Anda di halaman 1dari 9

KASUS TERBUNUHNYA MARSINAH

DISUSUN OLEH :
Hilda Ramadhani, Juanda Abdul Kholik, Naura
Nazelia Ramadhan, Putri Komalasari, Rihhadatul
'Aisyah
(KELOMPOK 5 11 IIS 4)
A. KEJADIAN
Marsinah, perempuan yang sangat energik ini
adalah sosok buruh yang progresif dan tidak ingin
mengalah begitu saja kepada nasib walaupun lahir
dari keluarga tak mampu.

Di lingkungan perusahaan di mana dia bekerja,


Marsinah merupakan aktivis dalam organisasi buruh
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) unit kerja
PT CPS.

Pada 4 Mei 1993, Marsinah memimpin unjuk rasa


kenaikan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250.
Ketika beberapa rekannya dikeluarkan dari
perusahaan, dia pula lah yang membelanya.

Marsinah bersama rekan-rekannya menggelar aksi


mogok pada 3-4 Mei 1993 di pabriknya, menuntut
PT CPS menaikkan upah buruh sesuai Surat Edaran
Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur Nomor 50
Tahun 1992.

Tuntutan dipenuhi setelah perundingan yang


melibatkan Kanwil Depnaker Sidoarjo dan jajaran
Muspika.

Namun, Selasa (4/5/1993) sore, Kodim Sidoarjo


melayangkan surat panggilan terhadap 13 rekan
Marsinah agar hadir pada Rabu (5 Mei 1993).

Mereka hadir memenuhi panggilan Kodim Sidoarjo.


Dalam pertemuan tersebut, 13 rekan Marsinah
menyatakan mundur dari PT CPS. Kodim Sidoarjo
mengklaim tidak ada paksaan dalam pernyataan
mundurnya para buruh itu. Manajemen PT CPS
kemudian mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menuntaskan administrasi dan pesangon.
Marsinah yang belum mengetahui hasil
pemanggilan 13 rekannya tersebut kemudian
berusaha mencari tahu ke Kodim Sidoarjo. Namun,
sesampainya di sana penjaga mengatakan 13
rekannya sudah pulang.

Tak puas dengan jawaban personel Kodim Sidoarjo,


Marsinah kemudian mencari rekannya, dan
bertemu dengan 4 rekannya. Berdasarkan
keterangan mereka, keempat rekannya
diberhentikan karena dianggap sebagai motor unjuk
rasa di PT CPS.

Marsinah kemudian meminta berkas surat


pemanggilan Kodim Sidoarjo sebagai bahan untuk
protes keesokan harinya. Seusai bertemu rekannya,
ia lantas keluar rumah kontrakannya untuk mencari
makanan. Malam itu juga, dia diculik dan disiksa
oleh 5 orang algojo PT CPS.

Baru kemudian, pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah


ditemukan di gubuk di pinggiran hutan Wilangan,
Nganjuk, Jawa Timur.

Menurut mereka, Marsinah pantas untuk mendapat


siksaan karena ulahnya telah banyak merugikan
perusahaan.

B. PENYELIDIKAN
Sejak semula kasus Marsinah juga tak mulus
berjalan. Usaha untuk mengusut kasus Marsinah
dengan lebih serius baru dimulai dengan
pembentukan Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim
pada September 1993.
Mengutip Kontras Surabaya, tim tersebut kemudian
menangkap 8 petinggi PT CPS secara diam-diam
tanpa prosedur resmi, termasuk di antaranya
pemilik PT CPS Yudi Susanto dan Kepala Personalia
PT CPS, Mutiari (satu-satunya perempuan yang
ditangkap).

18 hari kemudian, keberadaan 8 orang yang


ditangkap tim tersebut diketahui sudah ditahan di
Polda Jawa Timur. Saat itu, Pengacara Yudi Susanto,
Trimoelja D Soerjadi menyebut upaya tersebut
sebagai rekayasa aparat Kodim untuk mencari
kambing hitam pembunuh Marsinah.

Namun secara resmi, tim terpadu telah menangkap


dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Satu di antaranya
adalah anggota TNI. Hasil penyelidikan polisi kala itu
menyebutkan Suprapto (pekerja bagian kontrol
CPS) menjemput Marsinah dengan menggunakan
motor di dekat rumah kos Marsinah.

Marsinah lantas dibawa ke pabrik menggunakan


Suzuki Carry putih ke rumah pemilik PT CPS Yudi
Susanto di Jalan Puspita Surabaya. Marsinah
kemudian dieksekusi oleh satpam CPS bernama
Suwono setelah disekap selama 3 hari.

Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan


sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar
empat sampai 12 tahun, namun mereka naik
banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan tidak terikat.

Dalam bagian selanjutnya pada tingkat kasasi,


Mahkamah Akbar Republik Indonesia
memerdekakan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Akbar RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul
tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini direkayasa.

Bahkan kasusnya masih dianggap sebagai tindak


kriminal biasa yang memiliki waktu kedaluwarsa.
Padahal apa yang dialami Marsinah sudah masuk
dalam kategori pelanggaran hak asasi berat karena
adanya unsur tindakan opresi aparat berupa
penghilangan paksa, penyiksaan, dan pemerkosaan.

Hasil otopsi di RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo


menyebutkan, aktivis dan buruh pabrik PT Catur
Putra Surya yang meninggal 8 Mei 1993 ini
menemukan adanya tanda-tanda bekas luka
penganiayaan berat.

Ada yang menyebutkan, ada luka tembak di bagian


alat vitalnya. Marsinah juga mengalami penyiksaan
sebelum dibunuh. Pada leher dan pergelanagn
tangannya ada bekas pukulan hingga menyebabkan
ia menderita luka dalam.

C. KOMITE SOLIDARITAS
Kematian Marsinah yang tidak wajar itu mendapat
reaksi keras dari para aktivis dan masyarakat luas.
Mereka menuntut pihak aparat keamanan untuk
menyelidiki dan mengadili para pelakunya.

Sebagai rasa simpati dan solidaritas terhadap


Marsinah, para aktivis pun membentuk Komite
Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM).

Anda mungkin juga menyukai