Anda di halaman 1dari 2

Aurelia swastika _ resume 40 ribu jiwa

Hari Korban 40 Ribu Jiwa pada Sulawesi Selatan diperingati setiap lepas 11 Desember.
Adalah insiden pembantaian ribuan masyarakat sipil pada Sulawesi Selatan dilakukan sang pasukan
Belanda Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling.
Westerling seseorang perwira Belanda berdarah Turki.
Mereka datang pada Makassar dalam lima Desember 1946. Peristiwa korban 40 ribu ini
terjadi dalam bulan Desember 1946 sampai Februari 1947. Belanda berkilah menjadi operasi militer
Counter Insurgency atau penumpasan pemberontakan.

Aksi Pertama:

Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai dalam malam lepas 11 menjelang 12
Desember 1946. Sasarannya merupakan desa Batua dan beberapa desa mini pada sebelah timur
Makassar & Westerling sendiri yg memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang
dipimpin sang Serma H. Dolkens menyerbu Borong & pasukan ke 2 dipimpin sang Serma Instruktur J.
Wolff beroperasi pada Batua & Patunorang. Westerling sendiri beserta Sersan Mayor Instruktur W.
Uittenbogaard dibantu sang 2 ordonan, satu operator radio dan 10 orang staf menunggu pada desa
Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi daerah itu


dikepung & seiring menggunakan frekuwensi lampu pukul lima.45 Wita dimulai
penggeledahan pada tempat tinggal -tempat tinggal penduduk. Semua masyarakat digiring ke desa
Batua.

Fase ke 2 dimulai, dari Belanda, yaitu mencari “kaum ekstremis, perampok,


penjahat & pembunuh”. Westerling sendiri yg memimpin aksi
ini & berbicara pada masyarakat, yg diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia mempunyai daftar nama
“pemberontak” yg sudah disusun sang Vermeulen.
Kepala istinorma & ketua desa wajib membantunya mengidentifikasi nama-nama tadi.
Hasilnya merupakan 35 orang yg dituduh pribadi dihukum pada tempat.

Fase ketiga merupakan ancaman pada masyarakat buat tindakan dalam masa depan,
penggantian Kepala desa dan pembentukan polisi desa yg wajib melindungi desa menurut anasir-
anasir “pemberontak, teroris & perampok”.

Setelah itu masyarakat disuruh pergi ke desa masing-masing.


Operasi yg berlangsung menurut pukul 4 sampai pukul 12.30 Wita sudah menyebabkan tewasnya
44 masyarakat desa. Demikianlah “sweeping ala Westerling”. Dengan pola yg sama, operasi
pembantaian masyarakat pada Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling pula memimpin sendiri
operasi pada desa Tanjung Bunga dalam malam lepas 12 menjelang 13 Desember 1946. Sebanyak 61
orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung mini pada lebih kurang desa Tanjung Bunga
dibakar, sebagai akibatnya korban meninggal seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya dalam malam lepas 14 menjelang 15 Desember 1946, datang giliran


Kalukuang yg terletak pada pinggiran kota Makassar, sebesar 23 orang masyarakat ditembak mati.
Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi & Ali Malaka yg diburu sang tentara Belanda
berada pada daerah ini, tetapi mereka nir bisa ditemukan. Pada malam lepas 16 menjelang lepas 17
Desember 1946, Desa Jongaya yg terletak pada sebelah tenggara Makassar sebagai sasaran. Di
sini sebesar 33 orang dihukum mati.

Aksi ke 2:
Setelah wilayah lebih kurang Makassar dibersihkan, aksi termin ke 2 dimulai lepas 19 Desember
1946. Sasarannya merupakan Polobangkeng yg terletak pada selatan Makassar. Dalam operasi ini
330 orang masyarakat meninggal dibunuh.

Aksi ketiga:

Aksi termin ketiga mulai dilancarkan dalam 26 Desember 1946 terhadap


Gowa & dilakukan pada 3 gelombang, yaitu lepas 26 & 29 Desember 1946 dan tiga Januari 1947. Di
sini pula dilakukan kolaborasi antara Pasukan Khusus DST menggunakan pasukan KNIL.
Korban meninggal pada kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Jumlah Korban Jiwa:

Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia mengungkapkan pada Dewan Keamanan PBB,
korban pembantaian terhadap penduduk, yg dilakukan sang Capt Raymond
Westerling semenjak bulan Desember 1946 pada Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Menurut inspeksi Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan hanya lebih
kurang tiga.000 masyarakat Sulawesi Selatan meninggal dibantai sang Pasukan Khusus pimpinan
Westerling. Untuk menghindari pengadilan Westerling sendiri menyampaikan, bahwa
korban dampak aksi yg dilakukan sang pasukannya “hanya” 600 orang.

Perbuatan Westerling bersama pasukan khususnya bisa lolos menurut tuntutan pelanggaran HAM
Pengadilan Belanda, lantaran sebenarnya aksi terornya yg dinamakan contra-guerilla,
memperoleh biar menurut Letnan Jenderal Spoor & Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes
van Mook. Jadi yg sebenarnya bertanggung jawab atas pembantaian masyarakat Sulawesi
Selatan merupakan Pemerintah & Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian sang tentara Belanda pada Sulawesi Selatan ini bisa dimasukkan ke pada kategori
kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yg sampai sekarangpun bisa dimajukan ke
pengadilan internasional. Lantaran buat pembantaian etnis (Genocide) & crimes against
humanity, nir terdapat kedaluwarsanya. Perlu diupayakan, insiden pembantaian ini dimajukan ke
International Criminal Court (ICC) pada Den Haag, Belanda.

Belanda Minta Maaf:

Pada 12 September 2013, Pemerintah Belanda melalui Duta Besarnya pada Jakarta, Tjeerd de
Zwaan, mengungkapkan permintaan maafnya pada semua korban pembantaian.

“Atas nama Pemerintah Belanda aku meminta maaf atas peristiwa-peristiwa ini. Hari
ini aku pula meminta maaf pada para janda menurut Bulukumba, Pinrang, Polewali
Mandar & Parepare,” istilah Tjeerd de Zwaan.

Selain itu, Pemerintah Belanda pula menaruh kompensasi pada 10 janda yg suaminya sebagai korban
pembantaian tadi masing-masing sebanyak 20 ribu Euro atau Rp 301 juta.

Namun, apapun kilah Belanda yg menyampaikan jumlah korban meninggal hanya 3 sampai empat
ribuan jiwa, namun bagi kami masyarakat Sulawesi Selatan meninggalkan luka & kesedihan tiada
tara hingga ketika ini.

Anda mungkin juga menyukai