Anda di halaman 1dari 3

Kasus Pelanggaran HAM Marsinah

1. Latar Belakang

Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran No. 50/Th. 1992
yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan
memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Imbauan tersebut tentunya disambut
dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahnya beban
pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putra Surya (PT.
CPS) Porong membahas surat edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS
memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp1700
menjadi RpRp22502.

2. Pendahuluan

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putra Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat
yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo.

3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil)
setempat turun tangan mencegah aksi buruh.

4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan
harus menaikkan upah pokok dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Tunjangan tetap Rp550
per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam
kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15
orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah
karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu,
sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.

Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

3.Penyelidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim
Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan
penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah
membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi,
mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah.

Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik,
lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu
dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan
Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah
pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

Tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). KSUM adalah komite yang
didirikan oleh 10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang ditujukan khusus untuk mengadvokasi
dan investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah oleh Aparat Militer. KSUM melakukan
berbagai aktivitas untuk mendorong perubahan and menghentikan intervensi militer dalam
penyelesaian perselisihan perburuhan. Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT. CPS
melawan Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan PT. CPS Porong atas pemutus hubungan
kerja sepihak yang dilakukan oleh aparat kodim sidoarjo terhadap 22 buruh PT. CPS Porong yang
dianggap sebagai dalang unjuk rasa.
4.Analisis

Didalam kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat karena terpadat unsur yang
memunculkan pelanggaran Ham berat yakni pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 unsur kejahatan
manusia dan juga mengandung unsur pelanggaran hak asasi manusia. Dasar hukum yang
dilanggar pada sila ke-2 yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Didalamnya terdapat tindak
kejahatan seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan. Dan penganiayaan
terhadap seseorang atau kelompok yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin yang telah diakui universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional

Rekasaya kasus Marsinah, banyak kecaman dari berbagai pihak yang mana kasus Marsinah
sudah cukup lama, tetapi pembunuhnya entah kemana. Seharusnya melihat kejadian tersebut
yang sampai sekarang masih misterius untuk menghindari kasus tersebut terjadi lagi,
seharusnya ada tindakan khusus dari hukum pemerintah untuk memberikan efek jera bagi
pelaku.

Sebagai mahluk sosial kita harus mampu memperjuangkan HAM kita sendiri. Disamping itu, kita
juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai membuat
pelanggaran HAM. Dan jangan sampai pula HAM kita sendiri mau di injak-injak oleh orang lain.
Jadi kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi yang diantaranya HAM kita dengan
HAM orang lain.

Anda mungkin juga menyukai