Anda di halaman 1dari 11

KASUS PEMBUNUHAN ANAK OLEH IBU KANDUNGNYA

Laporan Penelitian Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Psikologi Komunikasi yang diampuh oleh: Dr. Deni Darmawan, M.Si Hana Silvana, S.Pd, M.Si

Disusun oleh: Mega Cahya Pratiwi (1300662)

TEKNOLOGI PENDIDIKAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2014

I.

Latar Balakang Pembunuhan merupakan kejahatan paling mengerikan yang bisa dilakukan oleh setiap makhluk hidup, termasuk manusia. Mengambil nyawa seseorang kadang dianggap menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan suatu masalah atau menjadi pelampiasan kemarahan seorang individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lainnya. Disadari atau tidak, membunuh tidaklah dapat menyelesaikan sebuah masalah melainkan malah menambah panjang masalah tersebut. Mulai dari terjeratnya pelaku pembunuhan dengan Undang-Undang yang berlaku di wilayahnya hingga dosa yang harus dipertanggungjawabkan olehnya setelah kematian kelak. Pelaku pembunuhan bisa muncul dari berbagai kalangan, dari kalangan pejabat hingga masyarakat kecil, tak terkecuali seorang ibu seperti yang terjadi dalam kasus-kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri yang sedang marak mewarnai berita-berita kriminal akhir-akhir ini.

Himpitan ekonomi, depresi, kesal, dan berbagai faktor kehidupan lainnya disebut-sebut sebagai alasan mengapa seorang ibu sampai tega menghabisi nyawa anak yang telah susah payah ia lahirkan. Lumrahnya seorang ibu memberikan kasih sayang yang terbanyak kepada anak dengan membantunya belajar dan berkembang serta menyediakan segala yang ia butuhkan. Namun yang dilakukan para ibu ini sangat jauh dari realita yang seharusnya. Dengan merenggut kehidupan merekalah cara yang tepat dalam memberikan kasih sayang kepada anaknya. Beranggapan agar anaknya tidak merasakan kesulitan hidup seperti yang dialaminya, seorang ibu tega mengirim anaknya ke surga. Seperti contoh kasus yang baru-baru ini terjadi, seorang ibu di Bandung tega menenggelamkan anaknya yang berusia 2,5 tahun ke dalam torent air di lantai dua rumahnya.

II.

Analisis Masalah Sebaik baiknya sesuatu, tak ada yang lebih baik dari yang ada pada manusia, tapi pun sejelek jeleknya sesuatu tak ada yang lebih jelek dari yang ada pada manusia. Hal tersebut berlaku karena pada hakikatnya manusia tidak hanya dibekali naluri, tapi mereka pun memiliki akal sehingga mereka bisa berkehendak. Namun, terkadang manusia memiliki kehendak yang sangat bertentangan dengan aturan atau standar etika, contohnya seperti membunuh anak kandungnya sendiri. Padahal sekejam-kejamnya induk singa, ia tidak akan pernah memakan anaknya sendiri. Hal ini sangatlah sesuai dengan ungkapan yang ada pada awal paragraf.

Menurut data yang didapat pada akun Facebook Komisi Nasional Perlindungan Anak tanggal 20 Desember 2013, sepanjang tahun 2013 Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak mencatat bahwa terdapat 1.620 kasus kekerasan pada anak. Dengan rincian, kasus kekerasan fisik sebanyak 490 kasus (30%), kekerasan psikis sebanyak 313 kasus (19%) dan paling banyak yaitu kasus kekerasan seksual sebanyak 817 (51%). Anak-anak yang menjadi korban akibat ini adalah paling banyak rentang usia 6-12 tahun. Berbagai macam latar belakang kasus kekerasan fisik pada anak diantaranya kenakalan anak 80 kasus (8%), dendam/emosi 147 kasus (14%), faktor ekonomi 62 kasus (6%), persoalan keluarga 50 kasus (5%), lain-lain 145 kasus (14%). Modusnya dengan dipukul 162 kasus (15%), ditampar 12 kasus (1%), disundut 4 kasus, dijewer 5 kasus, sajam (senjata tajam) 103 kasus (10%), lain-lain 245 kasus (23%). Dampaknya, luka ringan 97 kasus, luka berat 141 kasus, meninggal dunia 181 kasus, lain-lain 71 kasus. Kasus-kasus kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi anak, seperti orang

tua, paman, guru, baik guru reguler maupun guru spritual, bapak/ibu angkat, maupun ayah/ibu kandung. Berdasarkan tempat kejadian kekerasan terhadap anak ada di lingkungan keluarga 24%, lingkungan sosial 56%, dan lingkungan sekolah 17%.

Selain kasus kekerasan fisik yang terjadi pada anak dengan rentang usia 6-12 tahun, ada pula kasus penelantaran bayi dan anak dengan rincian sebanyak 77 kasus terjadi di lingkungan keluarga, 76 kasus di lingkungan sosial, lingkungan sekolah 8 kasus. Maraknya kasus penelantaran bayi dan anak dilatar belakangi berbagai macam hal, antara lain karena faktor ekonomi dan hasil hubungan illegal. Modusnya antara lain aborsi 23 kasus, dibunuh 15 kasus, dibuang 48 kasus, lain-lain 16 kasus. Lokasi terjadinya penelantaran antara lain Rumah Sakit 13 kasus, Kali atau sungai 13 kasus, Angkot atau terminal 1 kasus, Selokan 6 kasus, halaman rumah 11 kasus, halte 1 kasus, tempat sampah 5, WC Umum 1 kasus, TPU 8 kasus, semak-semak 11 kasus, dan sisanya lain-lain.

Dari data di atas dapat dikutip bahwa faktor terbanyak yang melandasi kasus kekerasan pada anak yang beberapa di antaranya menyebabkan kematian pada sang anak adalah faktor dendam atau emosi. Dan faktor yang melandasi kasus penelantaran bayi adalah faktor ekonomi dan hasil hubungan ilegal. Dari kedua macam kasus tersebut ternyata faktor emosilah yang paling mempengaruhi seseorang, bahkan seorang ibu kandung sekali pun, untuk membunuh atau menelantarkan anaknya.

Sebagai gambaran, berikut beberapa contoh kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri:

1. Bandung, 11 April 2014. Seorang ibu bernama Dedeh Uum Fatimah (38) menyerahkan diri ke kantor polisi dan mengaku telah membunuh putri bungsunnya. Motif yang dilakukan pelaku adalah dengan menenggelamkannya ke dalam toren berkapasitas 1000 liter, dengan berisi air hampir setengahnya, yang terdapat di lantai dua rumahnya. Awalnya pelaku berniat akan membunuh ketiga anaknya, yaitu Aisyah Fany (2,5), Muhammad Fahrul Robani (10), dan Muhammad Rizaldi (15). Namun, ia hanya berhasil membunuh anak ketiganya karena Fahrul berhasil menyelamatkan diri dengan keluar dari toren dan Rizal yang terlanjur berteriak karena peristiwa tersebut. Pelaku pun lalu menghilang dari tempat kejadian perkara dan menyerahkan diri ke kantor polisi. Dedeh mengaku menyesal karena tidak berhasil mengirim ketiga anaknya ke surga. Ia juga mengatakan alasan pembunuhan tersebut adalah karena ia ingin agar anak-anaknya tidak merasakan sulitnya hidup seperti yang ia rasakan. (korananakindonesia.com: 12 Maret 2014 dan beberapa sumber lain) 2. Jakarta. Retno Purwati (38) tega menghabisi nyawa anaknya sendiri, Vicky Ariska (9), dengan membenamkan kepalanya ke dalam bak mandi. Pembunuhan ini dilakukan ketika sang ibu merasa malu karena kemaluan anaknya yang mengecil usai dikhitan. Diduga pelaku tidak tahan dengan ejekan tetangganya dan selalu cekcok dengan suaminya karena permasalahan tersebut. (koran-sindo.com: 2 Oktober 2013) 3. Sigli, Aceh, 28 Juni 2013. Warga Dusun Cot Drien geger dengan ditemukannya bayi laki-laki dengan tali pusar yang masih menempel. Bayi tersebut ditemukan dalam keadaan hidup namun meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Setelah ditelusuri ternyata bayi tersebut dibuang oleh seorang gadis berumur 16 tahun yang masih berstatus pelajar kelas dua sekolah menengah atas. Ia mengakui

bahwa bayi tersebut merupakan hasil hubungan dengan seorang laki-laki. (prohaba.co: 20 Juni 2013) Ketiga kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus pembunuhan anak di Indonesia yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini. Dari ketiganya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa tersebut terdiri dari faktor emosi, ekonomi, teknologi, keimanan, moral, dan sosial. Emosi yang tidak terkendali akibat masalah kehidupan yang rata-rata mengacu pada permasalahan ekonomi ditambah dengan kurang keimanan atau kesalahpahaman mengenai ajaran agama yang dipelajari dapat menimbulkan sebuah perilaku menyimpang seperti yang dialami oleh Dedeh pada kasus pertama. Ia mempelajari bahwa setiap anak yang meninggal sebelum menginjak akil baligh akan masuk surga. Ditambah ia pun sempat mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya dan tidak ingin anaknya mencicipi juga pahitnya kehidupan. Karena itu, dengan bekal ilmu agama yang disalahartikan Dedeh mengambil langkah kejam tanpa merasa bersalah sedikit pun. Kemudian faktor emosi ditambah dengan faktor sosial dalam interaksi antara seseorang, yang kurang imannya, dalam masyarakat juga dapat mempengaruhi pola pikir orang tersebut. Contohnya seperti yang dialami Retno dalam kasus kedua. Hanya karena selalu mendapatkan ejekan tetangga mengenai kondisi anaknya, ia tega melampiaskan kekesalannya itu dengan menghabisi nyawa anak kandung sendiri yang baginya merupakan suatu sumber aib penyebab cemoohan orang lain. Terakhir, teknologi yang semakin berkembang pesat tanpa adanya rem menyebabkan siapa saja dapat mengakses hal-hal yang tidak sepantasnya dilihat oleh anak dibawah umur. Selain itu, maraknya stasiun-stasiun televisi yang menyediakan tayangantayangan tidak bermanfaat, seperti sinetron atau film yang menceritakan tentang kisah

pergaulan bebas remaja, telah merusak moral remaja-remaja yang pada masanya sedang mencari jatidiri. Akibat lebih besarnya pengaruh dari apa yang mereka lihat dibandingkan dengan apa yang mereka pelajari menyebabkan mereka tidak segan-segan meniru apa yang dilihatnya, bahkan yang dianggap perilaku menyimpang sekali pun, karena rasa penasaran yang besar dan kurangnya pengawasan dari berbagai pihak. Seperti yang dialami oleh seorang gadis yang namanya disamarkan dalam kasus ketiga. Karena bingung dengan hasil yang didapat dari hasil eksperimen bersama kekasihnya, serta kurangnya rasa tanggung jawab yang dimiliki pihak laki-laki, ia tega membuang bayinya sesaat setelah dilahirkan dalam keadaan tali pusat yang masih menempel. Dari ketiga pemaparan kasus diatas, terbukti bahwa faktor emosi merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam kasus-kasus pembunuhan anak yang melibatkan ibu kandung.

III. Kaitan dengan Psikologi Komunikasi Dalam kasus pertama, diketahui bahwa pelaku mengalami kesalahan pemahaman mengenai ilmu agama yang ia dapat. Dalam komunikasi intrapersonal dikenal adanya proses pengelolaan informasi tahapan sensasi, persepsi, memori, dan berpikir. Saat pelaku menerima informasi bahwa seorang anak yang meninggal sebelum usia akil baligh akan masuk surga, ia melalui proses pengelolaan informasi tahapan sensai melalui mata jika ia membaca informasi tersebut dari sebuah buku maupun artikel, atau melali telinga jika ia mendapatkan informasi dari penjelesan seseorang. Kemudian masuk ke proses kedua yaitu persepesi, di sini dia mengolah informasi yang didapatkan serta mengkaitkannya dengan pengalaman-pengalaman di masa lalu dan

menyimpulkannya di dalam pikirannya. Proses ketiga adalah tahapan memori, yaitu

tahap terjadinya pecatatan informasi melalui reseptor indera dan sirkuit internal; penentuan berapa lama informasi itu berada berserta kita, dalam bentuk apa, dan di mana; juga penggunaan informasi yang disimpan. Dan terakhir tahapan berpikir, yaitu proses yang melibatkan lambang, visual dan grafis yang dilakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan, dan menghasilkan yang baru. Proses berpikir terbagi menjadi dua yaitu berpikir autistik atau berpikir fantasi, seperti mengkhayal, dan berpikir realistik, yaitu berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Dari uraian tersebut, bisa dikatakan bahwa pelaku mengalami gangguan pada proses pengelolaan informasi tahapan persepsi dan berpikir. Karena pengalaman sulitnya di masa lalu, ia mempersepsikan informasi tersebut secara berbeda dengan persepsi orang lain. Pada saat pelaku sedang menyusui anak ketiganya, Aisyah, ia mengalami proses pengelolaan informasi tahapan memori, dimana ia mengingat kembali informasi yang tersimpan dan mengunakannya untuk kemudian masuk ke tahapan berpikir. Pada tahapan berpikir, pelaku menggabungkan antara cara berpikir autistik, yaitu berkhayal tentang anaknya yang pergi ke surga dan tidak mengalami hal-hal sulit dalam kehidupan, dengan cara berpikir realistik, yaitu mewujudkan khayalannya tersebut dengan cara membunuh anaknya yang masih berusia sangat muda.

Pada kasus kedua, dikatakan bahwa Retno membunuh anaknya, Vicky, hanya karena kelamin Vicky mengecil setelah dikhitan dan tidak tahan dengan ejekan-ejekan tetangganya. Di sini terjadi komunikasi interpersonal antara pelaku dengan tetanggatetangganya. Namun pelaku merasa terpojokkan dalam komunikasi interpersonal ini sehingga ia melakukan komunikasi intrapersonal dengan mempersepsikan ejekanejekan yang diterimanya itu bahwa anaknya telah menimbulkan aib bagi dirinya.

Penyimpulan persepsi itu juga dipengaruhi oleh tingginya tekanan hidup di kota Jakarta yang mengakibatkan terbatasnya ruang komunikasi. Akibatnya berkuranglah ruang sosial dan rasa kebersamaan antarbertetangga sehingga muncul dominansi sikap individualis antara pelaku dengan tetangga-tetangganya. Lalu ia pun menyimpan informasi hasil persepsinya tersebut dalam memorinya untuk kemudian ia ingat kembali saat melihat anaknya dan melakukan proses berpikir realistik. Setelah tahap inilah pelaku mulai merealisasikan apa yang ia pikirkan dengan cara membenamkan kepala anaknya ke dalam bak hingga tewas.

Dan kasus terakhir yaitu kasus pembuangan bayi yang dilakukan oleh seorang gadis berusia enam belas tahun di Aceh. Akibat pengaruh dari media komunikasi massa yang terlalu bebas dan kurang tersaring sehingga banyak memperlihatkan hal-hal pornografi dan kehidupan-kehidupan yang jauh dari nilai moral remaja-remaja masa kini mempengaruhi pelaku untuk meniru apa yang dilihatnya melalui media komunikasi massa tersebut. Didukung dengan kurangnya dari pengawasan orang tua dan lingkungan pergaulan yang menyeretnya untuk melakukan hal yang belum tepat pada waktunya itu serta pemahaman tentang aturan-aturan dan ilmu agama yang kurang. Ketika pelaku menyimak informasi dari media komunikasi massa, ia melakukan proses pengelolaan tahapan sensasi melalui mata dan telinganya. Setelah itu ia melalui tahapan persepsi, akibat dari kurang kuat serta sedikitnya pengalaman masa lalu mengenai informasi yang didapat pelaku menghasilkan persepsi bahwa ia boleh-boleh saja merealisasikan informasi yang didapatnya itu. Meskipun ia sudah memiliki informasi lain bahwa perbuatan itu memanglah salah, tapi karena kurang kuatnya informasi tersebut maka informasi yang lama akan lebih mudah terkikis oleh informasi yang baru. Terlebih jika terdapat penekanan/penguatan informasi bahwa akan adanya

pertanggungjawaban jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan menimpa pelaku dari pihak laki-laki. Pada saat penekanan informasi ini, terjadi tahapan memori pada komunikasi intrapersonal pelaku dan kemudian maju ke tahapan berpikir realistik dan merealisasikan informasi yang didapatnya dari media komunikasi massa serta penekanan dari komunikasi interpersonal antara pelaku dengan pihak laki-laki. Namun ternyata setelah perealisasian itu berakhir dengan dihasilkannya bayi dalam rahim pelaku, pihak laki-laki itu pun melarikan diri karena ia tidak merasa rugi apapun jika meninggalkan pelaku. Akibatnya si pelaku merasa bingung dan depresi karena malu dan memutuskan untuk membuang bayi yang baru saja dilahirkannya itu. Karena telatnya penanganan medis terhadap sang bayi, akhirnya ia pun meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit setelah ditemukan oleh beberapa warga sekitar.

IV. Kesimpulan Pembunuhan terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor emosi, ekonomi, keimanan, moral, teknologi, dan sosial. Faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal. Sedangkan yang menjadi faktor internalnya adalah pengalaman di masa lalu, dan komunikasi intrapersonal yang terdiri atas proses sensasi, persepsi, memori, dan berpikir yang dialami pelaku pembunuhan. Dari semua jenis komunikasi (intrapersonal, interpersonal, massa, dan kelompok), jenis komunikasi intrapersonallah yang paling memiliki pengaruh dalam tindakan yang apa yang akan dilakukan seseorang setelah mendapatkan sebuah informasi dan memprosesnya.

Agar tidak terulang kembali kasus-kasus serupa, diperlukan kerjasama dari seluruh pihak, baik dari seluruh anggota masyarakat maupun awak media komunikasi massa,

untuk menanggulangi kasus pembunuhan yang sudah semakin menjamur ini. Dari pihak masyarakat bisa dengan cara menumbuhkan kembali sikap gotong royong sehingga rasa kebersamaan pun terpupuk kembali dan sifat individualis pun dapat terhindarkan. Selain itu masyarakat juga saling menjaga dan tidak main hakim sendiri apabila ada anggota masyarakat lainnya yang memiliki kesalahan persepsi informasi yang ditandai dengan perilakunya yang menyimpang.

Dari pihak media komunikasi massa, diperlukan penyortiran tayangan televisi yang kurang bermanfaat dan kurang mendidik karena merekalah yang pertama dan paling kuat dalam memberikan pengaruh kebudayaan yang akan tumbuh di kehidupan masyarakat. Dan dari tiap individu masing-masing diperlukan adanya pemahaman agama yang kuat dan kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar agar terbentuknya pengalaman-pengalaman baru sehingga proses pengelolaan informasi tahapan persepsi dapat berjalan dengan semestinya. Tentu saja diperlukan juga pengawasan dari orangorang sekitar yang memiliki pengalaman lebih.

Anda mungkin juga menyukai