Leo Tolstoy, sang raksasa Rusia, melalui novel Haji Murad ini, makin menegaskan
kepiawaiannya menulis Realisme akan kedalaman jiwa manusia. Tolstoy, mampu meramu kondisi
kejiwaan setiap tokoh, baik figuran maupun tokoh utama. Ia menulis setiap tokohnya penuh
kedetailan, baik dari segi fisiologis, sosiologis, maupun psikologisnya. Leo Tolstoy mampu
menampilkan manusia-manusia dengan beragam versi profesi, mulai dari petani sampai kalangan
militer-bangsawan. Leo Tolstoy menampilkan sosok prajurit biasa yang menjadi kebanggaan
keluarganya yang mau tak mau mengorbankan dirinya untuk wamil, ada juga pemimpin yang tak
pantas menjadi pemimpin, narsis dan kejam luar biasa. Dari beragam tokoh inilah, bukti bahwa
Penulis tak hanya mengandalkan imajinasi belaka, namun juga tak melepas dari realitas sejarah
dan sosialnya, beserta pemikiran yang rumit, cerdas, sekaligus bernas. Buku ini Tipis 250-an
Novel ini terinpirasi dari kisah nyata Haji Murad, seorang pejuang Muslim Chechnya,
pejuang bangsa Avar, dalam perlawanan rakyat Dagestan dan Chechnya melawan Rusia pada
tahun 1811-1864. Melalui Haji Murad, Leo Tolstoy menampilkan sisi manusiawi dari seseorang
yang dianggap sebagai pahlawan besar tak terkalahkan yang pada akhirnya melakukan
“pembelotan” dari yang ia perjuangkan seumur hidupnya. Sebab apa, dan mengapa? Sepanjang
mempertahankan diri sendiri dan melindungi orang yang dikasihi. Ada hubungan rumit yang bisa
berubah 180 derajat, kawan bisa jadi lawan pun sebaliknya. Nanti pembaca akan menemui sosok
Syamil, atasan dari Haji Murad. Pada diri Syamil ada ketakutan-ketakutan yang mematikan akal
hingga mengambil keputusan yang merugikan banyak orang dan kejam tak terkira. Inilah yang
Tolstoy coba sampaikan kepada pembaca bahwa manusia punya potensi melakukan kejahatan
demi menutupi kelemahannya. Ada kebencian mengakar antara Haji Murad dan Syamil, yang
nantinya idealisme untuk melawan musuh yang sama yakni Rusia, dibawah panji Ghazwah akan
pupus, dan benar sangat saya sayangkan hal ini bisa terjadi. Buat saya kisah di buku ini
sungguhlah tragis.
“Perasaan yang dialami oleh semua orang Chechnya itu, dari yang termuda hingga yang
tertua, lebih kuat dari kebencian. Itu bukan kebencian, karena mereka tidak menganggap anjing-
anjing Rusia itu sebagai manusia, melainkan rasa jijik, muak, dan tercengang atas kekejaman tidak
masuk akal yang dituniukkan makhluk-makhluk ini, sehingga keinginan untuk memusnahkan
mereka- seperti keinginan untuk memusnahkan tikus, laba-laba beracun, atau serigala- sama
alaminya dengan naluri mempertahankan diri.” ( 172) Perang, tak hanya seputar siapa menang-
siapa kalah, ada kompleksitas motif pelaku, namun yang pasti, perang itu menghancurkan segala
hal yang sudah susah dibangun. Orang baik-baik pun bisa kejam pada akhirnya.
Saya suka dengan metafora yang dipilih Leo Tolstoy sebagai representasi tokoh
utamanya, yakni tanaman “Tatar”, “Sungguh gigih dan penuh energi! Begitu bertekadnya ia
Saya dibuat kagum dengan karakter Haji Murad, baik melalui pilihan kata-katanya dan
sikapnya yang berwibawa, hingga tutur kata orang-orang Rusia sendiri. kesal. "Dia sudah cinggal
bersama kita selama seminggu dan kita tidal melihat apa pun selain kebaikan darinya. Dia sopan,
bijaksana, dan adil," (204). Haji Murad adalah representasi sosok muslim yang berakhlaq, dia
mampu menempatkan karakter keras dan lembutnya pada kondisi seharusnya. Saya pun dibuat
kagum akan sosok ibu dari Haji Murad yang membentuk karakter Haji Murad seperti itu. “Karena
aku tidak takut mati, anakku pun tidak akan pernah takut akan hal itu.” (106)
Dan pada akhirnya, waktu terus berpacu, Rusia tempat ia meminta pertolongan tak
kunjung ada pergerakan, sedang keselamatan keluarganya di ujung tanduk, maka sang tokoh
harus memilih dan memutuskan, walau nyawa jadi taruhan. Pada akhirnya, manusia terlahir
sendirian dan berakhir sendirian. Sebuah karya luar biasa tentang perjuangan, sangat saya