Anda di halaman 1dari 12

Tugas Pendidikan Kewarganegaraan

Pelanggaran Nilai Pancasila dalam Kasus Pelanggaran HAM


Bimbingan Bapak Yasin, S.Pd

=Kelompok 2=
-Annisa Rasyidah
-Devi Nurhuda
-Muhammad Ahyatul Fajri
-Muhammad Nur Mahmudi
-Muhammad Taufik
-Siti Fatimah
Kasus Marsinah
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah.
Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas
Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim
serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi,
termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan
yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di
sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang
yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control dan menggelar rapat
untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah
satu yang ditangkap
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan
Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi
Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim
untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik,
lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita,
Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain
itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan
Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini
adalah “direkayasa”.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1993. Ia menjadi simbol
perjuangan kaum buruh. Kasus ini pun menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional atau
ILO, dikenal sebagai kasus 1713. Namun, pembunuh yang sebenarnya belum menerima
hukuman.
Sila Pancasila yang dilanggar adalah sila ke 5 yaitu, keadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia. Dalam kasus ini dijelaskan bahwa rekan
buruh korban telah di PHK dengan keputusan yang tidak jelas. Hal ini
menunjukkan bahwasanya dari pihak perusaahan sudah melakukan
pelanggaran HAM berupa tindakan yang sewenang wenang, hingga para
buruh merasakan sebuah ketidakpuasaan akan keadilan yang di berikan
oleh perusahaan tersebut.
Pelanggaran terhadap sila ke-2 , yaitu”Kemanusiaan yang adil
dan beradab”. Hal ini dijelaskan bahwa Marsinah ditemukan meninggal
dengan kondisi yang mengenaskan. Kondisi ini menunjukkan bahw
sebelumnya terjadi perlakuaan yang keji dari tersangka terhadap
Marsinah. Perlakuan yang keji ini menandakan bahwa kelakuan beradab
dalam bermasyarakat yang terkandung dalam pancasila semakin
memudar.
Kasus Tragedi Pembantaian
Rawagede
Suara azan subuh baru saja berkumandang ketika ratusan pasukan Belanda
sudah mengepung Desa Rawagede. Hari itu, Selasa, 9 Desember 1947, pukul 04.00 WIB,
di bawah pimpinan Mayor Alphons Wijman, sekitar 300 tentara Belanda mengeledah
rumah warga. Mereka mencari pejuang Republik, Kapten Lukas Kustario.
Mayor Wijman mendengar bahwa Lukas berada di Desa Rawagede, Karawang,
Jawa Barat. Desa ini—kini berubah nama menjadi Balongsari—terletak di Kecamatan
Rawamerta, Kabupaten Karawang, sekitar 15 kilometer arah timur laut dari ibu kota
Kabupaten.
Rumah-rumah digeledah, namun yang dicari tidak ada. Pasukan Mayor Wijman
memerintahkan penduduk laki-laki berkumpul di tanah lapang untuk ditanya mengenai
keberadaan Lukas.
Karena tak satu pun penduduk yang memberitahu di mana Lukas, Wijman
memerintahkan pasukannya menembak. Lasmi, 83 tahun, kepada Tempo menuturkan,
ia mendengar para lelaki itu berjejer. “Lalu terdengartekdung, tekdung, bunyi senapan
dikokang, kemudian ditembakkan.”
Lasmi melihat suaminya mati terkapar dengan peluru bersarang di leher. Ini
membuat kandungannya yang berumur tujuh bulan keguguran.
Setelah itu, Lasmi mendengar tembakan mortir. Woss...jegur. Saat itu, para
perempuan memilih tiarap di tempat tidur. “Rame pisan tembakan. Canon--mortir ya,
kata yang tau canon--mortir. Wos-wos..., dari atas.Jegor!” begitu ujar Cawi binti Baisan,
janda korban Rawagede yang saat itu berumur 22 tahun.
Ada enam kali tembakan mortir. Menurut laporan Wijman, 12 kiriman mortir
itu membakar delapan sampai 10 rumah. Wijnen juga menyebut, saat ia
menyerang, nyaris tiada perlawanan. Tembakan mortirnya cuma sempat
dibalas sekelompok pria tanpa seragam satu-dua kali dengan karabin.
Halangan utama pasukannya yang tengah mengarah ke barat justru tanah
berlumpur yang licin.

Wijman mengatakan pasukannya hanya berkekuatan 90 personel, diperkuat


dengan 2 mortir kaliber 2. Oleh Wijman, pasukan dibagi menjadi tiga grup.
Masing-masing berkekuatan 30 orang. Rawagede dikepung dari tiga jurusan:
utara, timur, dan selatan.

Pasukan utara dipimpin dua sersannya. Pasukan itu diperkuat satu bren.
Pasukan selatan dipimpin seorang sersan mayor. Mereka juga dibekali satu
bren. Wijman sendiri memimpin kelompok yang bertugas mengepung kampung
dari arah timur. Dibantu dua perwira, grupnya diperkuat sten dan 2 mortir 2.

Seluruh operasi itu selesai pukul 13.00. Namun versi lain dari Sukarman,
Ketua Yayasan Rawagede, operasi itu berlangsung hingga pukul 16.00.
Cawi, 84 tahun, janda korban pembantaian malah berkukuh tragedi
itu terjadi menjelang magrib. Ia mengaku keluar pukul 17.00 WIB bersama
perempuan-perempuan lainnya mencari suami dan orang tua mereka yang
sudah ditemukan bergelimpangan di rumah dan jalanan.

tak mengetahui bagaimana suami dan tetangganya dieksekusi. Ia--


seperti para perempuan lainnya--bersembunyi di dalam rumah. Adapun para
pria memilih kabur ke luar kampung atau bersembunyi di sungai atau di
kolam, seperti Siot, ayah Kadun.

Kadun saat itu berusia 10 tahun. Ia melihat bagaimana ayahnya


bersembunyi di sungai dekat rumah. “Mukanyadiurugin (ditutup) sampah. Tak
terlihat oleh Belanda,” ujarnya.

"Tapi Belanda bawa anjing dan anjing itu menggonggong terus. Lama-
lama, tempat sembunyi ayah disogok-sogok bayonet," kata Kadun. Ayah Kadun
akhirnya muncul dari tumpukan sampah. "Ia dibawa Belanda. Sejak itu, ia tak
pernah kembali."
Menurut Sukarman, Belanda melakukan eksekusi dalam kelompok-kelompok
kecil, terdiri dari setiap lelaki yang berumur di atas 14 tahun. Masing-masing kelompok
terdiri dari 10-30 orang. "Masing-masing kelompok warga yang dikumpulkan oleh
pasukan Belanda saat itu tidak saling mengetahui kalau telah terjadi pembantaian.
Karena mereka dikumpulkan secara terpisah," ujarnya.
Menurut data Yayasan Rawagede, jumlah warga yang menjadi korban sekitar
431 korban. Tapi, menurut Wijnen, pihaknya cuma menembak mati 150 orang.
Penembakan itu bukan tanpa sebab. "Sangat mungkin, karena terprovokasi pihak lain,
sejumlah yang tak bersalah jadi korban."
Apa yang terjadi Selasa pagi itu membuat Rawagede bersimbah darah. “Kali
Rawagede merah oleh darah. Mayat bergelimpangan,” kata Kadun. “Di mana-mana
menangis, meratap, dan meratap.”
Sepanjang tiga hari setelah peristiwa pembantaian itu, kata Kadun, para ibu di
Rawagede mencari suami dan anak lelaki mereka. Sejak itu, tak ada lagi lelaki di
kampung itu. Mereka—para perempuan itu—bahu-membahu menggotong dan mengubur
jenazah.
Dengan alat seadanya—cangkul, golok, dan sendok semen—ibu-ibu itu
menggali lubang sedalam sekitar satu meter untuk mengubur jenazah di pekarangan
rumah masing-masing.
Sejak operasi itu, Rawagede tak sama lagi. Cuma dalam 6 jam (versi Belanda)
atau 12 jam (versi keluarga korban), Rawagede menjadi kampung janda. Baru bertahun-
tahun kemudian, kampung itu kembali memiliki lelaki dewasa.
Sila Pancasila yang dilanggar adalah sila ke 5 yaitu,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dalam kasus
ini dijelaskan bahwa terjadi tindakan pembantaian yang
awalnya hanya mengarah kepada satu kelompok, malah
meluas kepada orang-orang yang tidak bersalah. Hal ini
menunjukkan bahwasanya dari pihak keamanan tidak
melakukan tugasnya dengan baik, sehingga jatuhnya
korban pun terjadi.
1. Sila untuk Polisi yang menerima sogokan(Rizka)
2. Apakah kasus pertama juga melanggar sila ke-
1(Dito)
3. Sila keberapa yang dilanggar oleh militer
Belanda(Yasmin)
4. Apakah pancasila itu sempurna(Rangga)
5. Seandainya tidak, apakah perlu diganti(Enek)

Anda mungkin juga menyukai