Anda di halaman 1dari 7

Domestic Case Study 2018

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

PESONA CANDI BOROBUDUR SEBAGAI WISATA


BUDAYA DI JAWA TENGAH
Reza Ayu Dewanti
173538

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

Abstract: Borobudur temple is a relic of the Buddhist kingdom in the past in Indonesia was built by
King Samaratungga which is the ancient Mataram King of the Syailendra House, where at that time
Buddhism became a religion that is embraced by most Indonesian society.

Keywords: Borobudur Temple; Tourist; Tourism; Tourism Object.

1. Pendahuluan
Jurnal Domestic Case Study yang berjudul “PESONA CANDI BOROBUDUR
SEBAGAI WISATA BUDAYA DI JAWA TENGAH”. Pembuatan laporan ini adalah sebagai
standard kualifikasi dalam menempuh pendidikan Strata Satu jurusan Hospitality, Sekolah Tinggi
Pariwisata Ambarrukmo. Pembuatan jurnal ini dilakukan di Candi Borobudur yang berlokasi di
desa Borobudur, Kelurahan Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi
Jawa Tngah pada tanggal. Penulis memutuskan untuk membahas masalah yang berada di Candi
Borobudur sebagai salah satu wisata budaya di Jawa Tengah. [1,2]
Sebelum diadakannya program Domestic Case Study (DCS), STiPRAM mengadakan
seminar nasional yang diwajibkan untuk diikuti mahasiswa sebagai salah satu persyaratan dalam
penyusunan jurnal Domestic Case Study (DCS). Dengan mengikuti seminar tersebut, diharapkan
mahasiswa mampu menambah wawasan dan dapat membantu dalam proses pembuatan jurnal,
yang pembahasannya mengenai potensi wisata di daerah masing – masing.
Seminar nasional ini diadakan pada tanggal 17 Januari 2017 di gedung Auditorium
Amarta STiPRAM dengan tema “Cinta Tanah Air untuk Membangun Pariwisata Nasional”
dengan pembicara KAPOLDA DIY Brigjen Pol Drs.Ahmad Dofiri,M.Si. Seminar tersebut
membicarakan tentang pariwisata yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia, tentang
tantangan zaman yang dapat menghimpit lunturnya persatuan dan kesatuan bangsa, dan tentang
meningkatkan rasa cinta tanah air melalui pariwisata.

2. Pembahasan
A. Sejarah
Borobudur merupakan candi Buddha yang berlokasi di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar
abad ke 8 masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil
Buddha terbesar di dunia.
Pada umumnya dikatakan, bahwa pembangunan candi mempunyai maksud untuk
memuliakan seorang raja yang telah wadat dan telah bersatu kembali dengan dewa yang menjadi
asal beliau. Maka candi sekaligus merupakan ungkapan yang nyata dari rasa hormat yang
mendalam terhadap keluhuran orang tua dan kesadaran yang meresap terhadap kebesaran agama.
Dalam hal ini candi Borobudur merupakan contoh yang sangat menarik bentuknya sebagai

1
punden berundak-undak mewakili ciri khas bangunan yang diperuntukkan bagi pemujaan roh
nenek moyang, dan susunannya yang diperjelas dengan ukiran-ukiran menggambarkan pandangan
hidup agama Buddha
Sejarah Candi Borobudur
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur
dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara
jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim
digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar
tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa
puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan
Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan
benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan Raja Samaratungga pada tahun 825. [5]

Sejarah Candi Borobudur Ditelantarkan


Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke
kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah
faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga
bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini. Bangunan suci ini
disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya
Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di
Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai
benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad
men ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai
bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan
kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa),
monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada
Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur"
dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja.
Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan
Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini
pada 1757. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian
dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga
dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi
dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus
dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam
berdarah atau malaria.

Sejarah Penemuan Kembali Candi Borobudur


Sembilan abad lebih candi Borobudur diselimuti oleh masa kegelapan, dan menimbulkan teka-
teki bagi para pengagumnya. Baru pada tahun 1814 candi Borobudur muncul kembali dalam
khazanah sejarah bangsa Indonesia. Pada waktu itu Gurbernur pemerintah jajahan Inggris di
Indonesia, Sir Thomas Stanford Raffles, yang sedang mengunjungi Semarang mendapat laporan
tentang sejumlah besar temuan batu-batu berukir disebuah bukit yang termasuk dalam wilayah
desa Bumisegoro, Karesidenan Magelang. Bukit yang banyak menyimpan batu berukir itu, oleh
penduduk setempat, diyakini sebagai sisa-sisa bangunan candi yang disebut budur. Setelah
menerima laporan, Raffles kemudian memerintshksn asistennya, Cornelius, untuk mengadakan
penelitian. [6]
Cornelius adalah orang yang berpengalaman dalam menangani candi-candi di Indonesia. Pada
tahun 1814 Cornelius langsung mengunjungi dan mengadakan penelitian di candi Borobudur. Apa
yang dilihat Cornelius pada waktu itu, adalah sebuah bukit yang ditumbuhi pohon-pohon rindang
dan semak belukar yang lebat. Di sela-sela rerimbunan pohon itu, terlihat batu-batu berukir, arca-
arca lepas, bahkan ada batu-batu candi yang masih tersusun rapi, yang merupakan bagian dari

2
sebuah bangunan. Pembersihan bersar-besaran dilakukan oleh Cornelius dengan mengerahkan
tenaga kerja tidak kurang dari 200 orang.
Pekerjaan pembersiham yang dilakukan oleh Cornelius dilaksanakan pula pada tahun 1817, 1825
dan 1835. Setelah itu candi Borobudur benar-benar tampak kembali secara keseluruhan. Pekerjaan
pembersihan menyeluruh itu atas inisiatif Hartman, yang sejak tahun 1832 menjabat sebagai
Residen Kedu. Upaya-upaya penyelamatan dalam ditemukannya candi Borobudur segera
dilakukan, baik oleh pemerintah kolonial, pihak-pihak swasta dan para pengagum peninggalan
purbakala. Pada masa itu upaya yang dilakukan masih terbatas pada pembuatan laporan,
pemberitaan, pengambilan foto, penggambaran, penelitian, dan penerbitan.

Sejarah Pemugaran Candi Borobudur


Dalam upaya melestarikan candi Borobudur dari bahaya kemusnahan dan sebagai peninggalan
sejarah, pemerintah mengambil tindakan untuk memperbaiki dan memugarnya. Pemugaran
terhadap bangunan ini telah dilakukan dua kali, yang pertama dilakukan oleh Th. Van Erp dari
tahun 1907 sampai 1911. Pemugaran tahap kedua dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan
bantuan UNESCO, dari tahun 1973 sampai 1983. Kedua tahap pemugaran itu mempunyai ciri-ciri
khusus. Pemugaran pertama masih bersifat tradisional dengan menggunakan peralatan dan bahan
yang sederhana. Sedangkan pemugaran tahap kedua telah menerapkan teknologi modern, baik
pemakaian peralatan bahan maupun penerapannya. Penerapan teknologi modern pada bangunan
kuno baru pertama kali dilakukan pada candi Borobudur, sedang pemugaran untuk bangunan-
bangunan kuno lain di Indonesia masih menerapkan sistem tradisional.
Pada bulan Agustus 1907, Th. Van Erp mulai melaksanakan pemugaran candi Borobudur,
sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan oleh Panitia Pemugaran Candi Borobudur saat itu.
Selama tujuh bulan batu-batu lepas yang berserakan di sekitar halaman maupun di atas bangunan
candi dikumpulkan dan dibersihkan. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat diperoleh gambaran
struktur bangunan yang masih utuh serta bagian-bagian yang perlu dilengkapi dan diperbaiki.
mbersihan dan pengumpulan tersebut menambah keyakinan Th. Van Erp bahwa masih banyak
pekerjaan yang harus dilakukan, tidak hanya sekedar pengumpulan batu-batu lepas, namun juga
penyusunan percobaan dan pemasangan kembali. Batu-batu pagar langkan yang belum lengkap
disempurnakan.
Batu-batu relief yang sudah putus dipasang kembali di tempat aslinya. Saluran-saluran air atau
jaladwara dibersihkan dan diperbaiki. Batu-batu gapura dipasang kembali, dan masih banyak
pekerjaan yang harus dilakukan pada bagian kaki, batur dan halaman candi. Pekerjaan pada bagian
atas yang dilakukan antara lain: batu-batu batur bundar dan batu stupa yang runtuh dibongkar,
kemudian disusun kembali sampai kelihatan utuh. Batu-batu bagian stupa induk dilengkapi sampai
bagian puncak, demikian pula pagar langkan yang membatasi pelataran tingkat atas diganti
dengan batu baru.

Deskripsi Bangunan Candi


Seperti candi-candi lain pada umumnya, candi Borobudur melambangkan adanya alam
semesta. Dalam kosmologi agama Buddha, semesta ini dibagi menjafi 3 tingkat, yakni kamadhatu
(dunia keinginan), rupadhatu (dunia berbentuk) dan arupadhatu (dunia tak terbentuk). Ketiga
tingkat ini dibedakan dengan relief-relief tertentu pada candi Borobudur. Pada tingkat kamandhatu
dan rupadhatu terdapat relief-relief yang melukiskan cerita-cerita dari naskah Karmawibhangga,
Lalitavistara, Jataka-Awadana dan Gandawyuha. [7]
Semua relief yang menceritakan kisah suci itu bila dibentangkan mencapai panjang 3 km.
Adegan- adegan itu masing-masing dibingkai menjadi 1460 pigura, dengan diselingi oleh bidang-
bidang pemisah yang menjadi bidang hias tersendiri dengan jumlah tidak kurang dari 1212 buah.
Di atas deretan pigura itu terdapat semacam pelipit yang membujur, memanjang sejauh satu
setengah kilometer dan dihias dengan rangkaian ukiran ceplok bunga teratai. Di atasnya lagi,
sepanjang pelipit, terdapat hiasan simbar yang berbentuk segi tiga sejumlah 1476 buah.
Dari tingkatan kamadhatu sampai rupadhatu terdapat 1472 stupa berdiri megah, dilengkapi
dengan 432 arca Buddha yang mengitari seluruh penjuru mata angin. Pada tingkat terakhir
terdapat 72 buah stupa yang melingkari stupa induk di puncak. Dalam pembangunan monumen

3
yang mahabesar ini dibutuhkan potongan batu sebanyak dua juta, yang mencapai volume 55.000
m³.
Secara keseluruhan candi Borobudur adalha sebuah stupa. Stupa adalah salah satu bangunan
tanda peringatan khusus agama Buddha. Dalam bahasa Sanskrta, stupa berarti gundukan/timbunan
tanah. Menurut legenda, sebelum meninggal dunia, sang Buddha ditanya oleh para muridnya,
apakah yang dapat dilakukan terhadap tubuhnya setelah ia meninggal nanti. Dia menyuruh murid-
muridnya untuk membakar tubuhnya, kemudian abunya ditutup dengan stupa.

Pemeliharaan Candi Borobudur dan Lingkungannya


Sebelum tahun 1980, lingkungan Candi Borobudur merupakan suatu kawasan yang padat dan
tidak teratur sama sekali, dengan adanya pemukiman penduduk, pertokoan, pasar, perkantoran,
sekolahan, hotel, dsb. Keadaan yang tidak teratur itu secara langsung maupun tidak langsung akan
mengurangi keagungan dan keindahan Candi Borobudur. Dalam upaya pemeliharaan bangunan
beserta lingkungannya, pemerintah membentuk suatu lemvaga yang bernama PT Taman Wisata
Candi Borobudur & Prambanan. Lembaga ini lahir berdasarkan suatu kesadaran budaya, yang
menyangkut masalah penyelamatan, pengamanan, serta pelestarian peninggalan sejarah dan
warisan budaya. Selain itu, sebagai sumber inspirasi, unsur kebanggaan nasional dan pemanfaatan
warisan budaya, antara lain supaya dikenal dan dikagumi para pengunjung.
Untuk mewujudkan harapan itu, maka dibangunlah fasilitas-fasilitas pendukung seperti
museum arkeologi, perkantoran, restoran, taman, kios souvenir, pusat penerangan, pusat penelitian
Borobudur, pusat konservasi batu, dsb. Pola induk (Master Plan) Candi Borobudur pada dasarnya
dibagi 5 zone yaitu:
 Zone 1 = Daerah halaman candi (sanctuary).
 Zone 2 = Daerah Taman.
 Zone 3 = Daerah Pemukiman.
 Zone 4 = Daerah yang masih diawasi
 Zone 5 = Daerah yang dimungkinkan masih ada tinggalan arkeologi
Kawasan taman Candi Borobudur terletak pada zone 2 dengan luas kurang lebih 87 hektar. Di
dalam zone 2 ini dibangun berbagai fasilitas yang menunjang kepariwisataan, pemeliharaan
bangunan dan penelitian arkeologi. Di dalam kawasan zone 3 ditempati pemukiman penduduk,
jalan-jalan, hotel, pertokoan, dan perkantoran. [8,9]

Observasi
Pada tanggal 21 Mei 2018 penulis melakukan observasi di Candi Borobudur. Dalam
observasi penulis melakukan wawancara dengan satpam yang berada di area candi dan dua
wisatawan asing. Menurut satpam di Candi Borobudur, Candi Borobudur merupakan tempat
wisata yang banyak diminati oleh wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Banyak
wisatawan yang datang pada hari biasa maupun hari libur untuk melihat monumen Buddha
terbesar di dunia tersebut. Saat penulis melakukan observasi, Candi Borobudur terlihat lebih
lengang dikarenakan bulan puasa.
Selain itu, menurut wisatawan asing bernama Hamish dan Amellia yang berasal dari
Columbia alasan berkunjung ke Indonesia yaitu untuk berlibur terutama ke Yogyakarta karena
ingin mengunjungi candi yang pernah masuk ke 7 keajaiban dunia, menurutnya Candi Borobudur
itu magic dan sangat indah, dan ini merupakan kunjungan untuk kedua kalinya
A. Akses Menuju Candi Prambanan
Dari Yogyakarta ke candi Borobudur jaraknya sekitar 42 km, jika menggunakan kendaraan
umum (paling mudah berangkat dari terminal Giwangan atau terminal Jombor) sehingga
disarankan menuju ke salah satu dari dua terminal tersebut. Kemudian naik bus jurusan
Yogyakarta-Borobudur (kurang lebih Rp. 10.000).
Jika menggunakan kendaraan pribadi, dari Yogyakarta melalui jalan magelang lalu ikuti petunjuk
arah. Alternatif lain dapat menggunakan jasa sewa mobil.
B. Harga Tiket Masuk Candi Prambanan

Domestik Harga Tiket Mancanegara Harga Tiket

4
Anak-anak Rp. 20.000 Anak-anak 25 USD
Dewasa Rp. 40.000 Dewasa 25 SD
C. Etika Di Candi Borobudur
Untuk menjaga kesakralan candi Borobdur maka diterapkan aturan baru. Aturan mewajibkan
seluruh pengunjung candi Borobudur memakai sarung batik dan sandal bersol karet, terutama bagi
yang bercelana pendek atau rok mini. Aturan yang berlaku baik untuk wisatawan mancanegara
maupun wisatawan domestik mengenai sandal bersol karet untuk menjaga agar batu candi tidak
aus karena gesekan. Pihak pengelola candi menggalakkan berbagai program untuk meningkatkan
kunjungan wisatawan. Pihak yang menggalakkan program ini yaitu PT Taman Wisata Candi
Borobudur dan Ratu Boko (PT TWCBPRB) dan bertujuan karena candi itu sejatinya adalah
tempat ibadah, maka sebagai pengunjung kesopanan harus dijaga. Bersikaplah yang sewajarnya
dan jangan berbuat yang melanggar etika beringkah laku seperti merusak areal percandian,
mencoret candi, menaiki candi, dan lain sebagainya.
D. Fasilitas Di Kompleks Candi Borobudur
Segala informasi yang berkenaan dengan Candi Borobudur, berikut berbagai jenis cindera
mata, hingga buku-buku kepariwisataan dan potensi tujuan wisata sekitar DIY atau Jateng, bisa
wisatawan dapatkan di Pusat Penerangan Candi Borobudur.
Selain itu, di Candi Borobudur disediakan fasilitas lainnya seperti :
1. Tarif sewa sepeda antara Rp 20.000-Rp 30.000
2. Andong dengan tarif Rp 30.000 (untuk 4 orang sekali putaran
3. Kereta Kelinci (trackless train) dengan tarif Rp 5000/orang (sekali putaran)
E. 3 Pilar Pengembang Pariwisata

Candi Prambanan bisa berkembang tentunya dengan peran dari 3 pilar pengembang pariwisata,
[10,11,12],yaitu
1. Masyarakat
Peran masyarakat dalam hal ini yaitu masyarakat ikut serta dalam mengelola Candi
Borobudur, dari tukang parkir, satpam dan yang lainnya. Selain itu masyarakat juga banyak
yang membuka usaha dengan berjualan souvenir atau oleh oleh khas Borobudur dan
Peran industri dalam hal ini yaitu penyediaan penginapan atau hotel disekitar Candi Borobudur.
2. Pemerintah
Peran pemerintah dalam hal ini yaitu :
 Mengatur harga atau tarif di lapangan agar pedagang terkontrol dalam menentukan harga.
 Pemerintah ikut berperan akan pengiklanan dan promosi Candi Borobudur
 Pemerintah turut berperan dalam merawat candi Borobudur

F. Korelasi Tema Seminar Domestic Case Study


Korelasi Seminar dengan tema “Cinta Tanah Air untuk Membangun Pariwisata Nasional”
adalah para penulis dan mahasiswa dituntut untuk menjadi mahasiswa yang nantinya dapat
membangun dan mengembangkan pariwisata yang ada didaerahnya. Sebagai calon dibidang
Pariwisata, mahasiswa harus belajar mencintai tanah airnya yaitu dengan mengenalkan wisata dan
kebudayaan Indonesia kepada dunia. Maka dari itu, kita perlu belajar untuk mengenal daerah lain
guna membangun pariwisata di Indonesia.

3. Penutup
A. Simpulan
Candi Borobudur merupakan peninggalan kerajaan Buddha pada masa lampau di
Nusantara dan menjadi candi Buddha terbesar di dunia, dimana pada saat itu agama Buddha
menjadi agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Hingga keberadaannya
pada zaman sekarang candi Borobudur bukan hanya ramai dikunjungi oleh umat Buddha di
Indonesia, umat Buddha di seluruh dunia juga mengunjungi candi Borobudur.
Candi Borobudur termasuk salah satu warisan budaya dunia yang dilindungi oleh
UNESCO dan hasil karya peradaban masa lampau yang memiliki nilai seni dan sejarah

5
yang sangat tinggi. Awal pembangunan candi Borobudur ini penuh nilai sejarah yang tinggi
dimana dikisahkan bukan hanya umat Buddha yang pada saat itu turut berpartisipasi dalam
proses pembangunan, melainkan adanya toleransi dari umat Hindu yang turut mendukung
berjalannya pembangunan candi terbesar di dunia ini.

B. Saran

Setelah penulis berkunjung ke objek wisata Candi Borobudur ini, penulis mempunyai sedikit
saran untuk Candi Borobudur, antara lain:

1. Lestarikan dan kembangkan potensi warisan budaya agar Candi Borobudur yang sebagai
peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya ini mampu memaksimalkan potensi
karena selain merupakan sumber penghasilan untuk masyarakat sekitar Borobudur juga aset
pariwisata nasional Indonesia penambah devisa Negara.
2. Sebaiknya upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjaga dan melestarikan Candi
Borobudur tersebut tetap menjadi daya tarik terutama dari segi kepariwisataan, arkeologi
dan ilmu pengetahuan.
3. Sebaiknya pemerintah mulai mengontrol dan memantau cara pedagang menawarkan jasa
atau produknya supaya tidak mengganggu kenyamanan wisatawan
4. Penulis mengharapkan kerapian dan kebersihan Candi Borobudur tetap terjaga.

References

[1] Data Observasi Domestic Case Study, 21 Mei 2018


[2] Seminar Domestic Case Study, 17 Januari 2017 di Amartha Auditorium Sekolah Tinggi Pariwisata
Ambarrukmo
[3] Haruna, K., Akmar Ismail, M., Suhendroyono, S., Damiasih, D., Pierewan, A. C., Chiroma, H., &
Herawan, T. (2017). Context-Aware Recommender System: A Review of Recent Developmental
Process and Future Research Direction. Applied Sciences, 7(12), 1211.
[4] Suhendroyono, S., & Novitasari, R. (2016). Pengelolaan Wisata Alam Watu Payung sebagai Ikon
Wisata Berbasis Budaya di Gunungkidul Yogyakarta. Jurnal Kepariwisataan, 10(1), 43-50
[5] Soeroso, A. (2007). Penilaian Kawasan Borobudur dalam Kerangka Multiatribut Ekonomi
Lingkungan dan Implikasinya terhadap Kebijakan Ekowisata. Disertasi tidak diterbitkan.
Jogjakarta: Pascasarjana UGM.
[6] Soeroso, A. (2006). Valuing Borobudur Heritage Area in a Multi-attribute Framework
Environmental Economic Perspective and Its Ecotourism Management Policy Implications.
Unpublished PhD Dissertation (in Indonesian). Yogyakarta: Gadjah Mada University..
[7] SOEROSO, A. (2007). Penilaian kawasan pusaka Borobudur dalam kerangka perspektif
multiatribut ekonomi lingkungan dan implikasinya terhadap kebijakan manajemen ekowisata
(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
[8] Prakoso, A. A., & Wibisono, I. B. H. (2008). Pengembangan Desa Wisata melalui pendekatan rute
wisata:: Kasus Desa Wisata Srowolan, Sleman, DIY (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah
Mada).
[9] Rif'an, A. A. (2018). Daya Tarik Wisata Pantai Wediombo Sebagai Alternatif Wisata Bahari Di
Daerah Istimewa Yogyakarta. JURNAL GEOGRAFI, 10(1), 63-73
[10] IRAWATI, N., & Prayitno, I. B. (2009). Performa wisata agro bahari di Glagah
Kulonprogo (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
[11] Kiswantoro, A. (2017). Pengaruh Kenyamanan Fasilitas Wisata dan Kepuasan Wisatawan
Terhadap Keputusan Wisatawan Untuk Berkunjung Kembali ke Kawasan Wisata Goa Rancang
Kencana dan Air Terjun Sri Gethuk Gunungkidul Yogyakart. Jurnal Kepariwisataan, 11(1), 27-38
[12] Nugraha, B. S., Mayandini, H., Putra, F. A., Madani, H., & Maulana, N. (2017). Pendampingan
Pengembangan Potensi Kampung Wisata Langenastran Menuju Sustainable Tourism
Development. Jurnal Kepariwisataan, 11(3), 13-24

6
7

Anda mungkin juga menyukai