Anda di halaman 1dari 4

Chairil AnwarSri Ajati (Sebuah Catatan Nostalgia) Oleh: Priyadi (Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Khairun Ternate)

Dia orang yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Dia bukan orang atau seniman biasa. Setiap kali saya berjumpa, ciri khasnya adalah matanya merah karena kurang tidur, rambutnya berantakan, di tangan kiri atau kanan selalu membawa buku. Memang Chairil dikenal sebagai seorang yang gila dan kutu buku, (Sri Ajati, Puisi Senja Di Pelabuhan Kecil khusus di persembahkan dari Chairil Anwar untuknya)

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ajati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia 27 (dua puluh tujuh tahun), dia sudah terjangkit sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC kronis dan sipilis. Dia meninggal pada 28 April 1949 dan dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Chairil adalah seorang yang tak mau kalah dalam hidupnya. H.B Jassin pernah bercerita saat mereka bermain bulutangkis, Chairil kalah. Tapi dia terus saja mengajak bermain dan akhirnya Chairil menang. Dan mereka bermain didepan gadis-gadis.

Sastrawan yang lahir

di Medan pada tanggal 26 Juli 1922 ini tak

banyak menghasilkan karya. Tapi, dari puisi-puisi yang ditulisnya

banyak memberikan inspirasi semangat untuk berjuang, seperti puisi yang berjudul Aku, Karawang-Bekasi( yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948) dan Diponegoro . Puisi-puisinya masih tetap di bicarakan oleh banyak kalangan ahli sastra hingga sekarang. Puisi-puisinya masih tetap digemari dan tetap abadi. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar. Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orangtuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi tatanan puisi kesusasteraan Indonesia. Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja sebagai pamongpraja. Dari pihak ibunya, Saleha dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Semasa kecilnya di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajaknya: Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta.

Chairil masuk sekolah Holland Indische School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis pada saat remaja, tetapi tak satupun puisi awalnya ini ditemukan. Sebelum Chairil menikah dengan gadis Karawang, Hapshah dan akhirnya mereka bercerai karena disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah yang pada saat itu itu anaknya baru berumur 7 (tujuh) bulanChairil pernah jatuh cinta dengan seorang gadis yang bernama Sri Ajati pada saat keduanya

menjadi penyiar radio Jepang di tahun 1942. Nama Sri Ajati diabadikan oleh penyair (almarhum) Chairil Anwar dalam sajaknya yang terkenal Senja di Pelabuhan Kecil yang selengkapnya berbunyi:

Senja di Pelabuhan Kecil

buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Dari : Deru Campur Debu (1949) Chairil, kata Sri Ajati, sering datang ke rumahnya di Jalan Kesehatan, Tanah Abang, Jakarta. Suatu hari Chairil datang ke rumah saya. Saya duduk di kursi rotan, sedang Chairil duduk di lantai sambil menceritakan bahwa ia baru mengunjungi seorang temannya bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai daster. Sambil memegang daster yang saya pakai, Chairil berkata bahwa daster yang dipakai Sri terbuat dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya pakai terbuat dari sutera asli. Saya tidak tahu siapa yang dimaksud dengan gadis yang bernama Sri, katanya. Apakah Chairil pernah menyatakan cintanya kepada Sri Ajati dengan terus terang? Orang mengira dengan lahirnya sajak itu seakan-akan Chairil jatuh cinta pada saya, dan seolah-olah berkatakata langsung kepada saya. Lagian waktu itu saya sudah punya pacar, seorang calon dokter, bernama Soeparsono, jelasnya. Sri Ajati yang kemudian menikah dengan Soeparsono (Mayor Jenderal TNImantan Kepala Rumah Sakit Tentara (RST) dr. Soedjono, Magelang, yang wafat tahun 1994) pernah tampil di pentas Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin di Gedung Kesenian Jakarta tahun 1947, menyebut penyair pelopor angkatan 45 ini (Chairil Anwar) sebagai seorang seniman komplet seratus persen.

Anda mungkin juga menyukai