Anda di halaman 1dari 4

KASUS MARSINAH 1993

Marsinah adalah aktivis buruh yang dibunuh dengan keji pada masa Orde Baru.
Marsinah merupakan buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik
pembuat jam yang berada di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Semasa hidup,
Marsinah dikenal vokal menyuarakan hak-hak kaum buruh. Perjuangan Marsinah
pun terpaksa terhenti setelah ia diculik, disiksa, diperkosa, hingga dibunuh pada 8
Mei 1993. Jenazah Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah
gubuk di daerah Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar 200 km dari tempatnya
bekerja, pada 9 Mei 1993. Pembunuhan Marsinah pun menjadi salah satu kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang pernah terjadi di Indonesia dan
menarik perhatian dunia.
LATAR BELAKANG
Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur. Ia
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Kakaknya
bernama Marsini dan adiknya adalah Wijiati. Sementara itu, ayah Marsinah
bernama Astin dan ibunya adalah Sumini. Keluarga mereka tinggal di desa
Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk. Ketika Marsinah berusia
tiga tahun, sang ibu meninggal dunia. Setelah itu, ayahnya menikah lagi.
Kemudian, Marsinah diasuh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman dan
bibinya. Sejak kecil, Marsinah sudah terbiasa bekerja keras. Sepulang sekolah, ia
selalu membantu neneknya menjual gabah dan jagung. Para guru dan teman-
teman di sekolah dasar (SD) tempat Marsinah belajar menceritakan ia adalah
seorang anak perempuan yang pintar, suka membaca, dan kritis. Setamat SD,
Marsinah melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 5 Nganjuk. Setelah lulus SMP
pada 1982, Marsinah kemudian mengenyam pendidikan lanjutan di SMA
Muhammadiyah dengan bantuan biaya dari pamannya. Marsinah sempat bercita-
cita berkuliah di fakultas hukum. Namun, karena kendala biaya, mimpi Marsinah
untuk melanjutkan pendidikan pun sirna. Ia kemudian memilih merantau ke
Surabaya pada 1989 dan menumpang hidup di rumah kakaknya, Marsini, yang
sudah berkeluarga. Marsinah pun bekerja di pabrik plastik SKW di Kawasan
Industri Rungkut, tetapi gajinya jauh dari cukup sehingga ia harus mencari
tambahan penghasilan dengan berjualan nasi bungkus. Marsinah juga sempat
bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang sebelum akhirnya hijrah ke
Sidoarjo dan bekerja di PT CPS pada 1990. Selama bekerja di PT CPS, Marsinah
dikenal sebagai buruh yang vokal dan selalu memperjuangkan nasib rekan-
rekannya. Marsinah adalah aktivis dalam organisasi buruh Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI) unit kerja PT CPS.
KRONOLOGI
Pada awal 1993, pemerintah mengeluarkan imbauan kepada pengusaha Jawa
Timur untuk menaikkan gaji pokok karyawan sebesar 20 persen. Namun, imbauan
itu tidak segera dikabulkan para pengusaha, termasuk oleh PT CPS, tempat
Marsinah bekerja. Alhasil, hal itu memicu unjuk rasa dari para buruh yang
menuntut kenaikan upah. Pada 2 Mei 1993, Marsinah terlibat dalam rapat
perencanaan unjuk rasa yang digelar di Tanggulangin, Sidoarjo. Pada 3 Mei 1993,
para buruh mencegah teman-temannya bekerja untuk melakukan aksi mogok.
Namun, Komando Rayon Militer (Koramil) setempat langsung turun tangan untuk
mencegah aksi para buruh PT CPS tersebut. Keesokan harinya, para buruh mogok
total dan mengajukan 12 tuntutan kepada PT CPS. Salah satu tuntutan buruh
adalah kenaikan gaji pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250 per hari.
Selain itu, mereka juga meminta tunjangan Rp 550 per hari yang tetap bisa
didapatkan ketika buruh absen. Marsinah pun menjadi salah satu dari 15 orang
perwakilan buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Ia
masih terlibat dalam perundingan-perundingan hingga 5 Mei 1993. Pada siang
hari tanggal 5 Mei 1993, sebanyak 13 buruh yang dianggap menghasut rekan-
rekannya untuk berunjuk rasa, digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim)
Sidoarjo. Mereka kemudian dipaksa mengundurkan diri dari PT CPS karena
dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan lain bekerja. Kala
itu, Marsinah dikabarkan sempat mendatangani Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan 13 rekannya yang sebelumnya digiring ke sana. Namun,
sekitar pukul 10 malam tanggal 5 Mei 1993, Marsinah menghilang. Keberadaan
Marsinah tidak diketahui lagi hingga jasadnya ditemukan dalam kondisi
mengenaskan di Nganjuk pada 9 Mei 1993. Berdasarkan hasil autopsi, Marsinah
diketahui telah meninggal dunia pada satu hari sebelum jenazahnya ditemukan,
yakni pada 8 Mei 1993. Adapun penyebab kematian Marsinah adalah
penganiayaan berat. Selain itu, Marsinah juga diketahui telah diperkosa.
TERSANGKA??
Kasus pembunuhan Marsinah mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan para
aktivis HAM. Para aktivis kemudian membentuk Komite Solidaritas untuk
Marsinah (KSUM) dan menuntut pemerintah menyelidiki dan mengadili para
pelaku pembunuhan. Seperti diberitakan Harian Kompas pada 10 November
1993, Presiden Soeharto meminta agar kasus Marsinah diusut dengan tuntas.
Soeharto juga menekankan agar kasus pembunuhan Marsinah tidak ditutup-tutupi.
"Masyarakat jangan berprasangka dulu sebab pemerintah akan menuntaskan kasus
ini. Dan, biarkan petugas berwenang menangani kasus itu hingga selesai serta
memutuskannya sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku, serta
menghukum mereka yang bersalah," ujar Soeharto kala itu. Ketika itu, memang
muncul kerugiaan terhadap aparat terkait kasus pembunuhan Marsinah. Sebelum
pidato Soeharto, pada 30 September 1993, pemerintah telah membentuk Tim
Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur untuk menyelidiki kasus Marsinah.
Selanjutnya, delapan orang petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan
tanpa prosedur resmi. Salah satu orang yang ditangkap adalah Kepala Personalia
PT CPS, Mutiari, yang kala itu sedang hamil. Selain itu, pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga turut ditangkap dan diinterogasi. Orang-orang yang ditanggap itu
diketahui menerima siksaan berat, baik secara fisik ataupun mental, serta diminta
mengakui telah merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah.
Selama proses penyelidikan dan penyidikan, Tim Terpadu telah menangkap serta
memeriksa 10 orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Dari hasil
penyelidikan itu disebutkan bahwa Suprapto, seorang pekerja di bagian kontrol PT
CPS, menjemput Marsinah dengan sepeda motornya di dekat rumah kos aktivis
buruh itu. Marsinah kemudian disebut dibawa ke rumah Yudi Susanto di Jalan
Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari disekap, Marsinah disebut dibunuh oleh
Suwono, seorang satpam di PT CPS. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, kemudian
dijatuhi vonis 17 tahun penjara. Sementara itu, beberapa staf PT CPS dijatuhi
hukuman sekitar empat tahun hingga 12 tahun penjara. Akan tetapi, Yudi Susanto
kala itu kukuh menyatakan tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah dan dirinya
hanya menjadi kambing hitam. Baca juga: Misteri Pembantaian Dukun Santet
Banyuwangi 1998 Ia kemudian naik banding ke Pengadilan tinggi dan dinyakan
bebas. Para staf PT CPS yang dijatuhi hukuman juga naik banding hingga mereka
dibebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni oleh Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung tersebut tentu mengundang kontroversi dan
ketidakpuasan masyarakat. Para aktivis terus menyuarakan tuntutan agar kasus
pembunuhan Marsinah diselidiki dengan terang dan kecurigaan terhadap
keterlibatan aparat militer diungkap. Hingga kini, Marsinah masih dikenang
sebagai pahlawan buruh. Ia juga dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien.
Mun’im Idries memberikan kesaksiannya dalam program Mata Najwa: X File part
2. Dalam program tersebut, ia mengungkapkan fakta yang menggemparkan.
Meskipun tidak melakukan visum langsung, dr. Mun’im Idries melihat dua hasil
visum yang dilakukan oleh Marsinah. Pada hasil visum kedua, ditemukan bahwa
terdapat tulang kemaluan kiri yang patah berkeping-keping. Kemudian tulang
usus kanan disebut rusak sampai terpisah, serta tulang selangkangan kanannya
patah. Selain itu terdapat luka dengan lebar 3 sentimeter di bagian luar alat
kelamin. Hal ini dikatakan Mun’im tidak setara dengan barang bukti yang jauh
lebih besar dari ukuran tersebut. Berdasarkan luka dari hasil visum kedua ini,
Mun’im Idries menyimpulkan bahwa kematian Marsinah disebabkan oleh luka
tembak. “Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan
luka tembak?" kata Mun’im Idries. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dr. Mun’im
Idries menyimpulkan bahwa Marsinah meninggal karena tembakan. Atas dasar
hasil pemeriksaan, maka sudah terlihat jelas bahwa pelaku yang melakukan
kekerasan terhadap Marsinah hingga akhirnya meninggal bukanlah orang biasa,
melainkan seseorang yang memiliki akses ke senjata api pada masa Orde Baru.
Namun hingga 30 tahun berlalu, pelaku pasti dari pembunuhan Marsinah masih
belum terungkap.
KOMITE SOLIDARITAS
Tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM). KSUM
adalah komite yang didirikan oleh 10 LSM. KSUM merupakan lembaga yang
ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis
buruh Marsinah oleh Aparat Militer. KSUM melakukan berbagai aktivitas untuk
mendorong perubahan dan menghentikan intervensi militer dalam penyelesaian
perselisihan perburuhan. Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT CPS
melawan Kodam V/Brawijaya, Depnaker Sidoarjo dan PT CPS Porong atas
pemutus hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh aparat kodim sidoarjo
terhadap 22 buruh PT. CPS Porong yang dianggap sebagai dalang unjuk rasa.
Bentuk Rasa Belasungkawa
 Setiap perayaan Hari Buruh Internasional yang diperingati tanggal 1 Mei,
para buruh, khususnya di Jawa Timur, selalu mengenang perjuangan
Marsinah. Para buruh pun telah mengusulkan kepada pemerintah agar
Marsinah diberi gelar Pahlawan Nasional, namun belum ada tindak lanjut
hingga kini.
 Monumen perjuangan Marsinah sebagai pahlawan buruh nasional telah
dibangun di Nganjuk, Jawa Timur.
 Kisah Marsinah ini kemudian diangkat menjadi sebuah film oleh Slamet
Rahardjo, dengan judul "Marsinah (Cry Justice)" (imdb.com). Film
berbiaya sekitar Rp 4 miliar itu sempat menimbulkan kontroversi. Salah
satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film itu
ditunda.
 Seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus
Mulyadi meluncurkan album musik dengan judul Marsinah. Lagu ini
diciptakan oleh komponis MasGat untuk mengenang jasa-jasa Marsinah.
 Sebuah band beraliran anarko-punk yang berasal dari Jakarta bernama
Marjinal, menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah, yang didedikasikan
khusus untuk perjuangan Marsinah. Lagu ini dibawakan sekaligus dalam 2
albumnya, yaitu album termarjinalkan dan album terbaru mereka bertajuk
predator, masing-masing dalam versi yang berbeda.

SUMBER

 Menguak Kisah Marsinah. (2020). (n.p.): Tempo Publishing.


 Laporan pendahuluan kasus pembunuhan Marsinah. (1994).
 Indonesia: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Tim Pencari Fakta
Pembunuhan Marsinah. Lubis, T. M. (2005).
 Jalan panjang hak asasi manusia: catatan Todung Mulya Lubis. Indonesia:
Gramedia Pustaka Utama.
 https://www.kompas.com/stori/read/2022/09/21/080000979/kisah-marsinah-
aktivis-buruh-yang-dibunuh-pada-masa-orde-baru?page=all
 https://id.wikipedia.org/wiki/Marsinah
 https://nasional.tempo.co/read/1723071/menolak-lupa-pembunuhan-marsinah-
30-tahun-lalu-ditemukan-tewas-di-hutan-nganjuk

Anda mungkin juga menyukai