Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kualitas penegakan kasus HAM di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini
dibuktikan antara lain dengan data kasus Marsinah tentang pembunuhan aktivis wanita yang
dibunuh karena telah melanggar peraturan pabrik tempat ia bekerja sehingga menewaskan
aktivis wanita pada tahun 1993.

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No.
50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan
karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut
tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti
tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT.
Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah.
Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 mei 1998
menuntut kenaikan upah dari Rp1700 menjadi Rp2250.

1.2 Rumusan Masalah

1 Apa latar belakang pembunuhan ini?


2 Bagaimana proses pembunuhan Marsinah sebelum ia meninggal?
3 Apakah dalam kasus ini terdapat dalang orang yang mendalangi kasus pembunuhan ini?

1.3 Tujuan Penulisan

1 Mengetahui apa yang terjadi pada kasus ini.


2 Memberikan informasi mendalam tentang marsinah.
3 Penyelesaian kasus ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kronologi kejadian

Marsinah memimpin aksi pekerja PT Catur Putra Surya untuk mendapatkan kenaikan
gaji dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari. Hal ini sesuai dengan instruksi Gubernur KDH
TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada
pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji
sebesar 20% gaji pokok. Namun aksi itu membuat perusahaan panas. Gaji memang naik,
namun akhirnya Marsinah dan teman temannya harus berurusan dengan aparat Kodim.

Rekan Marsinah, Uus (43), membeberkan hilangnya Marsinah hingga ditemukan


tewas. Kejadiannya bermula saat Kodim memanggil 10 orang buruh PT CPS yang aktif
berdemo. Marsinah yang mendengar hal itu segera menyusul teman-temannya ke Kodim.
"Saat kami datang ke kantor Kodim, ternyata ada teman kami yang disiksa," tutur Uus saat
berbincang dengan merdeka.com, Sabtu (30/4). "Kamu tidak usah demo lagi, kamu harus
keluar dari pabrik tidak usah bekerja. Kamu tahu siapa yang ada di dalam itu. Dengar
suaranya, dia itu sekarang disiksa. Kalau tidak mau, kalian semua nasibnya itu seperti yang
ada di dalam," kata Uus menirukan salah satu aparat Kodim waktu itu.

Mendengar jeritan siksaan dari teman seperjuangan, Marsinah tidak gentar. Meski
mendapatkan ancaman, akan diculik dan disiksa Marsinah terus melakukan pertemuan dan
mendampingi teman-temannya. Tapi menurut Uus sebenarnya para buruh pun sudah puas
dengan keputusan perusahaan yang menaikan gaji. Bahkan Marsinah meminta teman-
temannya giat bekerja karena perjuangan sudah selesai. "Wes yo rek, perjuangane awak dewe
wes mari. Upahe awak dewe wes diundakno. Saiki, aku titip. Ayo kerjo sing temen, gawe
masa depane awak dewe sesuk (Sudah iya rek, perjuangan kita semua sudah selesai. Upah
kita sudah dinaikan. Sekarang, saya titip. Ayo kerja yang benar, buat masa depan kita)," kata
Uus menirukan perkataan Marsinah.

Dari pertemuan yang dilakukan di salah satu tempat kos dekat gapura Siring Kuning,
Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Marsinah dan tim buruh
lainnya membubarkan diri. "Sekitar pukul 10 malam (22.00 WIB), kita selesai pertemuan.
Mbak Marsinah saat itu pamit makan ke seberang Jalan Raya Porong. Sedangkan kami,
kembali ke kos masing-masing di Desa Siring," ujar dia. Dari perpisahan itu, ternyata itu
pertemuan Uus dan buruh lainnya dengan Marsinah, yang terakhir. Sebab, mereka semuanya
selama tiga hari mengira, kalau Marsinah pergi untuk pulang ke kampung halamannya di
Nganjuk. Bahkan, buruh juga mendatangi kantor Kodim setempat, untuk mencari keberadaan
Marsinah selama tiga hari.

"Setelah tiga hari kami mencari keberadaan mbak Marsinah. Baru pagi hari (8 Mei
1993), kami mendapat kabar, mbak Marsinah ditemukan dalam keadaan meninggal penuh
luka di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk," kata Uus yang sudah tampak lemas.
Mendengar kabar itu, Uus dan seluruh karyawan pabrik seolah tidak percaya. Mereka hanya
bisa menangis dan larut dalam kesedihan. Hingga pagi harinya (9 Mei 1993), Uus dan
sejumlah rekannya memutuskan untuk melayat sekaligus memastikan kebenaran kabar
tersebut ke rumah Marsinah di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk,
Jawa Timur.

"Setelah mendapat kabar, beberapa teman kami, datang kesana untuk melayat dan
melihat apakah itu memang Mbak Marsinah teman buruh kami? Ternyata saat didatangi,
memang benar," cerita Uus. Kematian Marsinah berbuntut panjang. Aparat membentuk Tim
Terpadu kemudian menciduk 8 orang petinggi PT CPS. Penangkapan ini dinilai menyalahi
prosedur hukum. Tak ada yang tahu kalau mereka dibawa ke markas TNI. Mereka disiksa
untuk mengaku telah membuat skenario membunuh Marsinah. Pemilik pabrik PT CPS Yudi
Susanto ikut dicokok.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda
Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Menurut penyidikan polisi, Marsinah
dijemput oleh pegawai PT CPS bernama Suprapto, lalu dihabisi Suwono, Satpam PT CPS
setelah disekap tiga hari. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan
sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun. Mereka naik
banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.

Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung
RI tersebut, menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak. Muncul tuduhan bahwa
penyelidikan kasus ini adalah direkayasa. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi,
mengungkap adanya rekayasa aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah. Setelah 23 tahun sulit sekali mengungkap kasus ini. Saat mendatangi Kodim
Sidoarjo, tak ada lagi yang mau bicara.

A.LANDASAN TEORI

Marsinah dalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993
setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa
Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai
kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik
RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Namun, pada tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai
penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse
Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku
telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS,
Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D.
Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam
pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah.

Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di
Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS)
mengeksekusinya.Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan
sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik
banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.

Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung
RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul
tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

B.PENYELESAIAN MASALAH

Kasus pembunuhan Marsinah pada tahun 1993 di Porong Sidoarjo sempat menarik perhatian
ILO ( International Labour Organization ) dan dunia Internasional…
Walaupan telah dilakukan proses persidangan dipengadilan mulai dari PN sampai Mahkamah
Agung terhadap para terdakwa kasus tersebut, sampai sekarang masih banyak masyarakat
umum yang belum tahu dan masih sering bertanya kepada saya: ” Bagimana sih penyelesaian
kasus pembunuhan Marsinah?”..
Pertanyaan tersebut wajar masih dilontarkan sampai sekarang, karena saya menjabat Dan
Pomdam V Brawijaya dari tahun 1993 s/d 1996.

penyelesaian kasus pembunuhan itu secara hukum adalah ” ne bis in idem “…….( Para
terdakwa tidak bisa dituntut ulang dalam kasus yang sama, karena telah mendapatkan
keputusan pengadilan yang tetap )..
Tentang adanya kecurigaan bahwa Kodam V Brawijaya telah menekan Polda Jatim selama
proses pennyidikan, dibantah langsung oleh Irjen Pol Pur Emon Rivai…

Pada akhir sidang Pansus, Ketua Pansus DPRD TK I Jatim menyatakan kepada forum dan
para wartawan seJatim yang hadir, bahwa pernyataan/klarifikasi dari Sdr Nurhana lah yang
benar….
Sayangnya pernyataan ketua Pansus DPRD Jatim tersebut tidak disebar luaskan di Jakarta,
sehingga seolah-olah penyelesaian kasus Marsinah belum tuntas secara hokum.

Anda mungkin juga menyukai