100%(2)100% menganggap dokumen ini bermanfaat (2 suara)
747 tayangan3 halaman
Farag Fouda merupakan seorang doktor di bidang ekonomi pertanian. Dia lahir pada tahun 1945. Sepanjang perjalanan karirnya pernah berkecimbung di dunia politik. Tetapi dia lebih dikenal sebagai penggiat hak asasi manusia, dan komentator sosial. Buku “Kebenaran yang Hilang” menghadirkan cara pandang Fouda dalam melihat Khilafah dalam sejarahnya tidak lebih dari sistem kekuasaan totaliter berselubung agama.
Farag Fouda merupakan seorang doktor di bidang ekonomi pertanian. Dia lahir pada tahun 1945. Sepanjang perjalanan karirnya pernah berkecimbung di dunia politik. Tetapi dia lebih dikenal sebagai penggiat hak asasi manusia, dan komentator sosial. Buku “Kebenaran yang Hilang” menghadirkan cara pandang Fouda dalam melihat Khilafah dalam sejarahnya tidak lebih dari sistem kekuasaan totaliter berselubung agama.
Farag Fouda merupakan seorang doktor di bidang ekonomi pertanian. Dia lahir pada tahun 1945. Sepanjang perjalanan karirnya pernah berkecimbung di dunia politik. Tetapi dia lebih dikenal sebagai penggiat hak asasi manusia, dan komentator sosial. Buku “Kebenaran yang Hilang” menghadirkan cara pandang Fouda dalam melihat Khilafah dalam sejarahnya tidak lebih dari sistem kekuasaan totaliter berselubung agama.
Farag Fouda BAB III (Stefanus Kris Indarto/F1D015043)
Farag Fouda merupakan seorang doktor di bidang ekonomi pertanian.
Dia lahir pada tahun 1945. Sepanjang perjalanan karirnya pernah berkecimbung di dunia politik. Tetapi dia lebih dikenal sebagai penggiat hak asasi manusia, dan komentator sosial. Buku “Kebenaran yang Hilang” menghadirkan cara pandang Fouda dalam melihat Khilafah dalam sejarahnya tidak lebih dari sistem kekuasaan totaliter berselubung agama. Bab ke-4 dari buku tersebut bertajuk “Pembacaan Baru terhadap Sejarah Ummayah”. Farag Fouda membuka bab tersebut dengan bercerita mengenai tiga generasi Khalifah yang memiliki sifat kepemimpinan berbeda. Ketiganya yaitu Umar bin Khattab, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Abdul Malik bin Marwan. Tiga Khilafah tersebut memiliki sifat kepemimpinan yang berbeda- beda meskipun hal tersebut terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu abad. Umar bin Khattab merupakan sosok pemimpin yang tulus baik secara perkataan maupun tindakan terhadap rakyatnya. Selanjutnya Muawiyah merupakan sosok yang santun namun terdapat ketegasan dalam sikapnya. Ketegasannya membuat rakyatnya merasa seakan-akan tak berdaya dihadapannya. Masa kepemimpinan Muawiyah dibuktikan dengan berbagai penaklukan yang membuatnya berhasil membangun sebuah imperium. Sedangkan Abdul Malik diceritakan sebagai sosok yang tegas baik secara sifat maupun sikap. Ketegasannya bahkan cenderung ke arah diktator yang otoriter dan menindas. Ia digambarkan sebagai sosok pemimpin yang bertakhta di sebuah imperium yang telah kokoh dan tidak lagi khawatir terhadap pengambil alihan kekuasaan yang dimiliki saat ini. Pada dasarnya negara Islam merupakan negara yang menggunakan hukum Islam sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Namun yang sesungguhnya terjadi pada masa Abdul Malik justru sebaliknya. Ia mencampakan AL-Quran dan mengangkat jagal manusia yang bernama Hajjaj sebagai tangan kanan untuk memperkuat sendi-sendi kekuasaannya. Meskipun begitu kredibilitasnya dalam menjalankan kekuasaan tidak dapat diragukan lagi. Hal tersebut dibuktikan dengan keberhasilannya dalam menaklukan berbagai wilayah, memadamkan pemberontakan dan membentuk benteng pertahanan, serta mengadopsi dinar sebagai mata uang pertama negaranya. Tidak berhnti sampai disitu, kepiawaian Abdul Malik diturunkan kepada putra mahkotanya yaitu al- Walid. Dengan berpegang kepada wasiat ayahnya dia mengambil alih kekuasaan dan melakukan penaklukan-penaklukan di kawasan-kawasan tersulit. Selanjutnya Faraq mencoba membawa pembaca ke bagian-bagian yang lebih mengerikan dari masa Kekhalifahan Ummayah. Hal tersebut langsung dirujukan kepada Yazid bin Muawiyah yang terkenal dengan kasus pembunuhannya terhadap Husein bin Ali bin Abu Thalib. Pada masa kepemimpinnannya, Yazid disebut bertanggung jawab atas beberapa tindak kejahatan besar. Salah satunya adalah pembunuhan terhadap ± 4.500 jiwa serta pemerkosaan terhadap sekitar seribu perawan di Madinah. Hal tersebut disebabkan oleh bala tentara Yazid yang menyerang Madinah atas pencabutan baiat terhadap dirinya. Masyarakat kala itu dikatakan sedang bermimpi dalam Negara Islam, mereka berpikir untuk melunakan hati Yazid dan Muslim bin Uqbah (panglima perang Yazid) dengan argumen agama, akan tetapi Muslim justru memenggal kepala mereka dengan pedang. Hal tersebut dianggap Yazid sebagai sebuah pembalasan atas apa yang terjadi pada nenek moyangnya di perang Badar. Meskipun begitu, para fuqaha percaya bahwa Yazid akan diampuni karena dia menjadi kaisar pertama yang menaklukan Konstatinopel. Selanjutnya masih ada kisah Yazid yang selanjutnya, berbada dari yang sebelumnya, kali ini penulis menceritakan kisah tentang Yazid bin Abdul Malik. Pada masa kepemimpinannya didatangkan kepada khalayak 40 orang syeikh untuk mengikrarkan kepada khalayak bahwa seorang khilafah tidak akan dihisap Tuhan, apalagi disiksa. Hal tersebut lantas memberikan kebebasan kepada Yazid untuk berbuat apa saja. Masa kepemimpinan Yazid dituliskan sebagai masa yang penuh dengan kerusakan moral. Hal tersebut terjadi lantaran seorang khilafah yang merupakan pimpinan suci umat Islam memiliki kehidupan yang dekat dengan mabuk-mabukan, bermandikan kemewahan, dan penuh dengan kisah perzinahan. Hal tersebut memberikan fakta bahwa kebobrokan tidak hanya keluar dari tangan penguasa pada masa itu, namun juga dari para pemuka-pemuka agama yang senantiasa dikirimi bingkisan dan dimanja dengan hadiah yang diberikan oleh sang pemimpin. Mereka semua telah mengambil peran masing-masing dalam sekenario yang tidak tertulis. Dari Yazid penulis beralih ke cerita al-Walid bin Yazid yang merupakan puncak dari kerusakan moral seorang pemimpin umat Islam. Al-Walid merupakan sosok yang gemar mabuk-mabukan , homoseksual, dan hobinya yaitu membidik Al-Quran dengan anak panah. Hal tersebut memberikan gambaran lebih jelas lagi bagaimana Islam telah dicemari oleh umat Islam sendiri, terutama para pemimpin yang mengatasnamakan Islam. Rakyat tidak dapat mengelak dari pemimpin- pemimpin yang tirani dan destruktif. Baiat atas mereka abadi. Dalam kisah-kisah yang paparkannya penulis akhirnya menutupnya dengan dua kesimpulan atas apa yang terjadi pada masa Kekhalifahan Ummayah. Pertama, pemimpin pada masa itu menyadari betul bahwa persoalan akan lebih mudah ditangani dengan pola pikir duniawi ketimbang pola-pola ajaran agama. Mereka lebih mudah menyelesaikan dengan pedang ketimbang dengan ayat Al- Quran. Pedang dianggap sebagai hukum atau konstitusi yang berlaku pada masa itu. Kedua, penerapan negara Islam yang berpatok pada agama mungkin akan menjauhkan mereka dari inovasi dan iklim terbuka yang memanjakan insting dan itihad akal budi. Banyak hal yang mendukung kemajuan mungkin akan dilarang. Lagu akan dilarang, alat-alat musik (kecuali dari kulit binatang) dicekal, aktivitas olahraga perempuan petaka. Akhirnya mereka hanya bertindak semena-mena, menghancurkan segala sesuatu, melarang segala sesuatu.