Anda di halaman 1dari 8

Bagi penyuka novel bertemakan historical, tentu tak luput dari pandangan kalian dengan novel yang satu

ini, Laut Bercerita.

Laut Bercerita adalah novel karya penulis asal Indonesia bernama Leila Salikha Chudori. Ia juga
merupakan seorang wartawan di majalah Tempo. Novel terbitan tahun 2017 ini, mengangkat tema
persahabatan, percintaan, kekeluargaan, dan rasa kehilangan. Dengan berlatarkan waktu di tahun 90-an
dan 2000, novel ini mampu membius para pembacanya untuk menerobos ruang masa lalu dan kembali
melihat peristiwa yang terjadi di tahun yang bersangkutan.

Dengan kata lain, novel setebal 394 halaman ini, mengingatkan para pembacanya akan era-era
reformasi di tahun 1998 yang bernas akan kepahitan dan kekejaman bagi para pembela rakyat. Leila
selaku penulis memang menegaskan bahwa novel ini hanya historical fiction, tetapi ia menulis
berdasarkan pada fakta yang ada. Hal itu karena sebelum Leila mulai menulis novel ini, ia melakukan
riset wawancara terlebih dahulu secara langsung pada korban yang berhasil kembali atau kerabat
korban.

Tidak hanya itu, sang penulis juga mengaku bahwa ia memerlukan penyelidikan mendalam terkait
karakter dari tokoh-tokoh yang ada, tempat serta peristiwa yang sudah berlalu. Berdasarkan hal-hal
itulah yang membuat novel ini seakan hidup saat dibaca. Kemudian, untuk menyelesaikan novel ini,
kurang lebih memakan waktu 5 tahun. Menariknya, novel ini berhasil digarap ke dalam bentuk film
pendek yang berdurasi kurang lebih 30 menit dan disutradarai Pritagita Arianegara.

Laut Bercerita menceritakan terkait perilaku kekejaman dan kebengisan yang dirasakan oleh kelompok
aktivis mahasiswa di masa Orde Baru. Tidak hanya itu, novel ini pun merenungkan kembali akan
hilangnya 13 aktivis, bahkan sampai saat ini belum juga ada yang mendapatkan petunjuknya.

Cerita dalam novel Laut Bercerita terbagi menjadi dua bagian dengan jarak waktu yang jauh berbeda.
Adapun bagian pertama diceritakan melalui sudut pandang tokoh bernama Biru Laut beserta para
kawan sesama aktivisnya seraya menyelesaikan visi atau tujuan mereka. Sementara pada bagian kedua,
kisahnya diambil dari sudut pandang Asmara Jati, adik dari Laut yang mempunyai tujuan atau visi yang
cenderung berlainan dengan Laut.

Kisah dan narasi akan diceritakan melalui perspektif Biru Laut. Laut adalah seorang mahasiswa program
studi Sastra Inggris di Universita Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia sangat menggeluti dunia sastra dan
tentunya tidak sedikit buku sastra klasik yang dimilikinya, baik itu buku sastra bahasa Indonesia maupun
bahasa Inggris.

Laut gemar membaca berbagai buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang ketika itu peredarannya
dilarang di Indonesia. Hal itu yang menekatkan dirinya secara diam-diam untuk memfotokopi buku-buku
tersebut di salah satu tempat yang disebut sebagai fotokopi terlarang. Mulai dari sana, dirinya bertemu
dengan Kinan, salah satu mahasiswa FISIP yang memperkenalkan Laut akan organisasi Winatra dan
Wirasena.

Setelah ikut bergabung dengan organisasi Winatra, Laut jadi semakin menggiatkan aktivitas diskusi buku
bersama rekan-rekan seorganisasi nya. Bukan hanya buku, melainkan beberapa konsep yang hendak
mereka lakukan untuk menentang doktrin pemerintah di negara ini yang telah dipimpin oleh satu
presiden selama lebih dari 30 tahun.

Kegiatan Laut tidak hanya berdiskusi di organisasinya, ia juga gemar menulis. Laut kerap menuangkan
gagasannya ke dalam bentuk tulisan, kemudian tulisan itu ia kirim agar dapat dimuat oleh media cetak
harian. Laut juga beberapa kali bekerja sebagai translator, misal, penerjemah dari novel bahasa Inggris
ke bahasa Indonesia.

Dalam novel ini, diceritakan bahwa Laut beserta rekan-rekannya melaksanakan beberapa aksi atau
gerakan untuk membela rakyat yang telah diambil haknya oleh pemerintah, salah satunya “Aksi Tanam
Jagung Blangguan”.

Akan tetapi, jauh sebelum mereka melakukan aksi tersebut, Laut bersama teman-temannya berdiskusi
terlebih dahulu yang dikenal sebagai diskusi kwangju. Dari situlah, awal mula Laut dan rekan-rekannya
mengetahui dan mengenal arti dari sebuah pengkhianatan.

Diskusi kwangju yang semestinya berlangsung baik dan lancar justru terhambat karena adanya intel
yang secara tiba-tiba mendatangi markas mereka. Namun, tidak ada yang tahu pelaku yang
membocorkan diskusi mereka. Beberapa anggota dari organisasi Winatra sedikit menaruh curiga pada
Naratama sebab dirinya tidak pernah tampak saat penangkapan dilakukan, tetapi itu hanyalah dugaan
mereka. Belum diketahui kebenaran yang sesungguhnya seperti apa.
Sesudah melancarkan aksi tanam jagung di Blangguan, Laut beserta rekan-rekannya kembali ke
terminal. Mereka berpisah-pisah, ada yang ke Pacet, kemudian ada yang ke Yogyakarta. Saat berada di
ruang tunggu bis, terdapat sekelompok orang mencurigakan yang mengintai mereka. Hingga akhirnya,
Laut, Bram, dan Alex, sementara yang lainnya entah melarikan diri ke mana.

Laut, Bram, dan Alex dibawa ke suatu tempat, semacam markas tentara. Di markas, sekelompok orang
itu menginterogasi Laut, Bram, dan Alex. Tidak hanya diinterogasi, mereka pun diperlakukan secara tidak
manusiawi, seperti disiksa, diinjak, dipukul, dan disetrum. Pertanyaan sekelompok orang tersebut tidak
lain adalah siapa dalang atas aktivitas yang mereka lakukan.

Setelah kurang lebih dua hari satu malam, penganiayaan dan penyekapan itu pun berakhir. Laut, Bram,
dan Alex dikembalikan ke terminal Bungurasih. Di terminal Bungurasih, Laut, Bram, dan Alex dijemput
oleh kedua kakak dari Anjani. Mereka bertiga dibawa dan ditempatkan ke sebuah tempat yang aman di
Pacet. Di sana ada Daniel, Kinan, Anjani, beserta teman-teman yang lain menunggu mereka.

Singkatnya, Laut diringkus lagi oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, tepatnya tanggal 13 Maret
1998. Semenjak mereka menjadi buronan di tahun 1996 sebab organisasi Winatra dan Wirasena
dikatakan berbahaya bagi pemerintah kemudian Sunu, Mas Gala, dan Narendra secara tiba-tiba hilang.
Kemudian, lambat laun beberapa rekan-rekan yang lain pun hilang entah ke mana. Lalu, sekarang Laut
disusul oleh Alex dan Daniel yang menghilang.

Saat penculikan dan penyekapan itu, mereka memperoleh siksaan yang sangat tidak manusiawi, bisa
dikatakan sangat sadis dan biadab. Mereka semua dipukuli, disiram dengan air es, disetrum, digantung
dengan kaki yang berada di atas dan kepala berada di bawah, ditelentangkan di atas batangan es yang
sangat dingin, serta penyiksaan lainnya.

Di bagian pertama, tidak hanya membicarakan terkait aktivitas Laut dan teman-temannya dalam
pergerakan yang hendak mereka jalani, melain ada pula sisipan kisah antara Laut dan anggota
keluarganya. Saat Laut dan teman-temannya menghilang, semua kehidupan mereka dan orang-orang
terdekat mereka pun senantiasa berubah.

Sejak Laut kuliah di Yogyakarta, ia dengan bapak, ibu, dan Asmara (adiknya Laut) semakin jarang
berkumpul bersama. Oleh sebab itu, bapaknya memutuskan bahwa hari Minggu adalah hari bersama
untuk keluarga mereka, tidak boleh ada yang mengganggu. Saat makan malam adalah hal yang paling
menarik bisa dikatakan menjadi sebuah ritual bagi mereka. Di sana adanya kebersamaan dan
kebahagiaan yang terpancar dari wajah-wajah mereka.

Tak hanya itu, novel Laut Bercerita juga menyisipkan kisah antara laut dengan kegiatan kuliahnya, yakni
sebagai seorang mahasiswa Sastra Inggris. Laut memang aktif di organisasi Winatra itu, tetapi dirinya
tidak lupa akan pelajaran kuliahnya. Hal itu terbukti bahwa dia masih menyusun skripsi dan dapat
menuntaskannya.

Di bagian kedua dalam novel Laut Bercerita, Asmara, adik dari Laut yang menjadi sudut pandang
ceritanya. Asmara dengan Laut, mereka memiliki visi yang saling berjauhan yang mana adiknya lebih
menaruh minat pada bidang sains, sementara Laut cenderung bidang sastra.

Pada bagian kedua ini, berawal dari tahun 2000, tepat dua tahun sudah Laut beserta 13 temannya
menghilang entah ke mana. Terdapat hal yang menyesakkan dada, yakni saat mereka melangsungkan
acara–atau yang mereka sebut sebagai ritual–makan malam bersama di setiap hari minggu.

Hal-hal seperti biasanya mereka lakukan, ibu yang menyiapkan makanan, serta bapak yang mengambil
piring untuk wadah mereka makan. Bapak masih menyisakan satu piring untuk Laut, berharap bahwa
Laut kelak pulang ke rumah dan kembali makan bersama. Akan tetapi, hasilnya selalu sama dan nihil.

Kemudian, Asmara dan kawan-kawannya memutuskan untuk mendirikan semacam lembaga khusus
menangani orang yang dihilangkan secara paksa, layaknya Laut, kakak Asmara. Asmara tidak
membangun itu dengan kawan-kawannya saja, ia bekerja sama dengan berbagai orang dan keluarga dari
teman-teman Laut yang belum ditemukan pula. Lembaga itu didirikan dengan harapan agar Laut beserta
rekan-rekannya yang hilang itu, tidak habis dimakan waktu dan pemerintahan segera menuntaskan
perkara ini.

Hingga akhirnya, dirinya mendapatkan informasi mengenai ditemukannya tulang belulang manusia di
Kepulauan Seribu. Ada sebagian yang dikubur, kemudian sebagian lainnya sedang dilakukan penelitian
oleh dokter forensik.

Mereka semua tidak tahu, tulang siapakah itu? Akan tetapi, Asmara tidak menaruh harap bahwa itu
tulang kakaknya sebab ia yakin Laut tidak akan pulang dan kembali.
Ada satu hal lagi yang terbesit dalam benak, siapakah yang telah melakukan pengkhianatan tersebut dan
menjadi dalang atas kasus penghilangan paksa ini?

Di pagi yang murung, Nadira Suwandi menemukan ibunya tewas bunuh diri. Kematian sang ibu, Kemala
Yunus, seorang perempuan yang dikenal sangat ekspresif, berpikiran bebas, dan selalu bertarung
mencari diri itu, sungguh mengejutkan. Tewasnya Kemala kemudian memengaruhi kehidupan Nadira
sebagai seorang anak (“Melukis Langit”); seorang wartawan (“Tasbih”); seorang kekasih (“Ciuman
Terpanjang”); seorang istri, hingga akhirnya membawa Nadira kepada sebuah penjelajahan ke dunia
baru, dunia seksualitas yang tak pernah disentuhnya (“Kirana”).

Dalam dua cerita baru kumpulan ini, “Sebelum Matahari Mengetuk Pagi” dan “Dari New York ke Legian”,
kita semakin masuk ke dunia batin Nadira.

Apabila ditelaah secara saksama, ada karakter tokoh dalam novel Laut Bercerita yang dirasa tidak asing
dan tampak nyata, seperti halnya, karakter Mas Gala.

Di dalam karakter Mas Gala seakan kita melihat seorang Wiji Thukul, yakni seorang penyair dan aktivis
Hak Asasi Manusia asal Indonesia yang turut serta dalam melawan berbagai penindasan di zaman Orde
Baru dan dirinya dinyatakan hilang pada tahun 1998.

Mengapa bisa ada kesamaan antara karakter tokoh dalam novel ini dengan kejadian nyata?

Hal itu karena Lela S. Chudori selaku penulis novel Laut Bercerita merasa terinspirasi atas kejadian
penculikan dan kasus penghilangan paksa yang terjadi di tahun 1998 lalu. Bahkan, sebelum menuliskan
novel ini, penulis telah melakukan riset wawancara dengan salah satu aktivis yang pernah diculik pada
tahun 1998. Maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar kisah dalam novel ini berdasar pada kisah
nyata.

Kemudian, Anjani merupakan kekasih Biru Laut dan perempuan yang sangat pintar dalam membuat
sketsa gambar. Ia mempunyai tiga kakak laki-laki yang amat perhatian dan protektif pada dirinya. Anjani
adalah perempuan pertama yang dapat mencairkan hati Laut, terlebih saat pertama kali mereka
berjumpa.

Mungkin ada beberapa dari kalian berpikir bahwa yang akan menjadi kekasihnya Biru Laut, yakni Kinan
sebab dirinya bisa dikatakan perempuan yang cukup dekat dengan Laut. Akan tetapi, nyatanya sosok
Anjani yang menjadi kekasih Laut.

Kemudian, tokoh Alex dan Sunu yang merupakan teman seperjuangan Laut semenjak awal kuliah. Lalu,
ada sosok Bima menjadi pemimpin dalam aksi atau gerakan yang hendak mereka rencanakan. Ada pula
Gusti yang menggiati ranah fotografi, layaknya Alex. Akan tetapi, keduanya memiliki perbedaan dari
gaya memotretnya. Tak lupa, Alex juga merupakan kekasih dari adiknya Laut, yakni Asmara.

Jakarta, Mei 1998. Lintang Utara, puteri Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Deveraux, akhirnya
berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman keluarga korban tragedi 30
September sebagai tugas akhir kuliahnya. Apa yang terkuak oleh Lintang bukan sekedar masa lalu
ayahnya dengan Surti Anandari, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di negerinya mempunyai
kaitan dengan Ayah dan kawan-kawan ayahnya.

Bersama Sedara Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang kemudian menjadi
kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Indonesia yang
sudah berkuasa selama 32 tahun.

Keunggulan dalam sebuah karya novel, tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi si penulis. Hal itu
membuktikan bahwa dalam karya tulisnya, ada sesuatu yang ‘tidak biasa’ di mata para pembaca.

Leila S. Chudori selaku penulis novel Laut Bercerita telah berhasil menetapkan tema dalam novel ini.
Tema yang diusungnya mengenai kemanusiaan pada era Orde Baru yang mana sepantasnya novel ini
memperoleh predikat sebagai novel dengan genre historical fiction terbaik.

Visualisasi karakter dan suasana dalam novel ini tampak sungguhan alias nyata. Terlebih, bagian di mana
Laut beserta teman-temannya disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi. Lalu, hal yang terpenting
adalah novel ini berdasarkan kisah nyata pengalaman dari para aktivis yang sempat hilang dan diculik
pada Maret tahun 1998 lalu, kemudian 9 berhasil kembali dan 13 lainnya dinyatakan hilang.
Lalu, novel Laut Bercerita bersifat edukatif. Hal itu dibuktikan bahwa di dalamnya memuat pengetahuan
sejarah rezim Orde Baru, sejarah pergerakan dalam menegakkan keadilan sosial, dan asas demokrasi.
Dengan begitu, setelah selesai membaca novel ini, ada banyak pengetahuan mengenai sejarah yang
akan kalian dapatkan.

Selain itu, di balik suksesnya sebuah novel, tentu ada moral value yang dapat diterapkan di kehidupan
sehari-hari. Dalam novel ini, salah satunya adalah cara agar seorang manusia dapat memanusiakan
manusia dari segala aspek. Tak hanya itu, novel Laut Bercerita dapat menjadi bahan teguran untuk
negeri ini bahwa masih ada hal yang belum terselesaikan. Mereka, para aktivis atau orang-orang yang
sengaja dihilangkan, layak untuk memperoleh dan mendapatkan bentuk keadilan.

Adapun cerita yang dihidangkan pun mengandung sedikit teka-teki, hal itu yang membuat para pembaca
menjadi semakin penasaran akan akhir dari cerita novel ini. Pilihan kata dan penggunaan bahasa
terbilang mudah dipahami sebab tak adanya istilah atau ungkapan asing yang menjadikan para pembaca
sukar memahami isi cerita.

Laut Bercerita memang bisa dikatakan sebagai novel dengan genre historical fiction yang sungguh luar
biasa. Akan tetapi ada sedikit kekurangan atau kelemahan dalam novel ini, seperti alur cerita yang
digunakan ialah alur campuran atau maju mundur. Apabila para pembaca yang belum terbiasa dengan
alur tersebut, akan cenderung kesulitan atau bingung. Hal itu karena dibutuhkannya sikap fokus dan
pemahaman secara saksama supaya dapat mengikuti alur cerita dengan baik.

Meski kisah yang dituangkan dalam novel ini terlihat fiksi, tetapi nyatanya perjuangan yang dilakukan
oleh Laut dan kawan-kawannya adalah aksi nyata yang mana hal itu sebelumnya terjadi pula di rezim
Orde Baru 1998. Tentunya ada langkah panjang dari para pejuang bangsa ini yang harus mereka
tempuh. Hal itu tidak serta merta dilalui dengan mudah, tentu ada berbagai kesulitan yang mereka
perjuangkan demi bangsa ini serta dipertunjukkan di masa sekarang.

Para pejuang rela untuk jatuh, lalu bangkit dengan harapan agar kelak di masa mendatang, semua tidak
sama layaknya di zaman mereka. Dari semua perjuangan itu, banyak yang dapat kita petik dan teladani,
serta mensyukuri dengan kehidupan sekarang ini yang mana lebih baik dari masa sebelumnya.
Dalam novel Laut Bercerita, ada bentuk yang dapat kita nikmati di masa sekarang ini apabila
dibandingkan di masa tokoh Laut, tepatnya di rezim Orde Baru 1998. Bentuk itu adalah kebebasan
berpendapat yang terjamin, tetapi hal tersebut harus diiringi pula dengan suatu bentuk kontribusi.
Suatu bentuk kebebasan berpendapat itu pun juga tidak dapat dilontarkan begitu saja apabila tidak ada
bukti yang valid.

Selain hal-hal di atas, tentu masih ada banyak amanat yang dapat kalian ambil dalam novel ini. Maka
dari itu, buku Laut Bercerita sangat direkomendasikan dan sangat layak untuk dibaca. Kisah yang dialami
oleh tokoh Laut dan rekan-rekannya yang hilang di rezim Orde Baru pun tidak akan habis termakan
waktu. Sebab memang kenyataan hal itu terjadi di negeri ini, bahkan hilangnya beberapa aktivis di masa
1998 tidak ada titik temu hingga saat ini.

Novel fiksi terkait sejarah Indonesia ini, secara implisit menyadarkan kita agar jangan sekali-sekali
melupakan sejarah kelam di negeri ini. Dengan sistem demokrasi, seharusnya pemerintah siap
menerima hak kritik dari para rakyatnya dengan segala kebijakan yang dibangun. Apabila tidak, tentu
banyak terselip berbagai rahasia dan teka-teki, seperti kejadian di era 1998 yang masih menjadi sebuah
tanda tanya besar.

Penulis: Tasya Talitha Nur Aurellia

Sumber: dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai