B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah eksistensi tokoh utama (Wisanggeni/Saman)?
2. Bagaimanakah lingkungan sosial-budaya pengarang (Ayu Utami)?
3. Bagaimanakah lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman?
4. Bagaimanakah pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman?
C. Tujauan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan eksistensi tokoh utama (Wisanggeni/Saman).
2. Mendeskripsikan lingkungan sosial-budaya pengarang (Ayu Utami).
3. Mendeskripsikan lingkungan Sosial, Budaya, dan Politik Novel Saman.
4. Mendeskripsikan pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan praktis. Secara
teoritis hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmu sosial khususnya sosiologi sastra.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran sastra
dalam mengapresiasi novel-novel Indonesia, khususnya dalam hal ini novel Saman karya
Ayu Utami.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat,
telaah tentang lembaga dan proses sosial (Damono 1978: 6). Seperti halnya sosiologi, sastra
juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha
manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis
disebut sosiologi sastra (Damono 1978: 6).
Istilah sosiologi sastra pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan pendekatan
sosiologis atau sosiokultur terhadap sastra (Damono 1978: 2). Menurut Damono (1978: 2),
ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan
yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka.
Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan
sastra. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode
yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam
lagi gejala di luar sastra.
Pendekatan sosiologi bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat, melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem
kehidupan yang pengarang sendiri ikut di dalam karya sastra menerima pengaruh dari
masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat bahkan seringkali
masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara
sastrawan itu sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya
pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus
membentuknya (Semi 1993: 73).
Lebih lanjut Goldmann mengemukakan bahwa semua aktivitas manusia merupakan
respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau
percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang
dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih
baik dengan dunia sekitarnya (Fananie 2000: 117).
Sosiologi sastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra (kesusastraan) merupakan
refleksi pada zaman karya sastra (kesusastraan) itu ditulis yaitu masyarakat yang melingkupi
penulis, sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya.
Wellek dan Warren (dalam Damono 1978: 3) mengemukakan tiga klasifikasi yang
berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1. Sosiologi pengarang. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar
belakang sosial, status pengarang, dan ideologi.
2. Sosiologi karya sastra. Masalah yang dibahas mengenai isi karya sastra, tujuan atau amanat,
dan hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan berkaitan dengan masalah
sosial.
3. Sosiologi pembaca. Membahas masalah pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap
pembaca.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren tidak jauh berbeda dengan
klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt dalam eseinya
yang berjudul “Literatur Society” (dalam Damono 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan
timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Pertama, konteks sosial pengarang. Ini
ada hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan
dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang
mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari
masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam
kepengarangan: sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan
(c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan
masyarakat, sebab masyarakat yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat: sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama mendapat
perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada
waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan
penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya, (c) genre sastra merupakan sikap sosial
kelompok tertentu, bahkan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk
menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai
cermin pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra
sebagai cermin masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal yang perlu dipertanyakan adalah
sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra
dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut
pandang ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi
dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu
dengan cara menghibur (Damono 1978: 3-4).
Selain itu Laurenson (dalam Fananie 2000: 133) mengemukakan ada tiga perspektif
yang berkaitan dengan sosiologi sastra, antara lain:
1. Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan
refleksi situasi pada masa satra tersebut diciptakan;
2. Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya;
3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau
peristiwa sejarah.
Menurut Wellek dan Warren (1995: 111) hubungan sastra dengan masyarakat dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan
situasi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi, produksi sastra, latar
belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan
di dalam karya sastra. Kedua, isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain tersirat dalam karya
sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga, permasalahan pembaca
dan dampak sosial sastra.
Menurut Goldmann (Endraswara 2003: 57) karya sastra sebagai struktur bermakna itu
akan mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan sebagai
anggota masyarakatnya. Sehingga karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika
totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja.
Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang. Oleh karena itu,
karya sastra dapat dipahami asalnya dan kejadiannya (unsur genetiknya) dari latar belakang
sosial tertentu. Keterkaitan pandangan dunia pengarang dengan ruang dan waktu tertentu
tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik. Oleh karena itu, muncullah teori yang
disebut dengan Strukturalisme Genetik.
Strukturalisme Genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang
kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, Strukturalisme Genetik tetap mengedepankan juga
aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar, tetap dianggap penting bagi
pemahamah karya sastra (Endraswara 2003: 60).
Dalam skripsi ini digunakan klasifikasi yang kedua dari Wellek dan Warren, yaitu
sosiologi karya sastra. Dalam klasifikasi sosiologi karya sastra ini akan dibahas mengenai
masalah-masalah sosial dan dalam kaitannya dengan isi karya sastra, tujuan, amanat dan hal-
hal lain yang tersirat dalam karya sastra. Jadi, dalam sosiologi karya sastra yang menjadi
pokok bahasan adalah karya sastra itu sendiri. Pendekatan sosiologi karya sastra akan
mengkaji karya sastra yang isinya bersifat sosial. Hal ini dikarenakan sastra sebagai hasil
seorang pengarang tidak bisa lepas dari kehidupan sosial suatu masyarakat.
2. Mengkaji kehidupan sosial budaya pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas
tertentu.
Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan problem kehidupan yang
pengarang sendiri ikut di dalamnya. Karya sastra memberi pengaruh pada masyarakat,
bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup pada suatu
zaman, sementara sastrawan itu sendiri merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak
dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus
membentuknya sebagai realitas sosial (Semi 1989: 73).
Sosial budaya terdiri atas dua kata yaitu sosial dan budaya. Sosial berarti berkenaan
dengan masyarakat. Budaya adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat.
Budaya dapat dikaitkan sebagai warisan yang dipandang sebagai karya yang tersusun secara
teratur, terbiasa, dan sesuai dengan tata tertib. Hasil budaya tersebut dapat berupa kemahiran
teknik, pikiran, gagasan, kebiasaan-kebiasaan tertentu atau hal-hal yang bersifat kebendaan.
Kata kebudayaan mengandung pengertian yang kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, cara hidup, dan lain-lain. kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat kebudayaan adalah hasil budi, daya kerja akal manusia dalam rangka mencukupi
kebutuhan hidupnya. Kebudayaan terbentuk karena adanya manusia, sedang manusia
merupakan anggota masyarakat. Simpulan yang diperoleh dari beberapa pengertian sosial
budaya di atas adalah segala sesuatu mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum,
adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia melalui akal budinya sebagai
makhluk sosial.
Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka lewat suatu kelaslah ia
berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Perubahan sosial dan politik itu
sendiri adalah ekspresi antagonis kelas, dan jelas mempengaruhi kesadaran kelas (Damono
1978: 42).
Gejolak batin pengarang menjadi hal yang sangat urgen dalam peristiwa munculnya
karya sastra. Sebagai manusia pengarang berusaha mengaktualisasikan dirinya, menaruh
minat terhadap masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, hidup, dan kehidupan melalui
karya sastra. Meskipun demikian, karya sastra berbeda dengan rumusan sejarah. Dalam
sebuah karya sastra, kehidupan yang ditampilkan merupakan peramuan antara pengamatan
dunia keseharian dan hasil imajinasi. Jadi, kehidupan dalam sastra merupakan kehidupan
yang telah diwarnai oleh pandangan-pandangan pengarang.
Latar belakang sosial budaya pengarang dapat mempengaruhi penciptaan karya-
karyanya, karena pada dasarnya sastra mencerminkan keadaan sosial baik secara individual
(pengarang) maupun secara kolektif. Seorang pengarang adalah anggota kelas sosial, maka
lewat suatu kelaslah ia berhubungan dengan perubahan sosial dan politik yang besar.
Perubahan sosial dan politik itu sendiri adalah ekspresi antanogis kelas, dan jelas
mempengaruhi kesadaran kelas (Sapardi Djoko Damono 1978:42).
Kelas sosial pengarang akan mempengaruhi bentuk dan karya yang diciptakannya,
sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1999 (a) :55) sekolah dan latar belakang keluarga
dengan nilai-nilai dan tekanannya mempengaruhi apa yang dikerjakan oleh sastrawan.
Dari pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan sosial budaya
pengarang akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Pengarang merupakan bagian dari
komunitas tertentu. Kehidupan sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi karya
sastranya. Pengarang menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan
mengeluarkan pikirannya tentang satu peristiwa. Kehidupan sosial budaya pengarang akan
memunculkan pandangan dunia pengarang karena pandangan dunia pengarang terbentuk dari
pandangan pengarang setelah berintereaksi dengan pandangan kelompok sosial masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan sosial budaya pengarang
akan mempengaruhi karya sastra yang ditulis. Karena pengarang merupakan bagian dari
komunitas tertentu. Sehingga kehidupan sosial budaya pengarang akan dapat mempengaruhi
karya sastranya. Pengarang bukan hanya penyalur dari suatu pandangan dunia kelompok
masyarakat, tetapi juga menyalurkan reaksinya terhadap fenomena sosial budaya dan
mengeluarkan pikirannya tentang satu peristiwa. Secara singkat, kehidupan sosial budaya
pengarang akan memunculkan pandangan dunia pengarang, karena pandangan dunia
pengarang terbentuk dari pandangan pengarang setelah ia berintereaksi dengan pandangan
kelompok sosial masyarakat pengarang.
3. Mengkaji latar belakang sosial sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan
oleh pengarang.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang
serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya
sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Sebuah karya sastra berakar pada kultur
tertentu dan masyarakat tertentu (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 78).
Karya sastra yang besar menurut Goldman (dalam Fananie 2000: 165) dianggap
sebagai fakta sosial dari subjek tran-individual karena merupakan alam semesta dan
kelompok manusia. Itulah sebabnya pandangan dunia yang tercermin dalam karya sastra
terikat oleh ruang dan waktu yang menyebabkan ia bersifat historis.
Bonald (dalam Wellek dan Warren 1995: 110) mengemukakan hubungan antara sastra
erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra ada hubungan dengan perasaan masyarakat. Sastra
mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan secara keseluruhan kehidupan zaman
tertentu secara nyata dan menyeluruh.
Grabstein (dalam Damono 1984: 4) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat
dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang
menghasilkannya. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya dan tidak
hanya menyoroti karya sastra itu sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal
balik antara faktor-faktor sosial kultural dan merupakan objek kultural yang rumit.
Latar belakang sejarah, zaman dan sosial masyarakat berpengaruh terhadap proses
penciptaan karya sastra, baik dari segi isi maupun bentuknya atau strukturnya. Suatu
masyarakat tertentu yang menghidupi pengarang dengan sendirinya akan melahirkan suatu
warna karya sastra tertentu pula (Iswanto dalam Jabrohim 1994: 64).
Struktiralisme genetik merupakan embrio penelitian sastra dari aspek sosial yang
kelak disebut sosiologi sastra. Hanya saja, srukturalisme genetik tetap mengedepankan juga
aspek struktur. Baik struktur dalam maupun struktur luar tetap dianggap penting bagi
pemahaman karya sastra.
Menurut Suwardi Endraswara (2003: 60) yang terpenting dari kajian strukturalisme
genetik adalah karya sastra yang mampu mengungkapkan fakta kemanusiaan. Fakta ini
mempunyai unsur yang bermakna, karena merupakan pantulan responrespaon subyek kolektif
dan individual dalam masyarakat. Subyek tersebut selalu berinteraksi dalam masyarakat
untuk melangsungkan hidupnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yaitu memaparkan data secara logika ilmiah bukan berupa angka, jumlah, dan prosentase agar
mudah dipahami dan disimpulkan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra
khususnya teori Marxis. Dalam melakukan kajian dengan metode strukturalisme genetik,
langkah-langkah yang ditawarkan oleh Laurensin dan Swingewood yang disetujui oleh
Goldman (dalam Jabrohim 2001: 64-65) sebagai berikut.
a. Peneliti sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti strukturnya untuk
membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan
holistik.
b. Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra dihubungkan
dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang
berhubungan dengan pandangan dunia pengarang.
c. Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian
kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya
mencapai premis general.
3. Sumber Data
Data dalam penelitian ini bersumber dari novel Saman karya Ayu Utami. Penerbit
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta 1998.
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari petikan di atas betapa Wis ingin sekali ingin membantu warga dusun Sei
kumbang dengan cara mengajukan beberapa proposalnya agar dapat dana untuk membantu
meringankan warga Sei Kumbang. Keinginan Wis pun akhirnya dikabulkan oleh pastor
kepala. Dari sinilah, Wis semakin terlibat bukan hanya membantu warga tetapi juga terlibat
dalam konflik-konflik yang dialami oleh penduduk.
Setelah kejadian pembakaran oleh penduduk Sei Kumbang. Wis kemudian ditangkap.
Dan dijebloskan ke penjara. Di dalam penjara Wis mengalami siksaan dan tekanan yang luar
biasa dari aparat agar mau mengaku apa yang dituduhkan oleh aparat yang dituduh telah
mengahasut penduduk. Tuduhan-tuduhan politis dan SARA bahwa dia seorang komunis yang
berkedok rohaniawan dilayangkan pada Wis. Mau tidak mau akibat sikasaan akhirnya Wis
mengaku dan membuat karangan tentang dirinya. Bahwa memang benar tuduhan-tudahan
yang dialamatkan pada dia semua itu.
“Tapi bagaimanapun yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu
tetap muncul setiap kali ia di giring ke ruang interrogáis, didudukan atau dibarkan berdiri,
sementara ia mendiga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanza
selalu ditutup. Kadang mereka menyundut dengan bara rokok, menjepit jari-jarinya,
mencambuknya meski tidak di dada, menyetrum lehernya, atau Cuma menggunakan kepalan
dan tendangan.” (Saman, halaman 106)
“Rasa sakit yang luar biasa akhirnya menyebabkan ia mengarang ceritayang sebelumnya tak
pernah ia pikirkan sama sekali, cerita yang menyenangkan orang-orang itu: saya
sesungguhnyaadalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor. Di sebuah negeri di
Amerika Selatan, mereka menyebutnya republik pisang atau republik bananas, ia
mempelajari teologi pembebasan dan ia kini datang untuk mewartakannya.” (Saman, halaman
107).
Konflik demi konflik mulai dari kekejaman aparat yang membakar dusun, sisksaan
fisik yang ia terima hingga perasaan keingintahuan kabar dari orang-orang dusun yang
membakar kantor polisi dan pabrik dan nasib Upi gadis gila yang ia rawat, tak tertolong
ketika dusun dibakar membuat Wis menanyakan tentang Tuhan. Dalam kondisi inilah Wis
mengalami konflik batin akan keberadaan Tuhan yang selama ini dia percaya.
“Ia merasa telah mati. Dan ia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. Kristus tidak
menebusnyasebab ia kini berada dalam jurang maut, sebuah lorong gelap yang sunyi yang
mencekam, dan ia dalam proses jatuh dalam sumur yang tak berdasar, dengan kecepatan
tinggi.” (Saman, halaman 105).
“Abang (Wis) pasti cepat sembuh. Tuhan menyelamatkan abang berkali-kali, pemuda itu
memegang lengannya sebelum pergi. Tapi Wis diam saja. Ia hanya berpikir. Tidak Anson.
Bukan Tuhan. Kalau Tuhan, kenapa dia tidak menyelamatkan Upi……….”. (Saman,
halaman 115)
Dari kutipan dan pemaparan di atas, konflik yang dialami Wis bukan hanya konflik
eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi
sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal, dia adalah seseorang yang
pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya
tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis.
Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya
dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk
meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang
tertindas.
“Hirarki gereja hanya mendengar bahwa Pastor Athanasius Wisanggeni menghilang.
Sebagiian orang mengira dia sudah matiketika disekap di pabrik..
Dan ia mengganti identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan Kira-kira dua tahun
kemudian. Ia memilih nama: Saman. Tanpa alasan khusus, tiba-tiba saja itu yang terlintas
dibenaknya.” ( Saman, halaman 117).
Petani di Sei Kumbang dianggap oleh PTP perseroan yang mengelola perkebunan
karet berhutang kepada PTP atas benih, pupuk dan pembukaan lahan transmigrasi yang
ditanggung oleh PTP. Sebagai angsuran hutang lima sampai sembilan juta, maka penduduk
wajib menjual hasil perkebunan kepada PTP. Bersamaan dengan ini meningkat pula
pembayaran tunai dari tuan tanah kepada petani yang menyebabkan pergantian pembayaran
dari bentuk barang kepada pembayaran tunai. Dengan demikian, hal tersebut dapat
meningkatkan tingkat pembayaran secara umum. Sementara itu, petani hanya sanggup
membayar secara tunai dengan cara menjual hasil produksinya. Hal ini tentu saja sangat
membebani penduduk transmigrasi Sei Kumbang sehingga banyak penduduk tidak mampu
untuk mencukupi kebutuhan pokok mereka.
“Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk dan
pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah,
untuk dicicil dua puluh lima tahun. Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan
pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang” (Saman, halaman 81).
Teror terhadap penduduk semakin gencar agar tanah mereka dijual ke perseroan baru
pengganti PTP yang bangkrut. Teror dan intimidasi dilakukan pertama-tama dilakukan
dengan menjebol rantai rumah Upi gadis gila yang dirawat Wis lalu disusul dengan merusak
dan merobohkan kincir angin yang dibuat Wis dan penduduk sebagai rumah asap dan
pembangkit listrik mini bagi penduduk Sei Kumbang karena di tempat itu Belum teraliri
listrik. Tak hanya para penduduk yang merasa sedih, tapi Wis juga teramat terpukul.
“ Sejak tiga tahun lalu, instalasi kecil itu menghasilkan dinamo 5000 watt. Dusun yang kini
terdiri sekitar delapan puluh rumah dan langgar itu telah diterangi lampu dan diramaikan
bunyi radio. Listrik telah menjadi keajaiban tersendiri bagi penduduk dusun. Tapi kini
menara kincir itu dirobohkan” (Saman, halaman 91).
Petugas yang datang memberitahu penduduk gagal untuk membujuk agar mematuhi
kesepakatan pergi dengan mengancam akan menggusur perkebunan karet milik penduduk
dengan buldózer.
“Perusahaan akan membagikan bibit sawit dan orang-orang harus menanamnya. Jika dalam
sebulan tidak menurut, terpaksa buldozer-buldozer membabat perkebunan itu”. (Saman,
halaman 93).
Penggusuran dusun yang pernah diancamkan oleh para petugas atas perintah
Gubernur memang tertunda berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. Namun perusahaan baru
menggunakan teror dan intimidasi terhadap warga yang jauh lebih mengerikan. Puncaknya
adalah ketika mereka merobohkan pohon-pohon karet dan oknum satpam suruhan perusahaan
kebun memperkosa istri Anson di rumahnya, ketika Anson dan para warga sedang berkumpul
untuk membahas perkebunan mereka.
Penduduk dengan spontan mengejar pelaku dan berhasil membunuh dari salah satu
pelaku. Anson yang begitu geram memimpin warga untuk meyerang dan membakar pos.
Wisanggeni tak sanggup menceggah kemarahan penduduk itu terutama Anson. Sementara
para warga khususnya Ibu-ibu dan anak perempuan dikumpulkan di surau. Tak lama setelah
para warga laki-laki pergi meyerbu pos datang tiga jip serta sebuah mobil bak terbuka.
Petugas akhirnya menangkap Wis, sementara dusun Sie Kumbang dibakar mulai dari rumah
asap dan rumah-rumah penduduk.
“ Semenit kemudian Wis melihat api muncul dari rumah asap, lalu rumah petak keluarga
Argani, lalu rumah-rumah yang lain. Ia (Wis ) menjerit teringat Upi yang belum Ia sempat
gabungkan dengan ibu-ibu. Ia melompat untuk menyelamatkan gadisnya (Upi). Tapi dua
orang dengan seragam hitam-hitam itu menangkap dan mengunci lengannya, mendorong
punggungnya hingga dada dan pelipisnya menghantam tanah, dan memborgol pergelangnnya
sebelum ia sempat mengerang nyeri.” (Saman, halaman 104).
Pemaparan konflik sosial dan politik yang terjadi pada penduduk Sei Kumbang
mengenai sebelum berada atau memutuskan menjadi transmigran di perkampungan tersebut,
mereka berharap agar kehidupan mereka lebih baik daripada di tempat asalnya. Namun
kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Awal dari pembukaan lahan mereka telah
menanggung hutang yang tak pernah mereka bisa bayar terhadap perusahaan yang memberi.
Tanah dan perkebunan mereka yang seharusnya dapat dimanfaatkan dan menjadi sumber
penghidupan di monopoli oleh perseroan yang telah menghutangi mereka. Di sini, dapat
dilihat betapa miskin dan keterbelakangannya penduduk di Sei Kumbang. Hal ini terbukti
pada listrik belum masuk dusun mereka, padahal jarak dusun ke Perabumulih yang menjadi
kota minyak hanya tujuh puluh kilometer.
Keistimewaan Saman memang kemampuannya untuk bercerita tanpa beban., ia hanya
asyik bercerita. Bahkan, ketika ada sisipan-sisipan pemikiran tentang Tuhan, agama, negara,
hubungan mengenai ikon-ikon generasi Orde Baru yaitu generasi yang terlahir dan besar
selama Orde Baru, yang dibuai dengan kelimpahan materi atau informasi dan hegemoni
pembangunanisme.
Dalam novel Saman tidak hanya masalah hukum dan keadilan sosial saja yang
dikritik, problematika kebudayaan timur pun dibahas, terutama masalah keperawanan dan
seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan peningkatan status
perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka.
Saman menceritakan tentang persoalan antara perempuan dengan seksualitas. Jika
laki-laki tidak pernah merasakan ada persoalan dengan seksualitasnya, perempuan
sebaliknya, karena seksualitas perempuan selalu dipertanyakan jika dia ingin terjun ke sektor
publik. Laki-laki dapat dengan lugas dan terbuka mengungkapkan hasratnya dan tentu saja
tidak ada orang yang akan mempertanyakan termasuk pasangannya. Namun apa yang terjadi
dengan perempuan, untuk mengungkapkan perasaan sukanya pada laki-laki saja perempuan
menemui kendala, masyarakat tidak mudah menerima hal tersebut inilah yang kemudian
terlihat dalam Saman, yaitu bahwa perempuan memiliki hasrat yang sama dengan laki-laki
itu bukanlah sesuatu yang buruk. Saman berhasil menggambarkan pemberontakan hak
seksual perempuan untuk menggunakan bahasa tubuh. Saman merangkum persoalan seks
dan perempuan, menggambarkan perempuan apa adanya, dan semua didefinisikan secara
vulgar. Novel Saman berani mendobrak tabu yang sangat kuat membebani kaum hawa.
Dalam Saman, seks bukanlah bumbu cerita tetapi menjadi bagian dalam cerita itu sendiri.
Dengan ringan para tokoh berbicara tentang seksualitas begitu terbuka, mereka berani
menunjukkan hasratnya. Sesuatu yang selama ini dianggap tabu bagi perempuan ternyata
ditampilkan dengan cukup memikat bahkan mengejutkan.
Seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata
mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh
perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan pada pihak yang kalah.
Perempuan dalam Saman adalah cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1900-an, yang
masih mengalami ketidakadilan dan penindasan yaitu kurangnya perlindungan hukum untuk
menangani kekerasan seksual, ataupun norma masyarakat yang membatasi penggunaan hak
seksual perempuan. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam
memililiki peran mereka. Tiga diantaranya empat karakter perempuan belum menikah pada
usia tiga puluhan dan peran mereka tidak sebatas istri atau ibu. Mereka bisa menikmati
pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak
hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka masing-
masing.
Perempuan dalam novel Saman sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria.
Dalam novel ini Saman sebagai lak-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok.
Saman menjadi buronan karena kegiatan-kegiatan LSMnya.
Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari kejaran polisi dan
mengirimnya ke New York. Proses pelarian ini cukup berbahaya, bahkan Saman mengakui
“Dua cewek ini lumayan tangguh dan barangkali menganggap ketegangan sebagai
petualangan.” Meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai oleh Shakuntala dan teman-
temannya, masih ada juga ketidakadilan bagi perempuan Indonesia di tahun 1990-an, yang
tercermin dalam novel Saman. Contoh adalah Upi, gadis Lubukrantau yang menderita
kelainan jiwa dan kelainan seks. Pemerintah dan masyarakat sekitar tidak merawat dan
melindungi gadis ini. Tidak ada fasilitas kesehatan dari pemerintah untuk merawat orang-
orang seperti Upi, dan juga tidak ada perlindungan hukum dan keadilan untuk Upi. Para
lelaki bisa seenaknya saja memanfaatkannya atau mempermainkannya, dan tidak ada hukum
yang melarang perbuatan mereka. Keadaan ini dikritik oleh Ayu Utami dengan cara
menampilkan tokoh Saman yang ditampilkan sebagai seorang pastor. Saman bukan hanya
tidak memanfaatkan Upi, ia bahkan membuat rumah perlindungan yang lebih bagus untuk
Upi, dan selalu memikirkan keselamatannya.
Cerita dalam novel Saman berputar diantara empat perempuan yaitu Shakuntala,
Yasmin, Laila, Cok. Novel ini mengisahkan masa kecil mereka sampai saat mereka berumur
tiga puluhan. Dalam novel ini juga dijabarkan mengenai pencarian identitas diri mereka
sebagai perempuan, konflik batin mereka tentang masalah seksual dan juga norma
masyarakat yang tidak mereka setujui. Selain kisah keempat perempuan tersebut, juga
diceritakan mengenai perjuangan Saman dalam membantu masyarakat Lubukrantau, masalah
politik dan sosial di masa Orde Baru, iman kepada Tuhan yang diuji, dan bahkan juga ada
bagian surealistis yang menceritakan masa lalu Saman di Perabumulih.
Saman juga tidak tahan melihat kemunduran petani yang terjadi pada penduduk
transmigrasi Sei Kumbang yang harus pergi meninggalkan desa karena harga karet mereka
terus menerus diserang cendawan putih ataupun merah. Orang-orang tidak bisa lagi
menggantungkan diri dari hasil panen karet. Saman berusaha untuk memperbaiki keadaan
petani di Lubukrantau.
Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh
Saman adalah dengan cara memunculkan tokoh Pater Wastenberg, Pak Sarbini, dan Sudoyo.
Pater Wastenberg adalah pastor kepala di gereja tempat Saman diangkat menjadi pastor.
Pastor Wastenberg memberikan kesempatan kepada Saman untuk melakukan rencana
memperbaiki keadaan petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang. Walaupun awalnya Pater
Wastenberg tidak setuju atas keputusan Saman untuk melakukan hal ini, karena ia dianggap
telah menyepelekan pelajaran gereja. Ia kerap dipersalahkan karena acap meninggalkan
kewajiban itu. Ia lebih sering pergi ke penduduk transmigrasi Sei Kumbang daripada
melayani dan memelihara iman umat di sana. Akan tetapi setelah mendengar alasan-alasan
yang diucapkan Saman, Pater Wastenberg akhirnya menyetujui akan keputusan yang diambil
oleh Saman. Bahkan Pater Wastenberg berani mengusulkan agar Uskup memberi Saman
pekerjaan kategorial di perkebunan, jika Saman berhasil dalam usahanya. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini.
Si pater Belanda mengamati Wis, akhirnya dengan iba menyerahkan kepada pemuda itu. Apa
yang bisa saya lakukan untukmu? tanpa restu Bapa Uskup, tak ada bujet untuk rencana-
rencanamu. Uang sakumu amat kecil, saya kira. Namun, agak untung juga bahwa kamu
memilih menjadi imam praja, sehingga kamu bisa mengelola uang lepas dari ikatan ordo. Jika
kamu bisa mengusahakan dana sendiri satu bulan. Satu minggu sisanya kamu harus di ada
paroki. Jika saya melihat hasilnya, saya berani mengusulkan agar Uskup memberimu
pekerjaan kategorial di perkebunan.
(Saman, halaman 82)
Selain itu, pengarang juga memunculkan tokoh bernama Sudoyo yang merupakan
orang tua Saman. Sudoyo mengabulkan permohonan yang diajukan Saman yaitu dengan
memberikan modal kepada Saman sebesar lima atau enam juta rupiah. Dengan pemberian
modal tersebut Saman bisa menjalankan rencananya untuk memperbaiki pertanian penduduk
transmigrasi Sei Kumbang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Wis berterima kasih sehingga ia tidak tahu harus mengucapkan apa. Setelah mandi, yang
pertama kali ia kerjakan adalah menulis surat kepada ayahnya. Kali ini, tak hanya berisi cerita
dan kerinduan seperti biasanya, namun juga permohonan agar si ayah memberinya modal,
sekitar lima atau enam juta rupiah, bukan jumlah yang besar dari tabungan bapaknya.
(Saman, halaman 83)
Ayahnya memberi balasan setuju. Lalu Wis kembali ke Lubukrantau. Upi menjerit-njerit
senang ketika mendengar suara pemuda itu. Tapi ia menemui gadis itu sebentar saja, sebab ia
hendak membicarakan sesuatu yang serius dengan ibu dan abangnya.
(Saman, halaman 83)
Setelah semuanya terkumpul Saman menawarkan kerja sama dengan keluarga Argani
yang luasnya dua hektar. Mereka menyetujui rencana Saman. Keesokan harinya Saman
bersama keluarga Argani mulai memperbaiki lahan, memusnahkan tanaman yang sudah tidak
bisa diselamatkan, dan menanami kembali dengan pohon karet yang baru. Berkat bantuan
mereka perkebunan karet penduduk transmigrasi Sei Kumbang ini menjadi lebih baik. Hal ini
tampak pada kutipan di bawah ini.
Waktu itu petani Lubukrantau sudah mulai menakik getah karet muda yang mereka enam
tahun lalu, sebagai ganti pohon-pohon yang tumbang dimakan kapang. Bibit-bibit PR dan
BPM itu sebagian dibeli Wis dan dibiakannya sendiri. Sebelumnya, ketika sebagian pohon-
pohon belum siap disadap, orang-orang menderes tanaman tua serta memanen kedele dan
tumbuhan tumpang sari. Lalu berkat bantuan Pak Sarbini, bundel-bundel smoked sheet yang
diproduksi rumah asap sederhana di dusun itu cukup mendapatkan pasarnya.
(Saman, halaman 87)
Ketika kebun karet milik penduduk Sei Kumbang sudah mulai membaik. Saman
memenuhi permintaan Pater Wastenberg untuk membantunya di Perabumulih setiap satu
pekan dalam sebulan. Saat Saman kembali ke Lubukrantau terjadi peristiwa yang menimpa
Upi. Dua lelaki menjebol pintu rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini telah berumur
dua puluh satu tahun dan mereka juga menghancurkan menara kincir yang dulu dibangun
sebagai pembangkit listrik mini buat rumah asap. Anson yang merupakan kakak Upi merasa
yakin bahwa pemerkosaan dan perobohan menara kincir itu adalah sebagai salah satu bentuk
teror dari orang-orang yang hendak merebut lahan penduduk transmigrasi Sei Kumbang.
Orang-orang itu sengaja melakukannya untuk mengancam penduduk transmigrasi Sei
Kumbang agar mau menyerahkan kebun mereka untuk dijadikan kebun kelapa sawit, karena
ada sebagian penduduk Sei Kumbang yang tidak menyetujui usul tersebut. Saman berusaha
membantu untuk membebaskan penduduk transmigrasi Sei Kumbang dari tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui PT ALM. Akan tetapi
Saman malah dituduh sebagai orang yang telah mengkristenkan orang-orang Lubukrantau
dan mengajari keluarga Argani berburu dan makan babi hutan.
Melihat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum pengusaha melalui
PT ALM, akhirnya Saman melakukan perlawanan dengan cara Saman memutuskan untuk
pergi ke Palembang, Lampung, dan Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-
data tentang dusun mereka yang telah maju. Saman juga mengunjungi kantor-kantor surat
kabar dan LSM. Setelah koran-koran mulai menulis serta mengirim wartawan ke lahan
transmigrasi Sei Kumbang, orang-orang yang akan menggusur dusun tersebut tidak lagi
bolak-balik dengan membawa blanko kosong. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Karena merasa persoalan tak akan segera selesai, Wis pergi ke Palembang, Lampung, dan
Jakarta, setelah memotret desa dan mengumpulkan data-data tentang dusun mereka yang
tengah maju. Ia mengunjungi kantor-kantor surat kabar dan LSM. Pada setiap orang yang
menerimanya, ia bercerita panjang lebar dengan bersemangat dan menyerahkan materi berita.
Ia membujuk: kalau bisa datanglah sendiri dan tengok desa kami. Setelah koran-koran mulai
menulis serta mengirim wartawannya ke lahan terpencil itu, empat lelaki itu tidak lagi bolak-
balik dengan lembaran blanko kosong. Usaha menggusur dusun memang jadi tertunda,
berbulan-bulan, bahkan hampir setahun.
(Saman, halaman 92-93)
Usaha yang dilakukan oleh Saman untuk mengatasi permasalahan di atas merupakan
gambaran dari kegiatan pengarang yang memiliki profesi sebagai wartawan. Kegiatan yang
dilakukan oleh Saman seperti memotret desa, dan mengumpulkan data-data di atas
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang wartawan ketika ia akan menulis berita.
Pengarang bisa menceritakan secara jelas tentang kegiatan seorang wartawan. Sebelum
menjadi penulis novel, pengarang pernah menjadi wartawati di majalah Matra dan Forum. Ia
juga menjadi salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen. Pengarang lebih banyak menulis
esei serta reportase dari pada menulis fiksi. Pengarang juga pernah menjadi wartawan di
majalah khusus trend pria. Bahkan ia sudah mengisi kolom tetap, sketsa, di SK Berita Buana,
yang isinya berupa renungan tentang berbagai soal politik. Menurutnya menulis novel
merupakan cara untuk mengeksplorasi bahasa Indonesia, bahasa yang masih muda, yang
kurang mungkin dilakukannya sebagai wartawan. Seorang wartawan dituntut untuk
memperhitungkan publik baik latar belakang, pengetahuan, maupun tingkat emosionalnya.
Ditambah lagi wartawan bisa keluar dari fakta yang menurut pengarang dilematis. Jadi sulit
untuk bisa mengembangkan bahasa yang eksploratif.
Usaha yang dilakukan oleh Saman ternyata hanya bisa menunda usaha penggusuran
dusun selama beberapa bulan saja bahkan hampir setahun. Akan tetapi orang-orang tersebut
menggunakan cara lain supaya penduduk transmigrasi Sei Kumbang mau melepaskan
tanahnya. Tindakan yang mereka lakukan adalah dengan cara menggunakan kekerasan yang
dilakukan oleh aparat militer. Aparat militer melakukan tindakan yang sewenang-wenang.
Mereka meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, Saman dan teman-temannya
berusaha untuk melawan dan memprotes tindakan tersebut. Akan tetapi protes dan
perlawanan yang dilakukan oleh Saman membuat dirinya ditangkap dan dimasukkan ke
ruang penyekapan. Sedangkan Anson dan teman-temannya berhasil lolos dari kejaran aparat
militer. Selama di ruang penyekapan Saman selalu disiksa untuk dimintai keterangan tentang
keberadaan Anson dan teman-temannya. Saman sudah putus asa akan keadaan yang
menimpanya.
Permasalahan mengenai penindasan yang dilakukan oleh aparat militer pada
penduduk Sei Kumbang di atas merupakan gambaran atau cerminan dari peristiwa yang
terjadi pada masa rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto pada waktu novel tersebut
ditulis. Pada masa Orde Baru ini muncul konflik persengketaan tanah dan kerusuhan yang
terjadi di Medan. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat yaitu akan
diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Masyarakat tidak setuju akan perubahan
itu, hal ini membuat oknum penguasa Sei Kumbang melakukan tindakan sewenang-wenang
yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Mereka menggunakan kekerasan
untuk mempengaruhi pikiran petani penduduk transmigrasi Sei Kumbang dengan cara
meneror, menindas, memperkosa, bahkan membunuh.
Solusi yang diberikan oleh pengarang untuk mengatasi permasalahan yang sedang
dihadapi oleh Saman yaitu dengan cara memunculkan tokoh yang bernama Anson. Anson
berhasil melarikan Saman dari ruang penyekapan dan mengantarkannya ke rumah suster-
suster Boromeus di Lahat untuk menjalani perawatan. Hal ini tampak pada kutipan di bawah
ini.
Tapi didengarnya suara-suara itu. Betul, suara-suara yang dirindukannya, yang meninggalkan
dia sejak dipenjara. Makin lama makin ramai di sekelilingnya, seperti nyamuk, seperti
membangunkan atau membingungkannya. Lalu ia merasa ada energi menyusup ke dalam
tubuhnya, ada nyawa-nyawa masuk ke raganya. Dan ia merasa begitu ringan, seperti ia
bayangkan pada orangyang sedang trans, seperti kelebihan tenaga untuk tubuhnya yang telah
menjadi kurus. Rasanya ia bisa terbang. Ia bangkit dan menjebol pintu yang telah kropos oleh
api, lalu di lorong yang mulai terbakar. Ia berlari, terus berlari, melayang, entah apa yang
mengarahkan langkahnya. Dan ia sampai pada pintu terakhir.
(Saman, halaman 108-109)
Wis tidak mau ke Perabumulih, sebab ia khawatir orang-orang yang menyelidiki dirinya
mengintai pastoran. Berbahaya bagi Anson, kawannya, dan dia sendiri, serta gereja. Ia minta
diantar ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat. Di sana, ia berpisah dari Anson dan
teman-temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke tempat ia tidur. (Saman,
halaman 110)
Pada saat Saman dalam persembunyian untuk menghindari kejaran polisi, karena
Saman dituduh sebagai dalang dalam peristiwa yang terjadi di Lubukrantau, tiba-tiba Yasmin
datang menemui Saman. Yasmin membujuk Saman untuk melarikan diri ke luar negeri.
Saman merasa tidak mempunyai cukup waktu untuk menimbang-nimbang tawaran. Akhirnya
ia menyetujui usul itu, karena menurutnya semakin lama menunda keputusan, semakin sulit
untuk keluar dari negeri ini dan menghindari kejaran polisi.
Untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi Saman dalam usahanya untuk
melakukan pelarian ke luar negeri, pengarang memberikan solusi yaitu dengan memunculkan
tokoh yang bernama Yasmin dan Cok. Yasmin dan Cok membantu Saman melarikan diri dari
kejaran polisi dengan mengirimnya ke New York. Mereka melarikan Saman keluar dari
Medan dengan cara melakukan penyamaran pada diri Saman. Yasmin telah menyiapkan
segala hal dengan rapi. Walaupun proses pelarian ini cukup berbahaya, tetapi Yasmin dan
Cok dapat melampaui rintangan itu dan berhasil melarikan Saman ke New York.
Perempuan dalam novel Saman seperti Yasmin dan Cok di atas adalah cerminan
perempuan Indonesia pada tahun 1990-an. Jaman sudah semakin berkembang, perempuan
Indonesia pun turut mengalami kemajuan yang cukup pesat. Mereka mempunyai kepercayaan
diri dan pengetahuan luas, sehingga peran mereka tidak hanya sebagai istri atau ibu. Mereka
merupakan perempuan yang sudah tidak terlalu bergantung kepada kaum pria. Saman sebagai
laki-laki malah ditolong dan dilindungi oleh Yasmin dan Cok, ketika Saman melakukan
persembunyian ke luar negeri. Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan
dalam memilih peranan mereka. Tiga diantara empat karakter perempuan belum menikah
pada usia tiga puluhan dan peren mereka tidak sebatas istri atau ibu. Mereka bisa menikmati
pendidikan dan bebas menentukan sendiri profesi mereka, melakukan sesuatu yang tidak
hanya berguna bagi masyarakat, tetapi juga bagi perkembangan kepribadian mereka masing-
masing. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang
sama pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas
Yasmin dan Laila waktu remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadari umurku
sudah mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka masih kecil.
Cuma Laila yang agak terhafal karena ia sering mengirim surat. Kini Yasmin telah mengurus
segalanya agar aku pergi dari Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan
membawaku keluar dari Medan. Semula agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. Tapi
Yasmin nampaknya percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku
dengan serius, menempel kumis palsu, mencukur rambut, dan mencabuti alisku agar
bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah
hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapih seperti ia
biasa bekerja. (Saman, halaman 175)
Selain itu, pemunculan tokoh dalam novel Saman seperti Laila, Cok, Shakuntala dan
Saman yang belum menikah pada usia tiga puluhan ini, merupakan gambaran dari pengarang
yang sampai sekarang belum menikah, bahkan ia memutuskan untuk tidak menikah.
Pengarang ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain,
kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia
juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya
hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam
pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubugan seks di luar pernikahan. Usaha yang
ingin disampaikan pengarang dapat dilihat dari pemunculan tokoh dalam
novel Saman seperti Shakuntala, dan Cok yang dapat melakukan hubungan seksual dengan
sejumlah laki-laki dan diantara mereka belum ada ikatan pernikahan. Selain itu, Yasmin
sebagai tokoh yang sudah mempunyai suami dapat melakukan hubungan seksual dengan
tokoh yang bernama Saman yang bukan suaminya sendiri. Hal ini tampak pada kutipan di
bawah ini.
Namun tak kupahami, akhirnya justru akulah yang menjadi seperti anak kecil: terbenam di
dadanya yang kemudian terbuka, seperti bayi yang haus. Tubuh kami berhimpit gemetar,
selesai sebelum mulai, seperti tak sempat mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak
peduli, ia menggandengku ke kamar. Aku tak tahu bagaimana aku akhirnya melakukannya.
Ketika usai aku menjadi begitu malu. Namun ada perasaan lega yang luar biasa sehingga aku
terlelap.
(Saman, halaman 177)
Usaha yang dilakukan Yasmin dan Cok dalam usahanya melarikan Saman ke luar
negeri untuk menghindari kejaran polisi di atas, merupakan gambaran dari kegiatan yang
pernah dilakukan oleh pengarang. Pengarang pernah menjadi aktivis yang memperjuangkan
kebebasan pers. Awalnya pengarang tidak berniat untuk menjadi seorang aktivis. Akan tetapi
pengarang merasa tersentuh setelah ia melihat keadaan teman-temannya yang terlibat secara
langsung di Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam
persembunyian dari kejaran polisi. Pada saat itu pengarang berkedudukan hanya sebagai kurir
atau penghubung yang bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan. Dengan
penampilannya ia memang bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak
curiga akan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis, sosoknya cukup bersih dan
rapi. Hasilnya, sepak terjangnya sebagai seorang aktivis tidak pernah tercium oleh pihak
aparat.
Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik
dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang dalam novel Saman karya Ayu Utami yaitu
pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei
Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu
mendominasi perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan
oleh pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini
sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik (problematic
hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini bukan semata-
mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan
perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu
memperoleh bentuk konkret di dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan
dunia tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan
kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Eksistensi tokoh Wisanggeni/Saman terlihat dalam konflik yang dialami, bukan hanya
konflik eksternal saja namun konflik internal atau kejiwaan dengan dirinya sendiri pun terjadi
sehingga ia menanyakan tentang keberadaan Tuhan. Padahal, dia adalah seseorang yang
pernah belajar teologi dan seorang rohaniawan yang tak lagi diragukan akan keimanannya
tentang Tuhan. Dari konflik itulah akhirnya membuat perubahan drastis dalam diri Wis.
Dengan alasan politis dan keamanan dirinya Wis menghilang dan mengganti namanya
dengan nama Saman lalu melarikan diri ke luar negeri. Dia juga memutuskan untuk
meninggalkan imamatnya demi mejadi seorang aktivis di antara kaum miskin papa yang
tertindas.
2. Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman Ayu
Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua hal
yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk
seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur
mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih
dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya,
ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia takut
tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salah
novel Saman malah menjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat
Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara
terbuka.
3. Konflik yang terkadung dalam novel Saman adalah pertentangan antara penduduk
transmigran Sei Kumbang sebagai buruh perkebunan karet yang tertekan akan kondisi
ekonomi akibat hutang dan monopoli perdagangan karet. Dalam novel Saman tidak hanya
masalah hukum dan keadilan sosial saja yang dikritik, problematika kebudayaan timur pun
dibahas, terutama masalah keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut
keadilan sosial dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka.
4. Padangan dunia pengarang dalam novel Saman karya Ayu Utami yaitu pengarang
mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang
dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi
perempuan. Lebih dari itu pengarang ingin menyeimbangkan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini terlihat dari adanya pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh
pengarang pada tokoh problematik. Pemberian solusi-solusi pada tokoh problematik ini
sesuai dengan latar belakang lingkungan sosial pengarang.
B. Saran
Saran yang dapat diajukan berdsarkan penelitian ini adalah:
1. Pembahasan secara keseluruhan terhadap penelitian ini belum dilaksanakan secara maksimal
sehingga diperlukan pengkajian secara lebih mendalam terhadap novel ini
2. Novel Saman karya Ayu Utami hendaknya dapat dikaji, dianalisis, dan dikembangkan
dengan menggunakan pendekatan yang lain.
3. Hasil penelitian ini semoga bermanfaat bagi perkembangan apresiasi sastra Indonesia,
khususny apresiasi novel Indonesia, karangan pengarang Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Nugraheni E.W.Makna Totalitas Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar
Kayam: Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien
Goldmann http://www.uns.ac.id/cp/penelitian.php?act=det&idA=159
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta:
Gramedia.