Anda di halaman 1dari 22

SITUS SITUS BERSEJARAH

1. Situs Candi Prambanan

Masa Berdiri dan Bentuk Candi Prambanan


Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa
kuno, pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan
candi Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan.
Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara
berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha
Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun
untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta
adalah Siwagrha (Sanskerta: Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa')
atau Siwalaya (Sanskerta: Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa'). Dalam
prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung,
dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat
candi ini. Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan
sepanjang sisi barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran
sungai ini berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi
sehingga erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan
dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-
selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian
ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara
(candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi
Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca
pedharmaan anumerta beliau.
Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram
berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan
candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan
berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara
penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan
pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini
untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu.
Sementara pusat kerajaan ataukeraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di
dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Gambar Candi Prambanan
    
Pemugaran Candi Prambanan
  Adapun pemugaran yang dilakukan untuk memperbaiki candi ini dilakukan dengan
dua masa, yakni :
Pemugaran Pada Masa Kolonial
Pada tahun 1885 Ir. J.W. Ijzeman, ketua Archaelogische sebagai peminang pertama
datang.Hal pertama yang dia lakukan untuk pemugaran candi ini adalah
membersihkan seluruh bangunan dari tanah dan tumbuhan yang menutupi sebagian
besar bagian candi.
Usaha dari Ijzerman ini dilanjutkan oleh J. Groneman yang dilengkapi dengan foto
hasil karya Chepas, khususnya relief candi siwa. Namun demikian pemugaran yang
dilakukaan oleh Groneman ini mempunyai kekurangan tentang cara pemugaran yang
dilakukan tidak dengan sistematis sehingga pemugaran selanjutnya sulit unttuk
dilakukaan.
Pada tahun 1935 pemugaaran selanjutnya diberikan kepada P.V Van Romondt, dia
adalag seorang arsitek yang mempelajari tentang sejarah kesenian. Pada proses
pemugaran itu dia dibantu P.H. Van Coolwijk serta dua orang lainnya dari orang
Indonesia, yaitu Soehamir dan Samingun
Pada tahun 1942 belanda menyerah kepada kepada jepang dan pegawai-pegawai
menjadi tawanan sehingga pemugaran pada candi ini tidak bisa dilanjutkan. Hingga
pemugaran tersebut dilanjutkan oleh putra Indonesia sendiri. Ketika proklamasi
dilakukan, pemugaran pada candi ini dilakukan dengan gencar sampai mencapai
tinggi 32,5 meter.

Pemugaran Pada Masa Pasca Kemerdekaan


Pemugaran pada masa awal kemerdekaan ini lebih parah karena dokumen dan arsip-
arsip penting lainnyaa hilang karena perang pada waktu aksi militer ke 2, setelah
peristiewa itu pemugaran dilakukan sampai atap keempat setinggi sekitar 35,25 meter
“Pada tanggal 6 juni 1949 pemugaran mulai dilakukan kembali oleh bagian purbakala,
Djawatan Kebudajaan RI, dan hingga tahun 1950 telah mencapai tinggi 37,25” (Sam,
1950:6) jadi pada atahun tersebut pemerintah Indonesia mulai menyadari akan
pentingnya candi. Hingga pada tahun 1953 pemugaran yang dilakukan ini dinyatakan
sudah selesai dilakukan dengan ditandai oleh terpasangnya puncak candi siwa dan
akhirnya diresmikan oleh Presiden pertama Indonesia yakni Presiden Soekarno pada
tanggal 20 desember 1953
Pada tahun 1951, percobaan pemugaran candi Brahma dan Candi Wisnu, namun
pemugaran ini tidak berlangsung lama dan terhenti ketika Th. Aq. Soenarto memimpin
pemugaran candi Brahma.
Pemugaran dan penelitian yang terus dilakukan menghasilkan gambaran bahwa candi
ini terdiri dari tiga halaman, yaitu halaman luar, halaman tengah dan halaman pusat. Halaman
pusat ini terdiri dari :
1.      Kelompok Candi Utama yakni Candi Siwa, CandiBahma dan Candi Wisnu.
2.      Kelompok Candi Vahana, yang terdiri dari tiga bangunan, yaitu Candi Nandi, Candi A
dan Candi B.
3.      Kelompok Candi Apit terdiri atas dua bangunan yang mengapit tiga candi utama dan
candi vahana. Kedua candi ini saling mengapit satu dengan yang lain.
4.      Kelompok candi kelir, berjumlah empat bangunan yang masing-masing terletak dipintu
masuk halaman pertama.
5.      Kelompok candi sudut, terdiri dari empat bangunan yang masing-masing terletak di
keempat sudut halaman pertama (Subroto, 1993:4-5).
Hingga pada tahun 1991 pemugaran atas candi ini diarahkan pada kelompok candi
Wahana dan berakhir pada tahun 1993. Pemugaran ini dilandaskan kepada nialai
kemanfaatan yakni: nilai informatif, nilai estetis, nilai asosiatif, dan nilai wisata.

Kompleks candi Prambanan


Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan
tetapi arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini
adalah gerbang timur.
Kompleks candi Prambanan terdiri dari:
 3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
 3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
 2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di
sisi utara dan selatan
 4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman
dalam atau zona inti
 4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
 224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari
barisan terdalam hingga terluar.

Bentuk Pengelolaan Candi Prambanan


Pelestarian candi Prambanan merupakan tanggung jawab bersama UPT (Unit
Pelaksanaan Teknis) dan masyarakat khususnya sebagai pemilik resmi situs-situs zaman
sejarah dan purbakala yang masih berdiri sampai sekarang. Saperti halya yang di unkapkan
tugas pokok dan fungsi BP3 adalah melakukan pelestarian peninggalan sejarah dan
purbakala. Dalam upaya pelestarian tersebut meliputi beberapa kegiatan, yaitu: Perlindungan,
Pemeliharaan, Pemugaran, Dokumentasi, dan Publikasi.

Candi Prambanan Sebagai Objek Wisata


            Secara resmi, situs candi prambanan di kenal sebagai objek wisata sejak 1980. Secara
Yuridis Candi Prambanan dan borobudur di kenal sebagai objek wisata oleh PT. Taman
Wisata Candi Borobudur dan bedasarkan Akte Notaris: Soeleman Ardjasasmita, S.H. Nomor
19 tanggal 15 juli 1980. Kemudian pada tahun 1992 kewiraan pengelolaan di dukung dengan
KEPPRES Nomor: 1 tahun 1992, tanggal 2 januari 1992. Dalam perkembanganya, kawasan
ratu boko pada tahun 1994 di jadikan sebagai pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur,
Prambanan dan ratu boko berdasarkan Akta Notaris: Soekaimi, S.H. Nomor: 15 tanggal 3
Agustus 1994.
            Pada dasarnya pengelolaan peninggalan zaman sejarah khususnya candi bisa
dilakukan secara hukum dan bermasyarakat karena semua situs tinggalan zaman sejarah
adalah tanggung jawab bersama khususnya warga negara Indonesia.
            Latar belakang dari PT Taman Wisata sebelumnya mempunyai tugas dasar
sebagimana yang di uraikan oleh setyasuti sebagai berikut. Sebagai pengelolaan Candi
Prambanan Sebagai Objek Wisata, keberadaan PT Taman wisata tidak terlepas dari proyek
Pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan yang di kembangkan pada
sekitsr tahun 1070-an. Candi Borobudur dan Prambanan di kembangkan sebagai objek
Wisata melalui serangkaian study sejak tahun 1973 hingga 1979 dengan bantuan teknis dari
pemerintah Jepang.
2. Situs Gunung Padang
Misteri masih menyelimuti situs Gunung Padang yang berada di Kabupaten Cianjur.
Seorang arkeolog asal Bosnia Herzegovina, Semir Sam Osmanagich meyakini jika situs
megalitik itu bisa dimasukkan ke dalam kategori peradaban piramida.
"Struktur bangunan piramida semuanya sama. Situs Gunung Padang sangat penting
keberadaannya bagi ilmu pengetahuan dalam dan luar negeri," kata Sam. Menurut Sam,
piramida adalah sebuah bangunan atau bukit yang dimodifikasi oleh manusia. Namun
pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa yang membangun situs itu dan bagaimana.
Sam pun mengatakan pembangunan piramida mempertimbangkan hal mendasar seperti
lingkungan, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sam melanjutkan, para pembangun
piramida adalah manusia jenius yang mampu memanipulasi alam dan memanfaatkan energi
di sekitarnya.
Sebenarnya situs ini sudah diteliti sejak 1914. Kemudian yang terbaru adalah Tim Terpadu
Riset Mandiri Gunung Padang yang melakukan penelitian independen pada tahun 2011
sampai 2013.

Gambar Situs Gunung Padang

Laporan pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de


Oudheidkundige Dienst  (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Sejarawan
Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun 1949. Setelah sempat
"terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan
kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-
batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang
mengarah ke Gunung Gede. Selanjutnya, bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan
Departemen Pendidikan Kebudayaan Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan
pengecekan. Tindak lanjutnya adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang
dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.
Lokasi
Lokasi situs berbukit-bukit curam dan sulit dijangkau. Kompleksnya memanjang, menutupi
permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu andesit besar berbentuk persegi. Situs
itu dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam. Tempat ini sebelumnya memang telah
dikeramatkan oleh warga setempat. Penduduk menganggapnya sebagai tempat Prabu
Siliwangi, raja Sunda, berusaha membangun istana dalam semalam.
Fungsi situs Gunung padang diperkirakan adalah tempat pemujaan bagi masyarakat
yang bermukim di sana pada sekitar 2000 tahun S.M. Hasil penelitian Rolan Mauludy dan
Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya pelibatan musik dari beberapa batu
megalit yang ada. Selain Gunungpadang, terdapat beberapa tapak lain di Cianjur yang
merupakan peninggalan periode megalitikum.
Penelitian
Sejak Maret 2011 Tim peneliti Katastrofi Purba yang dibentuk kantor Staf Khusus
Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, dalam survei untuk melihat aktifitas sesar aktif
Cimandiri yang melintas dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang melewati Gunung Padang.
Ketika tim melakukan survei bawah permukaan Gunung Padang diketahui tidak ada intrusi
magma. Kemudian tim peneliti melakukan survei bawah permukaa Gunung Padang secara
lebih lengkap dengan metodologi geofisika, yakni geolistrik, georadar, dan geomagnet di
kawasan Situs tersebut. Hasilnya, semakin meyakinkan bahwa Gunung Padang sebuah bukit
yang dibuat atau dibentuk oleh manusia (man-made). Pada November 2011, tim yang
dipimpin oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja, terdiri dari pakar kebumian ini semakin
meyakini bahwa Gunung Padang dibuat oleh manusia masa lampau yang pernah hidup di
wilayah itu.
Survei Pemerintah Indonesia
Hasil survei dan penelitian kemudian dipresentasikan pada berbagai pertemuan ilmiah
baik di tingkat nasional maupun internasional, bahkan mendapat apresiasi dari Prof.
Dr. Oppenheimer. Kemudian tim katastrofi purba menginisiasi pembentukan tim peneliti
yang difokuskan untuk melakukan studi lanjutan di Gunung Padang, dimana para anggota
peneliti diperluas dan melibatkan berbagai bidang disiplin ilmu dan berbagai keahlian. Sebut
saja Dr. Ali Akbar, Purajatnika, M.Sc, Dr. Budianto Ontowirjo dan Dr. Andang Bachtiar.
Berbagai temuan tim terpadu penelitian mandiri Gunung Padang ini akhirnya dilakukan uji
radiometrik karbon (carbon dating, C14). Menariknya hasil uji karbon pada
laboratorium Beta Miami, di Florida AS, menera bahwa karbon yang didapat dari pengeboran
pada kedalaman 5 meter sampai dengan 12 meter berusia 14.500-25.000 tahun. Hasil laporan
selengkapnya sebagai-berikut:
Bangunan di bawah permukaan situs Gunung Padang terbukti secara ilmiah lebih tua
dari Piramida Giza. Hal ini merujuk pada hasil pengujian karbon dating Laboratorium Batan
(indonesia) dengan metoda LSC C14 dari material paleosoil di kedalaman -4m pada lokasi
bor coring 1, usia material paleosoil adalah 5500 +130 tahun BP yang lalu. Sedangkan
pengujian material pasir di kedalaman -8 s.d. -10 m pada lokasi coring bor 2 adalah 11000 +
150 tahun
Hasil Laboratorium Beta Analytic Miami
Hasil mengejutkan dan konsisten dikeluarkan oleh laboratorium Beta Analytic Miami,
Florida,minggu lalu tambahnya dimana umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter
sampai 12 meter bada bor 2 umurnya sekitar 14500 – 23000 SM/atau lebih tua. Sementara
beberapa sample konsisten dengan apa yg di lakukan di Lab BATAN. Kita tahu laboratorium
di Miami Florida ini bertaraf internasional yang kerap menjadi rujukan berbagai riset dunia
terutama terkait carbon dating.
Kedua laboratorium ini menjawab keraguan banyak pihak atas uji sampel di
laboratorium BATAN. Sebelumnya,tim riset terpadu mandiri telah melakukan uji terkait usia
Gunung Padang di laboratorium BATAN, namun tidak banyak respon positif, bahkan
meragukannya. Padahal hasil yang diperoleh oleh kedua laboratorium itu tidak banyak
berbeda, Sudah saatnya kita percaya terhadap kemampuan dan kualitas para ilmuwan serta
laboratorium nasional seperti BATAN, berikut hasil uji di kedua laboratorium tersebut:
1. Umur dari lapisan tanah di dekat permukaan (60 cm di bawah permukaan) ,sekitar 600
tahun SM (hasil carbon dating dari sampel yg diperoleh Arkeolog, Dr. Ali Akbar,anggota tim
riset terpadu di Laboratorium Badan Atom Nasional (BATAN);
2. Umur dari lapisan pasir-kerikil pada kedalaman sekitar 3-4 meter di Bor-1 yang melandasi
Situs Gunung Padang di atasnya (sehingga bisa dianggap umur ketika Situs Gunung Padang
di lapisan atas dibuat) sekitar 4700 tahun SM atau lebih tua (diambil dari hasil
analisis BATAN;
3. Umur lapisan tanah urug di kedalaman 4 meter diduga man made stuctures (struktur yang
dibuat oleh manusia)dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras
5 pada Bor-2,sekitar 7600-7800 SM (Laboratorium BETA Miami, Florida)[9];4. Umur dari
pasir yang mengisi rongga di kedalaman 8-10 meter di Bor-2, sekitar 11.600-an tahun SM
atau lebih tua (Lab Batan);
5. Umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter,sekitar 14500 – 25000
SM/atau lebih tua (lab BETA Miami Florida).

3. Situs Candi Borobudur


Nama Borobudur
Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal
dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan pancuran
pemandian. Asal mula nama Borobudur tidak jelas, meskipun memang nama asli dari
kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.
Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas
Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada
dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah
Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin
merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada
1365.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor
pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti
Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah
raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan
sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya,
Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah
abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan
tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk
memelihara Kamūlān yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur,
kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi
Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan
sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
Lingkungan sekitar

Tiga candi serangkai


Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan
perlambang. Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta,
Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung
kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah
timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat
jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai
Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal
sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan
disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus. Awalnya diduga
hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat
jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga
candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan
mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan
perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki
kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama
yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci
pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum
diketahui secara pasti.
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas
bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas
dasar danau purba yang telah mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan
perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan
bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman
dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran
Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan
bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam
bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat
ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam
oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha
atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan
postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam
naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke
Asia Timur).
Sejarah Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada
masa jayanya
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara
jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim
digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun
sekitar tahun 800 masehi.[21] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M,
masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 -
100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan
raja Samaratungga pada tahun 825.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena
pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk
membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran
menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan
pembiayaanCandi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara,
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi. Petunjuk ini
dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah
menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu
bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.
Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa
Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang
kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan
berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur
memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa
kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan
Borobudur:
1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan
kurun 750 dan 850 M).
2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak
melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa
tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang
lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu
stupa induk yang besar di tengahnya. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi
bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh
keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan
pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta
pelebaran ujung kaki.
5.
Borobudur diterlantarkan

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya


Borobudur Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah
lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar
sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab
Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti
sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928
dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa
Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah
yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa
sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini. Bangunan suci ini
disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam
naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan
adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer
bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan
kepada Islam pada abad ke-15.

Penemuan kembali
Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah
pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford
Rafflesditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah
Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan
mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan
rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya
diSemarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam
hutan dekat desa Bumisegoro. Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal,
ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius,
seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua
bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang
tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini.
Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia
melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa
candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles
dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas
keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat
Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief
pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891. Penemuan ini mendorong pemerintah
Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900,
pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini:
Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota
tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen
Pekerjaan Umum.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan
dipimpin Theodor van Erp. Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar
monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp
membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak.
Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan
proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp
melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur
telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya
menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra.
Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air.
Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan. [36] Van
Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium
hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini
menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan
perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan
permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi
melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur
dibuat. Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh
monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Pondasi diperkokoh dan
segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar
seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan
saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal
ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar
6.901.243 dollar AS. Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam
daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991. Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i)
"mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di
dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata
kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu
peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya
seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".

Peristiwa kontemporer

Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak

Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,


Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada
saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari
suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa
pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi
Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia dan upacara peringatan
dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju
Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada
1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara
telah mengunjungi monumen ini.  Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung
setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis
finansial Asia 1997. Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan
masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi. Pada 2003, penduduk dan
wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan
pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun
kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World' Upaya masyarakat setempat untuk
mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah
usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali
malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang
mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar
cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring
berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini
membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.

Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO

UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur:


(i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs;
(iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang. [45] Tanah yang gembur, beberapa
kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi
adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung
ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur
bangunan. Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan
adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh
apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme
berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak
situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh
berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar
pengunjung selalu dalam pengawasan.

Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan November
2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer
(17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan
2,5 sentimeter (1 in) menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga
mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara
kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5
sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.
UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya
rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu
sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar
untuk menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat setempat. Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki
sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan.
Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.

Arsitektur
Model Borobudur

Denah Borobudur membentukMandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.


Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini
diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga
merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida
bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara
pemujaan leluhur asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.
Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk
pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan
lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan
dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran
dalam ajaran Buddha. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini
memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas
berbentuk lingkaran.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah".
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya
dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi.
Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya
2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai
kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu(yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan
bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan
berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di
dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut
juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha',
padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung
yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut
kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak.
Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti
ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu
kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat
hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.

Struktur bangunan
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat
penatahan untuk membangun monumen ini.[53] Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu,
diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak
memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-
balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan
lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua
blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.

Gbr: Arca singa penjaga gerbang Gbr: Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase
Penampang candi Borobudur terdapat rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan
kepala(gbr 1) Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara(gbr 2) .

Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan
curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang
disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala
raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas
permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa
dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti
candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum
rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat
Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.
Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau
candi. Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha.
Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit
dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga
merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur
asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang
diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda
Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita
rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring.
Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi
jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara
ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan
ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya. Tentu saja satuan ini
bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen
ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di
monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari
suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur. Rasio matematis
ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog
yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan talamemiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi,
dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak. Dasar
berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 m (13 kaki). Tubuh candi terdiri
atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur
7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki),
menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar,
tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat
stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari
permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini
dilepas adalah 42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin
yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang
pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada
puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-
Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur,
sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan
tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Relief
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu —
dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief dan pola
hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus.
Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha. Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti
berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud
manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan,bidadari atapun makhluk yang
mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu
melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan
beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari
Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai
bertangkai panjang.
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata,
atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional
Nusantara.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa
Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-
macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa
dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan
berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga
naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur
meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah
sebagai berikut.

Bagan Relief
Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

Kaki candi
----- Karmawibhangga 160
asli
a. Lalitawistara 120
dinding
b. jataka/awadana 120
Tingkat I
a. jataka/awadana 372
langkan
b. jataka/awadana 128
dinding Gandawyuha 128
Tingkat II
langkan jataka/awadana 100
dinding Gandawyuha 88
Tingkat III
langkan Gandawyuha 88
dinding Gandawyuha 84

Tingkat IV
langkan Gandawyuha 72

Jumlah 1460

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Lalitawistara
Jataka dan Awadana
Gandawyuha

Arca Buddha
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan
di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar
langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris
keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di
tingkatRupadhatu. Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha
diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama
terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya
total 72 stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha
sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus
diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra:
Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas
menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur,
Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di
dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat.
Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna
simbolisnya tersendiri.
Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi
Timur, maka mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:
Ara
h
Melamba Dhyani Mat
Arca Mudra Lokasi Arca
ngkan Buddha a
Ang
in

Memangg Relung di pagar


Bhumisp
il bumi Tim langkan 4 baris
arsa Aksobhya
sebagai ur pertama Rupadh
mudra
saksi atu sisi timur

Relung di pagar
Wara Kederma Ratnasam Sela langkan 4 baris
mudra wanan bhawa tan pertama Rupadh
atu sisi selatan

Relung di pagar
Semadi
Dhyana Bar langkan 4 baris
atau Amitabha
mudra at pertama Rupadh
meditasi
atu sisi barat

Relung di pagar
Abhaya Ketidakge Amoghasi Utar langkan 4 baris
mudra ntaran ddhi a pertama Rupadh
atu sisi utara

Relung di pagar
langkan baris
Witarka Wairocan Ten
Akal budi kelima
mudra a gah
(teratas) Rupadh
atu semua sisi
Dharmac Pemutaran Di dalam 72
Wairocan Ten
hakra roda stupa di 3 teras
a gah
mudra dharma melingkar

4.Situs Candi Muarojambi

Guru Besar Arkeologi Universitas indonesia (UI) Profesor Agus Aris Munandar mengatakan
Kerajaan Sriwijaya diduga berada di kawasan Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Sebab baru-baru
ini timnya menemukan jejak-jejak peninggalan kerajaan bahari tua, sebelum Majapahit
berdiri di Mojokerto, Jawa Timur.
“Kami menemukan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya serta petirtaan berupa sumur di
Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi, oleh 43 mahasiswa dan 5 dosen
pembimbing yang tergabung dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Arkeologi
Universitas Indonesia (UI) pada 16-28 Juni 2013,” kata Agus Aris pada Jumat (12/7/2013).
Seperti diberitakan Antara, kegiatan utama KKL Arkeolog UI pekan lalu tersebut adalah
ekskavasi, sebuah metode arkeologi yang bertujuan menemukan kembali sisa-sisa kegiatan
manusia masa lalu dengan cara melakukan penggalian.
Proses ekskavasi dilakukan di 14 kotak gali di Situs Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Muara
Jambi (Muaro Jambi).
Kawasan tersebut berada sekitar 20 kilometer dari Kota Jambi, atau 30 kilometer dari Ibu
Kota Kabupaten Muaro Jambi. Juga dijelaskan, sebenarnya masih banyak bagian kawasan
cagar budaya tersebut yang belum dijamah, termasuk di seberang Sungai Batanghari.

Sedangkan arca-arca lepas yang ditemukan di Palembang bertuliskan ancaman-ancaman,


maka dapat diartikan bahwa Palembang justru merupakan kota yang telah ditaklukan oleh
Sriwijaya.

Departemen Arkeologi UI bersama pemerintah setempat saat ini tengah bekerja sama
menjadikan Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi sebagai laboratorium penelitian, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk penelitian arkeologi baik oleh dosen maupun mahasiswa
Arkeologi.

Sumur di Candi Muaro Jambi yang baru ditemukan oleh mahasiswa peneliti dari UI. Diperkirakan sumur
tersebut adalah sumber penirtaan bagi umat Budha saat itu. (tribunnews)

Sementara itu salah satu regu berhasil menemukan sumur yang terletak di arah timur laut,
yang merupakan arah yang paling baik bagi agama Budha.
Sumur tersebut pada masanya digunakan sebagai sumber mata air. Sumur yang ditemukan
tersebut baru digali sedalam 1,5 meter.
Di sekitar sumur, tim juga menemukan sisa pecahan tembikar, keramik, dan stoneware
(barang pecah belah lainnya).
Ada perbedaan antara yang struktur dalam dan struktur luar dari sumur. Bisa dilihat
strukturnya semakin ke dalam temuan keramik dan tembikar lebih kecil, lebih tipis, dan lebih
bagus.

Temuan sumur di Situs Kedaton, Cagar Budaya Muara Jambi, Sumatra Selatan.
(republikaonline)
Sementara di bagian luar lebih kasar, lebih tebal dan lebih besar, itu menunjukkan fungsinya
yang berbeda dan ini makin memperkuat perkiraan ini merupakan sebuah tempat yang
penting.
Dalam konteks keagamaan, biasanya makin ke (ruangan bagian) dalam akan makin suci.
Penelitian yang dilakukan ini juga menemukan beberapa struktur di pagar dalam maupun
pagar luar. Selain itu, ada juga struktur lain yang berbentuk bangunan yang terlihat dari pola
letak, halaman tengah, dan halaman luarnya. Selain sumur, ditemukan pula struktur persegi di
pinggir sumur yang diidentifikasi sebagai lantai di sekitar sumur.

Muara Jambi Ibukota Sriwijaya


Sriwijaya atau Srivijaya merupakan salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di
pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan
membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan
pesisir Kalimantan.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7, ketika seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan.
Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu
prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682 masehi.
Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut karena
beberapa peperangan, di antaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa pada
tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun
1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, bersama kerajaan besar Nusantara
lainya, misalnya Majapahit di Jawa Timur.
Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme
Belanda.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian arkeolog UI belum lama ini, di Candi Kedaton yang
masuk pada komplek Candi Muarojambi, para peneliti dibantu sejumlah mahasiswa Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia berhasil menemukan beberapa struktur bangunan candi
yang menunjukkan tempat itu merupakan pusat pengajaran agama Buddha di Jambi, bahkan
di kawasan Asia Tenggara.
Selain itu pada tahun 2011 lalu pengupasan gapura kuno di situs arkeologi Muaro Jambi
menghasilkan temuan baru berupa dua makara atau profil bangunan mirip arca.

Candi Gumpung Muarojambi – Makara, the portal guardian statue of Candi Gumpung, a
Buddhist temple at Muaro Jambi archaeological site, Jambi. (wikipedia)

Temuan makara ini diduga kuat sebagai bagian dari kompleks Candi Kedaton, di kawasan
situs Muaro Jambi, Jambi, pada Selasa (10/8/2011) yang lalu.
Humas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi mengatakan, pihaknya sedang
melaksanakan pengupasan struktur bangunan bata yang selama ini telah dipenuhi lumpur dan
tanaman liar. Struktur bangunan yang berada di sisi utara Candi Kedaton itu diduga
merupakan gapura bangunan induk.
Ketika pengupasan berlangsung, tim menemukan sebuah benda mirip arca dari batu sungai
sekitar pukul 08.30. Setelah pengupasan terus dilakukan hingga memakan hampir 2 jam, baru
diketahui benda setinggi 1 meter itu adalah makara, yaitu profil mirip arca yang lazim
dibangun pada gapura.
Pihaknya menduga masih akan banyak temuan lainnya di kompleks ini, mengingat ada
sekitar 80-an struktur arkeologi dalam kawasan tersebut masih tertimbun lumpur dan
tanaman liar.

Pengupasan dan pemugaran sangat diperlukan sebagai upaya penyelamatan peninggalan


sejarah peradaban Buddha sejak Abad VII-XIV ini. Candi Kedaton berjarak sekitar 2
kilometer dari kompleks utama situs Muaro Jambi.
Sedangkan pengupasan di kompleks ini merupakan proyek ketiga. Sejak tahun 2009, BP3 dua
kali memugar bangunan induk. Seluruh rangkaian pengerjaan di kompleks Kedaton
ditargetkan selesai empat tahun ke depan.Dari penelitian itu, diperkirakan juga lokasi tersebut
merupakan satu di antara pusat pembelajaran agama Buddha selain di Kanton dan Nalanda.
Dari temuan tersebut menurut arkeolog UI berkesimpulan, bahwa di Muarojambi sebelumnya
merupakan ibu kota Kerajaan Sriwijaya!
Menurut peneliti, ternyata Muarojambi itu pusat betul seperti di arah timur bagian utara
dalam ketentuan agama Budha ada sumur, ditemukan sumur di situ kemudian tahapan-
tahapan di dinding-dinding itu semua ditemukan. Berdasarkan itulah arkeolog dari UI
berkesimpulan bahwa ibu kota Sriwijaya ada di Muarojambi.

Pada penelitian lanjutan yang dilakukan Juni 2013, para ahli arkeolog UI menemukan
tembikar di beberapa struktur bangunan candi. Hasil kerajinan dari tanah liat tersebut berbeda
di lokasi terluar candi berdasarkan eskavasi yang dilakukan para peneliti lebih kasar
dibandingkan dengan yang ditemukan di lokasi dalam yang lebih halus bentuknya.
Terkait hal itu, Gubernur Jambi mengatakan masih akan menunggu hasil resmi atas penelitian
itu dan belum akan membentuk tim atas hasil temuan dan juga kajian dari ahli arkeologi UI
tersebut. “Kami akan lihat perkembangannya, di mana pasti akan terjadi polemik antara
arkeolog, kita lihat nanti, kita sifatnya menunggu,” ujarnya.

Cagar Budaya
Ia mengatakan yang akan dilakukan oleh Pemprov Jambi adalah mendorong untuk Kawasan
Candi Muarojambi sebagai satu di antara cagar budaya warisan dunia yang diakui oleh
UNESCO. “Upaya agar diakui UNESCO akan terus diperjuangkan, semenjak kawasan Candi
Muarojambi diresmikan oleh Bapak Presiden SBY,” tambah gubernur.
Candi Muarojambi diklaim sebagai salah satu komplek percandian terluas di Asia Tenggara.
Situs ini mempunyai luas 12 kilometer persegi, panjang lebih dari tujuh kilometer serta
kawasan seluas 260 hektar yang membentang searah dengan jalur sungai Batanghari.
Candi ini berada di Kabupaten Muarojambi dan lokasinya tidak jauh dari Kota Jambi, di
mana bisa ditempuh menggunakan kendaraan darat sekitar 30 menit perjalanan.
Di situs Candi Muarojambi, sedikitnya telah teridentifikasi kurang lebih 110 bangunan candi
yang terdiri dari tak kurang dari 39 kelompok candi. Bangunan candi tersebut adalah
peninggalan Kerajaan Melayu hingga Kerajaan Sriwijaya, yang berlatar belakang kebudayaan
Melayu Budhis.
Diperkirakan candi-candi di lokasi situs sejarah candi Muaro jambi mulai dibangun sejak
abad 4 M. Pusat kerajaan maritim besar ini sebelumnya diklaim berada di kawasan
Palembang, Sumatera Selatan. Sementara Jambi hanya disebut sebagai pengembangan kota
raja saja.

Kawasan Wisata di Jambi

Candi Muaro Jambi, adalah salah satu tujuan wisata menarik di kota Jambi. Kawasan wisata
ini dibuka untuk umum setiap hari dari pukul 07.00 – 17.00 WIB.
Untuk bisa menikmati keindahan di kawasan wisata ini, maka Anda bisa menggunakan
becak, menyewa sepeda ataupun sepeda motor. Untuk tarifnya Anda bisa bernegosiasi
langsung dengan penjaganya.
Setiap bulan Juni, kawasan wisata ini selalu mengadakan Festival Candi Muaro Jambi.
Acara ini mempertunjukkan beberapa kesenian daerah dan berlangsung selama 4 hari 4
malam. Selain itu juga terdapat pasar malam yang menyemarakkan acara. Pada tahun 2010
lalu, festival ini sempat vakum karena kekurangan dana.

Ada beberapa bagian dalam Kawasan Candi Muaro Jambi yakni sebagai berikut :

1.   Kedaton (dibarat)
2.    Gedong I
3.    Gedong II
4.    Gumpung
5.    Candi Tinggi
6.    Candi Tinggi I
7.    Kolam Telaga
8.    Candi Kembar Batu
9.    Candi Astana
10.   Candi Sialang
11.   Candi Teluk
12.   Candi Kota Mahligai
13.   Candi Bukit Sengalo

Meskipun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah, hanya saja kawasan ini
masih belum diperbaiki dan dikelola dengan baik. Kebanyakan wisatawan yang mengunjungi
kawasan ini adalah wisatawan lokal.

Anda mungkin juga menyukai