Anda di halaman 1dari 6

KASUS PELANGGARAN HAM

MARSINAH

Tugas PPKn

Nama : Tamalia Wahyu Utami

No.ab : 31

Kelas : X 2
KASUS MARSINAH

Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur
Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal
8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya
menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.

Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan. Awal dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh
karyawan CPS bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi
himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan
memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut
dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban
pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya
(PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT.
CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp
1700 menjadi Rp 2250.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk
rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah
karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu,
sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8
Mei 1993.

Pada tanggal 30 September 1993 dibentuk tim Bakorstanasda Jatim untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim
Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.

Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi,
termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang
ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang
kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT
CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda
Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D.
Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam
pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu
dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya


yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke
Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat
kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala
dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
“direkayasa”.

Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus
1713. Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah kelam ranah
hukum di Indonesia.

Sumber: Yudhe. 8 Kasus Besar Yang Tetap Menjadi Misteri Di Indonesia.


Http://Www.Yudhe.Com/8-Kasus-Besar-Yang-Tetap-Menjadi-Misteri-Di-Indonesia/. Diakses hari
Minggu tanggal 20 Oktober 2013.
B. Analisis Kasus

Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Alasannya adalah unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan
terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang
diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.

Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),
jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan
marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak
konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya. Hak tersebut secara
tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.

Memperoleh kenaikan upah agar layak dan adil merupakan hak konstitusional. Imlikasinya,
pelanggaran terhadap amanah konstitusi tersebut merupakan pelanggaran HAM, mengingat fungsi
konstitusi salah satunya mengatur dan melindungi HAM. Terkhusus dalam kasus marsinah, dasar
hukum secara eksplisit para penuntut pun telah ada, yaitu Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No.
50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya.

Berkumpul ataupun berkelompok dengan tujuan melakukan tindakan pemogokan dan unjuk rasa
pun telah mendapat perlindungan hukum, bahkan dimasukkan HAM golongan hak atas kebebasan
pribadi. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa tersebut tidak melakukan tindakan anarkis.
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan;
setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud yang damai.

Jika melihat kasus Marsinah, tindakan unjuk rasanya tidak menunjukkan dugaan kecenderungan
pada aksi anarkis. Rapat, mogok kerja, dan unjuk rasa merupakan hak konstitusional dalam sebuah
negara demokratis seperti di Indonesia. Selain atas dasar hukum, perlindungan terhadap hak
menyatakan pendapat tersebut tentu untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat,
termasuk dalam persoalan upah buruh. Terlebih lagi, pada kasus Marsinah, jelas bahwa pihak
perusahaan memang tidak mematuhi keputusan gubernur mengenai peningkatan upah buruh.
Keseimbangan beban kerja dengan upah buruh memang merupakan keniscayaan dalam sebuah
sistem perekonomian yang berbasis pada kekuatan modal, termasuk di Indonesia. Keengganan pihak
perusahaan membiarkan aksi pemogokan terjadi karena berakibat kerugian sangat tidak mendasar.
Aksi pemogokan pun merupakan konsekwensi sistem pengupahan yang tidak adil dan tidak sesuai
aturan. Sebagai jaminan keseimbangan beban kerja dan upah, dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM menggolongkan aksi mogok sebagai HAM. Pasal 25 undang-undang tersebut menyatakan;
setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berlandaskan aturan hukum positif, sama sekali tidak ada dasar legitimasi untuk melarang aksi unjuk
rasa. Meskipun demikian, tetap diharapkan bahwa kesepakatan cepat tercapai melalui cara
perundingan, baik dengan mediasi ataupun secara langsung oleh para pihak. Jika terjadi aksi
penuntutan secara berkelompok sebagai cara akhir, maka posisi pihak kontra adalah menyerap
aspirasi, sedangkan aparat keamanan berwajib menjamin terciptanya komunikasi baik antarkedua
belah pihak.

Jika harus berasumsi dalang di balik pembunuhan marsinah, maka secara umum dapat dicap oknum
yang kontra terhadap aksi-aksi demontrasi, dan bisa dikhususkan kepada oknum perusahaan yang
memang tidak setuju terhadap kenaikan upah buruh. Putusan kasasi pada Mahkamah Agung (MA)
membebaskan seluruh pihak dari segala dakwaan (bebas murni) memang berpotensi menimbulkan
sejumlah pertanyaan. Meski telah nyata ada orang yang terbunuh, namun tak satu pun pelaku
terjerat hukuman. Asumsi aparat keamanan (polisi atau TNI) sebagai pelaku dapat didasarkan
dengan alibi bahwa yang menyuruh melakukan tindak pidana adalah pihak dari perusahaan,
sedangkan aparat keamanan hanya sebagai eksekutor pesanan perusahaan. Sedangkan asumsi pihak
perusahaan sebagai pelaku tunggal dapat dikarenakan kepentingan mereka yang terganggu dengan
aksi Marsinah. Melihat sejumlah pelaku yang sebelumnya diduga terlibat terdiri atas oknum
perusahaan dan aparat TNI, maka berat kemungkinan memang terjadi persekongkolan. Namun
kenyataan tidak dapat dibuktikan, mungkin saja karena kuatnya pengaruh institusi TNI yang
mungkin saja terlibat.

Melihat kenyataan di atas, perlu tindakan hukum untuk menuntaskan pelanggaran HAM, baik
sebelum ataupun setelah dibentuk di bentuknya Pengadilan HAM. Tindakan tersebut tentu penting
mengingat HAM adalah muatan konstitusi dan merupakan perhatian seluruh pihak nasional dan
internasional. Perangkat pengadilan dan aturan hukum perlindungan HAM pun telah memadai,
sehingga untuk sekarang, penerapannya yang perlu dimaksimalkan.

Sumber: Yudhe. 8 Kasus Besar Yang Tetap Menjadi Misteri Di Indonesia. Http://Www.Yudhe.Com/8-
Kasus-Besar-Yang-Tetap-Menjadi-Misteri-Di-Indonesia/. Diakses hari Minggu tanggal 20 Oktober
2013.

Anda mungkin juga menyukai