Disusun oleh :
Nama : SYAEFURROHIM
No. Absen : 34
NIS : 181910215
Kelas : XII MIPA 6
sman1sumber.crb@gmail.com
KABUPATEN CIREBON
TAHUN 2020
1. Peristiwa 1965 – 1966
Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam Jendral (tiga di antaranya dalam proses
penjemputan paksa pada pagi hari, sedangkan tiga sisanya dan satu orang perwira menengah
pada sore hari) dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi
namun Soeharto menamai gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September,
walau fakta sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 1
Oktober 1965, untuk mendekatkan penyebutan Gestapu dengan sebutan GESTAPO (Polisi
Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis dan kejam). Maka pemimpin-pemimpin utama
militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan
bersenjata (yang dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden
Soekarno selaku pemangku jabatan Panglima Tertinggi menurut Undang-Undang dalam
struktur komando di tubuh APRI). Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan
mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal. Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai
dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober, jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan.
Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan pembersihan di seluruh negeri.
Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan pemerhati internasional
bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak
berpengaruh.
Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke
Jawa Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian
daerah di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatra. Pembantaian terburuk meletus di Jawa
Tengah dan Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatra utara dan
Bali. Petinggi-petinggi PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada
tanggal 6 November, ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua
PKI M.H. Lukman segera sesudahnya.
Metode pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan
menggunakan pedang Jepang. Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat
mengeluh karena sungai yang mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah
seperti Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis
berbaris. Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke
sungai. Pembantaian ini mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban
dijarah atau diserahkan ke angkatan bersenjata. Pembantaian telah mereda pada Maret 1966,
meskipun beberapa pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969.
Penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada
Maret 1966 menandai berakhirnya pembantaian.
2. Penembakan Misterius (1982 - 1986)
Ketika Aceh diperlakukan sebagai Daerah Operasi Militer 1990-1998, nyaris setiap
malam Komando Pasukan Khusus sebuah elite temper TNI menggiring dan menyeret
mangsa-mangsanya yang diculik dari penjuru Pidie dan Aceh Utara, lalu menyikap dan
menyiksa mereka di dalam jagal itu. Rumoh Geudong berdiri di atas lahan seluas 1.500 meter
persegi. terdiri satu bangunan uatama di tengah dan sebuah gudang di belakangnya. Di depan
rumah ada sebuah kolam yang dipenuhi lintah dan itu merupakan tempat penyiksaan ratusan
korban. Sisanya lahan yang jadi lokasi eksekusi pemasungan dan lubang sumur.
Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di
Universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di
lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri
Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta
Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk
tembakan peringatan.
Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu
Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di antara
mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali.
Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak
satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.
Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu,
1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13
lainnya masih hilang hingga hari ini. dan penculikan itu terjadi saat masa kepemimpinan
Jenderal tertinggi ABRI, Wiranto.
Mugiyanto, Nezar Patria, Aan Rusdianto (korban yang dilepaskan) tinggal satu rumah
di rusun Klender bersama Bimo Petrus (korban yang masih hilang). Faisol Reza, Rahardjo
Walujo Djati (korban yang dilepaskan), dan Herman Hendrawan (korban yang masih hilang)
diculik setelah ketiganya menghadiri konferensi pers KNPD di YLBHI pada 12 Maret 1998.
Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1 orang terbunuh, 11
orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas
kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup
IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi
penculikan para aktivis politik pro-demokrasi. Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim
mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999.
Awalnya berkembang kabar mengenai hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den
Rudal 001/Pulo Rungkom pada tanggal 30 April 1999. Anggota tersebut diklaim menyusup
ke acara peringatan 1 Muharam yang diadakan warga desa Cot Murong. Klaim ini diperkuat
oleh kesaksian warga yang sedang mempersiapkan acara ceramah magrib tersebut. Pasukan
militer Detasemen Rudal menanggapi hilangnya anggota tersebut dengan melancarkan
operasi pencarian masif yang melibatkan berbagai satuan, termasuk brigadir mobil (Brimob).
Saat melakukan penyisiran di desa, aparat melakukan penangkapan terhadap sekitar 20 orang
lalu melakukan aksi kekerasan. Para korban mengaku dipukul, ditendang, dan diancam oleh
aparat. Warga desa kemudian mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk
bernegosiasi. Komandan TNI berjanji aksi ini tidak akan terulang lagi.
Tanggal 3 Mei 1999, satu truk tentara memasuki desa Cot Murong dan Lancang
Barat, tetapi diusir oleh masyarakat setempat. Warga desa yang berunjuk rasa bergerak ke
markas Korem 011 untuk menuntut janji yang diberikan komandan sehari sebelumnya. Pada
siang hari, pengunjuk rasa berhenti di persimpangan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh,
yang lokasinya dekat dengan markas Korem, kemudian mengirimkan lima orang untuk
berdialog dengan komandan. Ketika dialog sedang berlangsung, jumlah tentara yang
mengepung warga semakin banyak, dan warga pun melempar batu ke markas Korem 011 dan
membakar dua sepeda motor. Setelah itu, dua truk tentara dari Arhanud yang dijaga
Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang dan mulai
menembaki kerumunan pengunjuk rasa.
Setelah insiden Dewantara, beberapa kantong berisi mayat yang diberi pemberat batu
ditemukan di dasar sungai. Pola pembuangan mayat ini diduga mengikuti pola yang
diterapkan pada insiden sebelumnya di Idi Cut.
Peristiwa Wasior Berdarah terjadi selama kurun waktu April- Oktober 2001. Tragedi
Wasior yang terjadi pada tahun 2001 merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar
dari sekian banyak yang tragedi berdarah yang terjadi dan itu dilakukan oleh aparat militer
Indonesia.
Peristiwa Wasior bermula dari terbunuhnya 5 (lima) anggota Brimob dan seorang
warga sipil di base camp perusahaan CV. Vatika Papuana Perkasa(VPP) di Desa Wondiboi,
Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001 dini hari. Parapelaku membawa lari 6 (enam) pucuk
senjata dari anggota Brimob yang tewas.
Penduduk sipil yang ditangkap di kabupaten Nabire dan Serui. Setelah ditangkap dan
ditahan di Polres Serui dan Polres Nabire tanpa surat penahanan dan disiksa, mereka
dipindahkan ke Polres Manokwari. Di tempat ini mereka juga ditahan kembali tanpa surat
penahanan dan disiksa. Bahkan seorang dari yang ditahan dan disiksa itu meninggal dunia di
Polres Manokwari.
Selama proses pengejaran terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku pembunuhan
5 (lima) anggota Brimob tersebut telah terjadi tindak pembunuhan, penyiksaan termasuk
penyiksaan yang mengakibatkan kematian, penghilangan orang secara paksa, dan perkosaan
di sejumlah lokasi, yang dilakukan oleh anggota Polri.
Pada 4 April 2003 masyarakat sipil Papua sedang mengadakan Hari Raya Paskah
namun, masyarakat setempat dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25 kampung. Penyisiran
dilakukan akibat sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim
1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskan dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD
Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata) dan satu orang luka berat.
Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pujuk senjata dan amunisi.
Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan sembilan orang tewas, serta 38
orang luka berat. Selain itu pemindahan paksa terhadap warga 25 kampung menyebabkan 42
orang meninggal dunia karena kelaparan, serta 15 orang korban perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang. Penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa menimbukan
korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa.
Proses hukum atas kasus tersebut hingga saat ini mandek. Terjadi tarik ulur antar
Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI dengan alasan-alasan formalis-normatik, tanpa
mempertimbangkan betapa kesalnya para korban menonton sandiwara peradilan di Indonesia
dalam kondisi mereka yang kian terpuruk, sambil sambil mengharapkan keadilan yang tak
kujung datang. Sementara para tersangka terus menikmati hidupnya, mendapat kehormatan
sebagai pahlawan, menerima kenaikan pangkat dan promosi jabatan tanpa tersentuh hukum.
Peristiwa ini diawali setelah sebelumnya ada informasi dari seorang informan (cuak)
kepada anggota TNI bahwa pada tahun 2001-2002, Desa Jambo Keupok termasuk salah satu
daerah basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Informasi tersebut kemudian ditindaklanjuti
oleh aparat keamanan dengan melakukan razia dan menyisir kampung-kampung yang berada
di Kecamatan Bakongan.
Para pelaku yang diduga merupakan anggota TNI Para Komando (PARAKO) dan
Satuan Gabungan Intelijen (SGI) menginterogasi warga satu persatu untuk menanyakan
keberadaan orang-orang GAM yang mereka cari. Ketika warga menjawab tidak tahu, pelaku
langsung memukul dan menendang warga.
Peristiwa tersebut mengakibatkan 4 warga sipil mati dengan cara disiksa dan
ditembak, 12 warga sipil mati dengan cara disiksa, ditembak, dan dibakar hidup-hidup, 3
rumah warga dibakar, 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 4
orang perempuan ditendang dan dipopor dengan senjata. Peristiwa ini juga membuat warga
harus mengungsi selama 44 hari ke sebuah Mesjid karena takut anggota TNI akan kembali
datang ke desa Jambo Keupok.
10 tahun sudah, warga Jambo Kepuok tidak memperoleh keadilan dari negara.
Bahkan mereka hingga saat ini masih mengalami trauma. Banyak anak-anak korban yang
tidak mampu melanjutkan pendidikan karena tidak memiliki biaya (berhenti pada SD, SLTP
dan SLTA). Sementara, proses hukum terhadap para pelaku belum juga dilakukan.
Kejadian bermula pada 8 Desember 2014 tengah malam, saat sebuah mobil hitam
melaju dari Enaro menuju kota Madi, diduga dikendarai oleh dua oknum anggota TNI,
dihentikan tiga remaja warga sipil.
Ketiga remaja tersebut meminta lampu mobil dinyalakan karena warga sedang
mengetatkan keamanan jelang natal. Mereka pun menahan mobil tersebut. Tidak terima
ditahan, terduga anggota TNI tersebut kembali ke Markas TNI di Madi Kota, dan kemudian
mengajak beberapa anggota lainnya kembali ke Togokotu, tempat ketiga remaja tersebut
menghentikan mereka. Mereka pun kembali dan mengejar tiga remaja tadi. Dua orang lari,
satu lainnya dipukul hingga babak belur. Warga lalu melarikan anak yang terluka tersebut ke
rumah sakit.
Empat orang tewas ditempat, 13 orang terluka dilarikan ke rumah sakit. Satu orang
akhirnya meninggal dalam perawatan di rumah sakit Mahdi. Kelima orang yang tewas adalah
Simon Degei (18 tahun), Otianus Gobai (18 tahun), Alfius Youw (17 tahun), Yulian Yeimo
(17 tahun), Abia Gobay (17 tahun). Kesemuanya pelajar di SMA Negeri 1 Paniai.