Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PORTOFOLIO

KASUS PELANGGARAN HAM


MATA PELAJARAN PPKN

Disusun oleh :
Nama : SYAEFURROHIM
No. Absen : 34
NIS : 181910215
Kelas : XII MIPA 6

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA


BARAT DINAS PENDIDIKAN
CABANG DINAS PENDIDIKAN WILAYAH X
SMA NEGERI 1 SUMBER KAB. CIREBON
Jl. Pangeran Kejaksan No.43, Sumber, Kec. Sumber, Cirebon, Jawa Barat 45611

sman1sumber.crb@gmail.com
KABUPATEN CIREBON
TAHUN 2020
1. Peristiwa 1965 – 1966

Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam Jendral (tiga di antaranya dalam proses
penjemputan paksa pada pagi hari, sedangkan tiga sisanya dan satu orang perwira menengah
pada sore hari) dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi
namun Soeharto menamai gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September,
walau fakta sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 1
Oktober 1965, untuk mendekatkan penyebutan Gestapu dengan sebutan GESTAPO (Polisi
Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis dan kejam). Maka pemimpin-pemimpin utama
militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan
bersenjata (yang dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden
Soekarno selaku pemangku jabatan Panglima Tertinggi menurut Undang-Undang dalam
struktur komando di tubuh APRI). Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan
mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai
dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan.
Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh negeri.
Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati internasional
bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak
berpengaruh.
Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke
Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian
daerah di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatra. Pembantaian terburuk meletus di Jawa
Tengah dan Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatra utara dan
Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada
tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua
PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.
Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan
menggunakan pedang Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat
mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah
seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis
berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke
sungai. Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban
dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata. Pembantaian telah mereda pada Maret 1966,
meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969.
Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada
Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian.
2. Penembakan Misterius (1982 - 1986)

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus adalah suatu operasi rahasia dari


Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang
begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan
pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman
masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah
tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius).
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada
Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI
mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama
diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut
oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja-
ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya
tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di
Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan
provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Ta-
hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri
saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban
juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang
ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh
orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di
Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan
Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima
Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana
mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di
berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

3. Pembantaian Talangsari, Lampung (1989)

Tragedi Talangsari 1989 berawal dari menguatnya doktrin pemerintah Soeharto


tentang adanya asas tunggal Pancasila. Untuk menunjukkan komitmennya, Soeharto
menyebut prinsip tersebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa dengan program Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Program P-4 banyak menyasar kelompok
Islamis yang saat itu memiliki sikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Aturan tersebut
memancing reaksi kelompok Islam di Indonesia termasuk yang terjadi di tragedi Tanjung
Priok 1984, Barisan Jubah Putih di Aceh, dan kelompok Warsidi di Lampung.
Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di
Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain
karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas
Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Pada tanggal 1 Februari 1989, ketika Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat
yang ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, yang
menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan.
Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang
menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama,
Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah
setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh
Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi
dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor Camat Way Jepara, menuju
kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga memimpin, Kepala Staf Kodim
Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli Malik,
Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega,
serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi
kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan. Kedatangan Kapten
Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Dalam bentrokan tersebut
Kapten Soetiman tewas.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda
Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok
Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob
menyerbu ke Cihideung, pusat gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.
4. Tragedi Rumoh Geudong di Aceh (1989 - 1998)

Tragedi Rumoh Geudong adalah sebuah tragedi penyiksaan terhadap masyarakat


Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI selama masa konflik Aceh (1989-1998). Tragedi ini
terjadi di sebuah rumah tradisional Aceh yang djadikan sebagai markas TNI di desa Bilie,
Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Rumoh Geudong dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, hulubalang
yang tinggal di Rumoh Raya yang berjarak sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Semasa
perang Belanda, Rumoh Geudong sering digunakan sebagai pos pengatur strategi perang oleh
Raja Lamkuta. Setelah Raja Lamkuta wafat, Rumoh Geudong ditempati oleh adiknya, Teuku
Cut Ahmad, kemudian Teuku Keujren Rahmad, Teuku Keujren Husein, dan Teuku Keujren
Gade. Rumoh Geudong juga dijadikan sebagai basis perjuangan melawan tentara Jepang.
Sejak masa Jepang hingga Indonesia merdeka, rumah itu dihuni oleh Teuku Raja Umar dan
keturunannya, anak dari Teuku Keujreh Husein.
Saat Jakarta memberlakukan Operasi Militer di Aceh, pada April 1990, Rumoh
Geudong ditempati sementara oleh tentara tanpa sepengetahuan pemiliknya. Saat itu, pemilik
Rumoh Geudong sempat menyatakan keberatannya. Namun, pasukan pemerintah sudah
membuat rumah itu sebagai lokasi tahanan. Kejahatan yang dilakukan berupa pemaksaan atau
bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penyiksaan, pembunuhan, penghilangan orang
secara paksa dan perampasan kemerdekaan atau kebebsan fisik secara sewenang-wenang.

Ketika Aceh diperlakukan sebagai Daerah Operasi Militer 1990-1998, nyaris setiap
malam Komando Pasukan Khusus sebuah elite temper TNI menggiring dan menyeret
mangsa-mangsanya yang diculik dari penjuru Pidie dan Aceh Utara, lalu menyikap dan
menyiksa mereka di dalam jagal itu. Rumoh Geudong berdiri di atas lahan seluas 1.500 meter
persegi. terdiri satu bangunan uatama di tengah dan sebuah gudang di belakangnya. Di depan
rumah ada sebuah kolam yang dipenuhi lintah dan itu merupakan tempat penyiksaan ratusan
korban. Sisanya lahan yang jadi lokasi eksekusi pemasungan dan lubang sumur.

Tentara-tentara Indonesia membawa orang-orang Pidie dan Aceh Utara ke Rumah


Geudong lalu memasung dan menembaki mereka di bagian kaki dan lengan agar bisa
mengulur-ulur maut. Ada pula yang diperintahkan untuk mengali lobang sedalam-dalamnya,
begitu letih melanda mereka dibunuh. Lobang yang sebelumnya telah digali menjadi kuburan
mereka, dan lahan disekeliling Rumoh Geudong menjelma menjadi kuburan missal.

5. Penembakan Mahasiswa Trisakti (1998)

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap


mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini
menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan
lainnya luka.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri


Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998).
Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital
seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas
Trisakti ini juga digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang penulis sastra dan
jurnalis, Anggie D. Widowati dalam karyanya berjudul Langit Merah Jakarta.

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis


finansial Asia sepanjang 1997-1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-
besaran ke Gedung Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan
aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi
mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa
mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.

Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di
Universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di
lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri
Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta
Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.

Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk
tembakan peringatan.

6. Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa (1997 - 1998)

Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa


atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.

Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu
Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di antara
mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali.
Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak
satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.

Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu,
1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13
lainnya masih hilang hingga hari ini. dan penculikan itu terjadi saat masa kepemimpinan
Jenderal tertinggi ABRI, Wiranto.
Mugiyanto, Nezar Patria, Aan Rusdianto (korban yang dilepaskan) tinggal satu rumah
di rusun Klender bersama Bimo Petrus (korban yang masih hilang). Faisol Reza, Rahardjo
Walujo Djati (korban yang dilepaskan), dan Herman Hendrawan (korban yang masih hilang)
diculik setelah ketiganya menghadiri konferensi pers KNPD di YLBHI pada 12 Maret 1998.

Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1 orang terbunuh, 11
orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas
kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.

Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup
IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi
penculikan para aktivis politik pro-demokrasi. Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim
mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. 

7. Tragedi Semanggi I dan II (1998 - 1999)

Tragedi Semanggi menunjuk kepada 2 kejadian protes masyarakat terhadap


pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.
Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13
November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga
sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24
September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di
seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka.

Tragedi Semanggi 1 Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia


mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-
agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka
tidak mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak percaya dengan para
anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari
politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga
menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat
bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan
kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari
seluruh Indonesia dan dunia internasional Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta,
tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa
berkumpul. Apa pun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari
pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak
menghendaki aksi mahasiswa.

Tragedi Semanggi 2 Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang ke sekian kalinya


tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Kala itu adanya pendesakan
oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan
Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan
kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena
itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang
diberlakukannya UU PKB. Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal
dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.

8. Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh (1999)

Tragedi Simpang KKA, juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi


Krueng Geukueh, adalah sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal
3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki
kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang
terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe.

Awalnya berkembang kabar mengenai hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den
Rudal 001/Pulo Rungkom pada tanggal 30 April 1999. Anggota tersebut diklaim menyusup
ke acara peringatan 1 Muharam yang diadakan warga desa Cot Murong. Klaim ini diperkuat
oleh kesaksian warga yang sedang mempersiapkan acara ceramah magrib tersebut. Pasukan
militer Detasemen Rudal menanggapi hilangnya anggota tersebut dengan melancarkan
operasi pencarian masif yang melibatkan berbagai satuan, termasuk brigadir mobil (Brimob).
Saat melakukan penyisiran di desa, aparat melakukan penangkapan terhadap sekitar 20 orang
lalu melakukan aksi kekerasan. Para korban mengaku dipukul, ditendang, dan diancam oleh
aparat. Warga desa kemudian mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk
bernegosiasi. Komandan TNI berjanji aksi ini tidak akan terulang lagi.
Tanggal 3 Mei 1999, satu truk tentara memasuki desa Cot Murong dan Lancang
Barat, tetapi diusir oleh masyarakat setempat. Warga desa yang berunjuk rasa bergerak ke
markas Korem 011 untuk menuntut janji yang diberikan komandan sehari sebelumnya. Pada
siang hari, pengunjuk rasa berhenti di persimpangan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh,
yang lokasinya dekat dengan markas Korem, kemudian mengirimkan lima orang untuk
berdialog dengan komandan. Ketika dialog sedang berlangsung, jumlah tentara yang
mengepung warga semakin banyak, dan warga pun melempar batu ke markas Korem 011 dan
membakar dua sepeda motor. Setelah itu, dua truk tentara dari Arhanud yang dijaga
Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang dan mulai
menembaki kerumunan pengunjuk rasa.

Setelah insiden Dewantara, beberapa kantong berisi mayat yang diberi pemberat batu
ditemukan di dasar sungai. Pola pembuangan mayat ini diduga mengikuti pola yang
diterapkan pada insiden sebelumnya di Idi Cut.

9. Peristiwa Wasior, Manokwari, Papua (2001)

Peristiwa Wasior Berdarah terjadi selama kurun waktu April- Oktober 2001. Tragedi
Wasior yang terjadi pada tahun 2001 merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar
dari sekian banyak yang tragedi berdarah yang terjadi dan itu dilakukan oleh aparat militer
Indonesia.

Peristiwa Wasior bermula dari terbunuhnya 5 (lima) anggota Brimob dan seorang
warga sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa(VPP) di Desa Wondiboi,
Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001 dini hari. Parapelaku membawa lari 6 (enam) pucuk
senjata dari anggota Brimob yang tewas.

Sehubungan dengan peristiwa tersebut, pasukan dari Polres Manokwari diterjunkan ke


Distrik Wasior untuk selanjutnya menuju Desa Wondiboi, lokasi terbunuhnya 5 (lima)
anggota Brimob, guna mengevakuasi jenazah anggota Brimob yang tewas. Di samping itu,
pasukan ini juga mulai melakukan pencarian pelaku pembunuhan anggota Brimob di Desa
Wondiboi dan desa – desa sekitar kejadian (desa Tandia, desa Sendrawoi, desa Yopanggar,
desa Windesi, desa Yomakan, desa Wondamawi l, desa lsei). Untuk memperkuat pasukan
tersebut, pada hari-hari berikutnya dikirimkan pasukan dari Biak, Jayapura dan Sorong ke
lokasi yang sama. Pengejaran tidak hanya dilakukan di lokasi kejadian dan desa-desa
sekitarnya, tetapi juga hingga ke desa-desa yang berada di luar kabupaten Manokwari, yaitu
Kabupaten Nabire dan Kabupaten Serui.

Penduduk sipil yang ditangkap di kabupaten Nabire dan Serui. Setelah ditangkap dan
ditahan di Polres Serui dan Polres Nabire tanpa surat penahanan dan disiksa, mereka
dipindahkan ke Polres Manokwari. Di tempat ini mereka juga ditahan kembali tanpa surat
penahanan dan disiksa. Bahkan seorang dari yang ditahan dan disiksa itu meninggal dunia di
Polres Manokwari.

Selama proses pengejaran terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku pembunuhan
5 (lima) anggota Brimob tersebut telah terjadi tindak pembunuhan, penyiksaan termasuk
penyiksaan yang mengakibatkan kematian, penghilangan orang secara paksa, dan perkosaan
di sejumlah lokasi, yang dilakukan oleh anggota Polri.

10. Kasus Wamena, Papua (2003)

Pada 4 April 2003 masyarakat sipil Papua sedang mengadakan Hari Raya Paskah
namun, masyarakat setempat dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25 kampung. Penyisiran
dilakukan akibat sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim
1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskan dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD
Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata) dan satu orang luka berat.
Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pujuk senjata dan amunisi.

Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri telah melakukan


penyisiran di 25 kampung, yaitu: Desa Wamena Kota, Desa Sinakma, Bilume-Assologaima,
Woma, Kampung Honai lama, Napua, Walaik, Moragame-Pyamid, Ibele, Ilekma,
Kwiyawage -Tiom, Hilume desa Okilik, Kikumo, Walesi Kecamatan Assologaima dan
beberapa kampung di sebelah Kwiyawage yaitu: Luarem, Wupaga, Nenggeyagin, Gegeya,
Mume dan Timine.

Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan sembilan orang tewas, serta 38
orang luka berat. Selain itu pemindahan paksa terhadap warga 25 kampung menyebabkan 42
orang meninggal dunia karena kelaparan, serta 15 orang korban perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang. Penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa menimbukan
korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa.

Komnas HAM juga menemukan pemaksaan penandatanganan surat pernyataan, serta


perusakan fasilitas umum, (gereja, Poliklinik, gedung sekolah) yang mengakibatkan
pengungsian penduduk secara paksa.

Proses hukum atas kasus tersebut hingga saat ini mandek. Terjadi tarik ulur antar
Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI dengan alasan-alasan formalis-normatik, tanpa
mempertimbangkan betapa kesalnya para korban menonton sandiwara peradilan di Indonesia
dalam kondisi mereka yang kian terpuruk, sambil sambil mengharapkan keadilan yang tak
kujung datang. Sementara para tersangka terus menikmati hidupnya, mendapat kehormatan
sebagai pahlawan, menerima kenaikan pangkat dan promosi jabatan tanpa tersentuh hukum.
 

11. Tragedi Jambu Keupok di Aceh Selatan, Aceh (2003)

Peristiwa ini diawali setelah sebelumnya ada informasi dari seorang informan (cuak)
kepada anggota TNI bahwa pada tahun 2001-2002, Desa Jambo Keupok termasuk salah satu
daerah basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti
oleh aparat keamanan dengan melakukan razia dan menyisir kampung-kampung yang berada
di Kecamatan Bakongan.

Dalam operasinya, aparat keamanan sering melakukan tindak kekerasan terhadap


penduduk sipil; seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan
perampasan harta benda. Puncaknya adalah ketika pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 7 pagi,
sebanyak 3 (tiga) truk reo berisikan ratusan pasukan berseragam militer dengan memakai topi
baja, sepatu lars, membawa senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin
mendatangi desa Jambo Keupok dan memaksa seluruh pemilik rumah untuk keluar. Lelaki,
perempuan, tua, muda, dan anak-anak semua disuruh keluar dan dikumpulkan didepan rumah
seorang warga.

Para pelaku yang diduga merupakan anggota TNI Para Komando (PARAKO) dan
Satuan Gabungan Intelijen (SGI) menginterogasi warga satu persatu untuk menanyakan
keberadaan orang-orang GAM yang mereka cari. Ketika warga menjawab tidak tahu, pelaku
langsung memukul dan menendang warga.

Peristiwa tersebut mengakibatkan 4 warga sipil mati dengan cara disiksa dan
ditembak, 12 warga sipil mati dengan cara disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup, 3
rumah warga dibakar, 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4
orang perempuan ditendang dan dipopor dengan senjata. Peristiwa ini juga membuat warga
harus mengungsi selama 44 hari ke sebuah Mesjid karena takut anggota TNI akan kembali
datang ke desa Jambo Keupok.

10 tahun sudah, warga Jambo Kepuok tidak memperoleh keadilan dari negara.
Bahkan mereka hingga saat ini masih mengalami trauma. Banyak anak-anak korban yang
tidak mampu melanjutkan pendidikan karena tidak memiliki biaya (berhenti pada SD, SLTP
dan SLTA). Sementara, proses hukum terhadap para pelaku belum juga dilakukan.

12. Peristiwa Paniai 2014

Kejadian bermula pada 8 Desember 2014 tengah malam, saat sebuah mobil hitam
melaju dari Enaro menuju kota Madi, diduga dikendarai oleh dua oknum anggota TNI,
dihentikan tiga remaja warga sipil.
Ketiga remaja tersebut meminta lampu mobil dinyalakan karena warga sedang
mengetatkan keamanan jelang natal. Mereka pun menahan mobil tersebut. Tidak terima
ditahan, terduga anggota TNI tersebut kembali ke Markas TNI di Madi Kota, dan kemudian
mengajak beberapa anggota lainnya kembali ke Togokotu, tempat ketiga remaja tersebut
menghentikan mereka. Mereka pun kembali dan mengejar tiga remaja tadi. Dua orang lari,
satu lainnya dipukul hingga babak belur. Warga lalu melarikan anak yang terluka tersebut ke
rumah sakit.

Keesokan paginya warga Paniai berkumpul dan meminta aparat melakukan


pertanggung jawaban terhadap remaja yang dipukul. Warga berkumpul di lapangan Karel
Gobay, namun sebelum dilakukan pembicaraan, aparat gabungan TNI dan Polri sudah
melakukan penembakan ke warga.

Empat orang tewas ditempat, 13 orang terluka dilarikan ke rumah sakit. Satu orang
akhirnya meninggal dalam perawatan di rumah sakit Mahdi. Kelima orang yang tewas adalah
Simon Degei (18 tahun), Otianus Gobai (18 tahun), Alfius Youw (17 tahun), Yulian Yeimo
(17 tahun), Abia Gobay (17 tahun). Kesemuanya pelajar di SMA Negeri 1 Paniai.

Anda mungkin juga menyukai