Anda di halaman 1dari 6

Inilah 8 Perempuan Gebetan Penyair Chairil

Anwar
Chairil Anwar penyair eksentrik, jago membuai perempuan pujaannya lewat puisi. Sebagian
tak tahu kalau dibuatkan puisi.

Oleh: HENDRI F. ISNAENI

Chairil Anwar dan istrinya, Hapsah Wiriaredja.

CHAIRIL Anwar, penyair besar yang eksentrik dan diakui sebagai pembaru puisi
Indonesia. Selama hidupnya yang relatif muda, dia menghasilkan 70 puisi asli, 4 puisi
saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Beberapa puisinya
dibuat untuk perempuan-perempuan yang mengisi hatinya.

Kendati penampilannya urakan, namun Chairil dikenal sebagai pemuda yang banyak
penggemarnya terutama di kalangan gadis-gadis. Dia digemari karena rupanya bagus,
kulitnya putih dan wajahnya menyerupai Indo. Chairil juga dikenal “pintar” memikat
gadis-gadis karena dia mudah berkenalan dengan siapa saja, lelaki maupun
perempuan. Chairil pernah tertarik pada beberapa perempuan. “Di antara gadis yang
pernah menarik perhatian Chairil ialah Karinah Moorjono, Dien Tamaela, Gadis
Rasid, Sri Arjati, Ida, dan Sumirat,” tulis Pamusuk Eneste dalam Mengenal Chairil
Anwar.

Itulah sebabnya, nama-nama gadis itu diabadikan dalam sejumlah sajak Chairil. Paling
sedikit, nama-nama gadis itu disebut dengan tiga cara: disebut dalam baris-baris sajak
(Ida); dijadikan judul sajak (Sumirat, Dien Tamaela, Gadis Rasid, dan Tuti); dan
dijadikan sebagai sajak persembahan (Sumirat, Sri Ajati, dan Karinah Moordjono).
Berikut ini kisah para perempuan tersebut.

Ida Nasution

Perempuan pertama yang disebut Chairil dalam sajaknya, “Ajakan” (Februari 1943)
adalah Ida. Dia kembali disebut dalam sajak “Bercerai” (7 Juni 1943), “Merdeka” (14
Juli 1943), dan “Selama Bulan Menyinari Dadanya” (1948). Chairil juga menyebut
berkali-kali nama Ida dalam “Pidato Chairil Anwar 1943” yang diucapkan kepada
Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1948.

Ida Nasution lahir tahun 1924. Dia merupakan esais yang cemerlang dan penerjemah
yang berbakat. Dia pernah menjadi anggota redaksi majalah berbahasa Belanda, Het
Inzicht dan Opbouw. Dia kemudian bersama Chairil mengelola “Gelanggang,” ruang
kebudayaan dalam majalah Siasat.

Ida pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dengan kawan-kawannya,


dia mendirikan Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia pada 20 November
1947. Hidup Ida berakhir tragis, dia hilang dalam perjalanan Bogor-Jakarta pada 1948.
Sri Ayati

Chairil jatuh hati kepada Sri Ayati, penyiar radio Jepang, Jakarta Hoso Kyokam. Dia
membuat dua puisi untuknya: “Hampa –kepada Sri yang selalu sangsi” (Maret 1943) dan
“Senja di Pelabuhan Kecil” (1946).

Pada 2007, sejarawan dan wartawan senior Alwi Shahab berhasil menemui Sri di usia 88
tahun, dan menuliskan kisahnya, “Bertemu Pujaan Chairil Anwar.” Sri tahu Chairil membuat
sajak “Senja di Pelabuhan kecil” untuknya dari almarhumah Mamiek, anak angkat Sutan
Sjahrir yang masih saudara sama Chairil.

Sri pernah lama ngobrol dengan Chairil di kediamannya, Jalan Kesehatan V, Petojo, Jakarta
Pusat. “Saya duduk di korsi rotan dan dia duduk di lantai sebelah kanan saya. Dia bercerita
baru saja mengunjungi seorang teman bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai
baju daster (kala itu disebut housecoat). Dia bercerita sambil memegang daster yang saya
pakai. Chairil bercerita, daster yang dipakai Sri dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya
pakai juga dari sutera asli. Kala itu saya tidak tahu siapa yang dimaksud Chairil gadis
bernama Sri itu,” kenang Sri, yang juga seniwati dan pernah mengajar di Institut Kesenian
Jakarta.

“Sri mengaku heran, kenapa Chairil membuat sajak untuknya... Chairil sendiri tidak pernah
menyatakan cintanya kepada Sri Ayati,” tulis Alwi Shahab.

Dian Tamaela

Pada 1946, Chairil menulis puisi “Cerita Buat Dien Tamaela.” Puisi ini dia persembahkan
untuk Dian Tamaela, putri dokter Lodwijk Tamaela dengan Mien Jacomina Pattiradjawane.
Mereka pernah menetap di Oosterweg (sekarang Jalan Pahlawan) Mojokerto, Jawa Timur.

“Penyair Chairil Anwar ini pernah menaruh hati kepada almarhumah Dien Tamaela, itu
berlangsung di masa pendudukan Jepang,” tulis Purnawan Tjondronegoro dalam “Chairil
Anwar Meminang Calon Istri Setelah Ketemu di Cilincing.”

Dokter Tamaela adalah pejuang kemerdekaan dari organisasi Jong Ambon bersama
Alexander Jacob Patty, Johanes Latuharhary, dan lain-lain. Menurut I.O. Nanulaitta, penulis
biografi Mr. Johanes Latuharhary, dokter Tamaela mempunyai dua putri, Dien Tamaela dan
dokter Deetje Tamaela.

“Dien meninggal dalam usia masih remaja. Persahabatannya dengan penyair Chairil Anwar
dikenangkan dan diabadikan oleh pemuda itu dalam sajaknya ‘Beta Pattirajawane’,” tulis
Nanulaitta. Maksudnya, sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” yang menyebut berkali-kali Beta
Pattirajawane, ibu Dien yang tidak menyukai Chairil.

Untuk mengenang kematian Dien, Chairil mempersembahkan puisi “Cintaku Jauh di Pulau”
yang paling disukai anaknya, Evawani Alissa Ch. Anwar. Bait keempat puisi yang ditulis
tahun 1946 ini berbunyi: Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang sama ‘kan
merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Anehnya, sumber keluarga menyebut Dien meninggal tahun 1948.
Gadis Rasid

Chairil menjadi redaktur ruangan kebudayaan “Gelanggang” di majalah mingguan, Siasat


pada 1948. Di sini dia mengenal Gadis Rasid, wartawan Siasat. Chairil menaruh hati pada
Gadis dan mempersembahkan puisi untuknya berjudul “Buat Gadis Rasid” pada 1948.

“Sajak itu ditulis niscaya setelah Chairil berkenalan dengan Gadis yang tatkala itu juga
menjadi wartawan surat kabar Pedoman. Karena perhatiannya yang luas terhadap
kesusastraan dan kebudayaan umum, Gadis mengenal elite sastra Indonesia modern pada
waktu itu. Tak mengherankan bahwa dia pun kenal baik dengan Chairil,” tulis Ajip Rosidi
dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari.

Gadis berhenti sebagai wartawan Pedoman pada 1950-an karena menikah dengan Henk
Rondonuwu. Setelah dikaruniai seorang anak, mereka bercerai. Gadis kemudian bekerja di
kantor perwakilan PBB di Jakarta, mengajar di Sekolah Tinggi Publisistik dan Akademi
Penerangan, asisten peneliti di Brookings Institute Amerika Serikat, wartawan lepas untuk
berbagai media luar negeri, anggota Badan Sensor Film, dan aktif di dunia perbukuan sebagai
direksi Penerbit Djambatan dan sekretaris eksekutif IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia).

Gadis meninggal tepat pada tanggal kematian Chairil: 28 April 1988.

Tuti Artic

Seperti kepada Gadis Rasjid, Chairil juga mempersembahkan sebuah puisi untuk “Tuti Artic”
(1947). Menurut Asrul Sani dalam Derai-derai Cemara, pergaulan Chairil di Jakarta dengan
anak-anak Indo dan rajin ke pesta. Dia akrab dengan tempat-tempat yang biasa dijadikan
tempat mangkal pelajar-pelajar sekolah Belanda MULO, HBS, atau AMS kala itu, seperti
misalnya di sebuah toko es krim, Toko Artic, yang berada di Jalan Kramat Raya, yang
kemudian kita temui dalam sajaknya “Tuti Artic.”

Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic; sore ini kau cintaku, kuhias dengan susu + coca
cola/ Istriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetak/Kau pintar benar bercium, ada
goresan tinggal terasa. Hubungan Chairil dan Tuti agaknya sesaat: Aku juga seperti kau,
semua lekas berlalu/Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar/Cinta adalah bahaya yang
lekas jadi pudar.

Karinah Moordjono

Karinah Moordjono adalah putri seorang dokter di Medan pada tahun 1930-an. Chairil
mengenalnya ketika masih tinggal di Medan, sebelum pindah ke Jakarta pada 1941. Ketika
ditahan polisi Jepang pada 1943, Chairil terkenang pada Karinah, seperti terbaca dalam sajak
“Kenangan” (19 April 1943).

“Jalinan ‘kenangan’ apa yang terjadi antara Chairil dan Karinah, tentu hanya mereka berdua
yang tahu,” tulis Pamusuk Eneste.
Sumirat

Sumirat adalah perempuan yang paling tertambat dalam hati Chairil. Dalam “Sajak Putih”
(18 Februari 1944), Chairil mempersembahkan puisinya itu “buat tunanganku Mirat.” Puisi
“Dengan Mirat” (8 Januari 1946) diubah judulnya menjadi “Orang Berdua” dalam kumpulan
sajak Deru Campur Debu.

Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam “Gelora Cinta Chairil Anwar pada Pacarnya Mirat,”
Intisari, April 2002, salah satu sajak Chairil terindah adalah “Mirat Muda, Chairil Muda”
yang ditulis pada 1949, namun dibubuhi keterangan “di pegunungan 1943.”

“Berdasarkan data bahwa Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 1946, dan
mendapat putri Evawani Alissa pada 1947, adalah suatu kenyataan betapa Chairil terkenang-
kenang kepada seorang perempuan dari masa lajangnya setelah berkeluarga,” tulis Seno.

Chairil bertemu Mirat pada 1943 di Pantai Cilincing Jakarta, tempat piknik masa itu. Mereka
berpacaran; menonton film berdua. Ada kesamaan dalam hobi mereka. Mirat suka melukis,
dia belajar di sanggar Sudjojono, Basuki Abdullah, dan Affandi.

“Sumirat sangat tertarik kepada kemaun keras Chairil yang tidak mengenal lelah.
Pekerjaannya membuat sajak di mana-mana. Kertas-kertas penuh dengan tulisan tangannya,”
tulis Purnawan. Chairil sering mampir ke rumah Sumirat di Kebon Sirih Jakarta. Mereka
mendiskusikan sajak-sajak Chairil. Sumirat, seorang perempuan yang mencoba menghayati
hasil karya Chairil.

Ketika Sumirat pulang kampung ke Paron, suatu desa di Madiun, Jawa Timur, Chairil
menyusul dan sempat tinggal beberapa hari. Ayah Sumirat, RM Djojosepoetro, memberikan
restunya dengan syarat Chairil memiliki pekerjaan tetap. Chairil kembali ke Jakarta untuk
tidak kembali lagi. Mereka berpisah.

“Chairil pamit dengan uang saku ayah Mirat, karena memang tidak punya uang sepeser pun,”
tulis Seno. Dia meninggalkan kopor berisi buku-buku dan berkas tulisan, namun hancur
bersama rumah Sumirat ketika Belanda menyerang Madiun. Sumirat kemudian mendengar
semua tentang Chairil; bagaimana dia menikah, punya anak, menjadi penyair besar, dan mati
muda.

Hapsah Wiriaredja

Chairil bertemu Hapsah di Karawang, jatuh cinta, lalu menikah pada 6 September 1946.
Hapsah lahir di Cicurug, Sukabumi, 11 Mei 1922. Hapsah hampir menikah dengan seorang
dokter, tapi Chairil begitu gigih untuk mendapatkannya.

Di keluarga, menurut Evawani, anak satu-satunya Chairil-Hapsah, panggilan akrab Chairil


adalah Nini. Sedangkan panggilan sayang Chairil kepada Hapsah adalah Gajah, karena
badannya gemuk.

Chairil pernah mengungkapkan cita-citanya, “Gajah, kalau umurku panjang, aku akan jadi
menteri pendidikan dan kebudayaan,” kata Chairil, seperti dikenang Evawani dalam Chairil
Anwar Derai-derai Cemara.
Cita-cita Chairil tak tercapai. Dia mati muda di usia 26 tahun 9 bulan pada 28 April 1949,
karena sakit paru-paru dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat. Sedangkan
Hapsah, yang bekerja di departemen pendidikan dan kebudayaan sampai pensiun, meninggal
di usia 56 tahun pada 9 Mei 1978.

Anda mungkin juga menyukai