya bersifat sosial. Hal ini dikarenakan sastra sebagai hasil
seorang pengarang tidak bisa lepas dari kehidupan sosial suatu masyarakat.

B. Pengertian Strukuralime Genetik


Pencetus pendekatan strukuralime genetik adalah Lucien Goldmann, seorang ahli
sastra Prancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu
merekonstruksikan pandangan dunia pengarang. Bukan seperti pendekatan Marxisme yang
cenderung positivistik dan mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Goldmann tetap
berpijak pada strukturalisme karena ia menggunakan prinsip struktural yang dinafikan oleh
pendekatan marxisme, hanya saja, kelemahan pendekatan strukturalisme diperbaiki dengan
memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo. et al,
2002:60).
Goldmann (dalam Teeuw, 2003: 126:127) menyebut metode kritik sastranya
strukturalisme genetik. Ia memakai istilah strukturalisme karena lebih tertarik pada struktur
kategori yang ada dalam suatu dunia visi, dan kurang tertarik pada isinya. Genetik, karena ia
sangat tertarik untuk memahami bagaimana struktur mental tersebut diproduksi secara
historis. Dengan kata lain, Goldmann memusatkan perhatian pada hubungan antara suatu visi
dunia dengan kondisi-kondisi historis yang memunculkannya. Kemudian, atas dasar analisis
visi pandangan dunia pengarang dapat membandingkannya dengan data dan analisis sosial
masyarakat. Untuk menopang teorinya tersebut, Goldmann membangun seperangkat kategori
yang saling bertalian satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebut sebagai
strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik tidak dapat lepas begitu saja dari struktur dan pandangan
pengarang. Pandangan pengarang itu sendiri dapat diketahui melalui latar belakang
kehidupan pengarang (Faruk 1999:12 -13). Orang yang dianggap sebagai peletak dasar
mazhab genetik adalah Hippolyte Taine (Sapardi Djoko Damono dalam Zaenudin Fananie
2000:116). Taine mencoba menelaah sastra dari sudut pandang sosiologis. Menurut Taine,
sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, tetapi dapat pula
merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya
itu dilahirkan (Umar Junus dalam Zaenudin Fananie 2000:117). Fenomena hubungan tersebut
kemudian dikembangkan oleh Lucien Goldmann dengan teorinya yang dikenal dengan
Strukturalisme genetik (Zaenudin Fananie 2000:117). Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
Strukturalisme-Genetik Goldmann adalah penelitian sosiologi sastra (Umar Junus 1988:20).
Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan respon dari
subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan
untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan
merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan
dunia sekitarnya (Zaenudin Fananie 2000:117).
Atar Semi (1987:7) berpendapat bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang subjektif
dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi
menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari
lembaga-lembaga sosial dan masalah perekonomian, keagamaan, politik dan lain-lain, kita
melihat gambaran tentaang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pemberdayaannya. Sementara, sastra itu sendiri
pada dasarnya berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat
yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan
bahasa sebagai media. Bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran
kehidupan. Meskipun sastra dan sosiologi merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi
keduanya saling melengkapi. Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1995: 84),
meskipun sastra dianggap cerminan keadaan masyarakat, pengertian tersebut masih sangat
kabur. Oleh karena itu banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Namun demikian,
Grebstein (dalam Sapardi Djoko Damono 1978: 4) mengatakan bahwa meskipun sastra tidak
sepenuhnya dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, karya sastra
tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungannya
atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya.  Ia harus dipelajari dalam
konteks yang seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri, karena setiap karya sastra
adalah hasil dari pengaruh timbal balik dari fakta-fakta sosial, kultural yang rumit dan
bagaimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
Yakob Sumardjo (1982: 12) berpendapat bahwa sastra adalah produk masyarakat,
berada di tengah masyarakat, karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan
emosional dan rasional dari masyarakat. Konteks sosial novel merupakan karya sastra yang
lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya
terhadap gejalagejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat, sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan
masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 2001:61).
Sapardi Djoko Damono (dalam Faruk 1999 (a) :4-5) menemukan tiga macam
pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan
dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dalam kaitannya dalam masyarakat
pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi
pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang harus
diteliti dalam pendekatan ini adalah:
1)      bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya,
2)      sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi,
3)      masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang terutama mendapat perhatian adalah:
1)      sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya itu ditulis,
2)      sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin
disampaikannya,
3)      sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh
masyarakat.
Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian:
1)      sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat,
2)      sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja, dan
4)      sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan 1 dan kemungkinan 2 di atas.
Strukturalisme-Genetik pada prinsipnya adalah teori sastra yang berkeyakinan bahwa
karya sastra tidak semata-mata merupakan suatu struktur yang statis dan lahir dengan
sendirinya, melainkan merupakan hasil strukturasi struktur kategoris pikiran subjek
penciptanya atau subjek kolektif tertentu yang terbangun akibat interaksi antara subjek itu
dengan situasi sosial dan ekonomi tertentu.  Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur
karya sastra, bagi strukturalisme genetik, tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan
faktor-faktor sosial yang melahirkannya, sebab faktor-faktor itulah yang memberikan
kepaduan pada struktur itu (Goldmann dalam Faruk 1999 (b):13).
Penelitian strukturalisme genetik semula dikembangkan di Perancis atas jasa Lucien
Goldmann. Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar belakang
sejarah. Karya sastra, di samping memiliki unsur otonom juga tidak dapat lepas dari unsur
ekstrinsik. Teks sasta sekaligus mempresentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan
munculnya karya sastra. Menurut Goldmann (dalam Endraswara, 2003:55-56), studi
strukturalisme genetik memiliki dua kerangka besar. Pertama, hubungan antara makna suatu
unsur dengan unsur lainnya dalam suatu karya sastra yang sama. Kedua, hubungan tersebut
membentuk suatu jaring yang mengikat. Oleh karena itu, seorang pengarang tidak mungkin
mempunyai pandangan sendiri. Pada dasarnya, pengarang akan menyarankan suatu
pandangan dunia yang kolektif. Pandangan tersebut juga bukan realitas, melainkan sebuah
refleksi yang diungkapkan secara imajinatif.
Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi,
pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan (Faruk, 1999 (b):12).
1.  Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan dapat berwujud aktifitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu,
maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra (Faruk, 1999
(b):12). Fakta-fakta kemanusiaan pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu fakta individual dan fakta sosial. Fakta yang kedua mempunyai peranan penting dalam
sejarah, sedangkan fakta yang pertama tidak memiliki hal itu. Goldmann (dalam Faruk, 1999
(b):12) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti.
Yang dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu
dan arti tertentu. Dengan kata lain, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha manusia mencapai
keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar.
2.  Subjek kolektif
Subjek kolektif adalah subjek yang berparadigma dengan subjek fakta sosial
(historis). Subjek ini juga disebut subjek trans individual. Goldmann mengatakan (dalam
Faruk, 1999 (b):14-15) revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar,
merupakan fakta sosial (historis).
Pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann terdiri dari empat aspek, yaitu
makna totalitas karya sastra, pandangan dunia pengarang, struktur teks karya sastra, dan
struktur sosial masyarakat yang terdapat dalam karya sastra (Nugraheni: 159).
Suwardi Endraswara mengatakan bahwa penelitian strukturalisme genetic
memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari
kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya,
penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan relitas masyarakatnya. Karya
dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan
langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003:56). Hal
senada juga diungkapkan dalam Jabrohim (ed), penelitian strukturalisme genetik,
memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan ini
mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya guna tinggi, apabila para peneliti sendiri
tidak melupakan atau tetap memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra,
di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis, serta menyadari sepenuhnya bahwa
karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi
(Jabrohim (ed), 2001: 82).
Secara sederhana, strukturalisme genetik dapat dapat diformulasikan dalam tiga
langkah. Pertama, peneliti bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun
dalam jalinan keseluruhannya. Kedua, mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena
ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang sosial dan
sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang (Suwardi
Endraswara, 2003: 62).
1. Penelitian bermula dari kajian unsur intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan
keseluruhan.
Penelitian Strukturalisme Genetik, memandang karya sastra dari dua sudut pandang
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari bagian unsur intrinsik (kesatuan dan
koherensi) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai
unsur dengan realitas masyarakat. Karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang
dapat mengungkap aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-
peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik
karya sastra. Untuk sampai pada World view yang merupakan pandangan dunia pengarang
memang bukan perjalanan mudah. Karena itu, Goldman mengisyaratkan bahwa penelitian
bukan terletak pada analisis isi, melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita itu
kemudian dicari jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan pada struktur dengan
mengabaikan isi kebenarannya merupakan suatu permasalahan tersendiri, karena hal tersebut
dapat mengabaikan hakikat sastra yang merupakan tradisi sendiri (Laurenson dan
Swingewood dalam Endraswara 2003: 57-58).
Penelitian sastra yang menggunakan pendekatan Strukturalisme Genetik terlebih
dahulu harus memulai langkah yaitu kajian unsur-unsur intrinsik. Dari pengkajian unsur-
unsur intrinsik ini akan dapat memunculkan tokoh problematik dalam novel tersebut. Tokoh
problematik yang terdapat dalam novel akan memunculkan adanya pandangan dunia
pengarang akan dimunculkan melalui tokoh problematik (problematic hero). Tokoh
problematik (problematik hero) adalah tokoh yang mempunyai wira bermasalah yang
berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan
nilai yang sahih (authentic value). Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia
pengarang akan terlihat dari pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada
tokoh problematik dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

2. Mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas
tertentu.
Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang
pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra memberi pengaruh pada masyarakat,
bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup pada suatu
zaman, sementara sastrawan itu sendiri merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak
dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus
membentuknya sebagai realitas sosial (Semi 1989: 73).
Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial berarti berkenaan
dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat.
Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan yang dipandang sebagai karya yang tersusun secara
teratur, terbiasa, dan sesuai dengan tata tertib. Hasil budaya tersebut dapat berupa kemahiran
teknik, pikiran, gagasan, kebiasaan-kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat kebendaan.
Kata kebudayaan mengandung pengertian yang kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, cara hidup, dan lain-lain. kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat kebudayaan adalah hasil budi, daya kerja akal manusia dalam rangka mencukupi
kebutuhan hidupnya. Kebudayaan terbentuk karena adanya manusia, sedang manusia
merupakan anggota masyarakat. Simpulan yang diperoleh dari beberapa pengertian sosial
budaya di atas adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum,
adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal budinya sebagai
makhluk sosial.
Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia
berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan politik itu
sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas (Damono
1978: 42).
Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen dalam peristiwa munculnya
karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha mengaktualisasikan dirinya, menaruh
minat terhadap masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, hidup, dan kehidupan melalui
karya sastra. Meskipun demikian, karya sastra berbeda dengan rumusan sejarah. Dalam
sebuah karya sastra, kehidupan yang ditampilkan merupakan peramuan antara pengamatan
dunia keseharian dan hasil imajinasi. Jadi, kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan
yang telah diwarnai oleh pandangan-pandangan pengarang.
Latar belakang sosial budaya pengarang dapat mempengaruhi penciptaan karya-
karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik secara individual
(pengarang) maupun secara kolektif. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka
lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar.
Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antanogis kelas, dan jelas
mempengaruhi kesadaran kelas (Sapardi Djoko Damono 1978:42).
Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk dan karya yang diciptakannya,
sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999 (a) :55) sekolah dan latar belakang keluarga
dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang dikerjakan oleh sastrawan.
Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan sosial budaya
pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Pengarang merupakan bagian dari
komunitas tertentu. Kehidupan sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi karya
sastranya. Pengarang menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan
mengeluarkan pikirannya tentang satu peristiwa. Kehidupan sosial budaya pengarang akan
memunculkan pandangan dunia pengarang karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari
pandangan pengarang setelah berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial budaya pengarang
akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena pengarang merupakan bagian dari
komunitas tertentu. Sehingga kehidupan sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi
karya sastranya. Pengarang bukan hanya penyalur dari suatu pandangan dunia kelompok
masyarakat, tetapi juga menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan
mengeluarkan pikirannya tentang satu peristiwa. Secara singkat, kehidupan sosial budaya
pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia
pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berintereaksi dengan pandangan
kelompok sosial masyarakat pengarang.

3. Mengkaji latar belakang sosial sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan
oleh pengarang.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang
serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya
sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Sebuah karya sastra berakar pada kultur
tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 78).
Karya sastra yang besar menurut Goldman (dalam Fananie 2000: 165) dianggap
sebagai fakta sosial dari subjek tran-individual karena merupakan alam semesta dan
kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin dalam karya sastra
terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat historis.
Bonald (dalam Wellek dan Warren 1995: 110) mengemukakan hubungan antara sastra
erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra ada hubungan dengan perasaan masyarakat. Sastra
mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan kehidupan zaman
tertentu secara nyata dan menyeluruh.
Grabstein (dalam Damono 1984: 4) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat
dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang
menghasilkannya. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya dan tidak
hanya menyoroti karya sastra itu sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal
balik antara faktor-faktor sosial kultural dan merupakan objek kultural yang rumit.
Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat berpengaruh terhadap proses
penciptaan karya sastra, baik dari segi isi maupun bentuknya atau strukturnya. Suatu
masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang dengan sendirinya akan melahirkan suatu
warna karya sastra tertentu pula (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 64).
Struktiralisme genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang
kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, srukturalisme genetik tetap mengedepankan juga
aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar tetap dianggap penting bagi
pemahaman karya sastra.
Menurut Suwardi Endraswara (2003: 60) yang terpenting dari kajian strukturalisme
genetik adalah karya sastra yang mampu mengungkapkan fakta kemanusiaan. Fakta ini
mempunyai unsur yang bermakna, karena merupakan pantulan responrespaon subyek kolektif
dan individual dalam masyarakat. Subyek tersebut selalu berinteraksi dalam masyarakat
untuk melangsungkan hidupnya.

C. Pandangan Dunia Pengarang


Karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (visiun du
monde)  penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia
atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami
secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan
begitu saja (Endraswara 2003:57).
Pandangan dunia itu sendiri menurut Umar Junus (1988:16) terikat pada masa tertentu
dan ruang tertentu. Keterlambatannya kepada masa tertentu menyebabkan ia mesti bersifat
sejarah. Sehingga, sebuah analisis Strukturalisme-Genetik didasarkan faktor kesejarahan
tanpa menghubungkannya dengan fakta-fakta sejarah suatu subjek kolektif di mana suatu
karya diciptakan, tidak seorangpun akan mampu memahami secara komprehensif pandangan
dunia atau hakikat makna dari karya yang dipelajari (Goldman dalam Zaenudin Fananie,
2000:120).
Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik. (Goldmann
dalam Zaenudin Fananie, 2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran
hubungan yang meliputi: a) Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang
dialami dan alam ciptaan pengarang. b) Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu
seperti diksi, sintaksis, dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang
dipergunakan pengarang dalam ciptaannya. Menurut Goldmann (dalam Umar Junus,
1988:16) hubungan genetik antara pandangan dunia pengarang dalam sebuah novel atau
karya adalah pandangannya dengan pandangan dunia pada suatu ruang tertentu dalam masa
tertentu, sehingga pendekatan ini dikenal dengan Strukturalisme-Genetik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang
terdiri dari hubungan antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan
nyata dan hubungan latar sosial budaya pengarang dengan karya sastra. Ideologi atau
pandangan pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan
dunia pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berinteraksi dengan
pandangan kelompok sosial masyarakat pengarang. Masalah yang berkaitan di sini adalah
dasar ekonomi, produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi
pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan di dalam karya sastra.

BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yaitu memaparkan data secara logika ilmiah bukan berupa angka, jumlah, dan prosentase agar
mudah dipahami dan disimpulkan.

2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra
khususnya teori Marxis. Dalam melakukan kajian dengan metode strukturalisme genetik,
langkah-langkah yang ditawarkan oleh Laurensin dan Swingewood yang disetujui oleh
Goldman (dalam Jabrohim 2001: 64-65) sebagai berikut.
a.       Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti strukturnya untuk
membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan
holistik.
b.      Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra dihubungkan
dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang
berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
c.       Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian
kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya
mencapai premis general.
3. Sumber Data
Data dalam penelitian ini bersumber dari novel Saman karya Ayu Utami. Penerbit
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta 1998.

4. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan teknik penelitian berupa data
primer (novel Saman) dan data sekunder, data ini diperoleh dari beberapa buku lain.

BAB IV
PEMBAHASAN

A.    Eksistensi Tokoh Saman


Dalam dunia pewayangan purwa, Wisanggeni adalah putra Arjuna dengan bidadari
dari Kahyangan Jonggringsaloka. Sedari lahir, ia di bawa ke kahyangan untuk di tempa di
kawah Candradimuka oleh Sang Hyang Wenang. Setelah dewasa, turun ke bumi dan kembali
kepada keluarganya, yaitu Pandawa. Ia tidak dapat menyaksikan atau turut berperang dalam
Bharatayuda sebab sudah dimatikan dahulu oleh Sri Kresna.
Dalam versi Ayu Utami, Wisanggeni adalah lulusan Institut Pertanian Bogor. Setelah
itu, ia melanjutkan sekolah teologi di Driyakarya. Setah tamat, acara sakramen presbiterat
dan pembacaan kaul dan pelantikan dilaksanakan. Sejak saat itu orang-orang memanggil dia
Frater Wisanggeni atau Romo Wisanggeni. Tugas untuk melayani umat di manapun dan
kapanpun telah siap diemban Wis. Namun dalam hati kecil Wis, dia sangat berharap
ditempatkan di pedalaman Perabumulih. Dia merasa banyak yang bisa dikerjakan disana,
sebab dia adalah lulusan Institut Pertanian dan mayoritas penduduk Perabumulih bekerja di
perkebunan karet. Jadi, Wisanggeni beranggapan bahwa kemampuannya di biadng pertanian
dapat diterapkan di area perkebunan tersebut.
Bagi Wis, Perabumulih bukan tempat asing. Masa kecilnya pernah merasakan di
Perabumulih karena Bapaknya pernah bekerja dinas sebagai kepala cabang Bank Rakyat
Indonesia cabang Perabumulih. Disana juga dia mendapatkan pengalaman yang aneh, suatu
pengalaman yang tidak pernah ia ceritakan bahkan pada Ayahnya sendiri. Pengalaman
tentang roh-roh yang ada disekitarnya. Yang dianggap Wis adalah roh-roh adiknya yang telah
lama tiada. Dari alasan itu mengapa Wis ingin sekali ditugaskan ke Perabulih tempat dimana
ia mempunyai ikatan yang sangat erat sejak kecil. Kesempatan untuk ditugaskan ke
Perabumulih akhirnya datang dan dikabulkan oleh Keuskupan.
Setelah sepuluh tahun akhirnya Wis datang lagi ke Perabumulih walau menurut Wis
sendiri tempat itu tak banyak berubah. Perasaan tentang adik-adiknya yang telah lama tiada
membuka kembali akan kenangan tentang masa lalunya. Perasaan pahit dimana Ibunya yang
dikasihinya yang juga mengasihinya telah lama meninggal bercampur dengan rasa
keingintahuan selama ini tentang Perabumulih selama sepuluh tahun yang telah
ditinggalkannya.
Setelah beberapa hari dan beberapa minggu dengan kegelisahan dan kesedihan, apa
yang tak pernah dia saksikan. Keterbelakangan dan kemiskinan penduduk membuat Wis
bertekad untuk mengabdikan hidupnya dengan orang-orang di desa transmigran Sei
Kumbang yang berjarak tujuh puluh kilometer dari Perabumulih.
Di Sei Kumbang, Wis memutuskan untuk membantu meringankan penderitaan gadis
yang dianggap gila. Sikap rasa peduli dan keibaan terhadap orang-orang di Sei Kumbang ini,
akhirnya dia meminta izin dari pastor kepala Perabumulih agar direstui untuk membantu
penduduk Sei Kumbang dan di berjanji akan membagi tugas antara kepastoran parokial dan
membantu penduduk di perkebunan karet.
Saman/Wisanggeni adalah sosok yang selalu gelisah melihat sesuatu yang oleh dia
dianggap tidak wajar. Jiwa sosialnya akan tergerak dan ikut membantu jika dirasa itu sangat
mengusik hatinya. Ketika dia untuk pertama kali melihat kondisi penduduk dusun Sei
Kumbang dia sangat merasakan betapa keterbelakangan serta kemiskinan sehingga untuk
membeli beras saja tidak mampu sangat mengganngu jiwanya untuk turut membantu.
Setiap malam Wis selalu memikirkan dan gelisah serta selalu bergelut dengan
batinnya sendiri. Lalu pada suatu saat ia memberanikan diri untuk berbicara kepada pastor
kepala Pater Westenberg mengajukan diri agar ia diberi ijin untuk membantu warga di Sei
Kumbang. Karena keterlibatan Wis terhadap Warga Sei Kumbang Wis sering meninggalkan
tugas parokialnya. Merasa mendapat teguran dari pator kepala Wis meminta maaf dan
menjelaskan tentang apa yang dialami dan yang ia kerjakan. Bahwa dia tidak bisa melihat
keterbelakangan dan kemiskinan penduduk sedangkan dia sendiri hanya bisa tidur diranjang
empuk dan menikmati masakan, sementara di luar sana ada banyak penduduk dusun yang
hanya untuk membeli beras saja tak mampu. Itulah yang menjadikan konflik batin Wis .
“Saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur
setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang
nyamandan makan rantangan lezat yang dimasak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan
rasanya berdosa jika jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia
bisa diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon agar diberi
desempatan itu” (Saman, halaman 84)

Dari petikan di atas betapa Wis ingin sekali ingin membantu warga dusun Sei
kumbang dengan cara mengajukan beberapa proposalnya agar dapat dana untuk membantu
meringankan warga Sei Kumbang. Keinginan Wis pun akhirnya dikabulkan oleh pastor
kepala. Dari sinilah, Wis semakin terlibat bukan hanya membantu warga tetapi juga terlibat
dalam konflik-konflik yang dialami oleh penduduk.
Setelah kejadian pembakaran oleh penduduk Sei Kumbang. Wis kemudian ditangkap.
Dan dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara Wis mengalami siksaan dan tekanan yang luar
biasa dari aparat agar mau mengaku apa yang dituduhkan oleh aparat yang dituduh telah
mengahasut penduduk. Tuduhan-tuduhan politis dan SARA bahwa dia seorang komunis yang
berkedok rohaniawan dilayangkan pada Wis. Mau tidak mau akibat sikasaan akhirnya Wis
mengaku dan membuat karangan tentang dirinya. Bahwa memang benar tuduhan-tudahan
yang dialamatkan pada dia semua itu.
“Tapi bagaimanapun yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu
tetap muncul setiap kali ia di giring ke ruang interrogáis, didudukan atau dibarkan berdiri,
sementara ia mendiga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanza
selalu ditutup. Kadang mereka menyundut dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya,
mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau Cuma menggunakan kepalan
dan tendangan.” (Saman, halaman 106)
“Rasa sakit yang luar biasa akhirnya menyebabkan ia mengarang ceritayang sebelumnya tak
pernah ia pikirkan sama sekali, cerita yang menyenangkan orang-orang itu: saya
sesungguhnyaadalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor. Di sebuah negeri di
Amerika Selatan, mereka menyebutnya republik pisang atau republik bananas, ia
mempelajari teologi pembebasan dan ia kini datang untuk mewartakannya.” (Saman, halaman
107).
Konflik demi konflik mulai dari kekejaman aparat yang membakar dusun, sisksaan
fisik yang ia terima hingga perasaan keingintahuan kabar dari orang-orang dusun yang
membakar kantor polisi dan pabrik dan nasib Upi gadis gila yang ia rawat, tak tertolong
ketika dusun dibakar membuat Wis menanyakan tentang Tuhan. Dalam kondisi inilah Wis
mengalami konflik batin akan keberadaan Tuhan yang selama ini dia percaya.
“Ia merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak
menebusnyasebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi yang
mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur yang tak berdasar, dengan kecepatan
tinggi.” (Saman, halaman 105).
“Abang (Wis) pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan abang berkali-kali, pemuda itu
memegang lengannya sebelum pergi. Tapi Wis diam saja. Ia hanya berpikir. Tidak Anson.
Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia tidak menyelamatkan Upi……….”. (Saman,
halaman 115)
Dari kutipan dan pemaparan di atas, konflik yang dialami Wis bukan hanya konflik
eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi
sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal, dia adalah seseorang yang
pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya
tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis.
Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya
dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk
meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang
tertindas.
“Hirarki gereja hanya mendengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni menghilang.
Sebagiian orang mengira dia sudah matiketika disekap di pabrik..
Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan Kira-kira dua tahun
kemudian. Ia memilih nama: Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas
dibenaknya.” ( Saman, halaman 117).

B.     Lingkungan Sosial Ayu Utami


Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta dan menamatkan
kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia. Ia mengaku sejak kecil
memang suka bahasa terutama bahasa yang aneh-aneh, eksotis. Bagi Ayu Utami dunia tulis
menulis bukan hal yang baru. Sebelum menjadi penulis novel, ia pernah menjadi wartawan di
majalah Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah Tempo, Editor, dan Detik di
masa Orde Baru ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes
pembredelan pers. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan ikut membangun
Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi.
Baginya, menulis novel merupakan cara untuk mengeksplorasikan bahasa Indonesia, bahasa
yang masih muda, yang kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan.
Ayu Utami merupakan anak bungsu dari lima bersaudara pasangan Sutaryo dan
Suhartinah yang berasal dari Yogyakarta. Sutaryo sebagai ayah Ayu Utami bekerja sebagai
jaksa, ia cukup ketat dalam mendidik anaknya untuk disiplin dan bertanggung jawab. Dalam
hal ini ia sangat perhitungan terhadap anak-anaknya. Kalau ia memberikan sesuatu, pasti ia
akan meminta imbalan yang seimbang dalam bentuk prestasi. Sebaliknya Suhartinah, sebagai
ibu Ayu Utami yang dulu pernah bekerja sebagai guru Matematika di sebuah SMP adalah
orang yang mencintai anak-anaknya tanpa batas. Baginya prestasi anak-anaknya bukanlah
suatu hal yang teramat penting. Jika di lain pihak ayah Ayu Utami bisa kecewa sekali melihat
anak-anaknya gagal meraih prestasi terbaik. Malah sebaliknya ia selalu siap menghibur jika
anak-anaknya gagal. Kombinasi pola asuh orang tua Ayu Utami yang seperti inilah yang
membuat Ayu Utami bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Ayu Utami
menghabiskan masa kecil di Bogor hingga tamat sekolah dasar. Kemudian ia melanjutkan
SMP di Jakarta, dan SMU di Tarakanita Jakarta.
Semasa SMP dan SMU Ayu Utami melakukan pemberontakan pada orang tua yaitu
dengan tidak mau membaca buku, dan tidak mau belajar. Pokoknya meremehkan orang
dewasa, meminimalkan usahanya untuk belajar. Baginya, membaca buku bisa mempengaruhi
hidupnya, Ia mau tetap orisinil. Namun soal membaca, Ayu Utami masih menyisakan waktu
untuk membaca Alkitab. Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merupakan penganut
Katolik yang mengagumi buku-buku hasil karya Michael Ondaatje dan Budi Darma. Alkitab
adalah buku satu-satunya yang ia baca mulai dari kecil sampai dewasa. Alasannya, Alkitab
ditulis oleh orang banyak dengan gaya masing-masing. Ada yang bebentuk puisi, buku, dan
surat menyurat. Wajarlah kalau dalam novel Saman, terdapat petikan-petikan ayat Alkitab.
Sejak kecil Ayu Utami gemar menulis. Ketika beranjak remaja, ia menulis beberapa
cerita pendek yang kemudian dimuat di majalah ibukota. Namun, bukan berarti cita-cita Ayu
Utami sejak kecil memang ingin menjadi penulis. Ayu Utami mempunyai bakat melukis. Ia
sering memperoleh order melukis dari teman atau keluarganya. Bahkan impian banyak
pelukis pernah menghampirinya, yakni tawaran dari pembimbing melukisnya untuk
mengadakan pameran tunggal. Itulah sebabnya, setelah lulus dari SMU Ayu Utami ingin
melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Akan tetapi keinginan itu ditentang
orang tua. Sebagai pelarian akhirnya Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra
Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami memilih UI karena tidak ingin memberatkan
orang tuanya, selain lebih murah dibandingkan dengan kuliah di luar negeri, selain itu juga
semua kakaknya kuliah di UI.
Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu Utami seperti kehilangan arah. Kuliah ia
jalani dengan malas. Ia lebih banyak bekerja di berbagai tempat daripada kuliah. Akan tetapi
hal itu bukan merupakan pemberontakan. Ia merasa tidak ada gunanya lulus tanpa
pengalaman. Selain itu ia tidak ingin tergantung soal keuangan pada orang tuanya. Kuliah
sambil bekerja yang dilakukan Ayu Utami juga mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada
zaman kakak-kakaknya hal itu tidak bisa diterima oleh ayahnya. Sifat keras kepala dan kritis
Ayu Utami yang membuat ayahnya mengalah. Pekerjaan sebagai purel hotel berbintang
pernah ia jalani. Bahkan Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis
wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi
wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R.
Sejak bergabung dengan Forum Keadilan, jiwa aktivisnya tumbuh dan berkembang.
Ia menentang pembredelan pers oleh pemerintah dan mengikuti pendidikan di Aliansi
Jurnalistik Independen (AJI). Konsekwensinya ia akhirnya dipecat dari majalah Forum.
Setelah itu ia sempat bergabung dengan majalah D&R, karena namanya sudah masuk black
list, tidak boleh lagi tercantum disusunan redaksional media massa manapun. Di majalah ini
ia hanya menjadi kontributor. Saat itu memang tidak ada lagi kemungkinan bagianya untuk
menjadi wartawan secara terang-terangan. Ketika akhirnya ia menjadi aktivis, pihak keluarga
sangat menentang. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat untuk menjadi aktivis niat
utamnya adalah menjadi wartawan professional.
Pada masa Orde Baru sekitar tahun 1993-1994, Ayu Utami mengikuti arus menjadi
aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers Sewaktu menjadi aktivis, kedudukannya lebih
sebagai kurir atau penghubung. Ia tersentuh sekali melihat teman-teman yang terlibat secara
langsung di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam
persembunyian menghindar dari kejaran polisi. Biasanya ia bertugas menghubungi mereka
untuk berbagai keperluan, seperti mengantar uang, pesangon, dan sebagainya. Dengan
penampilannya ia bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga
dengan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis sosok Ayu Utami cukup bersih
dan rapi. Hasilnya sepak terjangnya sebagai aktivis memang tidak pernah tercium oleh pihak
aparat.
Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC selama
beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu Komunitas Utan
Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya sebagai Redaktur Jurnal
Kebudayaan Kalam. Ia merasa bahagia, bergaul dengan berbagai kalangan yang dapat
memperkaya wawasannya. Di sinilah Ayu Utami melahirkan Novel Saman, yang kemudian
membuat heboh di tengah masa krisis moneter.
Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman
Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua
hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal
termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha
untuk jujur mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks
memang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel.
Itulah sebabnya, ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya
sendiri, karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya
salah novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat
Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara
terbuka.
Pemaparan seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-
mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh
pihak perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang
kalah. Ayu Utami bukannya menganjurkan seks sebelum menikah, tetapi menghimbau
pembaca untuk merenungkan kembali isu keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu
tersebut sewajarnya saja. Karena apabila perempuan begitu memuja keperawanan, maka ia
sendiri yang akan rugi. Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti lagi.
Dalam hal menjalin cinta dengan seseorang, Ayu Utami adalah wanita yang sangat
realistis. Dalam arti, pada saat tertentu ia bisa sangat mengagumi kekasihnya dan bergantung
kepadanya. Tetapi jika hubungan pada akhirnya memang harus berakhir, ia pun bisa
melupakannya sama sekali. Inilah yang membuatnya tidak mengenal istilah patah hati dalam
hidupnya. Sebab ia bisa berteman baik dengan mantan kekasihnya, tanpa ada lagi rasa cinta.
Soal laki-laki, secara fisik Ayu Utami suka lelaki yang berbadan tegap dan rambutnya cepak.
Entah kenapa seperti itu, sebetulnya ia sebal sekali dengan militerisme, tetapi soal laki-laki ia
suka yang military look. Dari segi karakter, ia tidak terlalu tertarik dengan laki-laki yang
bicaranya terlalu banyak dan suka pesta. Kalau sebatas teman ia senang sekali, tetapi bukan
untuk menjadi pacar. Ia suka dengan laki-laki yang military look  kemungkinan arena citra
laki-laki ganteng yang pertama kali ia lihat adalah Pierre Tendean, orang yang dikenal
sebagai salah satu pahlawan revolusi. Seperti kita ketahui bagi orang-orang sebaya Ayu
Utami, doktrin mengenai G 30 S/PKI itu kan demikian kuat. Proses pembentukannya
sepertinya didoktrinasi oleh nila-nilai kepahlawanan seperti itu. Jadi, meskipun ketika
beranjak dewasa apalagi setelah menjadi aktivis, ia benci sekali dengan tentara, tetapi soal
laki-laki ia malah tertarik dengan mereka yang bergaya militer.
Ayu Utami tidak mau menikah, itu prinsip yang kini ia pegang. Dalam buku Si
Parasit Lajang, ia menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang
menurutnya penting yaitu menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun kita
selalu mengucapkan bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam kenyataannya menikah
itu satu-satunya pilihan. Karena, kalau tidak menikah perempuan akan diejek sebagai
perawan tua, dan sebagainya. Yang pada akhirnya, membuat si perempuan menjadi berada di
bawah tekanan. Ia ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang
lain, kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu
pihak ia juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya
hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam
pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubungan seks di luar pernikahan. Dalam hal
ini, Ayu Utami melihat masyarakat kita memang munafik. Mereka menganggap seolah-olah
kalau sudah menikah itu segala sesuatu menjadi beres. Padahal, banyak sekali orang yang
sudah menikah tetapi masih melakukan hubungan seks di luar pasangan sahnya. Dalam hal
pernikahan, ia melihat banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.
Keputusan Ayu Utami untuk tidak menikah membuat keluarga, terutama ibu sempat
merasa sedih. Sampai sekarang Ibu Ayu Utami tetap berharap suatu saat akan menikah.
Sebaliknya, di luar pikirannya, Bapak Ayu Utami malah menerima keputusan ini dengan
enteng. Ayu Utami juga tidak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang ibu, menurutnya
buat apa punya anak, penduduk Indonesia sekarang kan sudah padat sekali.

C.    Lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman


Novel Saman  merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut
diciptakan. Novel Saman  merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Indonesia yang
berada di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, yang terjadi pada tahun 1990-an. Pemerintah
pada waktu itu di bawah kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru muncul konflik baru
yang memanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa
kebijakan pemerintah Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuan, pendekatan keamanan,
dan hak azasi manusia.
Saman menceritakan peristiwa persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di
Medan pada masa Orde Baru. Peristiwa itu membawakan pesoalan peka bagi masyarakat,
yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Akan tetapi masyarakat
merasa tidak setuju dengan adanya perubahan ini. Hal ini mengakibatkan oknum penguasa di
Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk
melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan untuk mempengaruhi pikiran petani
penduduk Sei Kumbang dengan cara meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Pada novel ini juga diceritakan mengenai kerusuhan yang disebabkan unjuk rasa yang
memunculkan wajah rasis. Pemerintah dalam menaggapi protes dan perlawanan dari rakyat
dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer
yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan
oleh aparat keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Akan tetapi LSM telah dituduh berpolitik dan
mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, pemerintah melakukan tindakan pengejaran dan
penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM.
Konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk
transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan akan kondisi
ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet. Sehingga untuk sekedar bertahan
hidup mereka menjual hasil kebun kepada tengkulak. Namun dari sinilah konflik dimulai
ketika perusahaan berganti. Penduduk dipaksa untuk menanam kelapa sawit di bawah
ancaman agar mau menuruti kepentingan perusahaan yang baru. Dapat dilihat lihat juga
tentang kepentingan politis Gubernur sebagai kepala daerah yang seharusnya membela hak-
hak para buruh kebun karet, tapi akhirnya mereka dikorbankan oleh Gubernur demi
kepentingan penanaman kelapa sawit dan segelintir orang (pemilik modal). Teror dan
intimidasi akhirnya membuat para penduduk melawan kesewenangan dari perusahaan. Tentu
mereka kalah karena petugas dan aparat telah siap merepresif mereka.
Konflik dalam novel Saman mengacu pada konflik eksternal khususnya pada konflik
social penduduk Sei Kumbang, yang disebabkan oleh adanya kontak sosial atau masalah-
masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia. Stara konflik ideologis antara
lapisan-lapisan sosial bukannya tidak ada. Lapisan elite yang biasa disebut lapisan priyayi,
berpendidikan, dan kebanyakan berasal dari atau tinggal di kota , pada umumnya memandang
lapisan bawah atau wong cilik sebagai lapisan orang-orang yang kurang berpendidikan,
bodoh tradisional, dan tidak bergairah di dalam mengikuti perubahan.
Semakin kuat watak komoditi dalam pertanian, maka semakin besar jarak yang
memisahkan petani dengan pasar, dan semakin besar pula ketergantungan petani pada
pedagang yang berfungsi sebagai perantara. Pedagang yang menemukan tempatnya diantara
produsen dan konsumen, menghasilkan modal dagang. Seiring dengan kemunculan
pedagang, muncul pula lintah darat yang meminjamkan uang pada masa paceklik kepada
petani dan yang menciptakan dasar bagi eksploitasi modal lintah darat. Proses ini membuat
kecenderungan teraleanisasi petani pada tanahnya sendiri dalam novel Saman, ini ditunjukan
ketika petugas perkebunan memergoki para penduduk Sei Kumbang menjual getah karet
lateks pada tengkulak karena menawar lebih tinggi dan datang sambil mengutangi beras dan
kebutuhan petani.
“Maka mereka lebih memilih menjual kepada tengkulak yang acap menawar lebih tinggi dan
datang dengan mengutangi beras serta kebutuhan tani” (Saman, halaman 82).

Petani di Sei Kumbang dianggap oleh PTP perseroan yang mengelola perkebunan
karet berhutang kepada PTP atas benih, pupuk dan pembukaan lahan transmigrasi yang
ditanggung oleh PTP. Sebagai angsuran hutang lima sampai sembilan juta, maka penduduk
wajib menjual hasil perkebunan kepada PTP. Bersamaan dengan ini meningkat pula
pembayaran tunai dari tuan tanah kepada petani yang menyebabkan pergantian pembayaran
dari bentuk barang kepada pembayaran tunai. Dengan demikian, hal tersebut dapat
meningkatkan tingkat pembayaran secara umum. Sementara itu, petani hanya sanggup
membayar secara tunai dengan cara menjual hasil produksinya. Hal ini tentu saja sangat
membebani penduduk transmigrasi Sei Kumbang sehingga banyak penduduk tidak mampu
untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka.
“Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk dan
pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah,
untuk dicicil dua puluh lima tahun. Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan
pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang” (Saman, halaman 81).

Teror terhadap penduduk semakin gencar agar tanah mereka dijual ke perseroan baru
pengganti PTP yang bangkrut. Teror dan intimidasi dilakukan pertama-tama dilakukan
dengan menjebol rantai rumah Upi gadis gila yang dirawat Wis lalu disusul dengan merusak
dan merobohkan kincir angin yang dibuat Wis dan penduduk sebagai rumah asap dan
pembangkit listrik mini bagi penduduk Sei Kumbang karena di tempat itu Belum teraliri
listrik. Tak hanya para penduduk yang merasa sedih, tapi Wis juga teramat terpukul.
“ Sejak tiga tahun lalu, instalasi kecil itu menghasilkan dinamo 5000 watt. Dusun yang kini
terdiri sekitar delapan puluh rumah dan langgar itu telah diterangi lampu dan diramaikan
bunyi radio. Listrik telah menjadi keajaiban tersendiri bagi penduduk dusun. Tapi kini
menara kincir itu dirobohkan” (Saman, halaman 91).

Sistem kapitalisme yang dikuasai kaum borjuis semakin bersemangat menghapuskan


keadaan terpencar-pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik. Penguasa
tersebut telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan mengkonsentrasi
milik ke dalam beberapa tangan. Akibat yang sudah dari hal ini adalah pemusatan politik.
Sebagai gantinya, datanglah persaingan bebas, disertai oleh susunan sosial dan politik yang
diselenggarakan dengannya oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis. PTP
sebagai persero yang berwenang di Sei Kumbang terus merugi akhirnya PTP menyerahkan ke
perusahaan lain, yaitu PT Anugerah Lahan Makmur yang akan mengubah dusun Sei
Kumbang menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun, rencana ini ditolak oleh penduduk desa,
lebih-lebih Wis yang menganggap lahan ini milik penduduk dan perkebunan karet dibuka
untuk petani bukan perusahaan.
“Kami melihat bahwa dusun ini (Sei Kumbang) saja yang belum patuh untuk menanda
tangani kesepakatan dengan perusahaan.” (Saman, halaman 92)
“Kami memang mendengar bahwa PTP merugi di kebun karet ini lalu menyerahkan ke
perusahaan baru yang mau menjadikannya kebun sawit” (Saman, halaman 93).

Petugas yang datang memberitahu penduduk gagal untuk membujuk agar mematuhi
kesepakatan pergi dengan mengancam akan menggusur perkebunan karet milik penduduk
dengan buldózer.
“Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus menanamnya. Jika dalam
sebulan tidak menurut, terpaksa buldozer-buldozer membabat perkebunan itu”. (Saman,
halaman 93).

Penggusuran dusun yang pernah diancamkan oleh para petugas atas perintah
Gubernur memang tertunda berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. Namun perusahaan baru
menggunakan teror dan intimidasi terhadap warga yang jauh lebih mengerikan. Puncaknya
adalah ketika mereka merobohkan pohon-pohon karet dan oknum satpam suruhan perusahaan
kebun memperkosa istri Anson di rumahnya, ketika Anson dan para warga sedang berkumpul
untuk membahas perkebunan mereka.
Penduduk dengan spontan mengejar pelaku dan berhasil membunuh dari salah satu
pelaku. Anson yang begitu geram memimpin warga untuk meyerang dan membakar pos.
Wisanggeni tak sanggup menceggah kemarahan penduduk itu terutama Anson. Sementara
para warga khususnya Ibu-ibu dan anak perempuan dikumpulkan di surau. Tak lama setelah
para warga laki-laki pergi meyerbu pos datang tiga jip serta sebuah mobil bak terbuka.
Petugas akhirnya menangkap Wis, sementara dusun Sie Kumbang dibakar mulai dari rumah
asap dan rumah-rumah penduduk.
“ Semenit kemudian Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga
Argani, lalu rumah-rumah yang lain. Ia (Wis ) menjerit teringat Upi yang belum Ia sempat
gabungkan dengan ibu-ibu. Ia melompat untuk menyelamatkan gadisnya (Upi). Tapi dua
orang dengan seragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong
punggungnya hingga dada dan pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangnnya
sebelum ia sempat mengerang nyeri.” (Saman, halaman 104).

Pemaparan konflik sosial dan politik yang terjadi pada penduduk Sei Kumbang
mengenai sebelum berada atau memutuskan menjadi transmigran di perkampungan tersebut,
mereka berharap agar kehidupan mereka lebih baik daripada di tempat asalnya. Namun
kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Awal dari pembukaan lahan mereka telah
menanggung hutang yang tak pernah mereka bisa bayar terhadap perusahaan yang memberi.
Tanah dan perkebunan mereka yang seharusnya dapat dimanfaatkan dan menjadi sumber
penghidupan di monopoli oleh perseroan yang telah menghutangi mereka. Di sini, dapat
dilihat betapa miskin dan keterbelakangannya penduduk di Sei Kumbang. Hal ini terbukti
pada listrik belum masuk dusun mereka, padahal jarak dusun ke Perabumulih yang menjadi
kota minyak hanya tujuh puluh kilometer.
Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa beban., ia hanya
asyik bercerita. Bahkan, ketika ada sisipan-sisipan pemikiran tentang Tuhan, agama, negara,
hubungan mengenai ikon-ikon generasi Orde Baru yaitu generasi yang terlahir dan besar
selama Orde Baru, yang dibuai dengan kelimpahan materi atau informasi dan hegemoni
pembangunanisme.
Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja yang
dikritik, problematika kebudayaan timur pun dibahas, terutama masalah keperawanan dan
seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan peningkatan status
perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka.
Saman menceritakan tentang persoalan antara perempuan dengan seksualitas. Jika
laki-laki tidak pernah merasakan ada persoalan dengan seksualitasnya, perempuan
sebaliknya, karena seksualitas perempuan selalu dipertanyakan jika dia ingin terjun ke sektor
publik. Laki-laki dapat dengan lugas dan terbuka mengungkapkan hasratnya dan tentu saja
tidak ada orang yang akan mempertanyakan termasuk pasangannya. Namun apa yang terjadi
dengan perempuan, untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada laki-laki saja perempuan
menemui kendala, masyarakat tidak mudah menerima hal tersebut inilah yang kemudian
terlihat dalam Saman,  yaitu bahwa perempuan memiliki hasrat yang sama dengan laki-laki
itu bukanlah sesuatu yang buruk. Saman berhasil menggambarkan pemberontakan hak
seksual perempuan untuk menggunakan bahasa tubuh. Saman merangkum persoalan seks
dan perempuan, menggambarkan perempuan apa adanya, dan semua didefinisikan secara
vulgar. Novel Saman  berani mendobrak tabu yang sangat kuat membebani kaum hawa.
Dalam Saman, seks bukanlah bumbu cerita tetapi menjadi bagian dalam cerita itu sendiri.
Dengan ringan para tokoh berbicara tentang seksualitas begitu terbuka, mereka berani
menunjukkan hasratnya. Sesuatu yang selama ini dianggap tabu bagi perempuan ternyata
ditampilkan dengan cukup memikat bahkan mengejutkan.
Seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata
mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh
perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan pada pihak yang kalah.
Perempuan dalam Saman  adalah cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1900-an, yang
masih mengalami ketidakadilan dan penindasan yaitu kurangnya perlindungan hukum untuk
menangani kekerasan seksual, ataupun norma masyarakat yang membatasi penggunaan hak
seksual perempuan. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam
memililiki peran mereka. Tiga diantaranya empat karakter perempuan belum menikah pada
usia tiga puluhan dan peran mereka tidak sebatas istri atau ibu. Mereka bisa menikmati
pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak
hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka masing-
masing.
Perempuan dalam novel Saman sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria.
Dalam novel ini Saman sebagai lak-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok.
Saman menjadi buronan karena kegiatan-kegiatan LSMnya.
Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dan
mengirimnya ke New York. Proses pelarian ini cukup berbahaya, bahkan Saman mengakui
“Dua cewek ini lumayan tangguh dan barangkali menganggap ketegangan sebagai
petualangan.” Meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai oleh Shakuntala dan teman-
temannya, masih ada juga ketidakadilan bagi perempuan Indonesia di tahun 1990-an, yang
tercermin dalam novel Saman. Contoh adalah Upi, gadis Lubukrantau yang menderita
kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan
melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dari pemerintah untuk merawat orang-
orang seperti Upi, dan juga tidak ada perlindungan hukum dan keadilan untuk Upi. Para
lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya, dan tidak ada hukum
yang melarang perbuatan mereka. Keadaan ini dikritik oleh Ayu Utami dengan cara
menampilkan tokoh Saman yang ditampilkan sebagai seorang pastor. Saman bukan hanya
tidak memanfaatkan Upi, ia bahkan membuat rumah perlindungan yang lebih bagus untuk
Upi, dan selalu memikirkan keselamatannya.
Cerita dalam novel Saman berputar diantara empat perempuan yaitu Shakuntala,
Yasmin, Laila, Cok. Novel ini mengisahkan masa kecil mereka sampai saat mereka berumur
tiga puluhan. Dalam novel ini juga dijabarkan mengenai pencarian identitas diri mereka
sebagai perempuan, konflik batin mereka tentang masalah seksual dan juga norma
masyarakat yang tidak mereka setujui. Selain kisah keempat perempuan tersebut, juga
diceritakan mengenai perjuangan Saman dalam membantu masyarakat Lubukrantau, masalah
politik dan sosial di masa Orde Baru, iman kepada Tuhan yang diuji, dan bahkan juga ada
bagian surealistis yang menceritakan masa lalu Saman di Perabumulih.

D.    Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman


Tokoh problematik dalam novel Saman adalah tokoh yang bernama Saman. Saman
ditentukan sebagai tokoh problematik karena Saman merupakan tokoh yang mempunyai
masalah paling banyak dalam cerita dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui
masalah-masalah inilah pengarang memberikan solusi atas permasalahan yang sedang
dihadapinya.
Masalah pertama yang dihadapi oleh Saman yaitu muncul ketika ia telah diangkat
menjadi seorang pastor dan ia berkeinginan untuk ditugaskan di desa tempat masa kecilnya
mengalami suatu perjalanan aneh yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Akan
tetapi Saman takut kalau keinginannya tidak sesuai dengan keputusan yang diberikan oleh
Uskup. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Sesungguhnya persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia
ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior.
Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah
perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana
Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang
mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan.
(Saman, halaman 42)
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Saman di atas pengarang memunculkan
tokoh yang bernama Romo Daru sebagai seorang pastor senior yang banyak menghabiskan
waktunya di persemedian. Romo Daru berusaha melobi Bapak Uskup supaya Saman dapat
ditugaskan di Perabumulih sesuai dengan keinginan Saman. Berkat usaha Romo Daru,
akhirnya Saman ditugaskan sebagai Pastor Paroki Parid yang melayani kota kecil di
Perabumilih dan Karang Endah wilayah keuskupan Palembang. Hal ini tampak pada kutipan
di bawah ini.
Barangkali Tuhan mengutusnya. Barangkali Tuhan Cuma mengabulkan harapannya. Uskup
menugaskan dia sebagai Pastor Paroki Parid, yang melayani kota kecil. Perabumulih dan
Karang Endah, wilayah keuskupan Palembang. Umat di daerah itu sekitar lima ratus saja.
Barangkali Romo Daru melobi untuk dia (Wis belum berhasil menemui dia untuk
berterimakasih atau konfirmasi). (Saman, halaman 57)
Pemunculan tokoh Romo Daru yang berkedudukan sebagai pastor senior di atas,
merupakan gambaran kehidupan pengarang. Dalam menulis cerita, pengarang cenderung
menulis tentang pastor dan suster. Cerita-cerita yang pengarang tulis agak religius. Pengarang
menggunakan kata-kata dalam bidang agama seperti Romo, Uskup, Pastor. Kata-kata tersebut
merupakan istilah yang terdapat dalam agama Katolik. Pengarang bisa secara jelas
menceritakan sesuatu yang berhubungan dengan agama Katolik. Hal ini merupakan
gambaran kehidupan pengarang, yaitu pengarang menganut kepercayaan agama Katolik.
Sebagai penganut agama Katolik, pengarang masih menyisakan waktunya untuk membaca
Alkitab yang merupakan satu-satunya buku yang ia baca dari kecil sampai dewasa.
Alasannya, Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya dan ditulis oleh orang dengan gaya
masing-masing ada yang berbentuk buku, puisi, bahkan surat menyurat. Jadi, wajarlah kalau
dalam novel Saman terdapat petikan-petikan ayat Alkitab.
Setelah melakukan perjalanan jauh menuju tempat tugasnya Saman beristirahat. Di
kamar tidur kepastoran Saman mengalami kegelisahan. Ia telah melihat kesengsaraan di balik
kota-kota maju, tetapi belum pernah ia menyaksikan keterbelakangan yang dialami oleh Upi.
Upi adalah anak dari salah satu transmigrasi Sei Kumbang yang bertempat di Lubukrantau
yang mengalami kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak
merawat dan melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dan pemerintah untuk
merawat orang-orang seperti Upi, sehingga Upi harus dikurung dan dikerangkeng di sebuah
tempat yang dianggap tidak layak untuk Upi. Para lelaki bisa seenaknya saja
memanfaatkannya atau mempermainkannya dan tidak ada hukum yang melarang perbuatan
mereka.
Permasalahan di atas merupakan permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan.
Adanya ketidakadilan yang dihadapi oleh kaum perempuan pada tahun 1990-an yang
tercermin dalam novel Saman yang dimunculkan melalui tokoh yang bernama Upi. Keadaan
ini dikritik oleh pengarang dengan cara menampilkan tokoh Saman sebagai seorang yang
peduli pada penderitaan. Saman berusaha untuk menyelematkan Upi dengan membuatkan
rumah perlindungan yang lebih bagus bagi Upi. Semua ini ia lakukan dengan cara meminta
izin kepada Mak Argani yang merupakan orang tua Upi untuk membuatkan tempat yang
lebih baik untuk tempat tinggal Upi. Saman diperbolehkan untuk membangun tempat tinggal
Upi yang lebih sehat dan menyenangkan. Dengan membangun tempat tinggal yang lebih
baik, Saman berharap dapat lebih meringankan penderitaan Upi. Saman begitu memikirkan
keselamatan Upi. Sampai-sampai ia memilih untuk tinggal lebih lama bersama penduduk
transmigrasi Sei Kumbang. Dengan bertempat tinggal bersama penduduk transmigrasi Sei
Kumbang Saman bisa selalu melihat Upi dan bisa selalu menjaganya. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini.
Ketika waktunya gips pada kaki Upi dibuka, Wis meminta izin dari pastor kepala, Pater
Wastenberg, untuk pergi lima hari, berangkat Senin siang kembali Sabtu pagi. Kali ini ia
membawa gergaji rantai. Juga segulung kawat pagar, satu sak semen, dan beberapa lembar
seng yang didapatnya dari toko bangunan Kong Tek. Orang Cina itu memberinya dengan
cuma-cuma. Ia juga berbekal mi instan, sekantong beras ukuran lima liter, dan abon. Sekali
lagi Rogam mengantarnya dengan jip Ichwan. Mereka membawa seorang dokter muda dari
puskesmas. Tengah hari Rogam dan dokter itu kembali ke utara, namun Wis tinggal di
Lubukrantau, dusun tempat tingal Upi itu adalah salah satu desa di daerah transmigrasi Sei
Kumbang. Ia telah memutuskan: meringankan penderitaan si gadis dengan membangun
sangkar yang lebih sehat dan menyenangkan, seperti membikin kurungan besar bagi perkutut
dan cicakrawa ayahnya sebab melepaskan mereka hampir sama dengan membunuh mereka.
(Saman, halaman 73-74)

Saman juga tidak tahan melihat kemunduran petani yang terjadi pada penduduk
transmigrasi Sei Kumbang yang harus pergi meninggalkan desa karena harga karet mereka
terus menerus diserang cendawan putih ataupun merah. Orang-orang tidak bisa lagi
menggantungkan diri dari hasil panen karet. Saman berusaha untuk memperbaiki keadaan
petani di Lubukrantau.
Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh
Saman adalah dengan cara memunculkan tokoh Pater Wastenberg, Pak Sarbini, dan Sudoyo.
Pater Wastenberg adalah pastor kepala di gereja tempat Saman diangkat menjadi pastor.
Pastor Wastenberg memberikan kesempatan kepada Saman untuk melakukan rencana
memperbaiki keadaan petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Walaupun awalnya Pater
Wastenberg tidak setuju atas keputusan Saman untuk melakukan hal ini, karena ia dianggap
telah menyepelekan pelajaran gereja. Ia kerap dipersalahkan karena acap meninggalkan
kewajiban itu. Ia lebih sering pergi ke penduduk transmigrasi Sei Kumbang daripada
melayani dan memelihara iman umat di sana. Akan tetapi setelah mendengar alasan-alasan
yang diucapkan Saman, Pater Wastenberg akhirnya menyetujui akan keputusan yang diambil
oleh Saman. Bahkan Pater Wastenberg berani mengusulkan agar Uskup memberi Saman
pekerjaan kategorial di perkebunan, jika Saman berhasil dalam usahanya. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini.
Si pater Belanda mengamati Wis, akhirnya dengan iba menyerahkan kepada pemuda itu. Apa
yang bisa saya lakukan untukmu? tanpa restu Bapa Uskup, tak ada bujet untuk rencana-
rencanamu. Uang sakumu amat kecil, saya kira. Namun, agak untung juga bahwa kamu
memilih menjadi imam praja, sehingga kamu bisa mengelola uang lepas dari ikatan ordo. Jika
kamu bisa mengusahakan dana sendiri satu bulan. Satu minggu sisanya kamu harus di ada
paroki. Jika saya melihat hasilnya, saya berani mengusulkan agar Uskup memberimu
pekerjaan kategorial di perkebunan.
(Saman, halaman 82)

Pengarang selain memunculkan tokoh Peter Wastenberg sebagai tokoh yang


memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi Saman, pengarang juga memunculkan
tokoh yang bernama Pak Sarbini. Pak Sarbini adalah teman lampau ayah Saman yang kini
menjadi tengkulak karet Sukasari di kawasan transmigrasi Jawa yang letaknya bersebelahan
dengan transmigrasi Sei Kumbang. Saman membutuhkan jaringan yang berpengalaman
dengan jalur jual beli dan pengolahan getah lateks. Semua itu Saman dapatkan dari Pak
Sarbini. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
… Esoknya ia juga menghubungi Pak Sarbini. Teman lampau ayahnya itu kini juga menjadi
tengkulak karet di Sukasari, kawasan transmigrasi Jawa yang letaknya bersebelahan dengan
Sei Kumbang yang dihuni transmigran lokal. Lelaki itu keturunan buruh Jawa yang dibawa
Belanda ke perkebunan karet Deli tahun 1930-an. Dia ikut pendidikan bintara, namun
kemudian bertugas dalam Bimas desa-desa transmigrasi. Pak Sarbini begitu berpengalaman
dengan jalur jual-beli dan pengolahan getah lateks. Wis membutuhkan jaringan itu.
(Saman, halaman 83)

Selain itu, pengarang juga memunculkan tokoh bernama Sudoyo yang merupakan
orang tua Saman. Sudoyo mengabulkan permohonan yang diajukan Saman yaitu dengan
memberikan modal kepada Saman sebesar lima atau enam juta rupiah. Dengan pemberian
modal tersebut Saman bisa menjalankan rencananya untuk memperbaiki pertanian penduduk
transmigrasi Sei Kumbang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Wis berterima kasih sehingga ia tidak tahu harus mengucapkan apa. Setelah mandi, yang
pertama kali ia kerjakan adalah menulis surat kepada ayahnya. Kali ini, tak hanya berisi cerita
dan kerinduan seperti biasanya, namun juga permohonan agar si ayah memberinya modal,
sekitar lima atau enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya.
(Saman, halaman 83)
Ayahnya memberi balasan setuju. Lalu Wis kembali ke Lubukrantau. Upi menjerit-njerit
senang ketika mendengar suara pemuda itu. Tapi ia menemui gadis itu sebentar saja, sebab ia
hendak membicarakan sesuatu yang serius dengan ibu dan abangnya.
(Saman, halaman 83)

Setelah semuanya terkumpul Saman menawarkan kerja sama dengan keluarga Argani
yang luasnya dua hektar. Mereka menyetujui rencana Saman. Keesokan harinya Saman
bersama keluarga Argani mulai memperbaiki lahan, memusnahkan tanaman yang sudah tidak
bisa diselamatkan, dan menanami kembali dengan pohon karet yang baru. Berkat bantuan
mereka perkebunan karet penduduk transmigrasi Sei Kumbang ini menjadi lebih baik. Hal ini
tampak pada kutipan di bawah ini.
Waktu itu petani Lubukrantau sudah mulai menakik getah karet muda yang mereka enam
tahun lalu, sebagai ganti pohon-pohon yang tumbang dimakan kapang. Bibit-bibit PR dan
BPM itu sebagian dibeli Wis dan dibiakannya sendiri. Sebelumnya, ketika sebagian pohon-
pohon belum siap disadap, orang-orang menderes tanaman tua serta memanen kedele dan
tumbuhan tumpang sari. Lalu berkat bantuan Pak Sarbini, bundel-bundel smoked sheet  yang
diproduksi rumah asap sederhana di dusun itu cukup mendapatkan pasarnya.
(Saman, halaman 87)

Ketika kebun karet milik penduduk Sei Kumbang sudah mulai membaik. Saman
memenuhi permintaan Pater Wastenberg untuk membantunya di Perabumulih setiap satu
pekan dalam sebulan. Saat Saman kembali ke Lubukrantau terjadi peristiwa yang menimpa
Upi. Dua lelaki menjebol pintu rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini telah berumur
dua puluh satu tahun dan mereka juga menghancurkan menara kincir yang dulu dibangun
sebagai pembangkit listrik mini buat rumah asap. Anson yang merupakan kakak Upi merasa
yakin bahwa pemerkosaan dan perobohan menara kincir itu adalah sebagai salah satu bentuk
teror dari orang-orang yang hendak merebut lahan penduduk transmigrasi Sei Kumbang.
Orang-orang itu sengaja melakukannya untuk mengancam penduduk transmigrasi Sei
Kumbang agar mau menyerahkan kebun mereka untuk dijadikan kebun kelapa sawit, karena
ada sebagian penduduk Sei Kumbang yang tidak menyetujui usul tersebut. Saman berusaha
membantu untuk membebaskan penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui PT ALM. Akan tetapi
Saman malah dituduh sebagai orang yang telah mengkristenkan orang-orang Lubukrantau
dan mengajari keluarga Argani berburu dan makan babi hutan.
Melihat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui
PT ALM, akhirnya Saman melakukan perlawanan dengan cara Saman memutuskan untuk
pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-
data tentang dusun mereka yang telah maju. Saman juga mengunjungi kantor-kantor surat
kabar dan LSM. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawan ke lahan
transmigrasi Sei Kumbang, orang-orang yang akan menggusur dusun tersebut tidak lagi
bolak-balik dengan membawa blanko kosong. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, Lampung, dan
Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang
tengah maju. Ia mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang
menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita.
Ia membujuk: kalau bisa datanglah sendiri dan tengok desa kami. Setelah koran-koran mulai
menulis serta mengirim wartawannya ke lahan terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-
balik dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi tertunda,
berbulan-bulan, bahkan hampir setahun.
(Saman, halaman 92-93)

Usaha yang dilakukan oleh Saman untuk mengatasi permasalahan di atas merupakan
gambaran dari kegiatan pengarang yang memiliki profesi sebagai wartawan. Kegiatan yang
dilakukan oleh Saman seperti memotret desa, dan mengumpulkan data-data di atas
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang wartawan ketika ia akan menulis berita.
Pengarang bisa menceritakan secara jelas tentang kegiatan seorang wartawan. Sebelum
menjadi penulis novel, pengarang pernah menjadi wartawati di majalah Matra dan Forum. Ia
juga menjadi salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen. Pengarang lebih banyak menulis
esei serta reportase dari pada menulis fiksi. Pengarang juga pernah menjadi wartawan di
majalah khusus trend pria. Bahkan ia sudah mengisi kolom tetap, sketsa, di SK Berita Buana,
yang isinya berupa renungan tentang berbagai soal politik. Menurutnya menulis novel
merupakan cara untuk mengeksplorasi bahasa Indonesia, bahasa yang masih muda, yang
kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan. Seorang wartawan dituntut untuk
memperhitungkan publik baik latar belakang, pengetahuan, maupun tingkat emosionalnya.
Ditambah lagi wartawan bisa keluar dari fakta yang menurut pengarang dilematis. Jadi sulit
untuk bisa mengembangkan bahasa yang eksploratif.
Usaha yang dilakukan oleh Saman ternyata hanya bisa menunda usaha penggusuran
dusun selama beberapa bulan saja bahkan hampir setahun. Akan tetapi orang-orang tersebut
menggunakan cara lain supaya penduduk transmigrasi Sei Kumbang mau melepaskan
tanahnya. Tindakan yang mereka lakukan adalah dengan cara menggunakan kekerasan yang
dilakukan oleh aparat militer. Aparat militer melakukan tindakan yang sewenang-wenang.
Mereka meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, Saman dan teman-temannya
berusaha untuk melawan dan memprotes tindakan tersebut. Akan tetapi protes dan
perlawanan yang dilakukan oleh Saman membuat dirinya ditangkap dan dimasukkan ke
ruang penyekapan. Sedangkan Anson dan teman-temannya berhasil lolos dari kejaran aparat
militer. Selama di ruang penyekapan Saman selalu disiksa untuk dimintai keterangan tentang
keberadaan Anson dan teman-temannya. Saman sudah putus asa akan keadaan yang
menimpanya.
Permasalahan mengenai penindasan yang dilakukan oleh aparat militer pada
penduduk Sei Kumbang di atas merupakan gambaran atau cerminan dari peristiwa yang
terjadi pada masa rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada waktu novel tersebut
ditulis. Pada masa Orde Baru ini muncul konflik persengketaan tanah dan kerusuhan yang
terjadi di Medan. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat yaitu akan
diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Masyarakat tidak setuju akan perubahan
itu, hal ini membuat oknum penguasa Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang
yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan
untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang dengan cara
meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi permasalahan yang sedang
dihadapi oleh Saman yaitu dengan cara memunculkan tokoh yang bernama Anson. Anson
berhasil melarikan Saman dari ruang penyekapan dan mengantarkannya ke rumah suster-
suster Boromeus di Lahat untuk menjalani perawatan. Hal ini tampak pada kutipan di bawah
ini.
Tapi didengarnya suara-suara itu. Betul, suara-suara yang dirindukannya, yang meninggalkan
dia sejak dipenjara. Makin lama makin ramai di sekelilingnya, seperti nyamuk, seperti
membangunkan atau membingungkannya. Lalu ia merasa ada energi menyusup ke dalam
tubuhnya, ada nyawa-nyawa masuk ke raganya. Dan ia merasa begitu ringan, seperti ia
bayangkan pada orangyang sedang trans, seperti kelebihan tenaga untuk tubuhnya yang telah
menjadi kurus. Rasanya ia bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah kropos oleh
api, lalu di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari, melayang, entah apa yang
mengarahkan langkahnya. Dan ia sampai pada pintu terakhir.
(Saman, halaman 108-109)

Wis tidak mau ke Perabumulih, sebab ia khawatir orang-orang yang menyelidiki dirinya
mengintai pastoran. Berbahaya bagi Anson, kawannya, dan dia sendiri, serta gereja. Ia minta
diantar ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat. Di sana, ia berpisah dari Anson dan
teman-temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke tempat ia tidur. (Saman,
halaman 110)

Pada saat Saman dalam persembunyian untuk menghindari kejaran polisi, karena
Saman dituduh sebagai dalang dalam peristiwa yang terjadi di Lubukrantau, tiba-tiba Yasmin
datang menemui Saman. Yasmin membujuk Saman untuk melarikan diri ke luar negeri.
Saman merasa tidak mempunyai cukup waktu untuk menimbang-nimbang tawaran. Akhirnya
ia menyetujui usul itu, karena menurutnya semakin lama menunda keputusan, semakin sulit
untuk keluar dari negeri ini dan menghindari kejaran polisi.
Untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi Saman dalam usahanya untuk
melakukan pelarian ke luar negeri, pengarang memberikan solusi yaitu dengan memunculkan
tokoh yang bernama Yasmin dan Cok. Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari
kejaran polisi dengan mengirimnya ke New York. Mereka melarikan Saman keluar dari
Medan dengan cara melakukan penyamaran pada diri Saman. Yasmin telah menyiapkan
segala hal dengan rapi. Walaupun proses pelarian ini cukup berbahaya, tetapi Yasmin dan
Cok dapat melampaui rintangan itu dan berhasil melarikan Saman ke New York.
Perempuan dalam novel Saman  seperti Yasmin dan Cok di atas adalah cerminan
perempuan Indonesia pada tahun 1990-an. Jaman sudah semakin berkembang, perempuan
Indonesia pun turut mengalami kemajuan yang cukup pesat. Mereka mempunyai kepercayaan
diri dan pengetahuan luas, sehingga peran mereka tidak hanya sebagai istri atau ibu. Mereka
merupakan perempuan yang sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria. Saman sebagai
laki-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok, ketika Saman melakukan
persembunyian ke luar negeri. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan
dalam memilih peranan mereka. Tiga diantara empat karakter perempuan belum menikah
pada usia tiga puluhan dan peren mereka tidak sebatas istri atau ibu. Mereka bisa menikmati
pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak
hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka masing-
masing. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang
sama pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas
Yasmin dan Laila waktu remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadari umurku
sudah mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka masih kecil.
Cuma Laila yang agak terhafal karena ia sering mengirim surat. Kini Yasmin telah mengurus
segalanya agar aku pergi dari Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan
membawaku keluar dari Medan. Semula agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. Tapi
Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku
dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur rambut, dan mencabuti alisku agar
bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah
hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih seperti ia
biasa bekerja. (Saman,  halaman 175)

Selain itu, pemunculan tokoh dalam novel Saman seperti Laila, Cok, Shakuntala dan
Saman yang belum menikah pada usia tiga puluhan ini, merupakan gambaran dari pengarang
yang sampai sekarang belum menikah, bahkan ia memutuskan untuk tidak menikah.
Pengarang ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain,
kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia
juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya
hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam
pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubugan seks di luar pernikahan. Usaha yang
ingin disampaikan pengarang dapat dilihat dari pemunculan tokoh dalam
novel Saman seperti Shakuntala, dan Cok yang dapat melakukan hubungan seksual dengan
sejumlah laki-laki dan diantara mereka belum ada ikatan pernikahan. Selain itu, Yasmin
sebagai tokoh yang sudah mempunyai suami dapat melakukan hubungan seksual dengan
tokoh yang bernama Saman yang bukan suaminya sendiri. Hal ini tampak pada kutipan di
bawah ini.
Namun tak kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil: terbenam di
dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami berhimpit gemetar,
selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak
peduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya.
Ketika usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku
terlelap.
(Saman, halaman 177)
Usaha yang dilakukan Yasmin dan Cok dalam usahanya melarikan Saman ke luar
negeri untuk menghindari kejaran polisi di atas, merupakan gambaran dari kegiatan yang
pernah dilakukan oleh pengarang. Pengarang pernah menjadi aktivis yang memperjuangkan
kebebasan pers. Awalnya pengarang tidak berniat untuk menjadi seorang aktivis. Akan tetapi
pengarang merasa tersentuh setelah ia melihat keadaan teman-temannya yang terlibat secara
langsung di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam
persembunyian dari kejaran polisi. Pada saat itu pengarang berkedudukan hanya sebagai kurir
atau penghubung yang bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan. Dengan
penampilannya ia memang bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak
curiga akan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis, sosoknya cukup bersih dan
rapi. Hasilnya, sepak terjangnya sebagai seorang aktivis tidak pernah tercium oleh pihak
aparat.
Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik
dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang dalam novel Saman karya Ayu Utami yaitu
pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei
Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu
mendominasi perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan
oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini
sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik (problematic
hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini bukan semata-
mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan
perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu
memperoleh bentuk konkret di dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan
dunia tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan
kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu.

BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Eksistensi tokoh Wisanggeni/Saman terlihat dalam konflik yang dialami, bukan hanya
konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi
sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal, dia adalah seseorang yang
pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya
tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis.
Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya
dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk
meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang
tertindas.
2.      Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman Ayu
Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua hal
yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk
seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur
mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih
dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya,
ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia takut
tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salah
novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat
Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara
terbuka.
3.      Konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk
transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan akan kondisi
ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet. Dalam novel Saman tidak hanya
masalah hukum dan keadilan sosial saja yang dikritik, problematika kebudayaan timur pun
dibahas, terutama masalah keperawanan dan seksualitas. Novel Saman  tidak hanya menuntut
keadilan sosial dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka.
4.      Padangan dunia pengarang dalam novel Saman karya Ayu Utami yaitu pengarang
mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang
dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi
perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh
pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini
sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.

B.     Saran
Saran yang dapat diajukan berdsarkan penelitian ini adalah:
1.      Pembahasan secara keseluruhan terhadap penelitian ini belum dilaksanakan secara maksimal
sehingga diperlukan pengkajian secara lebih mendalam terhadap novel ini
2.      Novel Saman  karya Ayu Utami hendaknya dapat dikaji, dianalisis, dan dikembangkan
dengan menggunakan pendekatan yang lain.
3.      Hasil penelitian ini semoga bermanfaat bagi perkembangan apresiasi sastra Indonesia,
khususny apresiasi novel Indonesia, karangan pengarang Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Faruk. 1999 (a). Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____. 1999 (b). Strukturalisme – Genetik (Teori General, Perkembangan Teori, dan


Metodenya.Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia.

Jabrohim (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra.  Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Nugraheni E.W.Makna Totalitas Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar
Kayam: Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien
Goldmann http://www.uns.ac.id/cp/penelitian.php?act=det&idA=159   

Rachmat Djoko Pradopo. 2002. 002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Sapardi Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat


Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.


Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.

Umar Junus. 1986. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta:
Gramedia.

Yakob Sumardjo. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Zaenuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Anda mungkin juga menyukai