Anda di halaman 1dari 3

REVIEW BUKU “KEBENARAN YANG HILANG”

Farag Fouda
BAB III
(Stefanus Kris Indarto/F1D015043)

Farag Fouda merupakan seorang doktor di bidang ekonomi pertanian.


Dia lahir pada tahun 1945. Sepanjang perjalanan karirnya pernah berkecimbung
di dunia politik. Tetapi dia lebih dikenal sebagai penggiat hak asasi manusia, dan
komentator sosial. Buku “Kebenaran yang Hilang” menghadirkan cara pandang
Fouda dalam melihat Khilafah dalam sejarahnya tidak lebih dari sistem kekuasaan
totaliter berselubung agama.
Bab ke-4 dari buku tersebut bertajuk “Pembacaan Baru terhadap
Sejarah Ummayah”. Farag Fouda membuka bab tersebut dengan bercerita
mengenai tiga generasi Khalifah yang memiliki sifat kepemimpinan berbeda.
Ketiganya yaitu Umar bin Khattab, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Abdul Malik
bin Marwan. Tiga Khilafah tersebut memiliki sifat kepemimpinan yang berbeda-
beda meskipun hal tersebut terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu abad.
Umar bin Khattab merupakan sosok pemimpin yang tulus baik secara
perkataan maupun tindakan terhadap rakyatnya. Selanjutnya Muawiyah
merupakan sosok yang santun namun terdapat ketegasan dalam sikapnya.
Ketegasannya membuat rakyatnya merasa seakan-akan tak berdaya dihadapannya.
Masa kepemimpinan Muawiyah dibuktikan dengan berbagai penaklukan yang
membuatnya berhasil membangun sebuah imperium. Sedangkan Abdul Malik
diceritakan sebagai sosok yang tegas baik secara sifat maupun sikap.
Ketegasannya bahkan cenderung ke arah diktator yang otoriter dan menindas. Ia
digambarkan sebagai sosok pemimpin yang bertakhta di sebuah imperium yang
telah kokoh dan tidak lagi khawatir terhadap pengambil alihan kekuasaan yang
dimiliki saat ini.
Pada dasarnya negara Islam merupakan negara yang menggunakan
hukum Islam sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Namun yang
sesungguhnya terjadi pada masa Abdul Malik justru sebaliknya. Ia mencampakan
AL-Quran dan mengangkat jagal manusia yang bernama Hajjaj sebagai tangan
kanan untuk memperkuat sendi-sendi kekuasaannya. Meskipun begitu
kredibilitasnya dalam menjalankan kekuasaan tidak dapat diragukan lagi. Hal
tersebut dibuktikan dengan keberhasilannya dalam menaklukan berbagai wilayah,
memadamkan pemberontakan dan membentuk benteng pertahanan, serta
mengadopsi dinar sebagai mata uang pertama negaranya. Tidak berhnti sampai
disitu, kepiawaian Abdul Malik diturunkan kepada putra mahkotanya yaitu al-
Walid. Dengan berpegang kepada wasiat ayahnya dia mengambil alih kekuasaan
dan melakukan penaklukan-penaklukan di kawasan-kawasan tersulit.
Selanjutnya Faraq mencoba membawa pembaca ke bagian-bagian yang
lebih mengerikan dari masa Kekhalifahan Ummayah. Hal tersebut langsung
dirujukan kepada Yazid bin Muawiyah yang terkenal dengan kasus
pembunuhannya terhadap Husein bin Ali bin Abu Thalib. Pada masa
kepemimpinnannya, Yazid disebut bertanggung jawab atas beberapa tindak
kejahatan besar. Salah satunya adalah pembunuhan terhadap ± 4.500 jiwa serta
pemerkosaan terhadap sekitar seribu perawan di Madinah. Hal tersebut
disebabkan oleh bala tentara Yazid yang menyerang Madinah atas pencabutan
baiat terhadap dirinya. Masyarakat kala itu dikatakan sedang bermimpi dalam
Negara Islam, mereka berpikir untuk melunakan hati Yazid dan Muslim bin
Uqbah (panglima perang Yazid) dengan argumen agama, akan tetapi Muslim
justru memenggal kepala mereka dengan pedang. Hal tersebut dianggap Yazid
sebagai sebuah pembalasan atas apa yang terjadi pada nenek moyangnya di
perang Badar. Meskipun begitu, para fuqaha percaya bahwa Yazid akan diampuni
karena dia menjadi kaisar pertama yang menaklukan Konstatinopel.
Selanjutnya masih ada kisah Yazid yang selanjutnya, berbada dari yang
sebelumnya, kali ini penulis menceritakan kisah tentang Yazid bin Abdul Malik.
Pada masa kepemimpinannya didatangkan kepada khalayak 40 orang syeikh
untuk mengikrarkan kepada khalayak bahwa seorang khilafah tidak akan dihisap
Tuhan, apalagi disiksa. Hal tersebut lantas memberikan kebebasan kepada Yazid
untuk berbuat apa saja. Masa kepemimpinan Yazid dituliskan sebagai masa yang
penuh dengan kerusakan moral. Hal tersebut terjadi lantaran seorang khilafah
yang merupakan pimpinan suci umat Islam memiliki kehidupan yang dekat
dengan mabuk-mabukan, bermandikan kemewahan, dan penuh dengan kisah
perzinahan. Hal tersebut memberikan fakta bahwa kebobrokan tidak hanya keluar
dari tangan penguasa pada masa itu, namun juga dari para pemuka-pemuka agama
yang senantiasa dikirimi bingkisan dan dimanja dengan hadiah yang diberikan
oleh sang pemimpin. Mereka semua telah mengambil peran masing-masing
dalam sekenario yang tidak tertulis.
Dari Yazid penulis beralih ke cerita al-Walid bin Yazid yang merupakan
puncak dari kerusakan moral seorang pemimpin umat Islam. Al-Walid merupakan
sosok yang gemar mabuk-mabukan , homoseksual, dan hobinya yaitu membidik
Al-Quran dengan anak panah. Hal tersebut memberikan gambaran lebih jelas lagi
bagaimana Islam telah dicemari oleh umat Islam sendiri, terutama para pemimpin
yang mengatasnamakan Islam. Rakyat tidak dapat mengelak dari pemimpin-
pemimpin yang tirani dan destruktif. Baiat atas mereka abadi.
Dalam kisah-kisah yang paparkannya penulis akhirnya menutupnya
dengan dua kesimpulan atas apa yang terjadi pada masa Kekhalifahan Ummayah.
Pertama, pemimpin pada masa itu menyadari betul bahwa persoalan akan lebih
mudah ditangani dengan pola pikir duniawi ketimbang pola-pola ajaran agama.
Mereka lebih mudah menyelesaikan dengan pedang ketimbang dengan ayat Al-
Quran. Pedang dianggap sebagai hukum atau konstitusi yang berlaku pada masa
itu. Kedua, penerapan negara Islam yang berpatok pada agama mungkin akan
menjauhkan mereka dari inovasi dan iklim terbuka yang memanjakan insting dan
itihad akal budi. Banyak hal yang mendukung kemajuan mungkin akan dilarang.
Lagu akan dilarang, alat-alat musik (kecuali dari kulit binatang) dicekal, aktivitas
olahraga perempuan petaka. Akhirnya mereka hanya bertindak semena-mena,
menghancurkan segala sesuatu, melarang segala sesuatu.

Anda mungkin juga menyukai