Dibuat Oleh:
C. Tujuan
Tujuan kami mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi manusia di Indonesia yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian pelanggaran HAM.
2. Untuk mengetahui macam-macam pelanggaran HAM.
Kasus tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur setempat
mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah bekerja memilih
bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja hingga
esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja berdialog dan
menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan permintaan karyawan dengan
membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya permasalahan antara perusahaan dan
pekerja telah beres.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan
mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka
bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga
pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan
tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan
tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Namun esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik
Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah marah dan tidak
terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan.
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi
berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS.
Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan
kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya
perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan
tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai
dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang
melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir.
Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan
dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak
agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena
tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di
tempat yang sama.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Komando Distrik Militer Sidoarjo. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim
Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak
Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan
Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat
pada tanggal 8 Mei 1993.
Kasus pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat. Jika merujuk
pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , jelas bahwa tindakan
pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-
kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak konstitusional
Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya.
B. Saran
Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak
kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang lain jangan
sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan
dinjak-injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus
Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani
membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah
sudah barang tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak
pernah menemui titik terang. Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak
Asasi Manusia.