Anda di halaman 1dari 6

Nama: Orchidtia Luna Najwa

Kelas: X IPA I

Kisah Marsinah, Sang Simbol Pergerakan


Penuntut Keadilan Bagi Buruh

Marsinah,mungkin namanya sudah banyak terdengar bagi sebagian orang terutama di


kalangan para pekerja buruh Indonesia.Ketika hari burh 1 Mei pun,Namanya sering disebut-
sebut begitu pula ketika hari peringatan HAM,fotonya pun tersebar dimana-mana sebagai icon
penuntut keadilan.

Pemerintahan Orde Baru nyatanya adalah sebuah pisau bermata dua bagi rakyat, disatu sisi
menganggap era Orde Baru adalah masa keemasan bagi bangsa, namun disisi lain ada yg
beranggapan bahwa tak ubahnya Indonesia berada dibawah tirani anti kritik dan pengekangan
pendapat.

Hal ini dibuktikan dengan aturan dari Menteri Tenaga Kerja saat itu yang isinya adalah
penempatan militer pada tiap tiap pabrik guna sebagai penengah jika ada konflik antara jajaran
pimpinan dengan serikat buruh. Selain itu, tentunya para militer ini ditugaskan sebagai
pengawas.Mulut mulut yang mencoba berteriak dan mengemukakan pendapat itu akhirnya
tertahan. Ancaman peneguran, penangkapan atau pemecatan membayang-bayangi mereka.
Militer senantiasa siap sedia mengintervensi pabrik luar maupun dalam.

Begitu yang terjadi pada salah satu pabrik tempat Marsinah bekerja, PT Catur Putera Surya
(CPS), sebuah pabrik arloji(jam tangan) di Siring, Porong, Jawa Timur.
Kasus Marsinah (1993)
Berawal pada saat awal tahun 1993 Gubernur mengeluarkan surat edaran yang berisi
agar pengusaha menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan menaikkan gaji sebesar 20%.
Pada pertengahan April karyawan PT.CPS membahas surat edaran ini dengan resah dan
akhirnya mereka memutuskan untuk mengadakan unjuk rasa pada tanggal 3 dan 4 mei 1993
menuntut kenaikan upah dari 1700 menjadi 2250 rupiah.

Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat
kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa
Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh
sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS
mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan
himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.

Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali
staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya
untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin
Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak
mogok. Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan
mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka
bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik.

Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi
berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT.
CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana
dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah
satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang
tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per
hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan
yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.

Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum


berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu
diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara
mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima
PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8
buruh di-PHK di tempat yang sama.

Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan


rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam,
Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-
kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan
perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi
sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang
kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya
sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993 dengan kondisi
sangat mengenaskan. Tulang panggul, vagina, dan lehernya hancur. Perutnya mendapat luka
tusukan sedalam 20 cm. Sekujur tubuh memar serta lengan dan tangan lecet.
Kasus yang tidak terselesaikan

1. Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Delapan
petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang
kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi
dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh
Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda
Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto,
Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk
mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah
menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap
Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut
adalah Anggota TNI.

Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke
pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan
Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS)
mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan
sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka
naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".

2. Tahun 1994, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KASUM). KASUM


adalah komite yang didirikan oleh 10 LSM. KASUM merupakan lembaga yang
ditujukan khusus untuk mengadvokasi dan investigasi kasus pembunuhan aktivis buruh
Marsinah oleh Aparat Militer. KASUM melakukan berbagai aktivitas untuk mendorong
perubahan dan menghentikan intervensi militer dalam penyelesaian perselisihan
perburuhan. Munir menjadi salah seorang pengacara buruh PT. CPS melawan Kodam
V/Brawijaya atas tindak kekerasan dan pembunuhan terhadap Marsinah.
3. Pada tahun 2000, kasus Marsinah dibuka lagi. DNA Marsinah yang diperiksa di
Australia sudah diserahkan ke Puslabfor dan hasilnya DNA tersebut sama dengan
bercak darah Marsinah yang ditemukan di rumah Direktur PT. CPS Yudi Susanto. Akan
tetapi hasilnya berbeda dengan hasil test DNA yang dilakukan oleh mabes POLRI.

4. Tahun 2002, Presiden Megawati Soekarno putri menyetujui rencana Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengusut kasus Marsinah. Dalam
perjalanan, ternyata Komnas HAM mengalami kesulitan. Sekjen Komnas HAM
Asmara Nababan mengakui adanya sejumlah kendala dalam mengungkap kembali
kasus tewasnya Marsinah. Kesulitan tersebut antara lain disebabkan kasus Marsinah
sudah pernah disidik dan disidangkan (nebis in idem).

5. Tahun 2010, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mendesak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk mengungkap kasus pembunuhan aktivis buruh pabrik,
Marsinah. Hingga saat ini komnas HAM masih berupaya untuk cari celah dalam
penyelesaian masalah ini.Kasus ini, juga mendapat perhatian dari Organisasi Buruh
Dunia (ILO).

Analisa Kasus Marsinah


Kasus pembunuhan Marsinah di atas merupakan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) berat. Alasannya adalah unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di
luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut
dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai
pelanggaran HAM berat.

Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam
menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum
pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah
sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2)
UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Memperoleh kenaikan upah agar layak dan adil merupakan hak konstitusional.
Imlikasinya, pelanggaran terhadap amanah konstitusi tersebut merupakan pelanggaran
HAM, mengingat fungsi konstitusi salah satunya mengatur dan melindungi HAM.
Terkhusus dalam kasus marsinah, dasar hukum secara eksplisit para penuntut pun telah
ada, yaitu Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada
pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya.
Berkumpul ataupun berkelompok dengan tujuan melakukan tindakan pemogokan
dan unjuk rasa pun telah mendapat perlindungan hukum, bahkan dimasukkan HAM
golongan hak atas kebebasan pribadi. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa tersebut
tidak melakukan tindakan anarkis. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyatakan; setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat,
dan berserikat untuk maksud-maksud yang damai.

Jika melihat kasus Marsinah, tindakan unjuk rasanya tidak menunjukkan dugaan
kecenderungan pada aksi anarkis. Rapat, mogok kerja, dan unjuk rasa merupakan hak
konstitusional dalam sebuah negara demokratis seperti di Indonesia. Selain atas dasar
hukum, perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat tersebut tentu untuk mewujudkan
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, termasuk dalam persoalan upah buruh. Terlebih lagi,
pada kasus Marsinah, jelas bahwa pihak perusahaan memang tidak mematuhi keputusan
gubernur mengenai peningkatan upah buruh.

Keseimbangan beban kerja dengan upah buruh memang merupakan keniscayaan


dalam sebuah sistem perekonomian yang berbasis pada kekuatan modal, termasuk di
Indonesia.. Aksi pemogokan pun merupakan konsekwensi sistem pengupahan yang tidak
adil dan tidak sesuai aturan. Sebagai jaminan keseimbangan beban kerja dan upah, dalam
UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menggolongkan aksi mogok sebagai HAM. Pasal 25
undang-undang tersebut menyatakan; setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat
di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Jika harus berasumsi dalang di balik pembunuhan marsinah, maka secara umum
dapat dicap oknum yang kontra terhadap aksi-aksi demontrasi, dan bisa dikhususkan kepada
oknum perusahaan yang memang tidak setuju terhadap kenaikan upah buruh. Putusan kasasi
pada Mahkamah Agung (MA) membebaskan seluruh pihak dari segala dakwaan (bebas
murni) memang berpotensi menimbulkan sejumlah pertanyaan. Meski telah nyata ada orang
yang terbunuh, namun tak satu pun pelaku terjerat hukuman. Asumsi aparat keamanan
(polisi atau TNI) sebagai pelaku dapat didasarkan dengan alibi bahwa yang menyuruh
melakukan tindak pidana adalah pihak dari perusahaan, sedangkan aparat keamanan hanya
sebagai eksekutor pesanan perusahaan. Sedangkan asumsi pihak perusahaan sebagai pelaku
tunggal dapat dikarenakan kepentingan mereka yang terganggu dengan aksi Marsinah.
Melihat sejumlah pelaku yang sebelumnya diduga terlibat terdiri atas oknum perusahaan
dan aparat TNI, maka berat kemungkinan memang terjadi persekongkolan. Namun
kenyataan tidak dapat dibuktikan, mungkin saja karena kuatnya pengaruh institusi TNI
yang mungkin saja terlibat.

Melihat kenyataan di atas, perlu tindakan hukum untuk menuntaskan pelanggaran


HAM, baik sebelum ataupun setelah dibentuk di bentuknya Pengadilan HAM. Tindakan
tersebut tentu penting mengingat HAM adalah muatan konstitusi dan merupakan perhatian
seluruh pihak nasional dan internasional. Perangkat pengadilan dan aturan hukum
perlindungan HAM pun telah memadai, sehingga untuk sekarang, penerapannya yang perlu
dimaksimalkan.

Anda mungkin juga menyukai