Anda di halaman 1dari 6

Kasus Marsinah (1993)

Kasus tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur setempat mengenai penaikan UMR. Namun PT.
CPS, perusahaan tempat Marsinah bekerja memilih bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja hingga esok hari. Ternyata menjelang
selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja berdialog dan menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan permintaan
karyawan dengan membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah
beres.
Namun esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo untuk
diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah marah dan tidak terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke
pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani
dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi
sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena
pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda
tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah.
Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia
dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga
hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga
12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada
tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa
penyelidikan kasus ini adalah direkayasa.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun
2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di
zaman Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan,
siap menculik, mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama kebebasan
menyuarakan aspirasi.

Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar
kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk
menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan
pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu
juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah
yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari
ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang
menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta
merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta
waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut,
sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan
dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah
minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan
yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh
dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas,
pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan
fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil
pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada
kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang
terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan
kodim milik salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai
akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993
Kematian Marsinah
Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan
tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecetlecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-

sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel
kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Proses Penyelidikan dan Penyidikan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse
Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS (Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono, 33 tahun,
pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto, 22 tahun, satpam pabrik
PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo, 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT
CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi, 57 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun,
kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun,
selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama
diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa
mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat
pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim
untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah.
Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik
Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP,
hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di
dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan
Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga
12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada
tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa /
Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak
sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".
Temuan Komnas HAM

Tim Komnas HAM dalam penyelidikan awal melihat ada indikasi keterlibatan tiga anggota militer dan seorang sipil dalam kasus
pembunuhan Marsinah. Salah satu anggota Komnas HAM Irjen Pol. (Purn) Koesparmono Irsan mengemukakan, agar kasus itu
bisa terungkap harus ada keterbukaan semua pihak dengan berlandaskan hukum, bukan masalah politik. Ia beranggapan, jika
masalah itu dibuka secara tuntas maka kredibilitas siapa saja akan terangkat. "Yang jelas Marsinah itu dibunuh bukan mati
dhewe, tentu ada pelakunya, mari kita buka dengan legawa. Makin terbuka sebetulnya kredibilitas siapa saja makin terangkat.
Tidak ada keinginan menjelekkan yang lain," katanya. Ia mengakui bahwa kasus yang sudah terjadi tujuh tahun lalu itu hampir
mendekati kedaluwarsa untuk diproses secara hukum. Kendala yang dihadapi kepolisian saat ini adalah masalah pengakuan
dari semua pihak. "Mau nggak mengakui sesuatu yang memang terjadi. Makanya saya kembalikan, mari tegakkan hukum, jangan
politiknya. Kalau hukum itu 'kan tidak mengenal Koesparmono, atau pangkatnya apa, tetapi yang ada adalah orang yang
melakukan. Kalau ini dibawa ke suatu arena politik yang ada solidaritas politik," katanya.
Temuan lain Komnas HAM yaitu dalam proses penangkapan dan penahanan para terdakwa dalam Kasus Marsinah itu melanggar
hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran yang disebutnya bertentangan dengan KUHAP itu, antara lain, adanya penganiayaan baik
fisik maupun mental. Komnas HAM mengimbau, pelaku penganiayaan itu diperiksa dan ditindak.
Setelah melalui proses kasasi di MA yang menghasilkan keputusan bebas murni terhadap para terdakwa dalam Kasus Marsinah
tersebut diatas, tidak serta merta menghentikan tuntutan masyarakat luas bahkan internasional melalui ILO, yang senantiasa
menuntut pemerintah RI untuk tetap berupaya mengusut tuntas Kasus Marsinah yang dalam catatan ILO dikenal dengan sebutan
kasus 1713.
Komitmen pemerintah RI dalam mengusut tuntas kasus tersebut pada awalnya diperlihatkan pada saat pemerintahan era Presiden
Abdurrahman Wahid yang memberikan perintah kepada Kapolri agar melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan guna
mengungkap Kasus Marsinah. Begitu juga pada saat pemerintahan era Presiden Megawati Soekarno Putri yang juga memiliki
komitmen yang sama untuk tetap berupaya menuntaskan Kasus Marsinah. Namun, sampai dengan saat ini, Kasus Marsinah
belum terungkap.
2. Kasus Marsinah merupakan Pelanggaran HAM.
Dasar Yuridis
a. Pasal 1 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
b. Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja
maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak

asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
c. Pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Fakta fakta Kejadian
a. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan
tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua
pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercakbercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang
berlumuran darah.
b. Berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan Kasus Marsinah tersebut oleh Polri termasuk temuan Komnas HAM,
didapatkan fakta bahwa kematian Marsinah diduga keras dilatarbelakangi tindakan Marsinah yang sangat vokal saat unjuk rasa di
PT CPS dalam rangka menuntut kenaikan gaji buruh dan keberaniannya menentang perlakuan aparat TNI AD di Kodim Sidoarjo
yang secara sewenang-wenang dan tanpa hak meminta beberapa buruh PT CPS menandatangani surat PHK yang pada akhirnya
menyebabkan Marsinah dibunuh oleh pihak tertentu untuk meredam aksi buruh di beberapa tempat lainnya di Indonesia saat itu.
Laporan Komnas HAM Tahun 2007 (hal. 37)
Pembunuhan terhadap pegiat HAM adalah pelanggaran HAM yang tergolong serius, oleh karena itu ketidaktuntasan kasus ini
akan menjadi bukti betapa lemahnya pemerintah di kalangan intelejen dan pro status quo untuk mengungkap kasus-kasus
pembunuhan para pembela HAM seperti kasus aktivis buruh Marsinah, wartawan Udin, aktivis Aceh Jaffar Siddik, hakim
Syaifuddin dan Theys H. Eluay dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang definisi HAM pada pasal 1 butir ke-1 jo pasal 9 butir ke-1 UU No. 39 tahun 1999, dikaitkan dengan
dengan adanya fakta kejadian tersebut diatas, serta didukung oleh pernyataan Komnas HAM dalam laporan tahunannya pada
tahun 2007, makapembunuhan terhadap Marsinah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, namun bukan termasuk
dalam kategori pelanggaran HAM berat (vide pasal 7 UU No. 26 tahun 2000), sebagaimana halnya dalam kasus pembunuhan
aktifis HAM lainnya yaitu antara lain Munir yang dalam nampak dalam proses hukumnya dengan diterapkannya pasal-pasal
dalam KUHP tentang pembunuhan, bukan pasal-pasal dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
3. Proses Pengajuan Novum

Apabila ada Novum (Bukti Baru) dalam kasus Marsinah, dapat diajukan melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang
prosesnya dilakukan dengan cara permintaan PK tersebut diajukan pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri (PN) yang
memutus perkara tersebut dalam tingkat pertama. Selanjutnya PK tersebut diteruskan oleh PN kepada Mahkamah Agung
(MA) (vide pasal 264 KUHAP), dengan catatan bahwa jangka waktu daluwarsa dalam kasus dimaksud belum terlampaui /
lewat, dalam Kasus Marsinah ini, mengingat pasal KUHP dengan ancaman hukuman terberat yang diterapkan yaitu pasal 340
KUHP, yaitu pidana mati atau penjara seumur hidup, maka jangka waktu daluwarsanya adalah 18 (delapan belas) tahun (vide
pasal 78 butir 1 ke-4 KUHP), yang jatuh pada tanggal 9 Mei 2011.
Pemohon yang dapat mengajukan PK tersebut, apabila berpegang pada ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu hanya
terpidana atau ahli warisnya, itu pun hanya berlaku terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (kracht van gewjisde), kecuali putusan bebas (vrijspark) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging).
Sehingga, apabila hanya mengacu secara eksplisit terhadap ketentuan dimaksud, maka PK dalam kasus dimaksud tidak dapat
dilakukan karena putusan terhadap para terdakwa adalah bebas dari segala dakwaan dan permohonan PK pun tidak
diperkenankan dilakukan oleh Jaksa / Penuntut Umum.
Namun, apabila merujuk pada yurisprudensi yang ada yaitu putusan MA No. 55 PK/Pid/1996, tanggal 25 Oktober 1996,
yang menerima secara formal permintaan PK oleh Jaksa / Penuntut Umum dalam kasus Muchtar Pakpahan yang juga
digunakan oleh Kejaksaan Agung RI pada pengajuan PK dalam Kasus Munir atas nama terdakwa Pollycarpus dengan putusan
PK bahwa terdakwa Pollycarpus terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir
sebagaimana dimaksud dalam pasal 340 KUHP, dimana putusan tersebut membatalkan putusan MA No. 1185 K/Pid/2006,
tanggal 3 Oktober 2006, yang hanya menghukum terdakwa Pollycarpus karena bersalah telah melakukan tindak pidana
menggunakan surat palsu dan membebaskannya dari dakwaan melanggar pasal 340 KUHP.
Disamping Itu, dalam PK Kasus Munir, Jaksa / Penuntut Umum juga menggunakan dasar yuridis dari ketentuan pasal 23 ayat (1)
UU No. 4 tahun 2004 yang menyatakan bahwa pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan PK kepada MA, yang dalam
hal ini diartikan oleh Kejaksaan Agung RI bahwa pihak-pihak yang bersangkutan tersebut termasuk Jaksa / Penuntut Umum demi
kepentingan umum.
Oleh karena itu, dalam Kasus Marsinah pun, Jaksa / Penuntut Umum dapat mengajukan PK.

Anda mungkin juga menyukai