Anda di halaman 1dari 3

Nama : Parida

NIM : 043024882

Mata Kuliah : Teori Politik

Diskusi :2

Yang terhormat tutor mata kuliah Teori Politik dan rekan-rekan sekalian.

Berikut tanggapan saya terhadap topik diskusi 2

Ramalan dan prediksi. Tebakan dan dugaan. Seperti permainan lotere, kekuasaan
sering tak bisa disangka, tak jelas tapi pasti datang. Banyak hal mengejutkan yang
mengerubungi kursi kekuasaan. Seperti Raja George VI, seorang raja yang tak
diharapkan bahkan oleh dirinya sendiri. Raja George, terlahir dengan nama Albert,
tak pernah menyangka dirinya harus duduk di takhta kerajaan Inggris ketika
kakaknya, Edward VIII yang sembrono dan suka main perempuan, harus
menyerahkan takhta kerjaan Inggris pada tahun 1936 dengan terpaksa.

George VI adalah putra kedua raja George V, bukan putra mahkota yang bisa
mewarisi tampuk pimpinan kerajaan. Selain itu, dia Gagap. Sejak umur 5 tahun,
George VI menderita kesulitan berbicara. Dia tahu, bahwa menjadi raja artinya
harus berbicara di depan banyak orang, khalayak ramai dengan suara tegas, tanpa
tersendat.

Mengobarkan semangat selama masa-masa perang dunia ke-2 dan memberikan


pidato-pidato politik dihadapan rakyat Inggris. Raja sadar dengan kekurangannya
sebagai seorang penguasa. Dia orang yang terbata-bata dalam berbicara. Konon,
selama menjabat sebagai raja Inggris, George VI dilatih seorang terapis bicara
yang akhirnya menjadi orang dekat. Sang Raja, gagap dan bukan yang berapi-api
dalam berbicara. Tapi dengan kemampuan yang terbatas, dia membawa Inggris
melewati masa-masa gelap perang dunia yang pada saat itu harus menghadapi
Nazi Jerman.

Bertie, begitu raja George dipanggil dalam keluarga, ditakdirkan jadi raja.
Putrinya, Elizabeth II, yang kini jadi penguasa Inggris pun tak pernah menyangka
akan meneruskan kepemimpinan takhta Britania Raya yang diteruskan dari kakek
dan ayahnya.

Dunia memang tak pernah kehabisan ironi. Sementara yang lain tak pernah
berharap menjadi raja, penguasa lain dipaksa untuk turun, tumbang dalam
pengambilalihan secara paksa. Kita pernah tahu seorang Moammar Khadafi,
penguasa Libya selama lebih dari 40 tahun. Memperoleh kursi kekuasaan dalam
kudeta militer, Khadafi adalah diktator flamboyan yang dikelilingi perempuan dan
hidup dalam kontroversi. Sang “Singa Afrika”, tumbuh saat dunia Arab sedang
bergolak, menyerap semua konflik itu dalam hidupnya.

Tahun 2011, si penguasa Arab yang di dunia Barat dianggap sebagai “Anjing
Gila” (Mad Dog) tumbang dalam “penggulingan” dirinya secara paksa. Kolonel
Khadafi tewas dalam salah satu upaya pemberontakan paling bersejarah tidak
hanya dalam sejarah arab tapi juga sejarah politik modern, setelah jadi bulan-
bulanan rakyatnya sendiri, dia ditarik dari gorong-gorong limbah tempatnya
bersembunyi, dihakimi massa, dengan luka tembak di bagian punggungnya.
Media-media dunia mengekspos foto Khadafi yang miris dan menjijikkan. Seolah
dunia berkata; “kekuasaan yang direbut oleh kudeta akan berakhir dengan cara
yang lebih menyakitkan”. Khadafi adalah potret kekuasaan yang menyedihkan.

Ada yang menginginkan kekuasaan, ada yang tidak dinginkan dari kekuasaan.
Demokrasi menawarkan pilihan-pilihan, sistem politik membentuk kekuasaan.
Raja George VI sama sekali tak membayangkan untuk menjadi raja, tapi tak ada
kudeta yang mengambil alih kekuasaannya secara paksa. Khadafi tak pernah
menyangka akan mengakhiri kekuasaannya dengan cara tragis di tangan rakyatnya
sendiri. Kekuasaan yang direbut melalui kudeta militer berakhir dalam keganasan
dan amuk massa.

Kekuasaan selalu dibayang-bayangi ancaman, diruntuhkan, kudeta, penurunan


secara paksa bahkan pengkhianatan dan pembunuhan. Kekuasaan tak pernah
langgeng atau sepi dari incaran sekelompok orang dengan kepentingan. Dalam
setiap dinasti, kerajaan, bangsa selalu punya jejak-jejak berdarah dalam sejarah.

Dalam sejarah modern, pembunuhan presiden atau pemimpin seolah menjadi


bagian dari proses peralihan kekuasaan dalam cara-cara yang lebih rakus dan
kasar. Abraham Lincoln, presiden Amerika ke-16 tewas terbunuh di Ford's Theatre
pada bulan April 1865. Lincoln tewas oleh tembakan Wilkes Booth, orang yang
menganggap Lincoln berada di balik perang antar wilayah Utara dan Selatan
Amerika pada waktu itu.

Lincoln adalah presiden Amerika pertama yang dibunuh, dan ini bukan yang
terakhir. Diantara yang paling diingat oleh dunia adalah pembunuhan John F.
Kennedy, presiden Amerika ke-35. Pada November 1963, dalam sebuah konvoi
presiden, sebuah tembakan menghancurkan kepala sang Presiden hingga tewas.
Sekali lagi, kekuasaan dirobohkan kelompok kecil yang tidak puas.
Dalam demokrasi, mayoritaslah yang mendukung tegaknya sebuah kekuasaan.
Lewat pemilihan, setiap pemimpin yang terpilih memperoleh dukungan dari
sebagian besar orang. Tapi dalam sejarahnya, bukan mayoritas yang nantinya
melengserkan raja, presiden atau pemimpin. Minoritas, yang sedikitlah yang
merongrong kekuasaan dari bawah. Bahasa kekecewaan kemudian diterjemahkan
dalam bentuknya yang paling radikal, kudeta berdarah atau pembunuhan terhadap
pemimpin.

Khadafi terbunuh ditangan rakyatnya sendiri, dianggap diktator. Khalifah-khalifah


Islam tewas di tangan rakyatnya seniri karena dianggap tidak mematuhi hukum
tuhan. Lincoln dan Kennedy, meski keduanya begitu membela demokrasi dan hak
asasi manusia harus mengakhiri kekuasaannya lewat pembunuhan paling tragis
dalam sejarah. Di Indonesia, Soeharto yang sudah lebih dari 3 dekade berkuasa
digulingkan oleh sekelompok mahasiswa dan cerdik cendekia.

Kita tahu bahwa kata “kekuasaan” dan “kudeta” telah begitu menjadi momok yang
menakutkan. Kekuasaan sering diartikan sebagai kendali, kontrol atas hajat hidup
orang banyak. Kekuasaan juga sering tidak bisa menerjemahkan keinginan
sebagian orang yang lain dalam jumlah yang lebih kecil.

Mengakomodir kepentingan mayoritas, tentunya juga mengabaikan keinginan


minoritas. Kudeta, adalah bahasa kekecewaan terhadap kekuasaan yang dianggap
salah, menyimpang, represif atau kebijakan yang tidak adil. Kekuasaan dimanapun
perlu kontrol, kritik dan masukan merupakan cara menjaga agar kekuasaan tetap
berjalan sesuai dengan kepentingan bersama.

Pengambilalihan kekuasaan dengan cara-cara yang kasar dan brutal, tidak saja
meninggalkan jejak buruk dalam lembaran sejarah setiap bangsa, tapi juga
memupuk benih-benih perlawanan dan pemberontakan baru yang akan terus
membayangi setiap pemimpin yang berkuasa.

Demikian tanggapan saya mohon arahan dan petunjul lebih lanjut

Anda mungkin juga menyukai