Anda di halaman 1dari 18

DISUSUN OLEH :

FAHIM AN NABIL
PENINGGALAN MASA KELAS 7A
HINDU – BUDHA DI
INDONESIA

SMP NEGERI 1 PRAJEKAN


PRAJEKAN – BONDOWOSO
2022
PENINGGALAN AGAMA HINDU – BUDHA DI INDONESIA
1. CANDI BOROBUDUR

1.1. Sejarah Singkat Candi Borobudur


Menurut catatan sejarah awal dibangunnya Candi Borobudur terjadi pada abad ke-8 dan 9 sekitar tahun
800 masehi pada masa pemerintahan dinasti Syailendra.
Pembangunan Borobudur diprediksi membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun sampai benar-
benar rampung pada masa pemerintahan raja Samaratungga tahun 825.
Meski selesai dibangun, tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan siapa sosok yang membangun
candi Borobudur. Pasalnya, pada masa itu agama Hindu dan Buddha berkembang bersamaan di pulau
Jawa.
Dinasti Syailendra tercatat sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana sementara di sekitar
Borobudur juga terdapat penganut Hindu aliran Siwa.
Sejumlah arkeolog menduga pembangunan Candi Borobudur mengalami perombakan sebanyak empat
kali. Awalnya pembangunan dimulai dengan meratakan dataran sekitar candi dan memadatkan tanah
dengan batu untuk membentuk struktur piramida.
Borobudur is the biggest Buddhist Temple in the world.Sejarah Candi Borobudur erat kaitannya dengan
sejarah Buddha di Indonesia (Foto: iStockphoto/tostphoto)
Struktur tersebut kemudian berubah lantaran ditambahnya luas undakan persegi dan melingkar.
Kemudian, Borobudur mengalami perubahan terakhir pada undakan melingkar dan dilakukan pelebaran
ukuran pondasi.
Kemegahan Borobudur sempat sirna selama berabad-abad karena terkubur di bawah lapisan tanah
dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar hingga menyerupai bukit.
Tidak diketahui alasan pasti Borobudur ditinggalkan penduduknya saat itu. Teori sejarah mengarah
pada erupsi Gunung Merapi dan beralihnya keyakinan penduduk dari Budha ke Islam.
Kembalinya kemasyhuran Candi Borobudur terjadi pada masa Thomas Stamford Raffles saat menjabat
sebagai Gubernur Jenderal di pulau Jawa pada 1811. Penemuan kembali terjadi saat Raffles
mendengar terdapat sebuah bangunan besar tersembunyi jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.
Raffles kemudian mengutus seorang Insinyur Belanda bernama Christian Cornelius untuk
memeriksanya.
Tersiarnya kabar penemuan kembali Borobudur juga menjadi malapetaka terjadinya kerusakan di
banyak tempat. Sampai pada akhir 1960-an pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada UNESCO
untuk mengatasi permasalahan di Candi Borobudur.
Dalam sejarah Candi Borobudur, renovasinya menghabiskan waktu yang lama dan biaya yang besar
sampai penetapan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada 1991.

1.2. Bentuk Candi Borobudur


Sebagai Candi Buddha terbesar di dunia sekaligus monumen Buddha terbesar di dunia melansir laman
Kemdikbud, Candi Borobudur memiliki bentuk struktur seperti punden berundak yang semakin ke atas
semakin mengecil dengan empat buah tangga yang terdapat pada setiap arah mata angin.
Candi Borobudur memiliki panjang 121,66 meter dengan lebar 121,38 meter dan tinggi 35,40 meter.
Menurut filsafat Buddha, struktur tingkatan Candi Borobudur merupakan tiruan alam semesta akan roda
kehidupan. Terdapat tiga tingkatan pada struktur Candi Borobudur Yakini:
Kamadhatu: Bagian terbawah candi yang melambangkan alam bawah, menggambarkan perilaku
manusia yang masih terikat oleh nafsu duniawi.
Rupadhatu: Bagian tengah candi yang melambangkan alam antara, menggambarkan perilaku manusia
yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi, akan tetapi masih terikat oleh dunia nyata.
Arupadhatu: Bagian atas candi yang melambangkan alam atas, menggambarkan unsur tak berwujud
dan sebagai tanda tingkatan yang telah meninggalkan nafsu duniawi.
Kemenparekraf (iklan)Dalam sejarah Candi Borobudur, bentuk Candi mengalami sejumlah perubahan
(Foto: Kemenparekraf)
Batu-batu pada Candi Borobudur diprediksi berasal dari sungai-sungai di sekitar Borobudur dengan
volume keseluruhan sekitar 55.000 meter kubiksetara dengan 2 juta potong batu.

1.3. Fungsi Candi Borobudur


Selain sebagai tempat wisata, Candi Borobudur kini berfungsi sebagai tempat ziarah umat Buddha
sedunia untuk menuntun umat manusia meninggalkan nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
Dalam perjalanannya peziarah berjalan melalui serangkaian Lorong dan tangga dengan menyaksikan
1.460 relief yang terukir pada dinding batu candi.
Bigest monument of Buddhist architecture Java IndonesiaSejarah Candi Borobudur juga mencatat
sejumlah fungsi di bagian-bagian candi (Foto: iStockphoto/LP7)

1.4. Fakta Unik Candi Borobudur


Selain sejarah dan momen hari raya waisak yang menarik perhatian mancanegara, Candi Borobudur
menyimpan sejumlah fakta unik diantaranya adalah:
Terdapat 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha, menjadikan Borobudur sebagai pemilik relief Buddha
terlengkan dan terbanyak di dunia.
Pencurian arca marak terjadi. Arca kepala Budha asli marak dicuri untuk kemudian dijual di pasar
barang antik, kolektor, dan pasar ilegal. Dari 504 arca buddha, banyak archa ditemukan dalam kondisi
tanpa kepala.
Candi Borobudur pernah di bom. Dua tahun setelah pemugaran ke-2, 21 Januari 1985 sebanyak 13
bom diletakkan pelaku di sejumlah stupa kecil. 9 dari 13 bom tersebut meledak dan menghancurkan
ratusan balok batu stupa. Aksi pemboman berkaitan dengan pemahaman radikal.
Pemerintah Hindia Belanda serahkan arca berharga ke Thailand dan Inggris. Pemerintah Hindia
Belanda kala itu memberikan Cuma-Cuma artefak candi dalam jumlah banyak sebagai buah tangan
kedatangan Raja Thailand Chulalongkorn II.
Pemerintah Hindia Belanda sempat mendirikan warung kopi di puncak stupa saat pertama kali
ditemukan.

2. CANDI PRAMBANAN

2.1. Sejarah Berdirinya Candi Prambanan


Candi Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang terletak di perbatasan Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Bangunan candi ini dipersembahkan untuk Trimurti atau tiga dewa utama
Hindu, yaitu Brahma (dewa pencipta), Wisnu (dewa pemelihara), dan Siwa (dewa pemusnah). Di
kompleks candi ini terdapat arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter, yang menunjukkan bahwa dewa
Siwa lebih diutamakan. Bersamaan dengan Candi Borobudur, candi peninggalan Kerajaan Mataram
Kuno ini juga dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada 1991. Lantas, siapa yang
membangun Candi Prambanan dan bagaimana sejarah pembangunanya? Didirikan oleh Rakai Pikatan
Candi Prambanan dibangun pada masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan, yang memerintah Mataram
Kuno antara 840-856 M. Rakai Pikatan mengawasi langsung pembuatan konstruksi dan desain
percandian Loro Jonggrang, candi utama di Prambanan. Sedangkan candi-candi kecil lainnya yang
berada di kompleks Candi Prambanan dibangun pada masa raja-raja berikutnya, bahkan hingga
periode kekuasaan Rakai Watukara Dyah Balitung (898-915 M). Karena letaknya hanya berjarak 19
kilometer dari Borobudur, beberapa sejarawan menafsirkan latar belakang didirikannya Candi
Prambanan adalah sebagai respon artistik, politik, dan agama terhadap pembangunan Borobudur.
Baca juga: Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno yang Membangun Candi Prambanan Proses
pembangunan candi Menurut Prasasti Shivagrha, selama pembangunan Candi Prambanan, para warga
melakukan pergeseran aliran sungai. Sungai yang kini dikenal sebagai Sungai Opak, mengalir dari
utara ke selatan di sisi barat kompleks Candi Prambanan. Padahal pada awalnya, aliran sungai ini
melengkung ke timur dan terlalu dekat dengan bangunan candi. Untuk mengamankan kompleks candi
dari luapan material Gunung Merapi, maka dilakukan penggeseran aliran sungai. Bekas aliran sungai
kemudian ditimbun dan diratakan untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi bangunan Candi
Prambanan. Dulunya, jumlah Candi Prambanan mencapai 240 bangunan candi, yang terdiri dari 3
Candi Trimurti, 3 Candi Wahana, 2 Candi Apit, 4 Candi Kelir, 4 Candi Patok, dan 224 Candi Perwara.
Akan tetapi, kini hanya tersisa 18 candi, sementara sebagian besar Candi Perwara, yang ukurannya
kecil, belum dipugar dan hanya berupa tumpukan batu berserakan. Seperti karakteristik candi Hindu
pada umumnya, arsitektur Candi Prambanan berbentuk tinggi dan ramping.
3. GAPURA WRINGIN LAWANG

Gapura Wringinlawang adalah sebuah gapura peninggalan kerajaan Majapahit abad ke-14 yang berada
di Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini terletak
tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar.
Dalam bahasa Jawa, Wringinlawang berarti 'Pintu Beringin'.

Struktur dan fungsi bangunan


Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 × 11 meter dan tinggi 15,5
meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya candi bentar atau
tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini diduga muncul pada era Majapahit dan kini banyak
ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarawan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk
menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini
mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu
masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
4. PETIRTAAN JOLOTONDO

Petirtaan Jolotundo berada di lereng Gunung Penanggungan, tepatnya di Desa Seloliman, Kecamatan
Trawas, Kabupaten Mojokerto. Petirtaan Jolotundo merupakan kolam pemandian raja – raja zaman
Kerajaan Kahuripan. Air di Petirtaan Jolotundo tidak pernah berkurang sekalipun pada musim kemarau.
Berdasarkan penelitian, air di Petirtaan Jolotundo merupakan air terbaik dengan kandungan mineral
yang tinggi. Petirtaan Jolotundo dibangun pada masa Kerajaan Kahuripan dibawah pemerintahan raja
Airlangga. Petirtaan ini merupakan satu dari sekian banyak obyek peninggalan sejarah di Gunung
Penanggungan.

Sejarah Pembangunan Petirtaan Jolotundo


Petirtaan Jolotundo dibangun oleh raja Kerajaan Udayana sebagai wujud cintanya kepada putri dari
Jawa yaitu Putri Guna Priya Dharma yang dinikahinya dan menyambut kelahiran anaknya, Airlangga
yang lahir pada tahun 991 M. Pembangunan Petirtaan Jolotundo dilaksanakan pada tahun 997 M,
seperti yang ada di dinding kolam. Menurut sumber lain, petirtaan ini merupakan tempat pertapaan
Airlangga setelah memutuskan untuk mengundurkan diri dari singgasana Kahuripan. Pada Petirtaan
Jolotundo terdapat dua kolam yang diperuntukkan kepada sang raja dan ratu. Hal ini kemudian
dilanjutkan hingga sekarang sebagai pemisah menurut gender bagi para pengunjung. Petirtaan
Jolotundo telah mengalami 2 kali pemugaran yaitu pada tahun 1923 oleh pemerintahan Hindia Belanda
dan pada tahun 1990 – 1994 oleh pemerintah Indonesia.
Petirtaan Jolotundo
Petirtaan Jolotundo memiliki ukuran panjang 16,85 meter; lebar 13,52 meter; dan tinggi 5,2 meter.
Bangunan Petirtaan Jolotundo berbahan dasar batu andesit dengan pahatan yang halus. Hal ini
menandakan bahwa dahulu Petirtaan Jolotundo dibangun oleh tenaga terampil. Pada Petirtaan
Jolotundo terdapat 52 pancuran yang bersumber dari Gunung Penanggungan. Sebanyak 52 pancuran
tersebut memuntahkan air terus menerus meskipun pada musim kemarau. Kondisi Petirtaan Jolotundo
tidak mengalami perubahan dari bentuk aslinya.
Terdapat ratusan ikan dan tumbuhan liar di kolam bagian bawah. Meski begitu, pengunjung tak satupun
berani mengambil ikan dari kolam petirtaan ini. Disekitar Petirtaan Jolotundo terdapat bongkahan batu
candi yang merupakan bagian candi yang belum terekonstruksi.
Penelitian Air Petirtaan Jolotundo
Pada tahun 1985 dilakukan penelitian tim dari Belanda mengkaji kualitas air di Petirtaan Jolotundo.
Hasilnya air di Petirtaan Jolotundo menduduki peringkat ke 5 dunia. Sedangkan pada penelitian kedua
pada tahun 1991 yang dilakukan oleh para arkeolog menghasilkan kesimpulan bahwa air dari petirtaan
Jolotundo menduduki peringkat 3 dunia.
Tradisi di Petirtaan Jolotundo
Air dari Petirtaan Jolotundo dianggap bisa menambah kecantikan dan awet muda, oleh karena itu
banyak diantaranya para pengunjung wanita melakukan ngalap berkah. Pada malam 1 Muharam atau 1
Suro dan bertepatan dengan bulan purnama, Jolotundo dipenuhi pengunjung yang datang untuk ritual
siraman di Petirtaan Jolotundo.

5. PATUNG KEN DEDES

Ken Dedes (Jawa: ꦏꦺꦤ꧀ꦝꦼꦝꦼꦱ꧀, Kèn Ḍĕḍĕs) adalah nama permaisuri dari Ken Arok pendiri
Kerajaan Tumapel (Singhasari). Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja yang berkuasa di Jawa,
nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Tradisi lokal
menyebutkan ia sebagai perempuan yang maharupa, perwujudan kecantikan yang sempurna.

Menurut Pararaton, Ken Dedes adalah putri dari Mpu Purwa, seorang pendeta Buddha aliran
Mahayana[1] dari desa Panawijen. Pada suatu hari Tunggul Ametung akuwu Tumapel singgah di
rumahnya. Tunggul Ametung jatuh hati padanya dan segera mempersunting gadis itu. Karena saat itu
ayahnya sedang berada di hutan, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung supaya sabar menunggu.
Namun Tunggul Ametung tidak kuasa menahan diri. Ken Dedes pun dibawanya pulang dengan paksa
ke Tumapel untuk dinikahi.
Ketika Mpu Purwa pulang ke rumah, ia marah mendapati putrinya telah diculik. Ia pun mengutuk "Hai
orang yang melarikan anak ku, semoga tidak mengenyam kenikmatan, matilah dia dibunuh dengan
keris. demikian juga orang-orang Panawijen, keringlah sumurnya, semoga tidak keluar air dari
kolamnya".[1]
Tunggul Ametung memiliki pengawal kepercayaan bernama Ken Arok. Pada suatu hari Tunggul
Ametung dan Ken Dedes pergi bertamasya ke Hutan Baboji. Ketika turun dari kereta, kain Ken Dedes
tersingkap sehingga auratnya yang bersinar terlihat oleh Ken Arok.
Ken Arok menyampaikan hal itu kepada gurunya, yang bernama Lohgawe, seorang pendeta dari India.
Menurut Lohgawe, wanita dengan ciri-ciri seperti itu disebut sebagai Stri Nariçwari yang diramalkan
akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa. Mendengar ramalan tersebut, Ken Arok semakin berhasrat
untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes untuk menjadi Raja.
Maka, dengan menggunakan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul
Ametung sewaktu tidur. Yang dijadikan kambing hitam adalah rekan kerjanya, sesama pengawal
bernama Kebo Hijo. Ken Arok kemudian menikahi Ken Dedes, bahkan menjadi akuwu baru di Tumapel.
Ken Dedes sendiri saat itu sedang dalam keadaan mengandung anak Tunggul Ametung.
Keturunan Ken Dedes
Lebih lanjut Pararaton menceritakan keberhasilan Ken Arok menggulingkan Kertajaya Raja Kediri tahun
1222, dan memerdekakan Tumapel menjadi sebuah kerajaan baru. Dari perkawinannya dengan Ken
Arok, lahir beberapa orang anak yaitu, Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi
Rimbu. Sedangkan dari perkawinan pertama dengan Tunggul Ametung, Ken Dedes dikaruniai seorang
putra bernama Anusapati.
Seiring berjalannya waktu, Anusapati merasa dianaktirikan oleh Ken Arok. Setelah mendesak ibunya,
akhirnya ia tahu kalau dirinya bukan anak kandung Ken Arok. Bahkan, Anusapati juga diberi tahu kalau
ayah kandungnya telah mati dibunuh Ken Arok.
Maka, dengan menggunakan tangan pembantunya, Anusapati membalas dendam dengan membunuh
Ken Arok pada tahun 1247.
Keistimewaan Ken Dedes
Tokoh Ken Dedes hanya terdapat dalam naskah Pararaton yang ditulis ratusan tahun sesudah zaman
Tumapel dan Majapahit, sehingga kebenarannya cukup diragukan. Namanya sama sekali tidak terdapat
dalam Nagarakretagama atau prasasti apa pun. Mungkin pengarang Pararaton ingin menciptakan
sosok leluhur Majapahit yang istimewa, yaitu seorang wanita yang bersinar auratnya.
Keistimewaan merupakan syarat mutlak yang didambakan masyarakat Jawa dalam diri seorang
pemimpin atau leluhurnya. Masyarakat Jawa percaya kalau raja adalah pilihan Tuhan. Ken Dedes
sendiri merupakan leluhur raja-raja Majapahit versi Pararaton. Maka, ia pun dikisahkan sejak awal
sudah memiliki tanda-tanda sebagai wanita nareswari. Selain itu dikatakan pula kalau ia sebagai
seorang penganut Buddha yang telah menguasai ilmu karma amamadang, atau cara untuk lepas dari
samsara.
Dalam kisah kematian Ken Arok dapat ditarik kesimpulan kalau Ken Dedes merupakan saksi mata
pembunuhan Tunggul Ametung. Anehnya, ia justru rela dinikahi oleh pembunuh suaminya itu. Hal ini
membuktikan kalau antara Ken Dedes dan Ken Arok sesungguhnya saling mencintai, sehingga ia pun
mendukung rencana pembunuhan Tunggul Ametung. Perlu diingat pula kalau perkawinan Ken Dedes
dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.

6. PRASASTI TALANG TUO

Prasasti Talang Tuo merupakan salah satu peninggalan yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti
ini pertama kali ditemukan oleh Louis Constant Westenenk pada 17 November 1920. Prasasti Talang
Tuo ditemukan di daerah kaki Bukit Seguntang, dekat Palembang, dan saat ini disimpan di Museum
Nasional Indonesia. Isinya menceritakan tentang pembangunan taman oleh Sri Jayanasa untuk
kesejahteraan semua makhluk. Isi dari Prasasti Talang Tuo juga menginformasikan tentang aliran
Buddha yang dianut pada masa Kerajaan Sriwijaya. Isi Prasasti Talang Tuo Prasasti Talang Tuo ditulis
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti bertarikh 606 Saka atau 684 Masehi
ini dipahatkan pada batu datar berukuran 50 cm x 80 cm. Saat ditemukan, 14 baris isinya masih dapat
dibaca dengan jelas dan kemudian diterjemahkan oleh van Ronkel dan Bosch. Berikut ini bunyi isi
Prasasti Talang Tuo. swasti . sri saka warsa tita . 606 . ding dwitiya suklapaksa wulan caitra . sana
tatkalana parlak sri ksetra ini . niparwuat parwanda punta hiyang sri jayanaga. ini pranidhananda punta
hiyang sawanakna yang nitanang di sini niyur pinang hanau ru mwiya dnan samisrana yang kayu
nimakan wuahna, tathapi. haur wuluh pattum ityevamadi, punarapi yang parlak wukan dnan tawad
talaga sawana yang wuatna sucarita parawis prayojanakan punyana sarwwa satwa saca racara,
waropa yana tmu sukha di asannakala di antara margga lai. tmu muah ya ahara dnan air niminumna
sawanakna wuatna huma parlak mancak mu ah ya manghidupi pasuprakara. marhulun tuwi wrddhi
muah ya janan ya niknai sawanakna yang upasargga. pidanna swapnawighna. warang wua tana
kathamapi. anukula yang graha naksatra parawis di ya. nirwyadhi ajara kawuatanana. tathapi
sawanakna yang bhrtyana. satyarjjawa drdhabhakti muah ya dya. yang mitrana tuwi jana ya kapata
yang winina mulang anukula bharyya muah ya waram stha. nana lagi janan curi ucca wadhana
paradara di sana. punarapi tmu ya kalyanamitra marwwanun wodhicitta dnan mattri udhani di dang
hyang ratnatraya janan marsarak dnan dang hyang ratnatraya. tathapi nityakala tyaga marsila ksanti
marwwanun wiryya rajin. tahu di samisrana silpakala parawis. samahita cinta. tmu ya prajna. smrti
medhawi. punarapi dhairyyamani mahasattwa wajrasarira. anupamasakti. jaya. tathapi jatismara.
awikalendriya. mancak rupa. subhaga hasin halap. ade yawakya. wrahmaswara. jadi laki swayambhu
puna (ra) pi tmu ya cintamani nidhana. tmu janmawasita. karmmawasita. klesawasita. awasana tmu ya
anuttarabhisamyaksamwodhi. Baca juga: Prasasti Tugu: Letak, Isi, dan Maknanya Terjemahan menurut
Slamet Muljana. Bahagia! Tahun Saka 606 pada hari kedua bulan terang caitra, itulah waktunya taman
Sriksetra ini dibangun, milik Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Ini pesan Dapunta Hyang: Semua yang
ditanam di sini; nyiur, pinang, enau, rumbia dan lain-lain yang (berupa) pohon, dimakan buahnya, serta
aur, buluh betung dan yang semacam itu. Demikian pula taman-taman lainnya dengan sebat telaga;
semuanya yang dibuat, semua perbuatan baik, dimaksud untuk kebahagiaan semua makhluk yang
bergerak dan tidak bergerak. Hendaklah daya upaya beliau yang sangat baik itu mendapat kesukaan di
kemudian hari dengan jalan lain. Semoga beliau mendapat makanan dan air untuk minumnya.
Semuanya yang dibuatnya; ladang, kebun luas, menghidupi binatang-binatang, ramai para abdi
suburlah. Jauhkanlah beliau dari segala bencana, siksaan dan penyakit tidak dapat tidur.
Bagaimanapun, barang usahanya hendaklah berhasil baik, binatang-binatang lengkap semua, beliau
dari sakit dibuat awet muda. Dan lagi, hendaklah semua yang disebut abdi setia berbaktilah mereka
pada beliau. Yang menjadi sahabat beliau, janganlah mereka mengkhianati beliau; yang menjadi istri
beliau hendaklah tetap setia sebagai istri pada beliau. Di manapun beliau berada, janganlah melakukan
pencurian, kecurangan, pembunuhan, dan perzinaan di situ. Dan lagi, hendaklah beliau bertemu
dengan khalyanamitra, membangun bodichita dengan maitra, menjadi pertapa pada dang hyang
Ratnatraya, melainkan senantiasa teguh bersila dengan senang membangun tenaga, keuletan,
pengetahuan tentang perbedaan semua sipakala dan pemusatan pikiran. Mudah-mudahan beliau
memperoleh pengetahuan, ingatan dan kecerdasan dan ketetapan mahasatwa badan manikam
vajracarira yang sakti, kemenangan dan ingatan pada kelahiran yang telah lampau, indra lengkap, rupa
penuh, kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan, kata manis, suara Brahma, jadi laki-laki karena
kekuatannya sendiri, hendaklah beliau memperoleh cintamanididhara, memperoleh janmawacita,
karmmawacita, akhirnya beliau mendapat anuttarabisamyaksambhodi. Makna Prasasti Talang Tuo Isi
Prasasti Talang Tuo yang cukup panjang tersebut memuat beberapa informasi penting, salah satunya
tentang pembangunan Taman Sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan
Sriwijaya. Selain itu, banyak doa dan harapan, serta disebutkan pembangunan vihara, yang jelas
menunjukkan sifat agama Buddha. Prasasti Talang Tuo juga mengungkapkan bahwa Kerajaan
Sriwijaya tengah berkonsentrasi untuk memakmurkan negerinya. Sementara dari letak penemuannya,
prasasti ini semakin mendukung argumen bahwa Kadatuan Sriwijaya berpusat di tepian Sungai Musi, di
daerah Palembang, Sumatera Selatan.

7. KITAB SUTASOMA

Kitab Sutasoma merupakan karangan Empu Tantular pada abad 14 M. Kakawin Sutasoma adalah
peninggalan berupa karya sastra dari kerajaan Majapahit.
Kakawin dalam bahasa Jawa kuno berarti syair. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa kuno dan
menggunakan aksara Bali.
Kitab Sutasoma telah ditulis kembali di atas daun lontar pada tahun 1851 dengan ukuran sebesar 40,5
X3,5 cm. Meski demikian, tidak diketahui siapa yang menuliskannya ulang.
Isi Kitab Sutasoma
Dilansir dari buku Pesona & Sisi Kelam Majapahit karangan Sri Wintala Achmad, Kakawin Sutasoma
bertuliskan tentang "Mangkang jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal bhinneka tunggal ika tan
hanadharmma mangrwa".
Kitab ini digubah di bawah naungan Sri Ranamanggala. Gubahan dilakukan pada sekitar tahun 1365-
1369 saat pemerintahan Hayam Wuruk.
Gubahan tersebut sangat penting karena memuat ide-ide religius, khususnya tentang agama Buddha
Mahayana dan hubungannya dengan agama Siwa.
Kitab Sutasoma adalah sebuah karya sastra yang unik karena cerita tokoh keturunan Pandawa telah
diganti menjadi kisah Buddhis. Di dalamnya terdapat kisah hidup Sutasoma yang berpola cerita hidup
Buddha dan kisahnya diambil dari cerita faktual.
Kakawin Sutasoma juga cenderung memaparkan peringatan tentang timbulnya gejala-gejala
pertentangan antara keraton barat (Kusumawardhani/Wikramawardhana) dengan keraton timur (Bhre
Wirabhumi). Pertentangan kedua keturunan Hayam Wuruk ini kemudian meletus menjadi perang
secara bertahap yang dikenal sebagai Perang Paregreg.
Kitab Sutasoma berisikan pula anjuran agar pertentangan kedua kubu ini diselesaikan secara damai
berdasarkan prinsip Buddhis. Kakawin ini juga menggambarkan bahwa Hayam Wuruk adalah
penjelmaan raja Buddhis yang ideal.
Namun, karena Kakawin Sutasoma bersifat sangat mendidik, kitab tersebut tidak begitu digemari di Bali
hingga saat ini.
Asal mula Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa Kakawin Sutasoma bercerita tentang agama Buddha Mahayana
dan kaitannya dengan Siwa. Dikutip dari laman Kemdikbud, pada sebuah teks yang tercantum dalam
kitab ini, dikatakan bahwa Buddha dan Siwa adalah berbeda.
Kendati begitu, keduanya dapat dikenali karena kebenaran Buddha dan Siwa merupakan hal yang
tunggal. Berbeda, namun tunggal karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Kutipan "Bhinneka Tunggal Ika" dalam Kitab Sutasoma terdapat pada pupuh 139 bait ke-5. Bunyinya
seperti ini, "Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa".
Arti dari bait di atas adalah, "Konon Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimana bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah
tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran".
Di samping itu, menurut buku Pasti Bisa Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SD/MI kelas IV karya Tim
Tunas Karya Guru, masyarakat Majapahit sudah mengenal berbagai agama, meskipun yang utama
adalah Hindu dan Buddha.
Dan karena keragaman ini, pemerintah Majapahit menciptakan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrua" yang juga diambil dari Kitab Sutasoma. Tujuan diciptakannya semboyan ini
adalah untuk menciptakan kerukunan beragama di antara rakyatnya.

8. KITAB NEGARA KERTAGAMA


Salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit dalam bidang sastra ialah Kitab Negarakertagama.
Kitab Negarakertagama ditulis oleh Mpu Prapanca, yang kemudian menjadi sumber sejarah yang
begitu dipercaya. Naskah kitab ini selesai ditulis dalam Bahasa Kawi pada bulan Aswina tahun Saka
1287 (September – Oktober 1365 Masehi). Dari maknanya, Negarakertagama artinya negara
dengan tradisi spiritual. Oleh Mpu Prapanca, kitab ini juga disebut sebagai Desawarnana, yang
berarti tulisan tentang daerah Majapahit. Mpu Prapanca adalah putra seorang Darmadyaksa
Kasogatan (pemimpin urusan Agama Buddha) yang diangkat oleh Sri Rajasanagara sebagai
pengganti ayahnya Pada awalnya, teks dalam Kitab Negarakertagama dikira hanya terwariskan
dalam sebuah naskah tunggal. Orang yang pertama kali menemukannya adalah JLA Brandes, saat
Belanda menyerang Lombok. Saat istana dibakar pada penyerbuan tersebut, Brandes
menyelamatkan naskah yang menjadi bagian Kitab Negarakertagama ini. Setelah itu, bagian lain
dari Kitab Negarakertagama kemudian ditemukan di beberapa tempat. Kitab Negarakertagama
terdiri dari lima bagian. Bagian pertama ditemukan di Antapura, Lombok. Bagian kedua yang
ditemukan di Bali berjudul Desawarnana. Sementara bagian ketiga hingga kelima masing-masing
ditemukan di Karang Asem, Klungkung, dan Geria Isi Kitab Negarakertagama ditulis saat Kerajaan
Majapahit masih berdiri dibawah pemerintahan Sri Rajasanagara, atau dikenal juga dengan nama
Prabu Hayam Wuruk. Isi Kitab Negarakertagama menguraikan kisah keagungan Prabu Hayam
Wuruk dan puncak kejayaan Kerajaan Majapahit. Selain itu, kitab ini juga menceritakan banyak hal
tentang Kerajaan Majapahit. Mulai dari asal-usul, hubungan keluarga raja, para pembesar negara,
jalannya pemerintahan, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, dan kebudayaan Kerajaan
Majapahit. Naskah dari Kitab Negarakertagama terdiri dari 98 pupuh (puisi atau syair), dengan
pembagian sebagai berikut. 7 pupuh membahas keluarga raja 9 pupuh membahas keagungan dan
wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit 23 pupuh membahas perjalanan Prabu Hayam Wuruk
berkeliling Lumajang pada 1959 10 pupuh membahas silsilah raja Kerajaan Majapahit 10 pupuh
membahas perjalanan Prabu Hayam Wuruk ketika berburu di hutan Nandawa 23 pupuh membahas
perhatian Prabu Hayam Wuruk pada leluhurnya dan berita mengenai kematian Patih Gajah Mada 9
pupuh membahas mengenai upacara keagamaan di Kerajaan Majapahit 7 pupuh membahas
tentang seorang pujangga yang setia kepada rajanya. Penggambaran Kerajaan Majapahit
Keagungan Kerajaan Majapahit digambarkan dalam Kitab Negarakertagama pada pupuh 8. Menurut
isi pupuh tersebut, Mpu Prapanca menggambarkan bahwa kompleks Kerajaan Majapahit dikelilingi
tembok bata merah yang tebal dan tinggi. Di dekatnya terdapat pos penjaga yang dibentengi dan
dinamakan Pura Waktra. Gerbang utama istana terletak di dinding utara, di mana terdapat pintu
besar dari besi yang diukir. Di luar gerbang utara terdapat bangunan panjang tempat para
bangsawan bertemu. Tepat di dalam gerbang utara adalah halaman yang berisi bangunan
keagamaan. Di sisi barat halaman ini terdapat paviliun yang dikelilingi kanal tempat orang mandi. Di
ujung selatan sebuah gerbang terdapat deretan rumah yang menjadi tempat tinggal para pelayan
istana. Sementara itu, tempat tinggal raja terletak di sebelah timur halaman itu, memiliki paviliun
dengan dekorasi dasar bata merah, pilar kayu berukir indah, dan atap yang dihiasi ornamen tanah
liat. Di luar istana terdapat tempat tinggal untuk pendeta Siwa, Budha, dan anggota bangsawan
lainnya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit Dalam pupuh 13 sampai 14, Mpu Prapanca
menyebut beberapa wilayah di perbatasan Indonesia saat ini. Seperti di antaranya mencakup
Sumatera, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Papua,
Singapura dan beberapa kepulauan Filipina. Hal itu menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut
berada dalam lingkup kekuasaan Majapahit.

9. CANDI CANGGAL

Prasasti Canggal adalah prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang ditemukan di Gunung
Wukir, Desa Canggal, Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Masyarakat sekitar sering
menyebutnya dengan sebutan Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya. Sebab, prasasti berangka
tahun 654 Saka atau 732 Masehi ini dibuat ketika Mataram Kuno diperintah oleh Raja Sanjaya. Prasasti
Canggal ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Adapun fungsi Prasasti
Canggal yang merupakan prasasti pertama yang dikeluarkan Raja Sanjaya ini adalah untuk
memperingati pendirian lingga di atas Bukit Sthirangga Prasasti Canggal berupa batu berwarna kuning
kecoklatan yang berbentuk persegi empat pipih atau stele dengan bagian tepinya telah diratakan.
Selain itu, permukaan bidang yang berisi tulisan isinya juga telah diratakan dan diupam, sementara
bagian atasnya dibentuk lengkung kurawal. Saat penemuannya pada 1879, Prasasti Canggal
kondisinya terbelah menjadi dua bagian. Pecahan pertama ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir,
sedangkan pecahan terbesar ditemukan di Desa Canggal, yang letaknya di kaki gunung. Prasasti
Canggal diidentifikasi sebagai prasasti tertua kedua di Pulau Jawa setelah prasasti Tuk Mas. Setelah
ditemukan dan disatukan, Prasasti Canggal kini disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Isi Prasasti
Canggal Prasasti Canggal menjadi sumber sejarah yang penting karena menceritakan kehidupan awal
di Kerajaan Mataram Kuno. Dijelaskan bahwa yang menjadi raja awalnya adalah Sanna, yang
kemudian digantikan oleh Sanjaya anak dari Sannaha yang berasal dari Galuh. Adapun isi dari Prasasti
Canggal adalah sebagai berikut. Bait 1: Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas bukit. Bait 2-6:
Pemujaan terhadap Dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu. Bait 7: Jawa yang sangat makmur, kaya akan
tambang emas dan menghasilkan padi. Pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk
dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa. Bait 8-9: Jawa yang dahulu diperintah oleh Raja
Sanna, yang sangat bijaksana, adil tindakannya, perwira perang, murah hati kepada rakyatnya. Ketika
meninggal dunia negara berkabung, sedih kehilangan pelindung. Bait 10-11: Pengganti Raja Sanna
adalah putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan sebagai matahari. Kekuasaanya tidak langsung
diberikan kepada Sanjaya, melainkan melalui saudara perempuannya (Sannaha). Bait 12:
Kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tanpa takut
akan pencuri dan penyamun atau akan terjadi kejahatan lainnya. Rakyat dapat hidup senang. Prasasti
ini juga menceritakan Raja Sanjaya yang memerintahkan mendirikan sebuah lingga (lambang Siwa) di
Kunjarakunja. Kunjarakunja dapat diartikan sebagai tanah dari pertapaan Kunjara yang diidentifikasi
sebagai tempat pertapaan Resi Agastya yang berasal dari India selatan. Pendirian lingga ini sebagai
rasa syukur bahwa Sanjaya telah dapat membangun kembali kerajaan dan bertakhta dengan aman,
setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Bait-bait awal Prasasti Canggal berisi puji-pujian
kepada Dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu (trimurti), yang menandakan bahwa agama yang dipeluk Raja
Sanjaya dan rakyatnya adalah Hindu Siwa. Prasasti Canggal merupakan sumber tertulis tertua yang
menyebut Pulau Jawa atau Yawadwipa, yang dipuji sangat subur, kaya akan tambang emas, dan
menghasilkan gandum atau padi. Referensi: Rahardjo, Supratikno (2011). Peradaban Jawa: Dari
Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir.

10. PETIRTAAN TIRTHA EMPUL

Tirta Empul adalah sebuah pura dan tempat melukat (pe tirtan) yang terletak di Kecamatan
Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Secara etimologi, Tirta Empul berarti air yang menyembur keluar dari tanah.
Kemudian Tirta Empul berarti air suci yang menyembur keluar dari tanah.
Pura Tirta Empul merupakan salah satu pura penting di Bali yang digunakan oleh umat Hindu untuk
proses upacara seperti melasti dan melukat.
Di sisi barat Tirta Empul ada bukit hijau subur berdekatan dengan Istana Nasional Tampaksiring yang
dibangun selama pemerintahan era Presiden Soekarno.
Pura dibagi menjadi 3 bagian yaitu Jaba Pura (halaman depan), Jaba Tengah (halaman tengah) dan
Jeroan (halaman dalam).
Di tengah-tengah Tirta Empul terdapat mata air yang bersumber dari dalam tanah kemudian disalurkan
ke sebuah pancuran.
Pancuran air terbagi menjadi 3 kolam pethirtaan. Kolam paling barat memiliki 13 pancuran air, kolam
tengah memiliki 2 pancuran air dan kolam paling timur jumlahnya 6 pancuran air.
PENINGGALAN MASA
HINDU – BUDHA
di
INDONESIA

DISUSUN OLEH :

SOFYAN SURYA SAPUTRA


KELAS 7A

SMP NEGERI 1 PRAJEKAN


PRAJEKAN – BONDOWOSO
2022

Anda mungkin juga menyukai