Anda di halaman 1dari 2

Nama : Kirania Zakiyyah Maharani

Kelas : X-G
No Absen : 14
Tema : Bangunlah jiwa raga
Judul : Karsa
Cerita singkat / Sinopsis :
Kar·sa n 1 daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk
berkehendak; 2 kehendak; niat
Batavia, 1941
Bestari, begitulah orang-orang memanggilnya. Sosok gadis dari kalangan atas
namun begitu sederhana, pun dengan keinginannya. Bebas, gadis itu hanya
menginginkan sebuah kebebasan. Ayahnya seorang pemilik percetakan surat kabar
‘Soeara Betawi’, sedangkan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga.
Hidup di kalangan atas membuatnya harus menaati peraturan yang membuatnya
muak. Salah satunya, tidak diperbolehkan bergaul dengan pribumi. Jelas saja
dirinya memberontak dan itu membuatnya harus mendapat hukuman dari sang ibu.
Tapi itu tidak pernah membuatnya jera sedikit pun.
Menyaksikan bangsanya, tanah kelahirannya, dan tanah airnya diperbudak oleh
orang kulit putih membuatnya geram. Berkali-kali dirinya menulis artikel untuk
diterbitkan agar para londo itu segera angkat kaki dari tanah airnya. Namun
sayang, hal itu selalu ketahuan oleh ayahnya dan berakhir dikurung di dalam
kamar selama satu hari penuh.
Bukannya menyesali perbuatannya, Bestari malah melarikan diri dari hukuman
kurungannya. Dia tidak kehabisan akal untuk kabur, selalu ada cara. Kesempatan
itu ia gunakan untuk menemui teman-temannya yang merupakan rakyat pribumi
biasa. Mengajari mereka tentang pengetahuan dasar seperti menulis, membaca, dan
berhitung yang ia dapat semasa bersekolah di STOVIA.
Semangat untuk memajukan bangsa tidak pernah padam dalam dirinya. Tekadnya
yang kuat serta keteguhan hatinya untuk bangkit dari kolonialisme menjadikannya
pribadi yang keras. Namun siapa sangka, jika itu adalah daya tarik tersendiri yang
ada dalam diri Bestari. Membuat para londo beberapa kali meliriknya untuk
dijadikan gundik. Tentu saja itu membuatnya semakin jijik terhadap orang kulit
putih itu dan membentengi dirinya agar tidak jatuh ke tangan mereka.
Jayden Van Den Berg. Sosok tinggi berkulit putih dengan mata biru sebiru lautan
itu tampak serius mengerjakan dokumen yang berserakan di mejanya. Rahang tegas
serta alis tebal yang membingkai wajahnya benar-benar mendefinisikan ketampanan
yang sempurna. Dianugerahi otak yang brilian membuat kepandaiannya diakui oleh
banyak orang bahkan terdengar hingga ke telinga Ir. E. A. Voorneman, yang pada
saat itu menjabat sebagai walikota Batavia. Beliau mengangkat Jayden sebagai
residen Batavia.
Kesempurnaannya itu membuat kaum wanita begitu memujanya. ‘mungkin tuhan
menciptakannya saat sedang tersenyum’ ungkapan yang sering terlontar ketika
dirinya tampil dihadapan publik, dan itu sudah biasa baginya. Sayangnya banyak
orang lupa bahwa ‘semakin terang cahayanya, maka semakin gelap bayangannya.’
Siapa sangka, dibalik kesempurnaannya itu, dia hanyalah anak seorang gundik.
Nyai Marsih, nama yang dikenal sebagai gundik salah satu pejabat administrasi
batavia, Adriaan Van Den Berg. Fakta itu hanya diketahui oleh kalangan tertentu.
Entah bagaimana Adriaan membungkam media yang hendak menyorot perihal
Marsih. Orang awam hanya mengetahui bahwa Jayden adalah dari Adriaan, itu saja.
Dibalik semua itu, Jayden diam-diam memupuk dendamnya terhadap sang ayah
yang memperlakukan ibunya semena-mena, karena ibunya adalah pribumi. Jayden
sangat menentang segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh Belanda,
walaupun di dalam dirinya mengalir deras darah londo. Tetapi Jayden tidak
gegabah dalam mengambil keputusan, ia menentang secara diam-diam dengan cara
menulis artikel yang berisi kritikan terhadap pemerintahan Belanda secara anonim
yang kemudian dimuat dalam surat kabar, itu pun atas bantuan temannya yang
berprofesi sebagai redaktur ‘Soeara Betawi.’
Hingga sore itu, dikala Batavia dibungkus gerimis, dua insan itu bertemu. Bertukar
pandang, kemudian berjalan berlawanan arah. Akankah salah satu dari mereka
berbalik dan merangkul yang lainnya agar bisa sama sama-sama berjuang demi
bangsa ini? Ataukah tetap pada jalannya masing-masing dan berjuang sendiri
melawan kolonialisme Belanda?
Ini adalah sebuah kisah cinta sederhana yang diwarnai perjuangan di era kolonial.
Buku sejarah selalu menceritakan kekejaman penjajah di masa kolonialisme, namun
jarang ada yang menceritakan kisah cinta klasik. Maka, biarlah cerita ini yang
menceritakannya padamu.
Hiruk pikuk kota Batavia jadi saksi bisu antara pertemuan kita yang semakin
rikuh. Tatapan sendu yang beradu, garis bibir terangkat ragu gambarkan pilu.
Suara kita tercekat enggan salurkan rindu. Di titik pijak ini, kulihat punggungmu
perlahan menjauh dari jangkau mataku.
Batavia, 1941.
“Jika gunung satu dan lainnya terpisah oleh lautan, maka kita terpisah oleh dinding
karakter yang ada pada diri saya sendiri.”- Bestari
“Bahkan secarik kertas tak akan menyanggupi banyaknya sajak yang saya tulis
tentang kamu”- Jayden Van Den Berg

Sumber referensi : Wikipedia.org, jurnalantropologi.fisip.unand,


donisetyawan.com, goodnewsfromindonesia.id, kbbi.web.id, kompas.com,
Wattpad, tiktok.

Anda mungkin juga menyukai