Anda di halaman 1dari 29

Menu

Search

TAMAN KATA HELVY TIANA ROSA

Sosok Ibu dalam Intifadhah Karya Jehad Rajbi

Ibu Palestina

Tetapi anakmu niscaya akan membaca sejarah dengan mata ibunya, maka ia pasti akan menangis dan
melemparkan batu-batu, apa pun resikonya…. (Kumpulan Cerpen Intifadhah, Jehad Rajbi, 1995: 102).

Jehad Rajbi adalah perempuan penulis yang lahir dan dibesarkan ditengah konflik peperangan
berkepanjangan antara negerinya, Palestina, dengan Israel. Karya perdananya dibukukan pada tahun
1993 oleh Penerbit Filistin Muslimah. Namun di luar selusin cerpen dalam buku tersebut, Jehad yang
berusia 20 tahun saat bukunya terbit, banyak menulis di beberapa media yang ada di Palestina. Kini
selain Sahar Khalifah dan Liyanah Badr, Rajbi menjadi salah satu perempuan penulis yang diperhitungkan
di Palestina (Yamani, ed. 2000).

Menurut para kritikus sastra Arab modern seperti Shovinaz Kazhim dan Elizabeth Mc Kee, selain kisah-
kisahnya yang mencekam, Rajbi memiliki kelebihan pada bahasa dan gaya pengisahan yang menurut
mereka mempesona dan filosofis. Rajbi dianggap mengandalkan karakterisasi pada kekuatan dialog yang
cepat dan padat yang hadir bagai drama-drama satu babak (Herfanda: 2002).

Cerpen-cerpen dalam Intifadhah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Anis Matta dan
diterbitkan Pustaka Firdaus (1995), semua memiliki tema yang sama, yaitu kecintaan terhadap tanah air
(nasionalisme). Konflik yang terjadi juga bermuara pada persoalan yang sama mengenai ketertindasan
bangsa Palestina dalam penjajahan Israel.

Rajbi memilih berbagai tokoh dalam Intifadhah. Dari mulai kanak-kanak, remaja, pemuda, pemudi,
suami, istri, ibu sampai kakek dengan berbagai profesi dan kedudukan dalam masyarakat. Semua tokoh
itu menyimpan berbagai konflik diri yang terbungkus dalam konflik tanah air mereka. Dari semua tokoh
yang ada, sosok “ibu” dan “bocah” paling sering muncul dalam cerita.

anak palestina dan batu

Tulisan ini akan menelaah lebih lanjut sosok ibu dalam buku Intifadhah karya Jehad Rajbi dan menjawab
pertanyaan mengapa tokoh itu menjadi sosok yang penting dalam cerpen tersebut. Apakah Rajbi
terinspirasi dari kehidupan dan karakter para ibu dalam menghadapi konflik berdarah di Palestina?
Apakah sosok ibu merupakan potret realitas atau sekadar harapan dalam gerakan intifadhah, dan
sebagainya.

Sepanjang sejarah, bani Israel memang pernah menguasai Palestina sekitar empat abad, namun
kekhalifahan Islam menguasainya selama 12 abad (636-1917M). Kontak bangsa Israel dengan Palestina
sendiri telah terputus selama 18 abad (135-abad ke 20).

Pendirian organisasi zionis yang dimotori Theodore Herzl tahun 1897, menjadi permulaan pencaplokan
kembali wilayah tersebut berangsur-angsur secara sistematis dengan terus menerus memasukkan orang
Yahudi dalam jumlah yang sangat besar ke Palestina. Peristiwa itu bersamaan dengan mulai melemahnya
kekhalifahan Turki Ustmaniyah (Shaleh, 2002).

Tulisan ini tak akan menguraikan kembali konflik klasik ratusan tahun yang dialami bangsa Palestina dan
Israel menyangkut ‘tanah yang dijanjikan’ (Palestina) tersebut. Namun untuk dapat memahami cerpen-
cerpen Jehad Rajbi terlebih dahulu kita harus memiliki wawasan tentang apa itu “intifadhah” dan
kaitannya dengan Palestina, yang menjadi judul dan benang merah semua cerpen Jehad Rajbi dalam
buku ini.

Dalam bahasa Arab, “intifadhah” berarti “yang mengguncangkan”. Secara umum “Intifadhah” adalah
perlawanan warga sipil Palestina tanpa senjata terhadap tentara Israel. Intifadhah merupakan gerakan
nasional yang dimulai serempak, 14 Desember 1987 dengan adanya demonstrasi besar-besaran di
seluruh wilayah Gaza dan Tepi Barat yang melibatkan hampir seluruh rakyat Palestina, lelaki dan
perempuan, dari berbagai golongan umur. Demonstrasi tersebut dipicu oleh tewasnya beberapa buruh
Palestina yang ditabrak secara sengaja oleh tentara Israel ketika mereka sedang bekerja pada 9 desember
1987 (Deedat, 1991).
Saat itu juga dideklarasikan Hamas (Harakah al Muqawamah al Islamiyah). Hamas dipimpin oleh Ahmad
Yasin, lelaki yang semua anggota badannya, kecuali kepala, lumpuh dan tak bisa digerakkan akibat
penyiksaan tentara Israel. Organisasi yang mandiri ini yang kemudian banyak mengorganisir gerakan
Intifadhah. Menurut pernyataan juru bicara resmi Hamas, sejak Desember 1987 sampai tahun 2001
Hamas dan Intifadhah telah mempersembahkan sekitar 1000 syuhada (termasuk anak-anak dan
perempuan) dalam upaya memerdekakan Palestina (Shaleh: 105).

Intifadhah sebagai gelombang gerakan rakyat yang menuntut kemerdekaan tampak jelas dalam buku
Jehad Rajbi ini. “Pengasingan”, “Siksaan”, “Peluru ini Untuk Siapa?”, “Orang-Orang Deportan”, “Kami
Bukan Orang Asing”, “Darah Hitam”, “Waham dan Amarah”, “Pencuri”, “Tanah Air ini Lebih Besar dari Air
Mata Mereka”, “Ahmad Izzudin Tidak Lolos Sensor” sampai cerpen “Ketika Kota itu Tertidur”
menyampaikan pesan perjuangan Intifadhah secara eksplisit maupun implisit, meski para tokoh tersebut
berada dalam kondisi ketakberdayaan.

“Pengasingan” dan “Siksaan” sebenarnya bukan dua cerpen yang berbeda. “Siksaan” menjadi semacam
cerita lanjutan dari “Pengasingan”. Tokoh Muhammad pada cerita tersebut dipenjara oleh tentara Israel
karena aktivitasnya dalam gerakan perlawanan Palestina (Intifadhah). Para interogator mencoba
mengorek darinya nama-nama lain yang mungkin untuk diasingkan dan dipenjarakan pula. Muhammad
bersikeras tak mengatakannya meski ia disiksa terus menerus dalam penjara. Akhirnya para interogator
mengancam keselamatan keluarga besar Muhammad di Gaza, bila Muhammad tak mau bekerjasama.
Namun Muhammad masih bergeming.

Karena telah kehabisan akal, para interogator pun berinisiatif menghadirkan ibu Muhammad untuk
melemahkan hati Muhammad. Yang terjadi kemudian, dalam pelukan dan linangan airmata ibunya,
Muhammad malah bertambah kuat, bahkan meski akhirnya ia harus kehilangan ke dua kakinya.

“Biarkan Aku Jadi Orang Palestina” (BAJOP) berkisah tentang suami istri (fotografer dan jurnalis asal
Amerika) yang meliput situasi Palestina-Israel. Dalam perjalanan liputan tersebut mereka menyaksikan
kepedihan yang dialami rakyat Palestina. Albert dan Cathy merasa terpukul saat menyaksikan sendiri
bocah-bocah Palestina melempar batu ke arah tentara Israel disambut para tentara itu dengan hujan
peluru.

anak gaza
Suatu hari, Albert tak tahan lagi. Ia mencoba membela bocah Palestina yang dianiaya tentara Israel.
Akibatnya ia luka parah. Menghadapi itu semua, Cathy yang disuruh pulang ke Amerika oleh suaminya
semakin bersikeras untuk meliput anak-anak itu. Ia bertemu dengan seorang bocah dan tiba-tiba merasa
bahwa ia memiliki jiwa seorang ibu dan menganggap bocah itu sebagai anak yang membutuhkan kasih
sayang ibu. Saat melihat bocah yang sempat diajaknya bercakap-cakap dikejar tentara Israel bahkan
kemudian dilindas tank baja mereka, Cathy histeris. Ia mulai mengambil batu-batu dan melemparkannya
pada para tentara Israel seraya berteriak, “Biarkan aku jadi orang Palestina!”

Dalam “Peluru ini Untuk Siapa” (PiUS) tokoh bernama Muhammad adalah seorang tentara Palestina yang
telah lama ditugaskan berjaga di perbatasan Tepi Timur. Setiap hari ia memikirkan nasib anak-anak
Palestina yang melakukan intifadhah (melempar para tentara Israel dengan batu-batu) harus
menghadapi peluru dan tank-tank tentara Israel. Ia teringat pada keluarganya di Tepi Barat, terutama
pada ibunya. Maka setiap hari ia menulis surat pada ibunya meski ia tahu ibunya seorang yang buta
huruf. Ia bertekad untuk kembali ke Palestina, pulang ke pangkuan ibunya dan membacakan semua surat
yang telah di tulisnya di perbatasan tersebut. Sayang, Muhammad tewas sebelum dapat mencapai
keinginannya. Namun Abdul jabbar sahabatnya bertekad melanjutkan perjuangan dan segera kembali ke
Palestina.

Dalam “Orang-Orang Deportan” (OOD) tokoh Murad yang dideportasi ke perbatasan di luar negerinya
bersama tak terhitung orang Palestina, tinggal di kemah-kemah kumuh dalam keadaan kelaparan dan
kedinginan. Dalam kerinduan yang menggelegak terhadap tanah airnya, ia sempat terkenang akan
ibunya yang senantiasa sabar dan berwajah gembira, namun meninggal pada malam pengantin Murad.
Di akhir cerita Murad bertekad berjalan kaki kembali ke Palestina menyusuri perbatasan meski ia tewas
disambut puluhan peluru tentara Israel.

batu2

“Kami Bukan Orang Asing” (KBOA) bercerita tentang tokoh Rimah dan ibunya dalam perjalanan menuju
desanya di Ariha (Jericho) setelah sekian lama kondisi memaksa mereka tinggal di perbatasan Timur.
Dalam perjalanan tersebut terjadi banyak dialog antara Rimah dan ibunya mengenai tanah air mereka,
mengenai al Quds, juga mengenai permintaan ibunya agar ia tak mencari gara-gara dengan para tentara
Israel. Selain itu perjalanan tersebut juga membuat Rimah mengingat fragmen-fragmen kekuasan Israel
atas seluruh penduduk Palestina, termasuk para kanak-kanak. Juga konflik diri akan kebanggaan,
keterasingan, penderitaan dan cinta yang dirasakannya atas tanah airnya.
Cerpen “Darah Hitam” (DH) mengisahkan anak berusia tujuh tahun bernama Amru yang terus menerus
menanyakan keberadaan dan kekuasaan orang-orang Yahudi atas tanah airnya, Palestina. Amru dan
orangtuanya terpaksa tinggal di perbatasan Palestina karena tak diizinkan masuk ke Palestina oleh para
tentara Israel. Pada usia semuda itu, Amru sering melihat kekejaman tentara Israel terhadap kaum
perempuan dan anak seusianya, melalui televisi. Ia pun membenci orang-orang Yahudi dan bertekad
untuk kembali ke tanah airnya untuk menghadapi mereka suatu saat nanti.

Cerpen ini banyak menampilkan dialog antara tokoh ibu dengan anaknya Amru tentang Palestina, orang
Yahudi, tanah air dan kebencian. Ibu Amru berusaha menjelaskan kepada Amru kondisi yang terjadi
dengan bahasa kanak-kanak. Namun ternyata cara pandang Amru terhadap kaum Yahudi yang menjajah
negerinya telah melampaui usianya yang baru seumur jagung itu. Di akhir cerita, kemarahan anak usia
sekolah dasar itu membuatnya tak bisa membedakan apa yang ada di hadapannya dan yang terjadi di
televisi. Suatu ketika saat televisi kembali menayangkan berita keagresifan para tentara Israel dalam
menangkap dan menyiksa bocah Palestina. Amru histeris. Ia ‘menghajar’ dan ‘membunuh’ para tentara
tersebut.

anak palestina

Cerpen “Waham dan Amarah” (WdA) berkisah tentang kakak beradik Ammar dan Muhammad. Karena
melawan tentara Israel dengan batu, Ammar masuk penjara. Kakaknya, Muhammad sebelumnya pernah
pula berada di penjara Israel namun kemudian dibebaskan karena mau berdamai dengan Israel dan
memberikan informasi-informasi yang mereka butuhkan.

Ammar, memilih dipenjara dan disiksa demi perjuangan merebut kembali kemerdekaan. Sementara itu
sahabatnya, Abdul Qadir yang tak kuat menjalani penyiksaan memberi semua informasi mengenai
kegiatan Ammar pada tentara Israel yang kemudian membebaskannya. Tapi darah ibunya yang
berceceran di halaman depan masjid al Aqsha menguatkan tekad Ammar untuk bertahan dalam
penyiksaan, meski ia harus mengalami kelumpuhan akibat penyiksaan yang bertubi-tubi itu.

Dalam “Pencuri” lagi-lagi Rajbi menceritakan seorang pemuda, guru sekolah, bernama Amir yang
digelandang menuju penjara. Dulu, Amir adalah pemuda yang banyak membaca dan membenci konflik
yang ada di tanah airnya. Pengaruh buku-buku luar negeri yang dibacanya membuatnya ingin turut serta
mendamaikan situasi dan berpikir agar semua kepentingan bisa diakomodir.
Amir mulai bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan membenci mereka yang melakukan intifadhah.
Namun kenyataan di depan matanya membuat ia berubah sikap. Pasukan Israel menutup sekolah-
sekolah, juga sekolah tempat ia mengajar selama ini. Anak-anak Palestina tak diperbolehkan memegang
pulpen, hingga sebagai gantinya mereka menggenggam batu (melakukan intifadhah). Amir terus melihat
kebiadaban tentara Israel atas perempuan dan kanak-kanak Palestina, termasuk Aisyah adiknya yang
tewas di tangan mereka dan ibunya yang menjadi buta akibat banyak menangis.

Dialog-dialog Amir dengan pamannya, membuat Amir berpikir bahwa agar tak dilindas penjajah
selamanya, tak ada jalan lain kecuali berjuang. Ia tak ingin seperti orang yang mengetahui rumahnya
kemasukan pencuri namun ketika pencuri itu bersikeras tak mau pergi, ia pun menawarkan perdamaian,
dan membagi rumah dua rumahnya dengan pencuri tersebut. Lalu berkata pada keluarganya bahwa
hidup adalah hak semua orang termasuk pencuri itu. Demikian, akhirnya ia pun ditangkap, mengalami
penyiksaan dan tewas di penjara dengan keyakinan penuh akan perjuangan untuk membebaskan tanah
airnya.

“Tanah Air ini lebih Besar dari Airmata Mereka” (TAiLBdAMM) menceritakan tokoh yang ingin bunuh diri
dengan cara menembakkan pistol ke kepalanya sendiri. Tokoh ini tak kuat lagi menanggung semua
penderitaan yang disaksikan dan dirasakannya di Palestina termasuk melihat tubuh ringkih ayah dan
ibunya yang menggigil karena kedinginan, kelaparan dan ketakutan. Tokoh ini sebelumnya pernah di
penjara karena turut serta dalam intifadhah. Tapi kemudian ia dibebaskan setelah ia berkenan menyebut
beberapa nama temannya yang lain. Penyebutan nama-nama itu kemudian membuat tokoh tersebut
menyesal, karena sahabatnya Mahmud, dijemput dan kemudian dipenjarakan oleh tentara Israel. Ia
sudah hampir bunuh diri saat adik Mahmud, seorang bocah berusia sepuluh tahun, mengetuk pintu
rumahnya. Adik Mahmud mengulang perkataan ibu Mahmud bahwa karena si tokoh, Mahmud
dipenjara. Namun adik Mahmud tak percaya dan meminta sang tokoh mengajaknya berjuang bersama
membebaskan Palestina. Tokoh yang hingga akhir tak diberinama oleh pengarangnya itu pun tak jadi
bunuh diri dan bertekad berjuang kembali bersama adik Mahmud yang telah menyalakan semangatnya
kembali untuk membela negeri.

penjajahan atas palestina

“Ahmad Izzudin Tidak Lolos Sensor” (AITLS) bercerita tentang seorang penulis bernama Ahmad Izzudin
yang kemudian tak lagi bisa mempublikasikan karya-karya idealisnya nya di media akibat tak lulus sensor.
Tadinya ia sempat berputus asa, namun kemudian ia bertekad untuk terus menulis meski tulisannya
hanya bisa ia sebarkan sebagai pamflet kepada orang-orang di rumah maupun masjid yang ditemuinya.
Cerita terakhir dalam buku ini, “Ketika Kota Itu Tertidur” (KKiT) menjadi cerita yang paling sulit dicerna
karena konflik bercabang dan simbol-simbol yang dimunculkannya. Rajih, politikus, yang telah memiliki
anak dan istri berpikir untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi negerinya. Meski tak didukung oleh
istri maupun adiknya Yaser, ia merasa ‘jalan’ itu adalah jalan yang terbaik. Namun istrinya berpendapat
Rajih hanya akan celaka bila tidak ‘mengikuti arah angin’ dan ‘melawan arus’. Sementara sesuatu yang
dilakukan Rajih berakibat tali silaturahim antara ia dan saudara-saudaranya terputus.

Berbagai kenangan tentang keluarga dan negerinya membuat suatu hari ia singgah di rumah tempat ia
dibesarkan. Ia seperti melihat kembali ibunya menambal kaos kaki wol milik dirinya dan memberinya
nasehat: “kalau kamu berjalan telanjang kaki, tentu sepatu kamu tak akan robek.” Saat itu ia bertemu
Yaser adiknya, setelah sekian lama tak bertemu. Yaser mengingatkannya lagi bahwa ia tak mungkin
berjuang sendirian. Jalan yang paling tepat ditempuh saat ini hanyalah intifadhah. ‘Arus’ itu.

Sepulangnya dari rumah kenangan yang kini sepi itu, Rajih bertemu keponakannya Sa’ad yang sempat
melihat dari jauh bahwa kedua pamannya telah berbaikan. Melalui Saad pembaca diinformasikan bahwa
ibu Rajih (nenek Sa’ad) telah lama meninggal, sebelum Sa’ad lahir. Pada kesempatan itu, Sa’ad berkata
bahwa ibunya (adik Rajih) sangat merindukan dan selalu berdoa untuk Rajih.

Di akhir cerita, Rajih seperti disadarkan bahwa sudah saatnya kotanya, tempat Al Quds berada bangkit
dari tidur. Ia seperti melihat kembali bayangan ibunya sedang menambal kaos kaki wolnya sementara ia
membersihkan senjata di teras rumah, sambil tersenyum pada ibunya.

Kecuali AILTS, semua cerpen dalam Itifadhah menyebut kata ‘ibu’ dan ‘bocah’ atau ‘anak’. Beberapa di
antaranya menjadikan mereka sebagai tokoh utama, beberapa tidak, namun pengaruh keberadaan ‘ibu’
atau ‘bocah’ tersebut sangat dirasakan menjiwai cerita secara keseluruhan.

Hampir semua tokoh kanak-kanak dalam cerita adalah tokoh-tokoh yang menderita namun memiliki
kekuatan, kebijakan dan tindakan yang seringkali melebihi orang dewasa. Seperti kata Rajbi: Di al Quds
engkau dipaksa menjadi dewasa (KBOA: 72). Kanak-kanak itu dalam gerakan Intifadhah dianggap sebagai
pahlawan rakyat Palestina meski bisa jadi pembaca menganggapnya sebagai pahlawan yang kadang
(mati) konyol belaka.
Ada dua macam tokoh ibu yang tampil dalam Intifadhah karya Jehad Rajbi ini. Yang pertama sosok ibu
yang heroik dan mendukung perjuangan intifadhah yang dilakukan anak-anaknya, yang selalu
menunjukkan tempat-tempat yang banyak menyimpan pecahan batu (BAJOP: 35). Sosok ibu yang seperti
ini terdapat dalam “Pengasingan”, “Siksaan”, BAJOP, WdA, “Pencuri”, OOD dan KKiT.

Yang ke dua adalah ibu yang takut kehilangan anaknya setelah sebelumnya ia kehilangan anggota
keluarganya yang lain, seperti pada PiuS, KBOA, DH, TAiLBdAMM. Tokoh ibu di sini senantiasa
mengingatkan sang anak agar berhati-hati dan tidak mencari perkara apa pun dengan Yahudi sebab
bahasa yahudi adalah peluru (KBOA: 64).

Berdasarkan teks, kita dapat melihat bahwa ada tujuh cerita yang menampilkan ibu sebagai sosok yang
berani, tegar dan menjadi pemberi semangat jihad bagi anaknya untuk terus berjuang merebut
kemerdekaan Palestina. Tak semua tokoh ibu ini hidup, beberapa di antaranya digambarkan syahid akibat
perbuatan tentara Israel yang tak malu menyerang wanita dan anak-anak. Ibu-ibu seperti ini tidak
digambarkan sebagai ibu yang tanpa airmata, namun justru sering menangis. Namun linangan airmata
bercampur senyuman yang menghimpun kata tak terucapkan itu malah semakin menguatkan anaknya,
seperti yang ditunjukkan pada cerpen “Pengasingan” dan “Siksaan”.

Dalam cerpen tersebut sang interogator berkata pada interogator lain yang merupakan atasannya dalam
penjara tersebut: “Percayalah, pak. Sekali ia melihat ibunya, perlawanannya pasti makin kuat….”
(Siksaan: 21). Namun atasannya berkata: Teruskan menyiksanya. Saya ingin ibunya melihatnya menjadi
bayang-bayang.” (Siksaan: 21). Setelah bertemu ibunya, Muhammad, tokoh utama cerita ini malah
berkata: “Sorotan mata kami adalah kuburan bagi kalian!” Suatu perkataan yang kian menunjukkan
ketegarannya.

Dalam BAJOP, interaksi jurnalis Cathy secara terus menerus dengan bocah-bocah Palestina yang
teraniaya, membuat ia menjelma menjadi ‘ibu’ yang berjuang bersama ‘anak-anaknya’ dengan turut
melemparkan batu pada para tentara Israel itu sebagaimana yang dilakukan oleh ibu anak-anak tersebut.
Sementara pada OOD, bayang senyum sabar ibu Murad menjadi kekuatan yang membawa Murad berani
melintasi perbatasan.

WdA menampilkan Ammar, pelaku intifadhah yang tegar dalam penyiksaan di penjara karena senantiasa
teringat akan ibunya yang dengan bangga selalu mengulang cerita bahwa ayah Ammar adalah seorang
serdadu negeri yang gagah berani menghalau musuh hingga ajal menjelang. Ayah Ammar dibunuh oleh
tentara Israel dan sang ibu bahkan bersumpah untuk membunuh orang yang telah menghabisi nyawa
suaminya, di depan Ammar. Namun perempuan itu malah dibantai tentara Israel di depan al Aqsho.
Meski tak pernah tahu di mana ayahnya dikubur semangat berani syahid membela negeri yang
ditanamkan ibunya kemudian, merasuk dalam dirinya.

Dalam “Pencuri” salah satu tokohnya berkata tentang kriteria orang yang bersalah atas tragedi Palestina.
Menurut tokoh tersebut, “semua yang menanam airmata di mata ibuku bersalah.” Tokoh utama Amir
dalam “Pencuri” mendapat kekuatan menghadapi penyiksaan yang bertubi-tubi dalam penjara, lagi-lagi
justru karena terkenang akan airmata ibunya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kecewa dan sakitnya
sang ibu bila ia lemah dan tak lagi berjuang.

demonstran palestina

Tokoh Rajih dalam KKiT masih terperangah kala ia mengenang ucapan ibunya yang telah meninggal.
Waktu itu ibunya sedang menambal kaos kaki wolnya, kemudian terjadi dialog sebagai berikut:

“Kalau kamu berjalan telanjang kaki, tentu sepatumu tidak akan robek,” kata ibunya.

“Sudah kukatakan, sepatu itu memang sudah robek.”

Ibunya meletakkan jarum kemudian berkata dengan getir, “Allah benar-benar merahmati hari-hari kami,
Rajih. Dulu kami sengaja berjalan di atas duri supaya sepatu-sepatu kami tidak robek.”

Seketika mata Rajih terbelalak mendengar ucapan ibunya. Ia benar-benar terperangah. Dalam keadaan
tak percaya ia bertanya, “Ibu membiarkan kaki ibu terluka hanya agar sepatu ibu tak robek?”

Sesaat ia mengangkat kepalanya, mengamati orang-orang yang lewat sambil merenung. Kemudian
berkata dengan nada mencibir yang getir: mereka semua membiarkan kaki mereka terluka agar sepatu
mereka tidak robek. (KKiT: 127)

Tokoh ibu menyampaikan pada Rajih agar mampu bertahan menghadapi rintangan apa pun (duri) yang
ada pada jalan kehidupan ini, meski dengan apa adanya (kaki telanjang). Bahkan keyakinan/pijakan
(sepatu) dalam melalui rintangan itu jangan sampai terkoyak. Lebih baik terluka namun hidup
menghadapi rintangan dengan keyakinan teguh tinimbang menjalani kehidupan dengan keyakinan yang
compang camping. Itu pula pesan ibu anak-anaknya: Sofia yang meminta suaminya untuk mengikuti arus
perjuangan rakyat (intifadhah, bukan berjuang melalui politik). Juga yang menjadi kerinduan dan doa
dari ibu Sa’ad (adik perempuannya).
Sebaliknya, dalam PiuS, ibu dari tokoh Muhammad, meminta Muhammad melupakan niat untuk pulang
demi keselamatan diri anaknya itu. Bahkan melalui suratnya, Muhammad meneguhkan ibu yang
dicintainya, di antaranya dengan kalimat seperti di bawah ini:

“Andaikata ibu tahu betapa lezatnya menangis di balik kawat-kawat berduri, di tengah auman kematian
pasti ibu akan membunuh ketakutan dan segera mengikutiku. Agar kita bisa berdua di sini. Aku, ibu
menyatu dengan mimpi-mimpi kita….” (PiuS: 41)

Dalam cerpen DH, tokoh ibu secara bijak berusaha memadamkan amarah dan benci yang dirasakan
anaknya setiap kali bocah tujuh tahun tersebut menonton televisi dan melihat penganiayaan yang
dilakukan tentara Israel terhadap kanak-kanak Palestina seusianya. Dengan bahasa anak-anak yang
diselingi bahasa keteduhan seorang ibu, sang ibu berusaha menetralisir semua gejolak tersebut, namun
anaknya memilih untuk mempercayai apa yang dilihatnya di televisi dan dibicarakan oleh teman-
temannya di sekolah, daripada perkataan ibunya sendiri.

Tokoh Rimah dalam KBOA menanam kebencian yang sama terhadap pasukan Israel yang dilihatnya
berkeliaran di setiap tanah di negerinya, saat ia baru pertama kali menjejakkan kaki di Palestina. Namun
ibunya menyuruh Rimah—yang lahir bukan di Palestina itu–untuk selalu menahan diri dan tidak terlibat
dengan berbagai bentuk perlawanan terhadap kaum Yahudi, karena Yahudi selalu menggunakan bahasa
peluru. Kecemasan-kecemasan ibunya selalu membayangi Rimah selama ia berada di tanah kelahiran
kedua orangtuanya tersebut, yang sudah dianggapnya sebagai tanah tumpah darahnya pula.

Di luar teks cerpen, menarik dikaji peran para perempuan, termasuk kaum ibu Palestina dalam konflik
Palestina Israel. Kenyataannya banyak yang mendukung juga turut melakukan intifadhah seperti yang
tergambar dalam tujuh dari selusin cerpen Rajbi dalam Intifadhah. Lebih dari apa yang dikemukan Rajbi
dalam bukunya itu, ternyata kaum ibu bukan saja merelakan anak-anak mereka mengikuti gerakan
intifadhah, namun tak sedikit yang merelakan anaknya melakukan ‘bom perjuangan’ atau yang sering
disebut pers sebagai ‘bom bunuh diri.’

Perempuan pertama Palestina yang meledakkan dirinya adalah Wafa’ Idris pada 27 Januari 2002, di
Jerusalem Barat. Kesedihan di mata ibu Wafa nyaris tertutup oleh kebanggaan yang ditampakkan sang
ibu di televisi yang terus meneriakkan kalau anaknya— yang berhasil menewaskan beberapa tentara
Israel dalam peledakan tersebut— adalah salah satu pahlawan sejati yang dimiliki Palestina (Nur, 2002).
Sementara itu, Othman, mahasiswa asal Hebron yang mendapat beasiswa ISRA untuk program doktoral
di Institut al Maktoum, Abertay University, Dundee, Scotland — dan pernah lima kali ditahan tentara
Israel—mengatakan bahwa seseorang tak harus melakukan kesalahan untuk bisa ditangkap dan
dijebloskan ke dalam penjara oleh tentara Israel. Karenanya ia menambahkan, banyak ibu di Palestina
yang malu bila anak lelakinya tak pernah ditangkap sekali pun oleh tentara Israel (Muthmainnah, 2002).

wilayah palestina semakin kecil

(Helvy Tiana Rosa, dalam buku Segenggam Gumam, Penerbit Syaamil, 2003)

Bahan Bacaan

Deedat, Ahmed. 1993. Dialog Islam dan Yahudi. Jakarta: Pustaka Progresif.

Herfanda, Ahmadun Y. 2002. “Cerpen-Cerpen Jehad Rajbi: Catatan Getir dari Palestina.” Jakarta: Annida
no. 18/IX, 5 Juni 2002

Muthmainnah. 2002. “Pemuda Palestina, Kampus dan Penjara.” Jakarta: Annida no. 18/IX, 5 Juni 2002.
Nur, Ferry. 2002. “Perjuangan Wanita Palestina”. Jakarta: Annida no 18/IX, 5 juni, 2002.

Rajbi, Jehad. 1995. Intifadhah. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Shaleh, Muhsin Muhammad. 2002. Palestina: Sejarah, Perkembangan dan Konspirasi. Jakarta: GIP.

Yamani, Mai (ed). 2000. Feminisme dan Islam. Jakarta: Yayasan Adikarya Ikapi.

Share this:

TwitterFacebookGoogle

Related

Hingga Batu Bicara

In "Cerpen"

Helvy Baca Cerpen "Pertemuan di Taman Hening"

In "Acara"

Helvy Baca Mahanazi

In "Acara"

June 27, 20141 Reply

« Previous

Next »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Comment

Name *

Email *

Website

Post Comment
Notify me of new comments via email.

ika diah lestari on October 2, 2015 at 3:49 am

subhanallah:-)

Reply

Galeri

Fan Page Helvy Tiana Rosa

Follow Me on Twitter

about.me

Helvy Tiana Rosa

Helvy Tiana Rosa

Recent Post

PROGRAM SEDEKAH TIKET KMGP 2 – DOMPET DHUAFA

LOMBA MENULIS KMGP THE MOVIE THE UNTOLD STORIES (JEJAK-JEJAK MAS GAGAH 3) DIPERPANJANG!
Program Nobar Film KMGP di 100 Kota

KMGP Tayang Lagi di Blitz 11-13 Maret 2016!

Sedekah Tiket untuk Anak& Remaja Dhuafa di Milad Ke 24 KMGP & Hamas Syahid

Menu

Beranda

Tentang Helvy

Karya

Cerpen

Puisi

Drama

Novel

Jurnal

Kabar

Acara

Agenda

Quotes

Sahabat Wangi

Cerita Wangi

Instagram: helvytianarosa

Regrann from @helviers

JAKARTA!
Sambil nunggu buka puasa,

Yuk ikut Nobar Ramadhan @kmgpthemovie bersama pemeran Yudi

@masaji_ dan produser film serta penulis novelnya @helvytianarosa.

Acara keren ini dipersembahkan oleh @helviers.

Catat tempat dan waktunya!

Sabtu, 18 Juni 2016

Pukul 14.00 WIB s.d. selesai

XXI Blok M Square

Tiket eksklusif terbatas Rp50.000.

Hubungi Agung via SMS/WA 085288493371

Ketik:

Nama Lengkap#No.hp#JumlahTiket

Transfer ke:

Bank Mandiri

158.000.2016.236

a.n. Dio Agung Purwanto

Buruan pesan tiketnya sebelum kehabisan.

Nunggu buka puasa sambil nonton film keren KMGP The Movie bersama bintang,

Kapan lagi?
#SahabatMasaji #HamasFriends #SahabatHTR #Helviers #SahAji #MasGagah #MasFisabilillah #Fisabilillah
#FilmBaik #DukungFilmBaik #FilmPositif #DukungFilmPositif #SahabatMasGagah #IndonesiaGagah
#KMGP #KMGPTheMovie #KetikaMasGagahPergi #Jakarta #nobar #film #nontonbareng #inspiringmovie
#kmgp #helvytianarosa Alhamdulillah.

Love u @diknadya @abdfaiz. Mmmmuuaaah.

#myfamily

#son

#daughter

#love

#family

#writers

#happy

#helviers

#abdurahmanfaiz

#hope Yeay, sulung saya @abdfaiz sudah balik ke rumah untuk libura n��� #myson

#son

#myfamily

#abdurahmanfaiz

#writers

#momandson

#love Terus semangat di jalan kebaikan! Hijrah dan istiqomah!

Acara hari ini di Al Basyariyah, Bojong.

#helvytianarosa

#helviers
#writer

#inspiringwriter

#talkshow

#kmgpthemovie

#filmpositif

#sedekahtiketkmgp2

#kmgp2

Arsip Tulisan

Arsip Tulisan

Statistik Blog

426,051 kunjungan

View Full Site

Blog at WordPress.com.

:)

Gaza, Palestina; Inilah Indonesia Bersamamu!

PalestinaInilah negeri kami Indonesia,

negeri dengan penduduk lebih dari seperempat milyar


Dan kami bersama Palestina

Seperti mendengar dengung suara lalat di sudut kecil jauh dari nurani,

samar sampai ketakrelaan sebagian orang,

akan uluran tangan kami bagi Gaza, bagi Palestina.

Mengapa Indonesia harus membela Palestina?

Mengapa kami bersama Palestina?

Senarai alasan yang bila terurai tak kan membuatmu sanggup merahasiakan airmata. Tapi baiklah, kami
beri tiga alasan di antaranya

Pertama, kami bersama Palestina karena kami rakyat Indonesia.

bangsa yang menentang segala bentuk imperialisme

Tiga setengah abad dalam penjajahan,

dengan tinta nyata darah para pahlawan kami

kami tulis tegas dalam mukadimah konstitusi,


“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kami bukan semata bicara tentang penghapusan penjajahan di negeri kami, tapi dunia.

Dan Palestina, oh negeri mulia tempat para anbiya,

satu-satunya di dunia yang dirantai kolonialisme,

di sana para tentara zionis Israel menggelar parade kebiadaban;

pengusiran, penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan, sebagai santapan sehari-hari di galeri mata dunia,
dengan korban terbanyak para wanita dan bocahbocah tak berdosa.

Proklamator kemerdekaan kami Soekarno pernah berkata, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

Oh Syekh Muhammad Amin Al Husaini, mufti besar Palestina,

6 September 1944, lewat Radio Berlin berbahasa Arab mengucapkan dukungan atas kemerdekaan
Indonesia,

Bersama Mesir, Palestina melobi, mendesak negara-negara Arab menjadi pendukung pertama
kemerdekaan Indonesia.

Oh,Muhammad Ali Taher, saudagar kaya Palestina itu menyerahkan semua uangnya di Bank Arabia. “
Saya tak memerlukan tanda bukti pemberian ini. Terimalah semua kekayaan saya untuk memenangkan
perjuangan Indonesia.”
Maka bagaimana bisa kami tak membelamu kini, Palestina?

“Kemerdekaan kita tak lengkap tanpa kemerdekaan Palestina,” ujar Mandela suatu saat.

Dan tahun 1962, Soekarno pemimpin besar kami, salah satu idola para pemuda Palestina hingga kini—
berkata; “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka
selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel!”

Di tengah gejolak derita tak terbayangkan, rakyat Palestina cepat ulurkan tangan saat negeri kami
terkena bencana,

“Indonesia, saudara kami! Saudara kami!” mereka kirim doadoa paling kesturi dan apa yang mereka
punya bagi korban tsunami di Aceh, gempa di Mentawai, Yogyakarta hingga banjir Jakarta

Maka Kami Indonesia belajar dari Palestina

tentang kepedulian yang siaga diasah tanpa jeda!

Dan kau masih saja bertanya, mengapa kami bersama Palestina?

Inilah alasan kedua,

Kami bersama Palestina karena kami muslim,

karena kami bangsa muslim terbesar di dunia

Kami rindukan Al Aqsha, masjid ketiga termulia setelah masjidil Haram


dan Nabawi

Dari Al Aqsha, Rasulullah Muhammad SAW mi’raj hingga Sidratul Muntaha. Kini bahkan kaum muslimin
dilarang sholat didalamnya,

Kiblat pertama ummat itu ditutup, dirusak, dicemari, dinistakan, dikangkangi kepongahan para zionis.

Bagaimana bisa kami membiarkanmu ya, Al Aqsha?

Bagaimana bisa kami terdiam melihat saudara-saudara kami, tubuh-tubuh kami sendiri dibantai dan
dibongkar di pelataranmu ya, Al Aqsha

Wahai Umar bin Khatab, Wahai Sholahudin Al Ayyubi

sorot mata yang menorehkan luka panjang di lorong-lorong Al Aqsha, terowongan yang digali oleh
tangan tangan mujahid, batubatu yang beterbangan

telah memantik nyala abadi di dada kami,

Tiap muslim adalah nadi bagi yang lain. Kita harus membantu mereka yang sengsara, dengan sejuta
daya; di pelosok negeri ini sendiri, di Palestina, hingga ujung dunia yang entah.

Dan kau masih belum juga berhenti bertanya,

mengapa kami bersama Gaza?


Mengapa kami bersama Palestina?

Inilah alasan ketiga kami,

yang seperti anak panah berlari menuju nuranimu:

Kami bersama Palestina karena kami manusia!

Seperti kata Pemimpin Turki; Erdogan, “Tak perlu menjadi muslim untuk membela Palestina. Cukup kau
menjadi manusia!” Maka segala yang buta akan menatap, segala yang papa akan bergerak membela.

Sebuah negeri yang dienyahkan dalam peta berulangkali, dengan penduduk yang diblokade puluhan
tahun dalam pulazi, listrik yang sering tak nyala, sumur-sumur diracuni, makanan sekadar sisa yang kerap
tiada, rumah-rumah tak henti dibuldozer, sekolah sekolah dan rumah sakit yang dibom, pesawat tempur
tanpa istirah melintasi, para sniper mengintai, hujan mortir di beranda hari, para lelaki disiksa dan
digiring ke penjara setiap saat, para wanita yang diperkosa, kanak-kanak yang ditembaki saat bermain
bola… , para pejuang kemerdekaan yang dituduh teroris karena membela negeri mereka sendiri. Para
zionis penjagal ribuan nyawa, yang terkekeh-kekeh melihat dunia diam dalam ngilu dan gigil panjang.

Meski suara Liga Arab nyaris tak terdengar

meski mulut PBB terkunci

meski Presiden Negara adidaya itu masih mencari-cari nurani

di antara teriakan HAM dan demokrasi yang ia kumandangkan sendiri

Kami tegaskan sekali lagi:


Karena kami rakyat Indonesia

Karena Kami bangsa muslim terbesar di dunia

Dan karena kami manusia!

:Gaza, Palestina! Inilah kami Indonesia bersamamu!

Depok, Jumat, 22 Agustus 2014.

HELVY TIANA ROSA

Galang dana PalestinaPuisi ini ditulis beberapa saat sebelum dibacakan di acara penggalangan dana
Palestina yang diadakan JSIT dan KNRP di Cibubur, hari ini.

MERDEKA.COM » RAMADAN » LENTERA

9 Juli 2015 09:00

Demi proyek idealis bantu rakyat Palestina, film Helvy ditolak 7 PH

© 2015 merdeka.com

0
0

Share

Tweet

Send

Share

Sudah lebih dari sepuluh tahun penulis novel Islami, Helvy Tiana Rosa memperjuangkan diproduksinya
film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP). Namun, setelah ditawari dan mengajukan naskah dan komitmen
film ini, Helvy langsung ditolak.

Memang beberapa komitmen dan prinsip dipertahankan oleh Dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNJ ini,
karena dia dan para pembaca setianya tidak mau ruh dalam novel tersebut hilang.

"Saya mau cari yang sesuai benar. Ada satu scene tokoh Mas Gagah cinta banget sama Palestina, enggak
ada produser yang mau padahal saya mengangkat Palestina sebagai bagian kemanusiaan bukan agama.
Enggak semua produser mau saya ingin film ini menjadi film anak muda yang bicara tentang
kemerdekaan Palestina walau cuma sedikit," kata Helvy Tiana Rosa saat berbincang dengan
merdeka.com di Margo City, Depok, Senin (15/6).

Begitupun saat kakak dari Asma Nadia ini mengutarakan akan menyumbangkan sebagian keuntungan
plus keinginannya untuk memilih aktor dan aktris yang sesuai dengan karakter di buku tersebut.

"Saya mau menyumbang sebagian keuntungan untuk pendidikan anak-anak di Indonesia timur dan
untuk pendidikan di Palestina. Semua produser ngomong gini Mba Helvy kita kan mau bisnis bukan mau
lembaga charity. Mereka juga maunya aktor dipilih dari mereka," ucap pendiri Forum Lingkar Pena itu.

Alhasil karena tidak pernah ada titik temu dengan para produser dari rumah produksi, maka Helvy
dengan para sahabat Mas Gagah membentuk gerakan yang disebut dengan corwd funding. Gerakan ini
mengumpulkan uang untuk produksi film dengan independen agar idealisme dan ruh dalam buku
tersebut terjaga.
"Saya mau terlibat saya enggak mau cuma nulis naskah mereka beli saya lepas tangan. Saya harus
mengawal film ini supaya dakwahnya sampai. Saya enggak mau jadi penulis yang duduk manis yang
naskahnya diacak-acak. Caranya kata temen enggak ada lagi Mba Helvy harus jadi produsernya. Tapi saya
enggak punya duit. Mereka bilang bikin crowd funding," cerita dia lagi.

Gerakan crowrd funding ini mulai efektif berjalan pada Mei lalu dan akan terus digelar sampai bulan
Oktober ini. Dengan harapan dana produksi sekitar Rp 5 M terkumpul. Sementara ini, setelah roadshow
di beberapa kota Helvy dan sahabat Mas Gagah telah mengantongi uang sekitar Rp 250 juta.

"Crowd funding sebenarnya selebrasi kemerdekaan saya dari pendiktean penjajahan PH yang selama ini
mendominasi. Setiap orang mestinya bantu saya. Gerakan budaya ini akan gerakan sosial," tegas dia.

Novel fiksi kontemporer kali ini bercerita tentang hubungan kakak-adik, Mas Gagah dan Gita yang begitu
dekat dan saling mengisi. Sampai suatu ketika Mas Gagah meninggal dunia. Gita kembali mengingat Mas
Gagah saat melihat Yudi, juru dakwah yang juga direktur perusahaan. Novel ini terbit pada tahun 1993 di
majalah Annida, lalu 1997 baru dicetak menjadi buku dan telah 28 kali cetak ulang.

JADWAL IMSAKIYAH 11 JUNI 2016

IMSAK

04:20

WIB

SUBUH

04:36

WIB

MAGRIB

17:46
WIB

LIHAT SEMUA JADWAL

BERITA TERKAIT

Pemerintah tetapkan 1 Ramadan 1437 H jatuh pada Senin 6 Juni 2016

MUI minta karyawan toko & restoran tak berpakaian seksi selama puasa

Sebelum puasa, umat muslim sunnah mandi keramas

Asosiasi minta masyarakat waspada daging oplosan saat Ramadhan

KOMENTAR ANDA

TERPOPULER

Kesabaran Nabi Ayub ditimpa penyakit hingga ditinggal oleh istri

Cerita pilu wafatnya anak kesayangan Rasulullah, Fatimah Az-Zahra

Resep Sahur Ekspress dan Mudah : Telur Bumbu Bali Lezat

Satu pleton anggota polisi & jenderalnya masuk Islam di Filipina

Penyakit-penyakit ini dapat diobati dengan puasa


6

Sedekah akan membuat manusia semakin kaya

Kisah tentara Soviet masuk Islam saat perang di Afghanistan

Di zaman Rasulullah tidak ada imsak, ini arti imsak sebenarnya

Kisah penyiksaan Bilal bin Rabah dan azan pertamanya

10

Jangan lagi ucapkan Minal Aidin Wal Faizin, ini ucapan yang benar!

BERITA LAINNYA

'Jangan berhubungan badan selama puasa Ramadan'

11 Juni 2016 12:22

Prihatin nasib ibu penjual makanan dirazia, netizen galang dana

11 Juni 2016 11:48

Penyebab datangnya bau badan saat berpuasa


11 Juni 2016 11:22

Kata ulama menyikapi fenomena 'buka tutup' aurat

11 Juni 2016 11:00

Posting di socmed saat sedang ibadah bisa kurangi pahala

11 Juni 2016 09:37

5 Kegiatan ngabuburit asyik saat libur kerja

11 Juni 2016 09:14

Berlomba sajikan tayangan religi di stasiun televisi

11 Juni 2016 08:40

DOWNLOAD APP MERDEKA.COM

Google Play Store Apple Store

KAPANLAGI NETWORK

© 2016 Merdeka.com - KLN Kapanlagi Network

All Right Reserved

Kontak | Tentang Kami | Redaksi | Workstation | Disclaimer | Syarat & Ketentuan | Policy | Kode Etik |
Sitemap

Anda mungkin juga menyukai