Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup
berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian
itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu
memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah
satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan
kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak
kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa
membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si
ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi
Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul
Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa
kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang
dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan
keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan
jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis
bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding
terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid,
Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu
bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil
telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil
yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun
menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada
beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal
bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk
sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang
membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf,
saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya
hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”
Biografi Amir Hamzah (1911 – 1946)
Tengku Amir Hamzah merupakan sastrawan yang dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru. Amir
Hamzah yang juga bergelar Gelar Pangeran Indra Pura, dilahirkan 28 Februari 1911 di
Sumatera Timur, keturunan bangsawan Langkat Tengku Pangeran Muhammad Ali dan
Tengku Mahjiwa.
Tengku Amir Hamzah kecil, menghabiskan pendidikan HIS dan belajar mengaji di belakang
Masjid Azizi Langkat. Kemudian melanjutkan pendidikan MULO di Medan dan Batavia.
Semenjak sekolah AMS jurusan Sastra Timur di Solo, kepenyairannya semakin terbentuk. Di
kota solo, Amir Hamzah aktif dalam pergerakan kebangsaan menuju Indonesia Merdeka dan
terpilih menjadi Ketua Indonesia Muda cabang Solo pada Kongres Indonesia Muda pertama.
Selanjutnya Tengku Amir Hamzah pindah ke Batavia belajar ilmu hukum di Recht Hoge
School sampai tingkat kandidat. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, Amir
Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru dan mengelolanya, hingga pecah perang dunia
kedua.
Keaktifan Amir Hamzah dalam berorganisasi dan kedekatannya dengan kaum pergerakan,
membuat Belanda pada waktu itu menjadi gusar. Belanda menyurati keluarganya di
Langkat, kemudian oleh pembesar Langkat menjemput Amir Hamzah pulang. Di Langkat
beliau dinikahkan dengan seorang putri bangsawan istana, bernama Tengku Kamaliah,
kemudian dinobatkan bergelar Pangeran. Dari pernikahannya, Tengku Amir Hamzah
memperoleh seorang anak yang diberi nama Tengku Tahura Alautiah.
Pada 29 Oktober 1945 Tengku Amir Hamzah diangkat menjadi Wakil Pemerintah RI untuk
Langkat yang berkedudukan di Binjai. Belum setahun menjabat, Amir Hamzah ditangkap
oleh kelompok front rakyat ketika sedang bergejolak revolusi sosial di Sumatera Timur.
Amir Hamzah dibawa ke Kwala Begumit untuk menghadapi pengadilan kilat ala hukum
rimba (hukum pancung) pada 20 Maret 1946. Amir Hamzah pergi menghadap sang Khalik
dalam usia 35 tahun. Jenazahnya ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di
Kwala Begumit, lalu dimakamkan secara layak di kompleks pemakaman Masjid Azizi
Tanjung Pura.
Pepatah mengatakan, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading.
Peristiwa tragis yang dialami Amir Hamzah tidak meninggalkan aib baginya. Atas usulan
masyarakat, karena telah mengembangkan kebudayaan, khususnya kesusastraan, Amir
Hamzah akhirnya ditabalkan menjadi Pahlawan Nasional sejak 10 November 1975
berdasarkan SK Presiden No.106/TK Tahun 1975. Selain itu, namanya juga dipakai sebagai
nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di kedutaan besar RI di Kuala Lumpur Malaysia.
Selama hidupnya, Amir Hamzah telah menghasilkan sekitar 160 karya berupa 50 sajak asli,
77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli, dan 1 prosa
terjemahan. Karya-karyanya yang terkenal terkumpul dalam antologi Buah Rindu (1941)
dan Nyanyi Sunyi (1937). Selain itu, ia menerbitkan pula sekumpulan sajak terjemahan dari
negara tetangga seperti Jepang, India, Arab, Persia, dan lain-lain dalam antologi Setanggi
Timur (1939) dan terjemahan Bhagawat Gita yang dipetik dari Mahabarata berisi dialog
antara Kresyna dan Arjuna.
BIOGRAFI TAUFIQ ISMAIL
Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut
mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan
Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS
Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya,
penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah
mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih
menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan ‘66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya,
misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi,
seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu
Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit,
Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-
Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai
festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970.
Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan
orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang
yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town
(1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang
Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di
Yunan, RRT, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an
menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar
atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya
berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan
ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia(Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow:
Humanitary, 2004.)
Penghargaan
Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia
(1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra
dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, AS (1971-
1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur
(1993).
BIOGRAFI KH. A. MUSTOFA BISRI
Karya-karya lain yang insya Allah akan terbit, adalah Fikih Keseharian II (Al-Miftah
Surabaya). Sementara itu, dia produktif menulis di media massa ibukota dan media massa
daerah.
Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak
Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya
terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi tokoh
nasional,adalah Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah (seorang pendiri organisasi
pemuda Himpunan Mahasiswa Islam).
Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang Sidempuan, Tanjungbalai,
dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut ke MULO di Padang dan Jakarta, tamat 1922.
Kemudian tamat dari Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925.
Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum dipindahkan ke Lembang dan
jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool.
Setelah itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini sangat mewarnai
pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India, selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi
redaksi majalah TIMBUL (berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa Indonesia). Ia
banyak menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik.
Selain itu, ia juga aktif dalam dunia politik. Ikut menggagas dan aktif di “Jong Bataks Bond.”
Kemudian menjadi anggota PNI. Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada
1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah arang. Ia malah menjadi pemimpin sekolah-
sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah Perguruan
Rakyat di Jakarta. Kemudian tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu
KEBANGUNAN di Jakarta. Lalu tahun 1941, menjadi redaktur Balai Pustaka.
Sanusi Pane sastrawan pujangga baru yang fenomenal. Dalam banyak hal berbeda (antipode)
dari Sutan Takdir Alisjahbana. Jika STA menghendaki coretan yang hitam dan tebal dibawah
pra-Indonesia, yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista,
Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke jaman Indonesia purba dan ke arah
nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada kejayaan budaya Hindu-
Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa
Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme.
Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun
1940.
Karya-karyanya yang terkenal diantaranya: Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926), Puspa
Mega dan Kumpulan Sajak (1927), Airlangga, drama dalam bahasa Belanda, (1928), Eenzame
Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda (1929), Madah Kelana dan kumpulan sajak yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka (1931), naskah drama Kertajaya (1932), naskah drama
Sandhyakala Ning Majapahit (1933), naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka (1940). Selain itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Jawa kuno kekawin Mpu Kanwa
dan Arjuna Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940).
Jiwa nasionalismenya terlihat antara lain dari pernyataan Sanusi Pane tentang akan
dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong
Bataks Bond.” Ia menyatakan: “Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki
pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa
yang sedang menunjukkan sikapnya.” (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak, Januari, 1926).
Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-
pemuda Batak bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen Bond (JSB).
Tetapi sebaliknya, menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena
itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus
saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama
Sumatera.
Lepas dari perdebatan itu dan yang tak mungkin bisa dilupakan dari sosok STA ialah idenya
yang berani soal arah kemajuan budaya bagi Indonesia. STA pada tahun 1935 dengan tegas
menyebutkan, Barat, ke Baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju. STA
melontarkan idenya itu pada usia 27 tahun.
Pokok-pokok pemikiran STA bukan hanya mengguncang masyarakat saat itu. Para pemikir dan
budayawan seangkatannya seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menanggapi
pemikiran STA seraya mengingatkan STA bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang
harus dipertahankan Indonesia mendatang.
Memikat sekali untuk mencermati catatan almarhum Mochtar Lubis tentang STA. Menurut
bapak jurnalis Indonesia itu, sumbangan utama STA yang harus tercatat dalam sejarah
kebudayaan Indonesia ialah polemiknya yang penuh gairah menghadapi intelektual seniornya
yang hendak mempertahankan nilai kebudayaan lama sebagai landasan kemajuan Indonesia.
Perdebatan antara STA dengan para penentangnya belakangan dikenal dengan istilah Polemik
Kebudayaan.
Jika dikaitkan dengan persoalan arah budaya Indonesia mendatang, termasuk perdebatan
keras di masyarakat mengenai bagaimana negara mengatur soal pornografi, maka peluncuran
buku Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir
Alisjahbana di Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa (21/2) malam menjadi sangat relevan. Buku
yang disunting A Abdul Karim Mashad bukan hanya berisi informasi mengenai karya tulis STA.
Buku itu memuat juga sejumlah tulisan budayawan Indonesia yang mengkritisi pemikiran STA.
Hadir dalam peluncuran buku itu sastrawan Abdul Hadi, sejarawan Asvi Warman Adam dan
para mahasiswa dan budayawan yang tampaknya sangat antusias mendiskusikan pikiran STA.
Ratna Sarumpaet sempat pula membawakan puisi karya STA berjudul Menuju Ke Laut. "Kami
telah meninggalkan engkau, Tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari
angin dan topan...''
Karya STA yang dibacakan Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu seolah menunjukkan sikap STA
yang tegas untuk meninggalkan tradisi budaya di Indonesia yang menurutnya antiintelektual
dan antimaterialisme. Bisa jadi pendapat STA soal antiintelektual ini tepat untuk
menggambarkan wajah budaya Indonesia saat ini. Wajah yang kebingungan untuk menentukan
arah budaya Indonesia hingga soal pornografi pun harus diatur secara khusus dalam sebuah
Undang Undang (UU), sementara UU yang sudah ada dan mengatur masalah itu tidak
digunakan dengan maksimal. (Suara Pembaruan, 22 Februari 2006)
********
Menurut Azyumardi, ada kecenderungan sekarang ini orang memahami agama secara literal,
secara hitam putih. Sikap literal itulah yang menurut STA tidak kondusif untuk mencapai
kemajuan.
STA menekankan pentingnya bagi orang Islam untuk mengembangkan i’tijad, berpikir secara
independen untuk menjawab masalah-masalah yang ada. Meskipun STA sangat menekankan
distingsi Islam, ia juga sangat menekankan bahwa Islam amat mementingkan solidaritas
antarmanusia sehingga dengan begitu umat Islam bisa terhindar dari keislaman yang
chauvinistik. Ia melihat dalam sejarah Islam bahwa kaum Muslimin dalam banyak hal tak segan-
segan bekerja sama dengan golongan-golongan (agama) lain. Menurut STA, dalam dunia yang
menjadi kecil sekarang (globalisasi), tidak boleh tidak kerja sama antarmanusia mesti
diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melihat
pemikiran STA lebih banyak memprovokasi kita supaya melihat ke Barat. ”Sutan Takdir
Alisjahbana menganggap nilai-nilai Barat seperti individualis, materialisme, dan egoisme
sebagai sesuatu yang penting sebagai api. Dia mengibaratkan orang masak nasi, jadi jangan
dipadamkan apinya. Kalau di Barat, nasi (itu) sudah hampir masak, jadi api tak perlu
diperbesar. Di Indonesia api itu diperlukan,” kata Asvi.
Untuk konteks masa kini, melihat atau mengambil sesuatu yang positif dari Barat, dipandang
Asvi, masih sangat relevan.
Menurut Asvi, STA bersama Muhammad Yamin adalah dua pujangga yang saling melengkapi.
STA menghadap ke depan dengan menyatakan kita harus mencontoh Barat untuk mengambil
yang positif dari Barat, sedangkan Yamin mengajak kita kembali ke belakang saat kita pernah
mengalami kejayaan pada masa lampau.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS)
di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan
Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS)
‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh
pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya
selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin
untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa
Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun
saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang
jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin
banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam
bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum
sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya
meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa
sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana.
Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati
masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan
berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun
1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam
perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka
mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah,
Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926--1928). Dalam
Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan
bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932--1938).
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern
(1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul
terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali
dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi
Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian
Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu
pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin
seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca
kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair
baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya,
Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan
ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi
modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin
dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari
tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun
dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya
menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus
menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik,
yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang
melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda
jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir,
yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak
perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal
Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan
estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
Tokoh dari tanah seberang ini sengaja dipilih untuk disisipkan dalam koleksi ini kerana
Almarhum Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah atau dikenali sebagai Prof. Dr
Hamka adalah ulama besar Nusantara yang sangat terkenal. Lebih-lebih lagi beliau berasal
dari tanah Minangkabau yang mempunyai pertalian dengan masyarakat adat perpatih di
Negeri Sembilan. Setiap orang di negara ini yang pernah melihat dan mendengar kuliah
agama yang disampaikan oleh tokoh ini pastinya merasai kerinduan yang mendalam
terhadap nastolgia lampau. Penyusun sendiri tanpa sedar boleh menitiskan airmata apabila
tokoh ‘idola’ ini tersedu dalam ceramah dakwahnya di kaca TV kira-kira awal tahun 1970an
dahulu. Gayanya yang tersendiri dalam berdakwah amat memukau sekali bagai magnet
yang boleh menyentuh hati setiap insan yang mendengar.
Pak Hamka atau Buya Hamka adalah nama istimewa yang mempunyai nilai tersendiri di
persada perkembangan Islam dan dunia kesusasteraan nusantara. Hamka dari singkatan
nama Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim. Almarhum dilahirkan di Kampung Tanah Sirah (
ada riwayat lain mengatakan di Kampung Molek), Negeri Sungai Batang Maninjau,
Minangkabau pada 14 Muharram 1326H bersamaan 17 Febuari 1908. Bapanya Haji Abdul
Karim Amrullah adalah ulama terkenal Minangkabau yang tersohor dan dianggap pula
pembawa reformasi Islam ( kaum muda). Menariknya pula, datuk beliau adalah ulama
tarekat yang bersuluk terkenal. Tuan Kisa-i ( datuk Hamka) tetap mengamal Thariqat
Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama
dengan pegangan ‘Kaum Tua’, tetapi pada zaman beliau istilah ‘Kaum Tua’ dan ‘Kaum Muda’
belum tersebar luas. Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang
pelopor dan termasuk tokoh besar dalam perjuangan ‘Kaum Muda’. Syeikh Haji Abdul Karim
Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan ‘taqlid’,
tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh. Manakala ibunya pula
bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah.
Menurut sejarahnya, bapa beliau pernah dibuang daerah oleh penjajah Belanda ke
Sukabumi dalam tahun 1941 lantaran fatwa beliau yang dianggap membahayakan penjajah
dan keselamatan umum. Haji Abdul Karim adalah tuan guru kepada Sheikh Haji Ahmad
Jelebu[1] yang riwayat hidupnya turut disajikan dalam koleksi ini. Beliau meninggal dunia
pada 21 Jun 1945.
Pendidikan
Hamka mendapat pendidikan awal agama dari Madrasah Tawalib yang didirikan oleh
bapanya. Masa kecilnya, seperti kanak-kanak lain beliau juga dikatakan lasak dan nakal. Ini
diceritakan sendiri oleh Sheikh Haji Ahmad Jelebu bahawa Hamka pernah menyimbah air
kepada penuntut lain semasa mengambil wuduk. Selepas itu beliau berguru pula kepada
Sheikh Ibrahim Musa di Bukit Tinggi. Dalam tahun 1924, Hamka berhijrah ke Jawa sempat
menuntut pula kepada pemimpin gerakan Islam Indonesia seperti Haji Omar Said
Chakraminoto. Lain-lain gurunya ialah Haji Fakharudin, Ki Bagus, Hadi Kesumo dan iparnya
sendiri Rashid Sultan Mansur.
Kerjaya Hidup
Hamka telah menyertai Gerakan Muhamadiah dan menerajui kepimpinan pertubuhan itu di
Padang Panjang tahun 1928. Hamka bergiat aktif bagi menentang gejala khurafat, bidaah
dan kebatinan sesat di sana. Beliau menubuhkan Madrasah Mubalighin pada 1929 dan dua
berikutnya, Pak Hamka berpindah pula ke Kota Makasar, Sulawesi untuk menjadi pimpinan
Muhamadiah.
Keilmuan dan ketokohan yang ada pada beliau mendorong beberapa buah universiti
mengambilnya sebagai pensyarah dalam bidang agama dan falsafah. Antara universiti itu
ialah Universiti Islam Jakarta, Universiti Mohamadiah Sumatera Barat, Universiti Islam
Pemerintah di Jogjakarta dan Universiti Islam Makasar. Bagi mengiktiraf keilmuannya,
Universiti Al Azhar, Mesir telah menganugerahkan Doktor Kehormat dalam tahun 1958 dan
beliau turut menerima ijazah Doktor Persuratan UKM pada 7 Jun 1974.
Keistimewaan Pak Hamka ialah kebolehannya menulis novel dan menghasilkan kitab-kitab
agama yang terkenal.
Armijn Pane
Armijn Pane adalah seorang pengarang, dan juga seorang pendiri majalah
Poedjangga Baroe. Ia pun telah banyak memberikanjasa-
jasanya dalam perkembangan dunia kesusastraan Indonesia di tahun 1940-
an.
Pendidikan yang ia lalui dimulai dari HIS di Padang Sidempuan, dan Tanjung Balai, kemudian pi
ndah ke ELS di Sibolga danBukittinggi, lalu masuk ke Stovia di Jakarta. Pada tahun 1927 pindah
ke NIAS di Surabaya tetapi tidak lama kemudian ia punkeluar. Karena menganggap dirinya lebih
cocok di sastra, sehingga akhirnya iapun masuk AMS Yogyakarta dan mengambiljurusan Sastra
Klasik Barat.
Karir kewartawanan diawalinya dari wartawan Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1932, ke
mudian di mingguanPenindjauan tahub 1934 dan surat kabar Bintang Timoer tahun 1953. Tidak
hanya dunia kewartawanan ia geluti, tetapi ia pernahmenjadi Pamong Taman Siswa di berbagai k
ota di Jawa Timur, kemudian menjadi redaktur Balai Pustaka di Jakarta.
Armijn Pane pembawaannya tenang, kalem, dan polos. Dalam mengerjakan sesuatu sangat cerm
at, teliti dan semuanya ingin serbarapih. Karena sangat hati-hati sehingga persoalan yang betapap
un kecilnya, akan menimbulkan keresahan dalam dirinya.
Armijn Pane merupakan satu sosok yang tegar walaupun ia sering juga mengalami kegelisahan.
Pendiriannya yang tegas tidakdapat dirobohkan oleh celaan dan cemohan orang lain. Kini beliau
telah tiada, ia menutup mata untuk terakhir kalinya di rumahsakit Dr. Cipto Mangunkusumo pad
a tanggal 17 Februari 1970 dan dikebumikan di perkuburan karet Jakarta. Ia meninggalkananak,
hanya seorang istri.
Adapun hasil karya Armijn Pane antara lain, Belenggu karyanya ini ditulis pada tahun 1940. Jiw
a Berjiwa yang diorbitkansebagai salah satu nomor khusus Pujangga Baru pada tahun 1939, Ga
melan Jiwa tahun 1960. Karya-karya yang berupa dramaatau sandiwara adalah Jinak-Jinak Me
rpati tahun 1953, Lenggang Kencana tahun 193
TUGAS BAHASA
INDONESIA
BIOGRAFI PENYAIR
DISUSUN OLEH
GERALDY NIVRIANNO
X-2