Anda di halaman 1dari 6

tirto.

id - Marsinah. Ia aktivis buruh berlidah tajam dan organisator terpelajar.


Marsinah melawan saat kekerasan aparat negara menjalar lebih cepat daripada wabah
flu. Buruh perempuan yang rajin mengkliping berita koran itu nyala kritisnya
dipetangkan rezim otoriter. Ia dibunuh di usia yang masih teramat muda, 24 tahun.

Pembunuhannya membawa kesuraman semakin akrab. Seolah-olah negara tak perlu


melindungi hak hidup warganya, tapi justru berwenang merecoki hajat hidup mereka.

Satu bulan sebelum Marsinah dibunuh, Presiden Soeharto menghadiri pertemuan Hak
Asasi Manusia di Thailand. Dalam forum itu, Soeharto menyatakan RUU Hak Asasi
Manusia yang dicanangkan PBB tidak bisa diterapkan di negara-negara Asia. Jenderal
tangan besi itu menjelaskan, di Asia warga tak bisa bebas mengkritik pemimpinnya,
beda dengan budaya Barat.

Soeharto juga menekankan bahwa warga negara wajib menunjukkan rasa hormat pada
pemimpin mereka, sebagaimana anggota keluarga pada kepala keluarga. Hal itu
diuraikan Leena Avonius and Damien Kingsbury dalam “From Marsinah to Munir:
Grounding Human Rights in Indonesia” yang terbit tahun 2008.

Soeharto melakukan intervensi yang kuat untuk memonitor dan mengatur protes
buruh. Dia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990
dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Jika ada perselisihan antara
buruh dengan pengusaha, maka yang berhak memediasi adalah militer. Tak heran,
para pekerja yang kritis dan mencolok harus kuat menghadapi intimidasi dan
penangkapan.

Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong,
Jawa Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen
50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya
meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa
Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20
persen.

Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Bianto, rekan


Marsinah, menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan
upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tak masuk
kerja karena alasan sakit atau melahirkan, tunjangannya akan dipotong.

Negosiasi antara buruh dengan perusahaan mengalami kebuntuan. Karena itu, buruh
PT CPS menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh
perusahaan itu yang mogok kerja.

Seperti diungkap dalam laporan investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum


Indonesia (YLBHI) bertajuk Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah (1995),
pengorganisasian para buruh sebenarnya sudah matang beberapa hari menjelang
mogok kerja.

"Tidak usah kerja. Teman-teman tidak usah masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang
bekerja," kata Marsinah, sebagaimana tercatat dalam Elegi Penegakan Hukum: Kisah
Sum Kuning, Prita, Hingga Janda Pahlawan (2010). Yudi yang dimaksud adalah
Direktur PT CPS, Yudi Susanto.

Mereka membawa 12 tuntutan (lihat infografik). Mulai dari menuntut hak kenaikan
upah 20 persen hingga membubarkan organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(SPSI) di tingkat pabrik. SPSI adalah satu-satunya organisasi buruh yang dinyatakan
legal oleh rezim otoriter Soeharto. Bianto menjelaskan bahwa kala itu reputasi SPSI
buruk dan nyaris selalu berseberangan dengan kebutuhan kolektif buruh.

“Sementara bagi SPSI, serikat buruh adalah mitra bagi perusahaan. Satu kondisi yang
sebenarnya terjadi karena SPSI disetir oleh kekuasaan Orde Baru,” ujar Bianto dalam
wawancara dengan kabarburuh.com tiga tahun lalu.
Marsinah Ambil Alih Komando

Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap dan dibawa
ke Kantor Koramil 0816/04 Porong. Ketegangan perlahan mulai mengalir deras.

Dia diinterogasi karena telah mengorganisasi pemogokan dan dituduh melakukan


protes dengan cara yang mirip aksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sorenya,
Prakoso kembali ke pabrik karena dipaksa aparat Koramil.

Mogok kerja di hari pertama itu tak mempan. Prakoso disibukkan dengan
pemanggilan oleh aparat militer. Akhirnya Marsinah yang memegang kendali
memimpin protes para buruh.

Keesokan harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak
manajemen PT CPS bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam
perundingan, hadir pula petugas dari Dinas Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring,
serta perwakilan polisi dan Koramil. Pelibatan aparat negara dalam perundingan itu
menimbulkan kecanggungan.

Meski begitu, semua tuntutan akhirnya dikabulkan, kecuali membubarkan SPSI di


tingkat pabrik. Pimpinan perusahaan menganggap hal itu menjadi kewenangan
internal SPSI.

Namun di hari itu juga, berdasarkan kronologi yang dirangkai Komite Solidaritas
Untuk Marsinah (KSUM), Yudo Prakoso, buruh yang dianggap dalang pemogokan,
mendapat surat panggilan dari Koramil Porong. Dalam surat bernomor B/1011V/1993
itu, Prakoso diminta datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo. Surat itu ditandatangani
Pasi Intel Kodim Sidoarjo Kapten Sugeng.

Di Kodim Sidoarjo, Prakoso juga diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang
terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja.

Esoknya, 12 buruh mendapat surat yang sama. Mereka diminta hadir ke kantor Kodim
Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Tapi surat panggilan itu berasal dari
kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa bernama Abdul Rozak.
Tiga belas buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira
Seksi Intel Kodim Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 12 buruh
lain mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak dibutuhkan
lagi oleh perusahaan.

Kamadi dan Sugeng menyiapkan surat pengunduran diri yang menyatakan 13 buruh
itu telah melakukan rapat ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan aksi mogok
kerja. Mereka dianggap telah menghasut buruh lainnya untuk ikut protes. Berada
dalam tekanan, akhirnya 13 buruh itu menandatangani surat pengunduran diri. PHK
itu tak dilakukan pihak perusahaan melainkan oleh aparat Kodim Sidoarjo.

Berdasarkan laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), emosi


Marsinah memuncak ketika tahu rekannya dipaksa mengundurkan diri. Dia meminta
salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT
CPS. Sebab dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk poin
tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK
karyawan setelah aksi mogok kerja

"Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya,” kata
Marsinah merujuk koleganya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya.

6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, adalah libur nasional
untuk memperingati Hari Raya Waisak. Esoknya buruh kembali bekerja, tapi tak ada
satupun yang melihat Marsinah. Beberapa rekannya mengira Marsinah pulang
kampung ke Nganjuk.

Pada 8 Mei 1993, tepat hari ini 25 tahun lalu, Marsinah ditemukan sudah tak
bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya
divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo.

Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm
dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan
(labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya ditemukan
serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara
Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga
perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.

Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua dilakukan tim
dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul
bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang kemaluan
kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan
patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. Ada luka di
bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter. Juga pendarahan di dalam rongga
perut.

Disiksa Militer untuk Akui Bunuh Marsinah

Tanpa surat penangkapan, aparat militer berbaju preman mencokok dua satpam dan
tujuh pimpinan PT CPS. Penangkapan itu dibumbui tindakan kekerasan, semua
diseret paksa dan kepala Karyono Wongso, Kabag Produksi PT CPS, ditetak aparat
militer dengan gagang pistol. Mereka digelandang ke Markas Detasemen Intel (Den
Intel) Kodam V Brawijaya Wonocolo.

Berdasarkan laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat


(ELSAM) bertajuk Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-
Kasus Penyiksaan Belum-Terselesaikan (1995), satpam dan pihak manajemen PT
CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya. Tak ada satupun keluarga
mereka yang tahu.

Bambang Wuryantoyo, 38 tahun, yang bekerja di bagian pengawas umum PT CPS,


disiksa dan ditelanjangi. Kemaluannya disetrum berulangkali. Saat interogasi, kakinya
ditindih kaki meja. Kemaluan dan perutnya disundut rokok.

Di salah satu kamar mandi Kodam V Brawijaya seorang petugas militer kencing di
dalam gayung. Soeprapto, 23 tahun, satpam PT CPS dipaksa meminum air kencing
itu. Penisnya digebuk pakai seikat sapu lidi dan disetrum. Mulut Soeprapto disumpal
celana untuk meredam jeritannya saat disiksa. Kepalanya ditetak dan ketiaknya
disulut rokok.

Rekan Soeprapto yang juga berprofesi sebagai satpam, Ahmad Sution Prayogi, 58
tahun, tak bisa mengunyah makanan selama lima hari. Sebab aparat Kodam V
Brawijaya merontokkan giginya.

Mutiari, 27 tahun, ketua bagian personalia PT CPS adalah satu-satunya perempuan


dalam penyekapan di Kodam V Brawijaya itu. Dia dihantam kekerasan verbal.
Mutiari diancam akan ditelanjangi dan disetrum. Dia juga diperdengarkan dan
diperlihatkan orang lain yang sedang disiksa. Penyiksaan itu menyebabkan Mutiari
kehilangan bayi yang sudah dikandungnya selama tiga bulan. Ia keguguran saat itu
juga.

Penis Yudi Susanto, Direktur PT CPS, juga disetrum. Dia dipaksa mengepel lantai
salah satu ruangan Kodam V Brawijaya dengan lidah. Di pelataran basis militer
teritorial itu, Susanto diminta mencabut rumput dengan mulut. Aparat militer pun tak
segan meludah ke mulutnya, lalu Susanto diminta menelan ludah itu. Pernah juga
Susanto muntah karena disuruh mengunyah kain lap kompor, lalu dia diminta cuci
muka dengan air muntahnya sendiri.

Tujuan dari penyiksaan yang rutin itu agar satpam dan manajemen PT CPS mengaku
telah merencanakan pembunuhan Marsinah. Padahal aparat Kodam V Brawijaya-lah
yang membuat skenario palsu strategi perencanaan dan eksekusi pembunuhan
Marsinah itu.

Pada 21 Oktober 1993, aparat Kodam V Brawijaya menyerahkan mereka ke Polda


Jatim. Siksaan verbal maupun fisik juga mereka rasakan di Polda Jatim, meski dengan
intensitas yang lebih rendah.

Proses persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan tidak membuat mereka
terbebas dari dakwaan. Mereka diputus bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan
Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Surabaya, kecuali Yudi Susanto yang
dibebaskan hakim Pengadilan Tinggi Surabaya. Jaksa Penuntut Umum yang menolak
putusan bebas terhadap Yudi Susanto kemudian mengajukan pemohonan kasasi ke
MA, permohonan kasasi juga diajukan delapan terdakwa lainnya.

Ahli Forensik Bersaksi

Setelah delapan orang divonis, Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi Kedokteran
Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut ambil bagian
sebagai saksi ahli. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti,
kesaksian, dan hasil visum. Menurutnya, visum pertama tak sesuai standar
pemeriksaan jenazah karena hanya bersifat parsial.

Dalam bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa


barang bukti proses peradilan berupa balok janggal. Ukuran balok yang digunakan
menyodok bagian genital tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban
yakni 3 sentimeter. Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak sesuai
dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang.

Idries menegaskan bahwa pendarahan bukan penyebab kematian Marsinah, melainkan


tembakan senjata api.

"Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan luka tembak?"
ungkap Idries dalam tayangan Mata Najwa: X-File edisi 18 September 2013.

"Pelakunya siapa yang punya akses senjata,” lanjut Idries. “Kita kan enggak bebas
memiliki senjata."

Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak
terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Hal itu tercatat dalam
penelitian Iyut Qurniasari dan I.G. Krisnadi yang termuat di Jurnal Publika
Budaya Universitas Jember berjudul "Konspirasi Politik dalam Kematian Marsinah di
Porong Sidoarjo Tahun 1993-1995".

Sembilan terdakwa dibebaskan, tapi siapa pembunuh Marsinah hingga kini tak pernah
diungkap pengadilan.

“Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan militer tanggung jawab atas


pembunuhan itu,” tulis Amnesty Internasional dalam laporannya, Indonesia:
Kekuasaan dan Impunitas: Hak Asasi Manusia di bawah Orde Baru.

Trimoelja D Soerjadi, pengacara Marsinah, menuturkan, semua terdakwa secara


bengis disiksa dan dianiaya. Intervensi militer itu adalah “Pengalaman yang getir,
menyakitkan dan paling mengerikan serta menakutkan,” kata Soerjadi saat menerima
Yap Thiam Hien Award untuk Marsinah di Jakarta pada 10 Desember 1994.

Hingga kini Marsinah ada di mana-mana. Dia menyelinap di berbagai produk payung
hukum bagi hak buruh. Dalam putusan MK dan pengadilan, nama Marsinah kerap
disebut. Misalnya dalam putusan 100/PUU-X/2012, Margarito Kamis menjelaskan
bagaimana Marsinah menjadi tolak ukur bahwa buruh harus dilindungi.
Perjuangan buruh saat ini hanya catatan kaki bagi perjuangan Marsinah. Sisanya: kita
yang berhura-hura di bawah bayang-bayang romantisme keheroikan Marsinah.
Hingga kini kita belum terlalu peduli apakah ada serikat buruh dalam perusahaan.
Kita belum serius memahami bahwa serikat adalah tempat saling berbagi kekuatan
dan menumbuhkan kepekaan terhadap masalah rekan terdekat.

Diam-diam, hingga kini, represi tetap menjadi alat bagi siapa saja yang berkuasa.
Masalah buruh tak pernah jauh dari 12 tuntutan yang dicanangkan Marsinah dan
kawan-kawan. Kita hidup di sebuah negara dengan warisan tingkah yang brutal.

Anda mungkin juga menyukai