Anda di halaman 1dari 4

Marsinah adalah seorang bisa disebutkan sebagai pejuang HAM (Hak Asasi Manusia) serta

sebagai penggerak buruh di indonesia. Marsinah merupakan salah satu penggerak unjuk rasa di
PT. Catur Surya pada Mei 1993. Marsinah memimpin aksi pekerja PT Catur Putra Surya untuk
mendapatkan kenaikan gaji dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari.Hal ini sesuai dengan
instruksi Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi
himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan
kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.Namun aksi itu membuat perusahaan panas. Gaji memang
naik, namun akhirnya Marsinah dan teman temannya harus berurusan dengan aparat Kodim.

Pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993, Marsinah dan rekan-rekan buruh lainnya menjadi perwakilan
perundingan dengan PT.CPS. Namun mulai tanggal 6 Mei Marsinah menghilang begitu saja
dengan misterius. Kemudian ditemukan pada tanggal 8 Mei Marsinah sudah dalam keadaan
meninggal di hutan dengan keadaan tergeletak sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan
benda keras dan berlumuran darah disekujur tubuhnya.

Kronologi hilangnya

Rekan Marsinah, Uus (43), membeberkan hilangnya Marsinah hingga ditemukan tewas.
Kejadiannya bermula saat Kodim memanggil 10 orang buruh PT CPS yang aktif berdemo.
Marsinah yang mendengar hal itu segera menyusul teman-temannya ke Kodim.

"Saat kami datang ke kantor Kodim, ternyata ada teman kami yang disiksa," tutur Uus

"Kamu tidak usah demo lagi, kamu harus keluar dari pabrik tidak usah bekerja. Kamu tahu siapa
yang ada di dalam itu. Dengar suaranya, dia itu sekarang disiksa. Kalau tidak mau, kalian semua
nasibnya itu seperti yang ada di dalam," kata Uus menirukan salah satu aparat Kodim waktu itu.

Mendengar jeritan siksaan dari teman seperjuangan, Marsinah tidak gentar. Meski
mendapatkan ancaman, akan diculik dan disiksa Marsinah terus melakukan pertemuan dan
mendampingi teman-temannya.
Tapi menurut Uus sebenarnya para buruh pun sudah puas dengan keputusan perusahaan yang
menaikan gaji. Bahkan Marsinah meminta teman-temannya giat bekerja karena perjuangan
sudah selesai.

Dari pertemuan yang dilakukan di salah satu tempat kos dekat gapura Siring Kuning, Desa
Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Marsinah dan tim buruh lainnya
membubarkan diri.

"Sekitar pukul 10 malam (22.00 WIB), kita selesai pertemuan. Mbak Marsinah saat itu pamit
makan ke seberang Jalan Raya Porong. Sedangkan kami, kembali ke kos masing-masing di Desa
Siring," ujar dia.

Dari perpisahan itu, ternyata itu pertemuan Uus dan buruh lainnya dengan Marsinah, yang
terakhir. Sebab, mereka semuanya selama tiga hari mengira, kalau Marsinah pergi untuk pulang
ke kampung halamannya di Nganjuk. Bahkan, buruh juga mendatangi kantor Kodim setempat,
untuk mencari keberadaan Marsinah selama tiga hari.

"Setelah tiga hari kami mencari keberadaan mbak Marsinah. Baru pagi hari (8 Mei 1993), kami
mendapat kabar, mbak Marsinah ditemukan dalam keadaan meninggal penuh luka di hutan
Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk," kata Uus yang sudah tampak lemas.

Mendengar kabar itu, Uus dan seluruh karyawan pabrik seolah tidak percaya. Mereka hanya
bisa menangis dan larut dalam kesedihan. Hingga pagi harinya (9 Mei 1993), Uus dan sejumlah
rekannya memutuskan untuk melayat sekaligus memastikan kebenaran kabar tersebut ke
rumah Marsinah di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

"Setelah mendapat kabar, beberapa teman kami, datang kesana untuk melayat dan melihat
apakah itu memang Mbak Marsinah teman buruh kami? Ternyata saat didatangi, memang
benar," cerita Uus.
Kematian Marsinah berbuntut panjang. Aparat membentuk Tim Terpadu kemudian menciduk 8
orang petinggi PT CPS. Penangkapan ini dinilai menyalahi prosedur hukum. Tak ada yang tahu
kalau mereka dibawa ke markas TNI.
Mereka disiksa untuk mengaku telah membuat skenario membunuh Marsinah. Pemilik pabrik
PT CPS Yudi Susanto ikut dicokok.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah.

Menurut penyidikan polisi, Marsinah dijemput oleh pegawai PT CPS bernama Suprapto, lalu
dihabisi Suwono, Satpam PT CPS setelah disekap tiga hari.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun. Mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi
Susanto dinyatakan bebas.

Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak. Muncul tuduhan bahwa penyelidikan
kasus ini adalah direkayasa.

Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa aparat kodim
untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.

Setelah 23 tahun sulit sekali mengungkap kasus ini. Saat mendatangi Kodim Sidoarjo, tak ada
lagi yang mau bicara. "Mereka sudah tak ada lagi di sini. Sudah pensiun," kata seorang anggota
Kodim
Sementara itu KontraS tak henti-hentinya meminta Komnas HAM membuka ulang kasus ini.
Presiden Gus Dur dan Megawati sudah meminta kasus Marsinah diungkap total. Hingga hari ini
KontraS menyebut kematian Marsinah masih menjadi teka teki.

Didalam kasus ini mmerupakan Ham berat karena terpadat unsur yang memunculkan
pelanggaran Ham berat yakni pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 unsur kejahatan manusia dan juga
mengandung unsur pelanggaran hak asasi manusia. Dasar hukum yang dilanggar pada sila ke-2
yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Didalamnya terdapat tindak kejahatan seperti
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan. Dan penganiayaan terhadap seseorang
atau kelompok yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin yang telah diakui universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional

Rekasaya kasus Marsinah, banyak kecaman dari berbagai pihak yang mana kasus Marsinah
sudah cukup lama, tetapi pembunuhnya entah kemana. Seharusnya melihat kejadian tersebut
yang sampai sekarang masih misterius untuk menghindari kasus tersebut terjadi lagi,
seharusnya ada tindakan khusus dari hukum pemerintah untuk memberikan efek jera bagi
pelaku.

Sebagai mahluk sosial kita harus mampu memperjuangkan HAM kita sendiri. Disamping itu, kita
juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai membuat
pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM kita sendiri mau di injak-injak oleh orang lain.
Jadi kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi yang diantaranya HAM kita dengan
HAM orang lain

Anda mungkin juga menyukai