FAHIM AN NABIL
PENINGGALAN MASA KELAS 7A
HINDU – BUDHA DI
INDONESIA
2. CANDI PRAMBANAN
Gapura Wringinlawang adalah sebuah gapura peninggalan kerajaan Majapahit abad ke-14 yang berada
di Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini terletak
tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar.
Dalam bahasa Jawa, Wringinlawang berarti 'Pintu Beringin'.
Petirtaan Jolotundo berada di lereng Gunung Penanggungan, tepatnya di Desa Seloliman, Kecamatan
Trawas, Kabupaten Mojokerto. Petirtaan Jolotundo merupakan kolam pemandian raja – raja zaman
Kerajaan Kahuripan. Air di Petirtaan Jolotundo tidak pernah berkurang sekalipun pada musim kemarau.
Berdasarkan penelitian, air di Petirtaan Jolotundo merupakan air terbaik dengan kandungan mineral
yang tinggi. Petirtaan Jolotundo dibangun pada masa Kerajaan Kahuripan dibawah pemerintahan raja
Airlangga. Petirtaan ini merupakan satu dari sekian banyak obyek peninggalan sejarah di Gunung
Penanggungan.
Ken Dedes (Jawa: ꦏꦺꦤ꧀ꦝꦼꦝꦼꦱ꧀, Kèn Ḍĕḍĕs) adalah nama permaisuri dari Ken Arok pendiri
Kerajaan Tumapel (Singhasari). Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja yang berkuasa di Jawa,
nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Tradisi lokal
menyebutkan ia sebagai perempuan yang maharupa, perwujudan kecantikan yang sempurna.
Menurut Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha aliran
Mahayana[1] dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung akuwu Tumapel singgah di
rumahnya. Tunggul Ametung jatuh hati padanya dan segera mempersunting gadis itu. Karena saat itu
ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu.
Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa
ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun mengutuk "Hai
orang yang melarikan anak ku, semoga tidak mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan
keris. demikian juga orang-orang Panawijen, keringlah sumurnya, semoga tidak keluar air dari
kolamnya".[1]
Tunggul Ametung memiliki pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Pada suatu hari Tunggul
Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Ketika turun dari kereta, kain Ken Dedes
tersingkap sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok.
Ken Arok menyampaikan hal itu kepada gurunya, yang bernama Lohgawe, seorang pendeta dari India.
Menurut Lohgawe, wanita dengan ciri-ciri seperti itu disebut sebagai Stri Nariçwari yang diramalkan
akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa. Mendengar ramalan tersebut, Ken Arok semakin berhasrat
untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes untuk menjadi Raja.
Maka, dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul
Ametung sewaktu tidur. Yang dijadikan kambing hitam adalah rekan kerjanya, sesama pengawal
bernama Kebo Hijo. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, bahkan menjadi akuwu baru di Tumapel.
Ken Dedes sendiri saat itu sedang dalam keadaan mengandung anak Tunggul Ametung.
Keturunan Ken Dedes
Lebih lanjut Pararaton menceritakan keberhasilan Ken Arok menggulingkan Kertajaya Raja Kediri tahun
1222, dan memerdekakan Tumapel menjadi sebuah kerajaan baru. Dari perkawinannya dengan Ken
Arok, lahir beberapa orang anak yaitu, Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi
Rimbu. Sedangkan dari perkawinan pertama dengan Tunggul Ametung, Ken Dedes dikaruniai seorang
putra bernama Anusapati.
Seiring berjalannya waktu, Anusapati merasa dianaktirikan oleh Ken Arok. Setelah mendesak ibunya,
akhirnya ia tahu kalau dirinya bukan anak kandung Ken Arok. Bahkan, Anusapati juga diberi tahu kalau
ayah kandungnya telah mati dibunuh Ken Arok.
Maka, dengan menggunakan tangan pembantunya, Anusapati membalas dendam dengan membunuh
Ken Arok pada tahun 1247.
Keistimewaan Ken Dedes
Tokoh Ken Dedes hanya terdapat dalam naskah Pararaton yang ditulis ratusan tahun sesudah zaman
Tumapel dan Majapahit, sehingga kebenarannya cukup diragukan. Namanya sama sekali tidak terdapat
dalam Nagarakretagama atau prasasti apa pun. Mungkin pengarang Pararaton ingin menciptakan
sosok leluhur Majapahit yang istimewa, yaitu seorang wanita yang bersinar auratnya.
Keistimewaan merupakan syarat mutlak yang didambakan masyarakat Jawa dalam diri seorang
pemimpin atau leluhurnya. Masyarakat Jawa percaya kalau raja adalah pilihan Tuhan. Ken Dedes
sendiri merupakan leluhur raja-raja Majapahit versi Pararaton. Maka, ia pun dikisahkan sejak awal
sudah memiliki tanda-tanda sebagai wanita nareswari. Selain itu dikatakan pula kalau ia sebagai
seorang penganut Buddha yang telah menguasai ilmu karma amamadang, atau cara untuk lepas dari
samsara.
Dalam kisah kematian Ken Arok dapat ditarik kesimpulan kalau Ken Dedes merupakan saksi mata
pembunuhan Tunggul Ametung. Anehnya, ia justru rela dinikahi oleh pembunuh suaminya itu. Hal ini
membuktikan kalau antara Ken Dedes dan Ken Arok sesungguhnya saling mencintai, sehingga ia pun
mendukung rencana pembunuhan Tunggul Ametung. Perlu diingat pula kalau perkawinan Ken Dedes
dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
Prasasti Talang Tuo merupakan salah satu peninggalan yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti
ini pertama kali ditemukan oleh Louis Constant Westenenk pada 17 November 1920. Prasasti Talang
Tuo ditemukan di daerah kaki Bukit Seguntang, dekat Palembang, dan saat ini disimpan di Museum
Nasional Indonesia. Isinya menceritakan tentang pembangunan taman oleh Sri Jayanasa untuk
kesejahteraan semua makhluk. Isi dari Prasasti Talang Tuo juga menginformasikan tentang aliran
Buddha yang dianut pada masa Kerajaan Sriwijaya. Isi Prasasti Talang Tuo Prasasti Talang Tuo ditulis
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti bertarikh 606 Saka atau 684 Masehi
ini dipahatkan pada batu datar berukuran 50 cm x 80 cm. Saat ditemukan, 14 baris isinya masih dapat
dibaca dengan jelas dan kemudian diterjemahkan oleh van Ronkel dan Bosch. Berikut ini bunyi isi
Prasasti Talang Tuo. swasti . sri saka warsa tita . 606 . ding dwitiya suklapaksa wulan caitra . sana
tatkalana parlak sri ksetra ini . niparwuat parwanda punta hiyang sri jayanaga. ini pranidhananda punta
hiyang sawanakna yang nitanang di sini niyur pinang hanau ru mwiya dnan samisrana yang kayu
nimakan wuahna, tathapi. haur wuluh pattum ityevamadi, punarapi yang parlak wukan dnan tawad
talaga sawana yang wuatna sucarita parawis prayojanakan punyana sarwwa satwa saca racara,
waropa yana tmu sukha di asannakala di antara margga lai. tmu muah ya ahara dnan air niminumna
sawanakna wuatna huma parlak mancak mu ah ya manghidupi pasuprakara. marhulun tuwi wrddhi
muah ya janan ya niknai sawanakna yang upasargga. pidanna swapnawighna. warang wua tana
kathamapi. anukula yang graha naksatra parawis di ya. nirwyadhi ajara kawuatanana. tathapi
sawanakna yang bhrtyana. satyarjjawa drdhabhakti muah ya dya. yang mitrana tuwi jana ya kapata
yang winina mulang anukula bharyya muah ya waram stha. nana lagi janan curi ucca wadhana
paradara di sana. punarapi tmu ya kalyanamitra marwwanun wodhicitta dnan mattri udhani di dang
hyang ratnatraya janan marsarak dnan dang hyang ratnatraya. tathapi nityakala tyaga marsila ksanti
marwwanun wiryya rajin. tahu di samisrana silpakala parawis. samahita cinta. tmu ya prajna. smrti
medhawi. punarapi dhairyyamani mahasattwa wajrasarira. anupamasakti. jaya. tathapi jatismara.
awikalendriya. mancak rupa. subhaga hasin halap. ade yawakya. wrahmaswara. jadi laki swayambhu
puna (ra) pi tmu ya cintamani nidhana. tmu janmawasita. karmmawasita. klesawasita. awasana tmu ya
anuttarabhisamyaksamwodhi. Baca juga: Prasasti Tugu: Letak, Isi, dan Maknanya Terjemahan menurut
Slamet Muljana. Bahagia! Tahun Saka 606 pada hari kedua bulan terang caitra, itulah waktunya taman
Sriksetra ini dibangun, milik Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Ini pesan Dapunta Hyang: Semua yang
ditanam di sini; nyiur, pinang, enau, rumbia dan lain-lain yang (berupa) pohon, dimakan buahnya, serta
aur, buluh betung dan yang semacam itu. Demikian pula taman-taman lainnya dengan sebat telaga;
semuanya yang dibuat, semua perbuatan baik, dimaksud untuk kebahagiaan semua makhluk yang
bergerak dan tidak bergerak. Hendaklah daya upaya beliau yang sangat baik itu mendapat kesukaan di
kemudian hari dengan jalan lain. Semoga beliau mendapat makanan dan air untuk minumnya.
Semuanya yang dibuatnya; ladang, kebun luas, menghidupi binatang-binatang, ramai para abdi
suburlah. Jauhkanlah beliau dari segala bencana, siksaan dan penyakit tidak dapat tidur.
Bagaimanapun, barang usahanya hendaklah berhasil baik, binatang-binatang lengkap semua, beliau
dari sakit dibuat awet muda. Dan lagi, hendaklah semua yang disebut abdi setia berbaktilah mereka
pada beliau. Yang menjadi sahabat beliau, janganlah mereka mengkhianati beliau; yang menjadi istri
beliau hendaklah tetap setia sebagai istri pada beliau. Di manapun beliau berada, janganlah melakukan
pencurian, kecurangan, pembunuhan, dan perzinaan di situ. Dan lagi, hendaklah beliau bertemu
dengan khalyanamitra, membangun bodichita dengan maitra, menjadi pertapa pada dang hyang
Ratnatraya, melainkan senantiasa teguh bersila dengan senang membangun tenaga, keuletan,
pengetahuan tentang perbedaan semua sipakala dan pemusatan pikiran. Mudah-mudahan beliau
memperoleh pengetahuan, ingatan dan kecerdasan dan ketetapan mahasatwa badan manikam
vajracarira yang sakti, kemenangan dan ingatan pada kelahiran yang telah lampau, indra lengkap, rupa
penuh, kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, kata manis, suara Brahma, jadi laki-laki karena
kekuatannya sendiri, hendaklah beliau memperoleh cintamanididhara, memperoleh janmawacita,
karmmawacita, akhirnya beliau mendapat anuttarabisamyaksambhodi. Makna Prasasti Talang Tuo Isi
Prasasti Talang Tuo yang cukup panjang tersebut memuat beberapa informasi penting, salah satunya
tentang pembangunan Taman Sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan
Sriwijaya. Selain itu, banyak doa dan harapan, serta disebutkan pembangunan vihara, yang jelas
menunjukkan sifat agama Buddha. Prasasti Talang Tuo juga mengungkapkan bahwa Kerajaan
Sriwijaya tengah berkonsentrasi untuk memakmurkan negerinya. Sementara dari letak penemuannya,
prasasti ini semakin mendukung argumen bahwa Kadatuan Sriwijaya berpusat di tepian Sungai Musi, di
daerah Palembang, Sumatera Selatan.
7. KITAB SUTASOMA
Kitab Sutasoma merupakan karangan Empu Tantular pada abad 14 M. Kakawin Sutasoma adalah
peninggalan berupa karya sastra dari kerajaan Majapahit.
Kakawin dalam bahasa Jawa kuno berarti syair. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa kuno dan
menggunakan aksara Bali.
Kitab Sutasoma telah ditulis kembali di atas daun lontar pada tahun 1851 dengan ukuran sebesar 40,5
X3,5 cm. Meski demikian, tidak diketahui siapa yang menuliskannya ulang.
Isi Kitab Sutasoma
Dilansir dari buku Pesona & Sisi Kelam Majapahit karangan Sri Wintala Achmad, Kakawin Sutasoma
bertuliskan tentang "Mangkang jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal bhinneka tunggal ika tan
hanadharmma mangrwa".
Kitab ini digubah di bawah naungan Sri Ranamanggala. Gubahan dilakukan pada sekitar tahun 1365-
1369 saat pemerintahan Hayam Wuruk.
Gubahan tersebut sangat penting karena memuat ide-ide religius, khususnya tentang agama Buddha
Mahayana dan hubungannya dengan agama Siwa.
Kitab Sutasoma adalah sebuah karya sastra yang unik karena cerita tokoh keturunan Pandawa telah
diganti menjadi kisah Buddhis. Di dalamnya terdapat kisah hidup Sutasoma yang berpola cerita hidup
Buddha dan kisahnya diambil dari cerita faktual.
Kakawin Sutasoma juga cenderung memaparkan peringatan tentang timbulnya gejala-gejala
pertentangan antara keraton barat (Kusumawardhani/Wikramawardhana) dengan keraton timur (Bhre
Wirabhumi). Pertentangan kedua keturunan Hayam Wuruk ini kemudian meletus menjadi perang
secara bertahap yang dikenal sebagai Perang Paregreg.
Kitab Sutasoma berisikan pula anjuran agar pertentangan kedua kubu ini diselesaikan secara damai
berdasarkan prinsip Buddhis. Kakawin ini juga menggambarkan bahwa Hayam Wuruk adalah
penjelmaan raja Buddhis yang ideal.
Namun, karena Kakawin Sutasoma bersifat sangat mendidik, kitab tersebut tidak begitu digemari di Bali
hingga saat ini.
Asal mula Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa Kakawin Sutasoma bercerita tentang agama Buddha Mahayana
dan kaitannya dengan Siwa. Dikutip dari laman Kemdikbud, pada sebuah teks yang tercantum dalam
kitab ini, dikatakan bahwa Buddha dan Siwa adalah berbeda.
Kendati begitu, keduanya dapat dikenali karena kebenaran Buddha dan Siwa merupakan hal yang
tunggal. Berbeda, namun tunggal karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Kutipan "Bhinneka Tunggal Ika" dalam Kitab Sutasoma terdapat pada pupuh 139 bait ke-5. Bunyinya
seperti ini, "Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa".
Arti dari bait di atas adalah, "Konon Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah
tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran".
Di samping itu, menurut buku Pasti Bisa Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SD/MI kelas IV karya Tim
Tunas Karya Guru, masyarakat Majapahit sudah mengenal berbagai agama, meskipun yang utama
adalah Hindu dan Buddha.
Dan karena keragaman ini, pemerintah Majapahit menciptakan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrua" yang juga diambil dari Kitab Sutasoma. Tujuan diciptakannya semboyan ini
adalah untuk menciptakan kerukunan beragama di antara rakyatnya.
9. CANDI CANGGAL
Prasasti Canggal adalah prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang ditemukan di Gunung
Wukir, Desa Canggal, Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Masyarakat sekitar sering
menyebutnya dengan sebutan Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya. Sebab, prasasti berangka
tahun 654 Saka atau 732 Masehi ini dibuat ketika Mataram Kuno diperintah oleh Raja Sanjaya. Prasasti
Canggal ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Adapun fungsi Prasasti
Canggal yang merupakan prasasti pertama yang dikeluarkan Raja Sanjaya ini adalah untuk
memperingati pendirian lingga di atas Bukit Sthirangga Prasasti Canggal berupa batu berwarna kuning
kecoklatan yang berbentuk persegi empat pipih atau stele dengan bagian tepinya telah diratakan.
Selain itu, permukaan bidang yang berisi tulisan isinya juga telah diratakan dan diupam, sementara
bagian atasnya dibentuk lengkung kurawal. Saat penemuannya pada 1879, Prasasti Canggal
kondisinya terbelah menjadi dua bagian. Pecahan pertama ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir,
sedangkan pecahan terbesar ditemukan di Desa Canggal, yang letaknya di kaki gunung. Prasasti
Canggal diidentifikasi sebagai prasasti tertua kedua di Pulau Jawa setelah prasasti Tuk Mas. Setelah
ditemukan dan disatukan, Prasasti Canggal kini disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Isi Prasasti
Canggal Prasasti Canggal menjadi sumber sejarah yang penting karena menceritakan kehidupan awal
di Kerajaan Mataram Kuno. Dijelaskan bahwa yang menjadi raja awalnya adalah Sanna, yang
kemudian digantikan oleh Sanjaya anak dari Sannaha yang berasal dari Galuh. Adapun isi dari Prasasti
Canggal adalah sebagai berikut. Bait 1: Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas bukit. Bait 2-6:
Pemujaan terhadap Dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu. Bait 7: Jawa yang sangat makmur, kaya akan
tambang emas dan menghasilkan padi. Pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk
dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa. Bait 8-9: Jawa yang dahulu diperintah oleh Raja
Sanna, yang sangat bijaksana, adil tindakannya, perwira perang, murah hati kepada rakyatnya. Ketika
meninggal dunia negara berkabung, sedih kehilangan pelindung. Bait 10-11: Pengganti Raja Sanna
adalah putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan sebagai matahari. Kekuasaanya tidak langsung
diberikan kepada Sanjaya, melainkan melalui saudara perempuannya (Sannaha). Bait 12:
Kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tanpa takut
akan pencuri dan penyamun atau akan terjadi kejahatan lainnya. Rakyat dapat hidup senang. Prasasti
ini juga menceritakan Raja Sanjaya yang memerintahkan mendirikan sebuah lingga (lambang Siwa) di
Kunjarakunja. Kunjarakunja dapat diartikan sebagai tanah dari pertapaan Kunjara yang diidentifikasi
sebagai tempat pertapaan Resi Agastya yang berasal dari India selatan. Pendirian lingga ini sebagai
rasa syukur bahwa Sanjaya telah dapat membangun kembali kerajaan dan bertakhta dengan aman,
setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Bait-bait awal Prasasti Canggal berisi puji-pujian
kepada Dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu (trimurti), yang menandakan bahwa agama yang dipeluk Raja
Sanjaya dan rakyatnya adalah Hindu Siwa. Prasasti Canggal merupakan sumber tertulis tertua yang
menyebut Pulau Jawa atau Yawadwipa, yang dipuji sangat subur, kaya akan tambang emas, dan
menghasilkan gandum atau padi. Referensi: Rahardjo, Supratikno (2011). Peradaban Jawa: Dari
Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir.
Tirta Empul adalah sebuah pura dan tempat melukat (pe tirtan) yang terletak di Kecamatan
Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Secara etimologi, Tirta Empul berarti air yang menyembur keluar dari tanah.
Kemudian Tirta Empul berarti air suci yang menyembur keluar dari tanah.
Pura Tirta Empul merupakan salah satu pura penting di Bali yang digunakan oleh umat Hindu untuk
proses upacara seperti melasti dan melukat.
Di sisi barat Tirta Empul ada bukit hijau subur berdekatan dengan Istana Nasional Tampaksiring yang
dibangun selama pemerintahan era Presiden Soekarno.
Pura dibagi menjadi 3 bagian yaitu Jaba Pura (halaman depan), Jaba Tengah (halaman tengah) dan
Jeroan (halaman dalam).
Di tengah-tengah Tirta Empul terdapat mata air yang bersumber dari dalam tanah kemudian disalurkan
ke sebuah pancuran.
Pancuran air terbagi menjadi 3 kolam pethirtaan. Kolam paling barat memiliki 13 pancuran air, kolam
tengah memiliki 2 pancuran air dan kolam paling timur jumlahnya 6 pancuran air.
PENINGGALAN MASA
HINDU – BUDHA
di
INDONESIA
DISUSUN OLEH :