Anda di halaman 1dari 2

WESTERLING

Di pasar buku bekas di Belanda, 1970-an, pedagang tua berjanggut putih itu tampak
tekun memandang orang-orang yang belanja. Pria tua itu adalah Raymond Paul Pierre
Westerling. Atau di sebut juga Kapten De Turk (karena ia masih ada darah Turki). Banyak dari
mereka yang tidak tahu, atau mungkin tidak peduli jika pria tua penjual buku bekas itu pernah
dikenal sebagai maniak perang yang haus kematian. Pada suatu masa di pedalaman Sulawesi,
pria itu yang mengambil alih tugas malaikat El-Maut dengan membantai habis 40 Ribu manusia.
Setelah proklamasi di baca dan Belanda bukan lagi penguasa, Westerling masih
bergentayangan di daerah Republik. Insting sebagai mahluk perang membuatnya tidak bisa jauh
dari bau mesiu. Hampir saja ia menguasai kota bandung dengan APRA-nya kalau tidak keburu di
hadang Bataliyon Siliwangi. Ia jadi buronan yang paling di cari para Republiken. Tapi
keberuntungan ada dipihaknya, ia lolos dengan pesawat Catallina dan terbang ke Belanda via
Singapura.
Di Belanda toh Fortuna masih melindunginya, Westerling lolos dari jeratan sebagai
penjahat perang.
Westerling itu prajurit bayaran yang tahu bagaimana menyenangkan majikan. Logika
sebagai tentara sewaan adalah logika dagang. Kesetiaannya tergantung dari berapa centimeter
tumpukan uang yang diterimanya. Karenanya si Westerling tidak ambil pusing ketika di suruh
membunuh orang seperti membunuh tikus.
“Saya hanya melaksanakan tugas,” katanya saat di tanya tentang pembantaian itu. Dan
tugas itu berarti putusnya 40 Ribu nyawa inlander. Tidak ada penyesalan atau kata tobat dari
mulutnya, selain loyalitas dan menuruti nafsu bertarungnya. Para inlader yang di buatnya
bergeletakan itu di pandang sebagai harga wajar dalam pertempuran.
Tindakan itu bukan tindakan politik, katanya. Karena konon ia melakukan itu untuk
mempersempit wilayah gerak si Ekstrimist Wolter Monginsidi dan Ali Malakka yang sering
mempecundangi Nica. Ia membabat ribuan orang bukan karena benci pada korbannya, tetapi
sebagai konsekuensi logis sebuah teknik persabungan.
Barangkali ada yang menilai itu jawaban orang yang tak tahu diri, jika di pandang dari
sudut moralitas. Tetapi sah dari pandangan profesionalitas. Sementara antara profesionalitas
dengan moralitas jarang terhubung benang merah. Dan memang itu lah Westerling yang bukan
prajurit pantat sepak yang hanya puas jadi umpan perang saja.
Catatan karir militernya: Ia mendapat baret Hijau di Skotlandia. Ia pernah menjadi
anggota pasukan Komando dengan spesialisasi sabotase dan peledakan, mendapat Baret Merah
dari SAS (The Special Air Service, Pasukan Elit Inggris), menjadi pengawal pribadi Lord
Mountbaten, bekerja di dinas rahasia Belanda, bahkan ia juga menjadi instruktur pasukan
Belanda, yakni untuk latihan bertempur tanpa senjata, membunuh tanpa suara.
Setiap perang selalu melahirkan manusia besar dan penjahat besar. Sementara perannya
jadi Savior (juru selamat) atau arsitek sebuah Genocide (pemusnahan manusia) bedanya hanya
setipis rambut dan sangat tergantung persepsi. Dan kaum militer dari dulu sampai sekarang
dikenang dari penaklukan yang dilakukannya. Sebut saja seperti The Great Alexander, Julius
Caesar, Genghis Khan, Timur Leng, Joan Of Arc, Attila The Hun, Fredic Barbarosa, Shin Huang
Ti atau Napoleon Bonaparte.
Di jaman moderen ada Rommel, Montgomery dan Mc Arthur yang adu siasat di perang
dunia II.
Sementara penakluk yang kita punya adalah Gajah Mada yang sayangnya tidak tertulis di
sejarah Dunia.
Kebanyakan para Filsuf memandang dunia ini kubangan yang dipenuhi orang sakit jiwa.
Karenanya mereka melakukan herbalisasi social yang lebih bersifat klinis.

Tetapi perang sudah terlanjur menjadi mur yang menjalankan peradaban. Juga keadilan.
Juga dendam yang mengiringinya. Memang antara keadilan dan pembalasan dendam banyak
kemiripan. Yang membedakan, balas dendam mesti menuntut adanya korban baru untuk di sakiti
atau terbunuh. Perkembangan peradaban manusia adalah perkembangan manajemen konflik,
kata Munir KONTRAS.

Anda mungkin juga menyukai