Anda di halaman 1dari 11

Pembunuhan Buruh Marsinah 8 Mei 1993

oleh : Aprilia Damayanti Purba


Baskita Brema Ginting
Cania Yekholia Tarigan
Jesika
Josua Harapenta Tarigan
Yhosua Zefanya Surbakti
Yuda Febrianto Tarihoran
LATAR BELAKANG

1. 1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat
edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan
kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji
pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan,
namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada
pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong
membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS
memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari
Rp 1700 menjadi Rp 2250. Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis
buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa
Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi
dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa
Marsinah tewas kerena penganiayaan berat. Marsinah adalah salah seorang dari 15
orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari
surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada
pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan
gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang
hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran
perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT.
CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT.
CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan
upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.

BAB II PEMBAHASAN
Biodata Marsinah Marsinah (lahir di Nglundo, 10 April 1969 – meninggal 8 Mei
1993 pada umur 24 tahun) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya
(CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh
pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di
dusun Jegong, desa Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Dua orang
yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai
kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian
Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat
penganiayaan berat. Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun
yang sama. Kasus ini menjadi catatan Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal
sebagai kasus 1773. B. Kronologi Kejadian Marsinah adalah salah seorang karyawati PT.
Catur Putera Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam
aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk
rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh
mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun
tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12
tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari
menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa
diterima, termasuk oleh buruh yang absen. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah
masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-
perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang
melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa
Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik
Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS.
1. 3. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan
rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul
10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada
tanggal 8 Mei 1993. 3 C. Proses penyelidikan Tanggal 30 September 1993 telah
dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan
petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang
ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah
tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang
diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk
membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang
ditangkap. Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di
tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi
Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim
untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah
menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut
adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja
di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos
Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke
rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap,
Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17
tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat
hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan
sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
"direkayasa". D. Analisis Kasus Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Alasannya adalah unsur penyiksaan dan
pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan
demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui
oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat. Jika merujuk pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),
jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi
tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum pembunuh
melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah
sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat
(2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
4. Memperoleh kenaikan upah agar layak dan adil merupakan hak konstitusional.
Imlikasinya, pelanggaran terhadap amanah konstitusi tersebut merupakan pelanggaran
HAM, mengingat fungsi konstitusi salah satunya mengatur dan melindungi HAM.
Terkhusus dalam kasus marsinah, dasar hukum secara eksplisit para penuntut pun telah
ada, yaitu Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan
kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya. Berkumpul ataupun
berkelompok dengan tujuan melakukan tindakan pemogokan dan unjuk rasa pun telah
mendapat perlindungan hukum, bahkan dimasukkan HAM golongan hak atas kebebasan
pribadi. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa tersebut tidak melakukan tindakan
anarkis. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan; setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk
maksud-maksud yang damai. Jika melihat kasus Marsinah, tindakan unjuk rasanya tidak
menunjukkan dugaan kecenderungan pada aksi anarkis. Rapat, mogok kerja, dan unjuk
rasa merupakan hak konstitusional dalam sebuah negara demokratis seperti di Indonesia.
Selain atas dasar hukum, perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat tersebut tentu
untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, termasuk dalam persoalan upah
buruh. Terlebih lagi, pada kasus Marsinah, jelas bahwa pihak perusahaan memang tidak
mematuhi keputusan gubernur mengenai peningkatan upah buruh. Keseimbangan beban
kerja dengan upah buruh memang merupakan keniscayaan dalam sebuah sistem
perekonomian yang berbasis pada kekuatan modal, termasuk di Indonesia. Keengganan
pihak perusahaan membiarkan aksi pemogokan terjadi karena berakibat kerugian sangat
tidak mendasar. Aksi pemogokan pun merupakan konsekwensi sistem pengupahan yang
tidak adil dan tidak sesuai aturan. Sebagai jaminan keseimbangan beban kerja dan upah,
dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menggolongkan aksi mogok sebagai HAM.
Pasal 25 undang-undang tersebut menyatakan; setiap orang berhak untuk menyampaikan
pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Berlandaskan aturan hukum positif, sama sekali tidak ada dasar legitimasi
untuk melarang aksi unjuk rasa. Meskipun demikian, tetap diharapkan bahwa kesepakatan
cepat tercapai melalui cara perundingan, baik dengan mediasi ataupun secara langsung
oleh para pihak. Jika terjadi aksi penuntutan secara berkelompok sebagai cara akhir, maka
posisi pihak kontra adalah menyerap aspirasi, sedangkan aparat keamanan berwajib
menjamin terciptanya komunikasi baik antarkedua belah pihak. Jika harus berasumsi
dalang di balik pembunuhan marsinah, maka secara umum dapat dicap oknum yang
kontra terhadap aksi-aksi demontrasi, dan bisa dikhususkan kepada oknum perusahaan
yang memang tidak setuju terhadap kenaikan upah buruh. Putusan kasasi pada Mahkamah
Agung (MA) membebaskan seluruh pihak dari segala dakwaan (bebas murni) memang
berpotensi menimbulkan sejumlah pertanyaan. Meski telah nyata ada orang yang
terbunuh, namun tak satu pun pelaku terjerat hukuman. Asumsi aparat keamanan (polisi
atau TNI) sebagai pelaku dapat didasarkan dengan alibi bahwa yang menyuruh
melakukan tindak pidana adalah pihak dari perusahaan, sedangkan aparat keamanan
hanya sebagai eksekutor pesanan perusahaan. Sedangkan asumsi pihak perusahaan
sebagai pelaku tunggal dapat dikarenakan kepentingan mereka yang terganggu dengan
aksi Marsinah. Melihat sejumlah pelaku yang sebelumnya diduga terlibat terdiri atas
oknum perusahaan dan aparat TNI, maka berat kemungkinan memang terjadi
persekongkolan. Namun kenyataan tidak dapat dibuktikan, mungkin saja karena kuatnya
pengaruh institusi TNI yang mungkin saja terlibat. Melihat kenyataan di atas, perlu
tindakan hukum untuk menuntaskan pelanggaran HAM, baik sebelum ataupun setelah
dibentuk di bentuknya Pengadilan HAM. Tindakan tersebut tentu penting mengingat
HAM adalah muatan konstitusi dan merupakan perhatian seluruh pihak nasional dan
internasional. 4
5. Perangkat pengadilan dan aturan hukum perlindungan HAM pun telah memadai,
sehingga untuk sekarang, penerapannya yang perlu dimaksimalkan. 5 BAB III

PENUTUP KESIMPULAN
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur
Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada
tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo
Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat. Kasus
pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Alasannya adalah unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan
pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap
kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran
HAM berat.
Recommended

Marsinah di bunuh karena menolak PHK yang dilakukan perusahaan PT.CPS sebanyak 13
orang.awal tahun 1993,gubernur KDH TK 1 jawa timur mengeluarkan surat edaran no.50\
th.992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya
dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.himbauan tersebut tentunya
disambut dengan senang hati oloeh karyawan,namin disisi pengusaha bereti tambahannya
beben pengeluaran pengusahaan.pada pertengahan april 1993,karyawan PT.cps porong
membahas surat edaran tersebut dengan resah.akhirnya,karyawan PT.CPSmemutuskan untuk
unjuk rasa pada tanggal3 dan 4 mai 1993 menurut kenaikan upah rp 17000 menjadi 2250.
kasus ham marsinah

Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong,
Jawa Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen
50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya meneruskan
aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya
meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen.
Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Bianto, rekan Marsinah,
menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam
tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tak masuk kerja karena alasan
sakit atau melahirkan, tunjangannya akan dipotong.
Negosiasi antara buruh dengan perusahaan mengalami kebuntuan. Karena itu, buruh PT CPS
menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang
mogokkerja.
Seperti diungkap dalam laporan investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) bertajuk Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah (1995), pengorganisasian
para buruh sebenarnya sudah matang beberapa hari menjelang mogok kerja.

"Tidak usah kerja. Teman-teman tidak usah masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang bekerja,"
kata Marsinah, sebagaimana tercatat dalam Elegi Penegakan Hukum: Kisah Sum Kuning,
Prita, Hingga Janda Pahlawan (2010). Yudi yang dimaksud adalah Direktur PT CPS, Yudi
Susanto.
Mereka membawa 12 tuntutan (lihat infografik). Mulai dari menuntut hak kenaikan upah 20
persen hingga membubarkan organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di tingkat
pabrik. SPSI adalah satu-satunya organisasi buruh yang dinyatakan legal oleh rezim otoriter
Soeharto. Bianto menjelaskan bahwa kala itu reputasi SPSI buruk dan nyaris selalu
berseberangan dengan kebutuhan kolektif buruh.
“Sementara bagi SPSI, serikat buruh adalah mitra bagi perusahaan. Satu kondisi yang
sebenarnya terjadi karena SPSI disetir oleh kekuasaan Orde Baru,” ujar Bianto dalam
wawancara dengan kabarburuh.com tiga tahun lalu.

Marsinah Ambil Alih Komando

Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap dan dibawa ke
Kantor Koramil 0816/04 Porong. Ketegangan perlahan mulai mengalir deras.
Dia diinterogasi karena telah mengorganisasi pemogokan dan dituduh melakukan protes
dengan cara yang mirip aksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sorenya, Prakoso kembali ke
pabrik karena dipaksa aparat Koramil.
Mogok kerja di hari pertama itu tak mempan. Prakoso disibukkan dengan pemanggilan oleh
aparat militer. Akhirnya Marsinah yang memegang kendali memimpin protes para buruh.
Keesokan harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak
manajemen PT CPS bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam perundingan,
hadir pula petugas dari Dinas Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan
polisi dan Koramil. Pelibatan aparat negara dalam perundingan itu menimbulkan
kecanggungan.
Meski begitu, semua tuntutan akhirnya dikabulkan, kecuali membubarkan SPSI di tingkat
pabrik. Pimpinan perusahaan menganggap hal itu menjadi kewenangan internal SPSI.

Namun di hari itu juga, berdasarkan kronologi yang dirangkai Komite Solidaritas Untuk
Marsinah (KSUM), Yudo Prakoso, buruh yang dianggap dalang pemogokan, mendapat surat
panggilan dari Koramil Porong. Dalam surat bernomor B/1011V/1993 itu, Prakoso diminta
datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo. Surat itu ditandatangani Pasi Intel Kodim Sidoarjo
KaptenSugeng.

Disiksa Militer untuk Akui Bunuh Marsinah

Tanpa surat penangkapan, aparat militer berbaju preman mencokok dua satpam dan
tujuh pimpinan PT CPS. Penangkapan itu dibumbui tindakan kekerasan, semua diseret paksa
dan kepala Karyono Wongso, Kabag Produksi PT CPS, ditetak aparat militer dengan gagang
pistol. Mereka digelandang ke Markas Detasemen Intel (Den Intel) Kodam V Brawijaya
Wonocolo.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM) bertajuk Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus
Penyiksaan Belum-Terselesaikan (1995), satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap
selama 19 hari di Kodam V Brawijaya. Tak ada satupun keluarga mereka yang tahu.
Bambang Wuryantoyo, 38 tahun, yang bekerja di bagian pengawas umum PT CPS, disiksa
dan ditelanjangi. Kemaluannya disetrum berulangkali. Saat interogasi, kakinya ditindih kaki
meja. Kemaluan dan perutnya disundut rokok.
Di salah satu kamar mandi Kodam V Brawijaya seorang petugas militer kencing di dalam
gayung. Soeprapto, 23 tahun, satpam PT CPS dipaksa meminum air kencing itu. Penisnya
digebuk pakai seikat sapu lidi dan disetrum. Mulut Soeprapto disumpal celana untuk
meredam jeritannya saat disiksa. Kepalanya ditetak dan ketiaknya disulut rokok.

Rekan Soeprapto yang juga berprofesi sebagai satpam, Ahmad Sution Prayogi, 58 tahun, tak
bisa mengunyah makanan selama lima hari. Sebab aparat Kodam V Brawijaya merontokkan
giginya.
Mutiari, 27 tahun, ketua bagian personalia PT CPS adalah satu-satunya perempuan dalam
penyekapan di Kodam V Brawijaya itu. Dia dihantam kekerasan verbal. Mutiari diancam
akan ditelanjangi dan disetrum. Dia juga diperdengarkan dan diperlihatkan orang lain yang
sedang disiksa. Penyiksaan itu menyebabkan Mutiari kehilangan bayi yang sudah
dikandungnya selama tiga bulan. Ia keguguran saat itu juga.

Penis Yudi Susanto, Direktur PT CPS, juga disetrum. Dia dipaksa mengepel lantai salah satu
ruangan Kodam V Brawijaya dengan lidah. Di pelataran basis militer teritorial itu, Susanto
diminta mencabut rumput dengan mulut. Aparat militer pun tak segan meludah ke mulutnya,
lalu Susanto diminta menelan ludah itu. Pernah juga Susanto muntah karena disuruh
mengunyah kain lap kompor, lalu dia diminta cuci muka dengan air muntahnya sendiri.
Tujuan dari penyiksaan yang rutin itu agar satpam dan manajemen PT CPS mengaku telah
merencanakan pembunuhan Marsinah. Padahal aparat Kodam V Brawijaya-lah yang
membuat skenario palsu strategi perencanaan dan eksekusi pembunuhan Marsinah itu.

Pada 21 Oktober 1993, aparat Kodam V Brawijaya menyerahkan mereka ke Polda


Jatim. Siksaan verbal maupun fisik juga mereka rasakan di Polda Jatim, meski dengan
intensitas yang lebih rendah.
Proses persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan tidak membuat mereka terbebas
dari dakwaan. Mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya
dan Pengadilan Tinggi Surabaya, kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan hakim Pengadilan
Tinggi Surabaya. Jaksa Penuntut Umum yang menolak putusan bebas terhadap Yudi Susanto
kemudian mengajukan pemohonan kasasi ke MA, permohonan kasasi juga diajukan delapan
terdakwa lainnya.

Ahli Forensik Bersaksi

Setelah delapan orang divonis, Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi Kedokteran
Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut ambil bagian sebagai
saksi ahli. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti, kesaksian, dan
hasil visum. Menurutnya, visum pertama tak sesuai standar pemeriksaan jenazah karena
hanyabersifatparsial.
Dalam bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa barang
bukti proses peradilan berupa balok janggal. Ukuran balok yang digunakan menyodok bagian
genital tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban yakni 3 sentimeter.
Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak sesuai dengan jumlah terduga
pelaku yang berjumlah tiga orang.
Idries menegaskan bahwa pendarahan bukan penyebab kematian Marsinah, melainkan
tembakan senjata api. "Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan
luka tembak?" ungkap Idries dalam tayangan Mata Najwa: X-File edisi 18 September 2013.
Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak terbukti
melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Hal itu tercatat dalam penelitian Iyut
Qurniasari dan I.G. Krisnadi yang termuat di Jurnal Publika Budaya Universitas Jember
berjudul "Konspirasi Politik dalam Kematian Marsinah di Porong Sidoarjo Tahun 1993-
1995".
“Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan militer tanggung jawab atas pembunuhan
itu,” tulis Amnesty Internasional dalam laporannya, Indonesia: Kekuasaan dan Impunitas:
Hak Asasi Manusia di bawah Orde Baru.

Trimoelja D Soerjadi, pengacara Marsinah, menuturkan, semua terdakwa secara bengis


disiksa dan dianiaya. Intervensi militer itu adalah “Pengalaman yang getir, menyakitkan dan
paling mengerikan serta menakutkan,” kata Soerjadi saat menerima Yap Thiam Hien Award
Hingga kini Marsinah ada di mana-mana. Dia menyelinap di berbagai produk payung hukum
bagi hak buruh. Dalam putusan MK dan pengadilan, nama Marsinah kerap disebut. Misalnya
dalam putusan 100/PUU-X/2012, Margarito Kamis menjelaskan bagaimana Marsinah
menjadi tolak ukur bahwa buruh harus dilindungi.

Perjuangan buruh saat ini hanya catatan kaki bagi perjuangan Marsinah. Sisanya: kita yang
berhura-hura di bawah bayang-bayang romantisme keheroikan Marsinah. Hingga kini kita
belum terlalu peduli apakah ada serikat buruh dalam perusahaan. Kita belum serius
memahami bahwa serikat adalah tempat saling berbagi kekuatan dan menumbuhkan
kepekaan terhadap masalah rekan terdekat.

Diam-diam, hingga kini, represi tetap menjadi alat bagi siapa saja yang berkuasa. Masalah
buruh tak pernah jauh dari 12 tuntutan yang dicanangkan Marsinah dan kawan-kawan. Kita
hidup di sebuah negara dengan warisan tingkah yang brutal.
berhasil membangun dua kanal banjir dan akan membangun sepertiga untuk meringankan banjir
besar. berhasil membangun dua kanal banjir dan hampir sepertiga untuk meringankan banjir
besar. Dia bahkan harus mengakui bahwa itu adalah pekerjaan besar untuk membebaskan
jakarta dari banjir. Dia membangun jalan layang ke bandara internasional seokarno-hatta
dalam waktu singkat. untuk setidaknya membantu pelancong tepat waktu untuk penerbangan
mereka. kanal dan sungai harus dibersihkan dari ga... berhasil membangun dua kanal banjir dan
hampir sepertiga untuk meringankan banjir besar. Dia bahkan harus mengakui bahwa itu adalah
pekerjaan besar untuk membebaskan jakarta dari banjir. Dia membangun jalan layang ke bandara
internasional seokarno-hatta dalam waktu singkat. untuk setidaknya membantu para pelancong
tepat waktu untuk penerbangan mereka. Sungai dan sungai harus dibersihkan dari sampah dan
dikeruk sebelum musim hujan dimulai dengan sungguh-sungguh.

Anda mungkin juga menyukai