Pada tanggal 14 Agustus setelah jatuhnya Hirosima dan Nagasaki dari tanggal 6 dan
9 tahun 1945 dan di tanggal 14 - 16 terjadi kekosongan kekuasaan maka golongan pemuda
pada saat itu bersekukuh untuk memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan.
Kemerdekaan bukan hanya menjadi sejarah terpenting bagi bangsa indonesia akan
tetapi kemerdekaan menjadi magnet dan menjadi elemen yang terkuat bagi rakyat indonesia
dalam mempertahankan semua kebebasan. Akan tetapi, setelah indonesia merdeka ternyata
sekutu kembali datang dengan dua tujuannya yaitu menerima penyerahan kekuasaan dari
tangan indonesia dan yang kedua adalah membebaskan para tawanan perang dan interniran
sekutu. Akan tetapi kedatangan sekutu pada saat itu menggandeng NICA ( Nederlands
Indisch Civil Administration ), NICA adalah pasukan Belanda yang khusus menangani
bidang administrasi , Kedatangan mereka ditolak habis oleh pemerintah. didaerah Sulawesi
Selatan khususnya di Polewali Mandar daerah saya, Peristiwa dalam penolakan itu terjadi
di daerah Galung Lombok, Tinambung yang dikenal dengan Peristiwa Pembataian Galung
Lombok.
Kabupaten Polewali Mandar, merupakan salah satu dari dua pembantaian terbesar dunia.
Pembumihangusan di bagian barat Sulawesi ini berlangsung pada tanggal 1 Februari 1947
oleh tentara Belanda di bawah pimpinan Paul Raymond Westerling dan merupakan bagian
dari Agresi militer Belanda di wilayah Sulawesi. Saat itu, pasukan khusus Westerling
menyisir wilayah Majene dan Polman, mengumpulkan dan menembaki rakyat sipil di
daerah Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Polewali Mandar. Rakyat Mandar kala itu
di tembaki secara membabi buta dengan tangan terbelenggu. Tragedi ini termasuk
Komando Brigadir Jenderal Reginald Dyer menembaki Pria, wanita, dan anak – anak yang
sedang berkumpul di Jallianwala Bagh di bagian Utara kota Amritsar, India pada tanggal 13
April 1919.
Pada hari Sabtu tanggal 1 Februari 1947, seperti biasa yang dilakukan oleh pasukan
termasuk Sulawesi Barat ), Fase pertama adalah , orang – orang dari desa – desa di sekitar
desa Galung Lombok di kumpulkan dan di giring ke desa Galung Lombok. Hari sabtu di
daerah ini adalah hari pasar, dan semua orang yang sedang berada di pasar – pasar di desa –
desa sekitar Galung Lombok di giring ke desa Galung Lombok. Jumlahnya mencapai
ribuan orang , ada yang diangkut dengan menggunakan truk mengingat jaraknya yang jauh
seperti dari Soreang, yang berjarak 38 KM dari Galung Lombok. Namun, sebagian besar
memilih berjalan kaki sekitar 5 – 10 KM. Pasukan Depot Speciale Troepen ( DST ) yang ke
Majene di pimpin oleh Letnan Vermeulen. Ribuan rakyat ini dipaksa menyaksikan Eksekusi
terhadap orang – orang yang di tuduh oleh Belanda sebagai Ekstremis, Perampok atau
Pembunuh. Semua tahanan dari penjara – penjara di bawa ke Galung Lombok untuk
langsung di tembak mati tanpa proses pengadilan. Metode Tentara Belanda ini dikenal
sebagai Standrechtelijke executie atau tembak mati di tempat. Sebenarnya pola yang akan
di lakukan di desa Galung Lombok juga sama, yaitu fase pertama, seluruh masyarakat di
giring ke satu lapangan besar yang terbuka, kemudian perempuan dan anak – anak di
pisahkan. Fase Kedua, dilakukan seleksi terhadap orang – orang yang di pandang sebagai
Ekstremis, perampok dan pembunuh. Berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari Intel
nama – nama yang ada di daftar, dan langsung di tembak mati . Yang diambil dari penjara
juga langsung di tembak mati , karena dianggap sebagai perampok atau pembunuh. Di
beberapa tempat , seperti di Pinrang, mereka sebelumnya di suruh menggali lubang dahulu
untuk kuburan mereka sendiri baru kemudian di tembak di depan lubang yang mereka gali.
Namun, hal ini tidak di lakukan di desa Galung Lombok. Sekitar siang hari, ketika fase
berita, bahwa terjadi penghadangan terhadap pasukan Belanda di desa Tadholo, dimana 3
orang serdadu Belanda mati. Berita ini membuat Vermeulen menjadi marah besar dan
Lapangan di desa Galung Lombok. Dalam laporannya tahun 1969, Pemerintah Belanda
menyebut korban tewas di Galung Lombok ( Belanda salah menulis nama desanya , yang di
sebutkan terjadi di desa Galung – galung ) antara 350 – 400 orang. Tidak di sebut berapa
ratus orang yang terluka. Fase ketiga, setelah selesai di lakukan pembantaian , rakyat di
suruh berkumpul semua. Apabila ada kepala desa di antara yang mati di tembak atau yang
dianggap tidak mendukung Belanda , Maka diangkat Kepala Desa baru dengan ancaman
kepada seluruh rakyat, bahwa demikianlah nasib orang – orang yang menentang kekuasaan
Belanda.
Angka dari hasil Pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Weterling yaitu 40.000
jiwa menuai banyak pendapat dan bahkan ada yang meragukan bahwa angka tersebut
sangatlah tidak mungkin , mengingat penghitungan rata – rata dari korban perhari yang di
bunuh oleh pasukan Westerling adalah 40 - 100 orang perhari, maka dari tanggal 11
Desember 1946 – 17 Februari 1947 yang memiliki rentang 68 hari sekira tanpa jeda,
Pasukan Westerling telah membunuh rakyat Sulawesi selatan dan Sulawesi barat sekitar
2700 – 6800 jiwa. Angka ini jauh dari anggapan yang di yakini masyarakat saat ini dan
kemudian di cetak resmi dalam buku sejarah yaitu 40.000 jiwa. Tetapi, menurut informasi ,
klaim korban 40.000 jiwa itu berasal dari Kahar Muzakkar, seorang putra Bugis yang turut
berjuang di pulau Jawa. Saat itu, Bung Karno, mengajak bangsa Indonesia berduka atas
pernyataan Bung Karno itu. Bahwasanya, di Sulsel dan Sulbar korban mencapai 40 ribu
jiwa, tetapi hal itu tidak mencuri perhatian Pemerintah Pusat dan tidak di jadikan hari
Berkabung Nasional.
Terlepas dari perdebatan soal angka pasti jumlah korban, satu hal yang tak bias kita
abaikan bahwa rakyat Sulsel dan Sulbar telah turut berkorban jiwa dan raga demi mengusir
kolonialisme di bumi pertiwi ini. Mencakup tentang apa yang di lakukan oleh rakyat
Sulawesi Selatan dan Sulawesi barat setidaknya sebagai pelengkap betapa heroiknya
nasionalisme dan semangat kebangsaan, yang dimana mereka rela mati demi Negaranya
yaitu Indonesia. Diceritakan bahwa telah terjadi pembantaian di Sulawesi selatan dan
Sulawesi Barat yang membunuh rakyat secara massal dengan Jumlah korban yang
mencapai ribuan tersebut yang dilakukan oleh Raymond Pierre Paul Westerling.