Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rangga Andhika Fadillah

Kelas : 12 MIA 3
Absen : 35

Marsinah
Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa
Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa
UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat
Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha
menaikkan gaji buruh 20 persen.
Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Bianto, rekan Marsinah,
menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan
upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tak masuk kerja karena alasan sakit atau melahirkan,
tunjangannya akan dipotong. Negosiasi antara buruh dengan perusahaan mengalami kebuntuan.
Karena itu, buruh PT CPS menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh
perusahaan itu yang mogok kerja.Seperti diungkap dalam laporan investigasi Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bertajuk Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah (1995),
pengorganisasian para buruh sebenarnya sudah matang beberapa hari menjelang mogok kerja.
"Tidak usah kerja. Teman-teman tidak usah masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang bekerja," kata
Marsinah, sebagaimana tercatat dalam Elegi Penegakan Hukum: Kisah Sum Kuning, Prita, Hingga
Janda Pahlawan (2010). Yudi yang dimaksud adalah Direktur PT CPS, Yudi Susanto. Mereka
membawa 12 tuntutan (lihat infografik). Mulai dari menuntut hak kenaikan upah 20 persen hingga
membubarkan organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di tingkat pabrik. SPSI adalah
satu-satunya organisasi buruh yang dinyatakan legal oleh rezim otoriter Soeharto. Bianto menjelaskan
bahwa kala itu reputasi SPSI buruk dan nyaris selalu berseberangan dengan kebutuhan kolektif buruh.
“Sementara bagi SPSI, serikat buruh adalah mitra bagi perusahaan. Satu kondisi yang sebenarnya
terjadi karena SPSI disetir oleh kekuasaan Orde Baru,” ujar Bianto dalam wawancara dengan
kabarburuh.com tiga tahun lalu.
Marsinah Ambil Alih Komando
Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap dan dibawa ke
Kantor Koramil 0816/04 Porong. Ketegangan perlahan mulai mengalir deras. Dia diinterogasi karena
telah mengorganisasi pemogokan dan dituduh melakukan protes dengan cara yang mirip aksi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Sorenya, Prakoso kembali ke pabrik karena dipaksa aparat Koramil.
Mogok kerja di hari pertama itu tak mempan. Prakoso disibukkan dengan pemanggilan oleh
aparat militer. Akhirnya Marsinah yang memegang kendali memimpin protes para buruh. Keesokan
harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak manajemen PT CPS bernegosiasi
dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam perundingan, hadir pula petugas dari Dinas Tenaga Kerja,
petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan polisi dan Koramil. Pelibatan aparat negara dalam
perundingan itu menimbulkan kecanggungan.
Meski begitu, semua tuntutan akhirnya dikabulkan, kecuali membubarkan SPSI di tingkat
pabrik. Pimpinan perusahaan menganggap hal itu menjadi kewenangan internal SPSI. Namun di hari
itu juga, berdasarkan kronologi yang dirangkai Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM), Yudo
Prakoso, buruh yang dianggap dalang pemogokan, mendapat surat panggilan dari Koramil Porong.
Dalam surat bernomor B/1011V/1993 itu, Prakoso diminta datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo.
Surat itu ditandatangani Pasi Intel Kodim Sidoarjo Kapten Sugeng.
Di Kodim Sidoarjo, Prakoso juga diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat
dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. Esoknya, 12 buruh mendapat surat yang sama.
Mereka diminta hadir ke kantor Kodim Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Tapi surat
panggilan itu berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa bernama Abdul
Rozak.
Tiga belas buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi
Intel Kodim Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 12 buruh lain mengundurkan
diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. Kamadi dan
Sugeng menyiapkan surat pengunduran diri yang menyatakan 13 buruh itu telah melakukan rapat
ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. Mereka dianggap telah menghasut
buruh lainnya untuk ikut protes. Berada dalam tekanan, akhirnya 13 buruh itu menandatangani surat
pengunduran diri. PHK itu tak dilakukan pihak perusahaan melainkan oleh aparat Kodim Sidoarjo.
Berdasarkan laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), emosi Marsinah
memuncak ketika tahu rekannya dipaksa mengundurkan diri. Dia meminta salinan surat pengunduran
diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS. Sebab dalam surat kesepakatan itu,
12 tuntutan buruh diterima termasuk poin tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi,
dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja
"Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya,” kata Marsinah
merujuk koleganya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya.
6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, adalah libur nasional untuk
memperingati Hari Raya Waisak. Esoknya buruh kembali bekerja, tapi tak ada satupun yang melihat
Marsinah. Beberapa rekannya mengira Marsinah pulang kampung ke Nganjuk. Pada 8 Mei 1993,
tepat hari ini 25 tahun lalu, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang
sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan
Dr. Jekti Wibowo.
Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam
tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai
ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian
depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya
memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.
Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua dilakukan tim dokter
dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang
kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah
sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada
serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter. Juga pendarahan di
dalam rongga perut.
Disiksa Militer untuk Akui Bunuh Marsinah
Tanpa surat penangkapan, aparat militer berbaju preman mencokok dua satpam dan tujuh
pimpinan PT CPS. Penangkapan itu dibumbui tindakan kekerasan, semua diseret paksa dan kepala
Karyono Wongso, Kabag Produksi PT CPS, ditetak aparat militer dengan gagang pistol. Mereka
digelandang ke Markas Detasemen Intel (Den Intel) Kodam V Brawijaya Wonocolo.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
bertajuk Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus Penyiksaan Belum-
Terselesaikan (1995), satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V
Brawijaya. Tak ada satupun keluarga mereka yang tahu.
Bambang Wuryantoyo, 38 tahun, yang bekerja di bagian pengawas umum PT CPS, disiksa
dan ditelanjangi. Kemaluannya disetrum berulangkali. Saat interogasi, kakinya ditindih kaki meja.
Kemaluan dan perutnya disundut rokok. Di salah satu kamar mandi Kodam V Brawijaya seorang
petugas militer kencing di dalam gayung. Soeprapto, 23 tahun, satpam PT CPS dipaksa meminum air
kencing itu. Penisnya digebuk pakai seikat sapu lidi dan disetrum. Mulut Soeprapto disumpal celana
untuk meredam jeritannya saat disiksa. Kepalanya ditetak dan ketiaknya disulut rokok. Rekan
Soeprapto yang juga berprofesi sebagai satpam, Ahmad Sution Prayogi, 58 tahun, tak bisa mengunyah
makanan selama lima hari. Sebab aparat Kodam V Brawijaya merontokkan giginya.
Mutiari, 27 tahun, ketua bagian personalia PT CPS adalah satu-satunya perempuan dalam
penyekapan di Kodam V Brawijaya itu. Dia dihantam kekerasan verbal. Mutiari diancam akan
ditelanjangi dan disetrum. Dia juga diperdengarkan dan diperlihatkan orang lain yang sedang disiksa.
Penyiksaan itu menyebabkan Mutiari kehilangan bayi yang sudah dikandungnya selama tiga bulan. Ia
keguguran saat itu juga. Penis Yudi Susanto, Direktur PT CPS, juga disetrum. Dia dipaksa mengepel
lantai salah satu ruangan Kodam V Brawijaya dengan lidah. Di pelataran basis militer teritorial itu,
Susanto diminta mencabut rumput dengan mulut. Aparat militer pun tak segan meludah ke mulutnya,
lalu Susanto diminta menelan ludah itu. Pernah juga Susanto muntah karena disuruh mengunyah kain
lap kompor, lalu dia diminta cuci muka dengan air muntahnya sendiri. Tujuan dari penyiksaan yang
rutin itu agar satpam dan manajemen PT CPS mengaku telah merencanakan pembunuhan Marsinah.
Padahal aparat Kodam V Brawijaya-lah yang membuat skenario palsu strategi perencanaan dan
eksekusi pembunuhan Marsinah itu.
Pada 21 Oktober 1993, aparat Kodam V Brawijaya menyerahkan mereka ke Polda Jatim.
Siksaan verbal maupun fisik juga mereka rasakan di Polda Jatim, meski dengan intensitas yang lebih
rendah. Proses persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan tidak membuat mereka terbebas
dari dakwaan. Mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan
Pengadilan Tinggi Surabaya, kecuali Yudi Susanto yang dibebaskan hakim Pengadilan Tinggi
Surabaya. Jaksa Penuntut Umum yang menolak putusan bebas terhadap Yudi Susanto kemudian
mengajukan pemohonan kasasi ke MA, permohonan kasasi juga diajukan delapan terdakwa lainnya.
Ahli Forensik Bersaksi
Setelah delapan orang divonis, Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi Kedokteran
Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut ambil bagian sebagai saksi ahli.
Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti, kesaksian, dan hasil visum.
Menurutnya, visum pertama tak sesuai standar pemeriksaan jenazah karena hanya bersifat parsial.
Dalam bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa barang
bukti proses peradilan berupa balok janggal. Ukuran balok yang digunakan menyodok bagian genital
tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban yakni 3 sentimeter. Menurutnya, satu luka
pada bagian kelamin Marsinah tak sesuai dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang.
Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak terbukti
melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Hal itu tercatat dalam penelitian Iyut Qurniasari
dan I.G. Krisnadi yang termuat di Jurnal Publika Budaya Universitas Jember berjudul "Konspirasi
Politik dalam Kematian Marsinah di Porong Sidoarjo Tahun 1993-1995". Sembilan terdakwa
dibebaskan, tapi siapa pembunuh Marsinah hingga kini tak pernah diungkap pengadilan.
“Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan militer tanggung jawab atas pembunuhan itu,” tulis
Amnesty Internasional dalam laporannya, Indonesia: Kekuasaan dan Impunitas: Hak Asasi Manusia
di bawah Orde Baru. Trimoelja D Soerjadi, pengacara Marsinah, menuturkan, semua terdakwa secara
bengis disiksa dan dianiaya. Intervensi militer itu adalah “Pengalaman yang getir, menyakitkan dan
paling mengerikan serta menakutkan,” kata Soerjadi saat menerima Yap Thiam Hien Award untuk
Marsinah di Jakarta pada 10 Desember 1994.

Anda mungkin juga menyukai