Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH RAWAGEDE

Setelah peristiwa Rengasdengklok yang mengantarkan proklamasi kemerdekaan


RI, Karawang menyimpan peristiwa tragis di Rawagede. Peristiwa ini mengilhami
Chairil Anwar menulis puisi Antara Karawang Bekasi. Di lokasi terjadinya peristiwa
tragis tersebut sekarang telah dibangun Monumen Rawagede. Monumen ini berada di
pinggir jalan sebelah utara, Dusun Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan
Rawamerta, tepatnya pada koordinat 06° 14' 283" Lintang Selatan dan 107° 19' 599"
Bujur Timur. Komplek monumen berpagar tembok. Lingkungan di sekitar monumen
berupa perkampungan dan persawahan.
Bangunan monumen yang dibangun mulai November 1995 dan diresmikan pada
12 Juli 1996 ini terdiri dua lantai. Pada ruang lantai bawah terdapat diorama peristiwa
pembantaian warga oleh tentara Belanda. Dinding luar bagian bawah dihias relief
yang menggambarkan peristiwa perjuangan rakyat Karawang. Khusus panil bagian
belakang relief menggambarkan perjuangan rakyat Karawang di daerah Rawagede
saat mempertaruhkan nyawa demi tegaknya kemerdekaan. Di lantai atas terdapat
patung perunggu yang menggambarkan seorang ibu yang dipangkuannya terkulai
tubuh suami dan anaknya yang tewas ditembak. Di belakang panil tersebut terdapat
stela yang diisi penggalan puisi Antara Karawang Bekasi karya Chairil Anwar.
Bangunan monumen melambangkan proklamasi kemerdekaan RI. Anak tangga
menuju lantai atas berjumlah 17 melambangkan tanggal 17. Denah bangunan lantai
dasarbersegi delapan melambangkan bulan delapan. Bagian puncak berbentuk
piramid yang terbagi empat setinggi 5 m melambangkan tahun 1945.

Di belakang bangunan monumen terdapat halaman yang fungsinya untuk tempat


upacara dan juga sebagai penghubung antara bangunan monumen dengan makam
pahlawan yag berada di sebelah utaranya. Halaman ini juga dimaksudkan sebagai
lambang jembatan emas perjuangan bangsa Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan.
Makam pahlawan di bagian belakang diberi nama Sampurna Raga. Di samping timur
jalan masuk makam pahlawan terdapat data korban peristiwa tindakan militer Belanda
di Rawagede. Jumlah korban tersebut terdiri peristiwa 9 Desember 1947 sebnyak 431
orang, kurun waktu antara Januari sampai Oktober 1948 sebanyak 43 orang, dan
korban pada kurun waktu Juli sampai November 1950 sebanyak 17 orang. Dari sekian
korban tersebut yang dimakamkan di taman makam pahlawan Sampurna Raga
sebanyak 181 orang.

Dengan adanya monumen ini generasi penerus akan dapat menghayati kegigihan
masyarakat pada waktu itu daam rangka mempertahankan kemerdekaan. Letaknya
yang sangat strategis, mudah dijangkau, dan berada pada lokasi peristiwa menjadikan
monumen ini sangat memberi arti bagi pendidikan perjuangan kepada generasi
penerus. Monumen ini sekarang dikelola oleh Yayasan Rawagede di bawah pimpinan

Kronologis :
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung
Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara
Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu
melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban
pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah
Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi,
mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4
Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35
orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas. Peristiwa dikira menjadi
inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara Karawang dan Bekasi,
namun ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.
Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda
harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya.
Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, tentara Belanda dari
Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit
pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan
terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah
Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie
veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale
Troepen).
Sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang
Indonesia.Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda memburu Kapten
Lukas Kustaryo, komandan kompi Siliwangi - kemudian menjadi Komandan
Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi - yang berkali-kali berhasil
menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga
berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan
pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara
Belanda di bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan
menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun.
Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan
mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri
berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun
tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati
semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang
berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia
83 tahun menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang
jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan
senapan mesin –istilah penduduk setempat: "didrèdèt"- ayahnya yang berdiri di
sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia
pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan,
tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di
Rawagede juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah
tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian
lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena
hujan deras.
Seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari desa
Wamel, sebuah desa di provinsi Gerderland, Belanda Timur mengirim surat kebata
korban perang sebagai berikut: Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki.
Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-
desa lain. Saat malam hari Rawa Gede dikepung. Mereka yang mencoba
meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai
tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll). Jam setengah enam
pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak
yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh, semuanya ditembak mati. Setelah
desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu
dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang
tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh telah menerima pelajarannya. Semua lelaki
ditembak mati oleh pasukan yang dinamai Angkatan Darat Kerajaan. Semua
perempuan ditembak mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua anak ditembak
mati.
Desa Wamel pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil
tewas dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Nampaknya dari peristiwa Wamel ini,
sang veteran menulis surat penyesalan tersebut.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut.
Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda
meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan
seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12
dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm
saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu,
mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya,
sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Kejahatan perang
Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada
Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari
PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer
tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang
tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak
bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim
untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara
tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke
Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam
laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent
excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”,
disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana
Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut
diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di
dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh
tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah
agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede
hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas
pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke
pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang
dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-
misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film
dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya,
di Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM
berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara
Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI
adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan
kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima
17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis –de jure-
sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus
2005.
Tuntutan kepada pemerintah Belanda pertama kali disampaikan oleh Komite Nasional
Pembela Martabat Bangsa Indonesia [KNPMBI]. [petisi . KNPMBI didirkan pada 9
Maret 2002.
Karena lingkup kegiatan KNPMBI sangat luas, maka khusus untuk menangani hal-hal
yang sehubungan dengan Belanda, Ketua Umum KNPMBI, Batara R. Hutagalug
bersama aktivis KNPMBI pada 5 Mei 2005 bertempat di gedung Joang '45,
mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda [KUKB].
Pada 15 Desember 2005, Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang
Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua
Dewan Penasihat KUKB bersama aktivis KUKB di Belanda diterima oleh Bert
Koenders, juru bicara Fraksi Partij van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda
di Den Haag.[1]
Dalam kunjungannya ke Belanda, pada 18 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R.
Hutagalung meresmikan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat Jeffry Pondaag
sebagai Ketua KUKB Cabang Belanda, serta Charles Suryandi sebagai sekretaris.
KUKB di Belanda membentuk badan hukum baru, yayasan K.U.K.B. Anggota Dewan
Penasihat KUKB, Abdul Irsan SH., yang juga mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan
Belanda, memberi sumbangan untuk biaya pendirian yayasan, dan untuk membayar
pengacara di Belanda yang akan mewakili tuntutan para janda korban di Rawagede.
Belakangan, KUKB dan Yayasan KUKB pecah.
Yayasan KUKB bersama para janda, penyintas (survivor), dan saksi korban
pembantaian di Rawagede menuntut kompensasi dari Pemerintah Belanda. Liesbeth
Zegveld dari biro hukum Bohler menjadi pengacara mereka.
Pada 15 Agustus 2006, 15 Agustus 2007 dan 15 Agustus 2008 KUKB pimpinan
Batara R. Hutagalung bersama beberapa janda dan korban yang selamat dari
pembantaian di Rawagede melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda di
Jakarta, dan setiap kali menyampaikan lagi tuntutan kepada Pemerintah Belanda.
Parlemen Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM
yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian
belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas,
mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam
pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada 16.8.2005 diakui oleh Menlu
Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah
yang salah.
Tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan seorang lelaki
penyintas (survivor) lantas menggugat pemerintah Belanda atas kejadian pada tahun
1947 itu. Jaksa pemerintah Belanda berpendapat tuntutan mereka kedaluwarsa.
Namun, pengadilan Den Haag pada 14 September 2012 menyatakan pemerintah
Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda diperintahkan
membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. kompensasi berupa sejumlah
uang masing-masing 1 miliar rupiah.

Pembantaian di Rawagede, 9 Desember 1947


KARAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda.
Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949)
pada tahun 1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang
melawan tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti
maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian
tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan
mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu
korban pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai
tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang
terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda
menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang
dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban
jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan
“sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.
Pembantaian penduduk desa di Rawagede pada Desember 1947 adalah pembantaian
terbesar setelah pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan
antara bulan Desember 1946 sampai Februari 1947. sampai bulan Agustus 1949, di
mana ribuan penduduk dibunuh tanpa proses. Dalam agresi militernya di Indonesia
antara tahun 1945 - 1950, tentara Belanda telah melakukan berbagai kejahatan perang
dan kejahatan atas kemanusiaan serta pelanggaran HAM berat, termasuk perkosaan
terhadap perempuan-perempuan Indonesia yang ditawan oleh tentara Belanda.
Ironisnya, semua kejahatan dan pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh tentara
Belanda, setelah berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945, setelah Belanda bebas dari
pendudukan Jerman dan ratusan ribu orang Belanda dibebaskan dari kamp-kamp
interniran Jepang di Indonesia di mana mereka mendekam dari tahun 1942 - 1945.
Belanda termasuk negara-negara korban agresi militer Jerman dan Jepang, yang
menuntut Jerman dan Jepang atas berbagai kejahatan perang dan pelanggaran HAM.
Tetapi kemudian tentara Belanda melakukan hal yang sama, yaitu berbagai kejahatan
perang dan kejahatan atas kemanusiaan dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali
Indonesia.
Jepang melancarkan agresi militer di Asia Timur, yang diawali dengan
penyerbuan atas pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember
1941. Kemudian Jepang menyerbu ke Asia Tenggara, termasuk ke jajahan Belanda,
Nederlands Indië. Satu persatu wilayah jajahan Perancis, Inggris dan Belanda di Asia
Tenggara jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon.
Tanggal 1 Maret 1942, Tentara Jepang XVI di bawah komando Letnan Jenderal
Hitoshi Imamura melancarkan serangan atas pulau Jawa, setelah sebelumnya
Angkatan Laut Jepang menghancurkan armada sekutu ABDACOM (American,
British, Dutch, Australian Command) dalam pertempuran sengit di laut Jawa, yang
dikenal sebagai “The Battle of Java Sea.”
Setelah digempur hanya selama satu minggu, tentara Belanda di India-Belanda
hampir tanpa perlawanan menyerah kepada tentara Jepang. Pada 9 Maret 1942 di
Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat, Letnan Jenderal Hein Ter Poorten panglima
Tertinggi Tentara Belanda di India-Belanda mewakili Gubernur Jenderal India-
Belanda, Jonkheer Alidus Warmmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh-
Stachouwer menandatangani dokumen MENYERAH TANPA SYARAT dan
menyerahkan seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Jepang. Dengan demikian,
tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan akhir penjajahan Belanda di Indonesia.
Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu, namun
dokumen MENYERAH TANPA SYARAT baru ditandatangani pada 2 September
1945, di atas kapal perang AS “Missoury” di Tokyo Bay, sehingga terjadi kekosongan
kekuasaan suatu pemerintahan (vacuum of power) di seluruh wilayah pendudukan
Jepang, termasuk di bekas jajahan Belanda, yang telah diserahkan kepada Jepang.
Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut pemimpin bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia dan kemudian pada 18 Agustus
1945 membentuk pemerintahan, sehingga dengan demikian 3 syarat pembentukan
suatu negara telah terpenuhi, yaitu 1. Adanya wilayah, 2. Adanya penduduk dan 3.
Adanya pemerintahan.
Pada 18 November 1946, Liga Arab termasuk Mesir, mengeluarkan resolusi yang
memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan RI sebagai negara merdeka dan
berdaulat penuh. Suatu pengakuan de jure menurut hukum internasional.
Setelah “menyerahkan” jajahannya secara resmi kepada Jepang, Belanda telah
kehilangan semua hak dan legitimasinya atas India-Belanda. Oleh karena itu, ketika
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ini bukan
merupakan pemberontakan terhadap Belanda.
Belanda berhasil memperoleh dukungan Inggris untuk menguasai kembali Indonesia
dan hal ini dituangkan dalam Civil Affairs Agreement (CAA) yang ditandatangani di
Chequers, Inggris, pada 24 Agustus 1945. Dalam CAA, Inggris akan “membersihkan”
kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan kemudian menyerahkannya kepada
NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Hal ini a.l. tertuang dalam perintah dari Vice Admiral Lord Louis Mountbatten,
Supreme Commander S.E.Asia Command tertanggal 2 September 1945, yang
diberikan kepada Panglima Divisi 5, yang bunyinya a.l.

“You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to
accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied
prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians
rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are
bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion…”

Dengan bantuan 3 Divisi tentara Inggris di bawah komando Letnan Jenderal Phillip
Christison dan 2 Divisi tentara Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie
“Ming the Merciless” Morsehead, perlahan-lahan Belanda memperoleh wilayah
kekuasaan di Indonesia. Pada 13 Juli 1946, Australia “menyerahkan” wilayah
Indonesia Timur kepada Belanda, dan pada 15 – 25 Juli 1946, mantan Wakil Gubernur
Jenderal Belanda Dr. van Mook menggelar “Konferensi Malino”, dekat Makassar,
untuk mendirikan Negara Indonesia Timur.
Selama tentara Inggris dan Australia “membersihkan” kekuatan bersenjata Indonesia,
Belanda mendatangkan pasukannya dari Belanda, sehingga ketika Inggris dan
Australia menarik tentaranya dari Indonesia, kekuatan bersenjata Belanda mengganti
mereka secara penuh. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari
100.000 orang dan ditingkatkan terus sampai mencapai 200.000 tentara, dengan
persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara
Inggris dan tentara Australia.

Persetujuan Linggajati dan Agresi militer Belanda IInggris memfasilitasi perundangan


antara Republik Indonesia dengan Belanda di Linggajati. Pada 15 November 1946
diparaf persetujuan Linggajati dan pada 25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati
ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda di
Jakarta.
Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk memperkuat
angkatan perangnya di Indonesia dengan terus mendatangkan tentara KL dari
Belanda.
Persetujuan Linggajati ini hanya berumur kurang dari 4 bulan karena dilanggar
Belanda dengan melancarkan agresi militer yang dimulai tanggal 21 Juli 1947 dan
menggunakan kode "Operatie Product." Namun sebagai kedok untuk dunia
internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional”, dan
menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri, karena masih mengganggap
Republik Indonesia sebagai jajahannya..
Republik Indonesia mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer
tersebut telah melanggar suatu perjanjian internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947 yang
isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini
terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara
resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak
resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi
No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947,
serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu
menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai “The
Indonesian Question.”
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah
Belanda akhirnya menyatakan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk
menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda
menyetujui Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada
25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi
penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai
Committee of Good Offices for Indonesia, dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga
Negara, karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh
Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang
netral.
Dengan difasilitasi oleh Committee of Good Offices for Indonesia, pada 8 Desember
1947 dimulai perundingan antara Belanda dan Indonesia di Kapal Perang AS Renville
sebagai tempat netral.

Pembantaian di Rawagede
Walaupun telah ditandatangani gencatan senjata dan selama perundingan di atas kapal
Renville berlangsung, di Jawa Barat tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal
sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia
yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil
bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e
para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan
para dan DST (Depot Speciaale Troepen) yang pernah dipimpin oleh Kapten
Raymond Westerling.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda
di bawah pimpinan seorang Mayor menyerang desa Rawagede dan menggeledah
setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan seorangpun tentara Indonesia.
Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan
mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki di atas 15 tahun
diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan
para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat
keberadaan para pejuang Indonesia.
Perwira Belanda tersebut kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua
penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 12 tahun.
Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan.
Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para
tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Tentara Belanda
memberondong dengan senapan mesin dan ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas
kena tembakan, dia juga kena tembak di tangan, namun dia menjatuhkan diri dan
pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede. Tanpa ada
pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda
di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat
(standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang, yaitu
pembunuhan terhadap non-combatant. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari
431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut.
Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda
meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan
seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan
15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm
saja, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Peristiwa pembantaian ini juga diketahui oleh Committee of Good Offices for
Indonesia dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap
aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada
sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian
rakyat yang tak berdosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Kini masih hidup 9 orang janda korban dan 7 orang korban yang selamat dari
pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 1947. Yang termuda dari mereka, Imi,
kini berusia 75 tahun. Ketika itu, dia berusia 15 tahun dan baru menikah 3 hari.
Suaminya ditembak mati di hadapannya. Sejak itu dia tidak pernah menikah lagi.
Mereka semua hanyalah penduduk desa yang buta huruf.

De Excessennota
Pada bulan Januari tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda
membentuk tim untuk meneliti arsip dokumen-dokumen yang dilaporkan kepada
Pemerintah Belanda, guna menyelidiki kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang
dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan
KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) di Indonesia antara tahun 1945 –
1950. Setelah melakukan penelitian selama lima bulan, hasilnya disusun oleh tim
tersebut dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar
gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de
periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini
disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Laporan yang dibuat
secara terburu-buru hanya mencantumkan sekitar 140 “ekses” yang dilakukan oleh
tentara Belanda, padahal jumlah sebenarnya lebih banyak lagi, karena banyak
pembunuhan yangdilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia tidak tercantum dalam
Excessennota tersebut.
Di Belanda sendiri banyak kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang
dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-
misdaden) dan bukan hanya sekadar excess.
Pembantaian di Rawagede, Sulawesi Selatan dan berbagai pelanggaran HAM berat
lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara
Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot mengatakan
a.l.:
“…In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947
put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was
taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh
and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large
number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the
Netherlands...”

Namun pengakuan ini hanya sebatas lip service belaka, karena Pemerintah Belanda
tetap tidak mau bertanggungjawab atas berbagai pembantaian masal terhadap rakyat
yang tak bersenjata (non combatant), dan 60 tahun setelah berbagai tragedi
pembantaian massal, tetap tidak mau memberikan kompensasi kepada para korban
yang selamat, janda dan keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara
Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 - 1950.

Anda mungkin juga menyukai