Anda di halaman 1dari 16

Jangan Pernah Lupa Tragedi Tanjung Priok 1984 :

Peran Media Massa dalam membela kaum Muslimin

Media Massa adalah alat yang penting bagi tersebarnya informasi baik dalam

bentuk berita dan hiburan melalui TV, Koran, Radio, maupun Internet. Di jaman

sekarang sangatlah mudah untuk mengakses berita. Media massa dapat juga menjadi

kekuatan politik yang hebat. Penggiringan opini dalam pemilihan presiden 2014 telah

terbukti membuat banyak masyarakat terpecah menjadi dua kubu. Itupun salah

satunya karena adanya faksi-faksi televisi yang berkepentingan akan politik. Begitu

juga berita yang selalu miring terhadap umat Islam seperti munculnya ISIS, tragedi

Bom Bali, WTC, dan lain sebagainya, dikaitkan dengan agama Umat Islam sebagai

agama kekerasan. Banyak yang terpengaruh bahkan ikut mencaci Agama Islam baik

secara langsung maupun tidak langsung mengenai konsep Jihad, poligami, dan

lainnya tanpa menelisik apakah berita tersebut adalah palsu atau rekayasa intelejen

dalam pelemahan umat Islam. Akhirnya umat sendiri menjadi phobia atau ketakutan

terhadap Islam itu sendiri.

Dalam sejarah negara republik Indonesia tidak selamanya berjalan dengan

baik. Salah satunya yaitu adanya Tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984 yang telah

menewaskan ratusan warga Tanjung Priok. Pertumpahan darah yang terjadi tanpa

adanya alasan yang jelas, akan membawa kerusakan yang besar bagi kehidupan

manusia dan dosa yang besar terjadi di atasnya. “Barang siapa yang membunuh

seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh

manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang

manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”.

(QS. 5 : 32).

Manusia senantiasa diharapkan untuk selalu melaksanakan perintah Allah

sebagai Kholifah/pemimpin di muka bumi ini. Sehingga beban dan tanggung jawab

untuk merawat bumi ini harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Tugas utama tersebut

jika dilihat dari ranah sosial adalah pemerintahan/negara. “Setiap kalian adalah

pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa

adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya (rakyatnya),” (H.R.

Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar).

Dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, Allah telah memberikan hadiah

yang terbesar bagi bangsa dan negara yaitu kemerdekaan Indonesia. Negara yang

telah kita rasakan, tumbuh di dalamnya, dan kita cintai bersama. Namun tragedi besar

dan telah terjadi terhadap umat Islam sebagai bagian dari negara tepatnya pada tahun

1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara menjadi catatan gelap bagi sejarah negara.

Sebagai wilayah pinggir laut di Ibu Kota Jakarta tentu saja Tanjung Priok adalah

kawasan yang sangat strategis mengingat terdapat pelabuhan besar yang bersejarah

bagi perjalanan negara. Namun pada tahun tersebut keadaan bangsa secara politik

mengalami keadaan yang mencekam (Setelah GS30 PKI).

Pemerintahan Indonesia dikuasai rezim militer yang sangat menekankan pada

stabilitas politik dan keamanan terhadap negara. Kala itu negara sedang menggodok
dan memaksa penerapan asas tunggal Pancasila dalam berkehidupan bernegara.

Dimana hal-hal yang berbau Islam akan dicap sebagai ekstrem kanan atau subversif

terhadap pemerintahan orde baru. Di era tersebut hal-hal yang berbau Islam seperti

Jilbab dan buku-buku Islami dilarang dan di awasi peredaranya dengan ketat.

➢ Tragedi Tanjung Priok

Permainan intelejen kala itu memang sangat gencar untuk melawan Umat

Islam. Mulai dari isu “ Komando Jihad”, Pelemahan politik umat Islam dengan

ditolaknya Parmusi (Partai Muslim Indonesia), Istilah Ekstrem Kanan, dan lain

sebagainya. Pemerintahan kala itu yang dipimpin oleh Soeharto sangatlah jauh dari

tokoh-tokoh Islam bahkan sangat dekat dengan tokoh-tokoh anti Islam seperti Ali

Murtopo kemudian dilanjutkan oleh Jendral LB Moerdani seorang Katolik ekstrem

yang sangat benci dengan Islam dalam berbagai aspek. LB Moerdani melarang

pengucapan “Assalamualikum” di wilayah militer dan pengunaan jilbab oleh Istri

para pejabat militer. Beliau adalah pentolan Centre for Strategic and International

Studies (CSIS) sebagai dalang dibalik gerak-gerik jaman Orde Baru. Kronologi-

kronologi peristiwa tercatat dalam catatan pembelaan yang berjudul “Musuh-musuh

Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia” oleh Mata Ust. Abdul

Qadir Djaelani sebagai ulama yang dituduh salah satu dalang dalam tragedi Tanjung

Priok.

➢ Kronologi-Kronologi

Pada jaman inilah kekuatan tentara sangatlah kuat di dalam proses intervensi

terhadap masyarakat. Kala itu Tanjung Priok telah ditargetkan sebagai operasi
intelejen yang akan semakin menyudutkan umat Islam. Berseberangan dengan masjid

Al-Hidayah yang ada di Tanjung Priok telah dirikan bioskop tugu yang sering

memutar film maksiat sebagai alat pemancing emosi warga.

Bioskop Tugu paska bentrokan Tanjung Priok

Kemudian adanya pelecehan oleh Babinsa sersan satu yang bernama Harmanu

yang beragama Katolik telah menyinggung umat Islam. Dia masuk ke Musholla As-

sa’adah yang berada di Gang IV Koja tanpa melepaskan alas kaki untuk

memerintahkan pamflet yang berisikan jadwal kajian dan informasi problematika

umat yang penting seperti adanya protes larangan menggunakan jilbab dan lain

sebagainya untuk segera dicabut. Kejadian tersebut berlangsung pada tanggal 8

September 1984. Kala itu daerah-daerah lain selain Tanjung Priok sangat diawasi

dalam dakwah keagamaan, namun di daerah Tanjung Priok tidak diawasi dengan

sepenuhnya. Jaring Intelejen telah disebar didaerah Tanjung Priok oleh pihak militer

sebagai hantaman terhadap umat Islam. M.Natsir dan Syarifudin Prawiranegara yang
kala itu masih hidup telah memperingatkan bahaya kepada para ulama-ulama untuk

tidak masuk dalam jebakan politik di Tanjung Priok.

Pada hari selanjutnya informasi mengani tragedi tersebut segera menyebar

seantero Tanjung Priok bahwa telah ada pelecehan oleh pihak militer terhadap

mushola, bahwa ada oknum militer masuk tanpa melepaskan alas kaki dan menyirap

pamflet mushola dengan air comberan. Pada hari berikutnya tepatnya pada tanggal 10

September 1984 dua oknum koramil yang telah melaksanakan aksi pelecehan tersebut

berpapasan dengan warga jamaah Mushala as-Sa’adah Tanjung Priok. Dengan emosi

warga tersebut adu mulut dengan anggota koramil tersebut ditengah jalan.

Namun dapat dilerai oleh Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman dua orang

takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan Musholla As-sa’adah. Dua

anggota koramil tersebut akhirnya dibawa ke Masjid Baitul Makmur yang berada di

RW 05 untuk membahas penyelesaian pertikaian tersebut agar tidak berlarut-larut.

Namun ternyata pihak militer tidak mau berdamai. Keadaan disekitarnya ternyata

sudah tidak kondusif mengingat masyarakat sudah marah besar. Akhirnya kerusuhan
pecah dimana motor salah satu oknum militer dibakar masa yang tak bertanggung

jawab dengan maksud menumpahkan segala kekesalan terhadap tragedi yang telah

terjadi. Akhirnya para aparat Kodim yang dibantu oleh Koramil menangkap 4 orang

yaitu Syarifuddin Rambe, Sofyan Sulaiman, Ahmad Sahi sebagai pengurus Musholla

As-sa’adah, dan Mohammad Nur yang dituduh sebagai dalang pembakar motor.

Namun tindakan Harmanu yang telah melecehkan mushola tidak pernah di usut oleh

pemerintah dan militer.

Pada hari selasa tanggal 11 September 1984 massa yang telah kehilangan

kesabaran mengunjungi salah satu tokoh yang terkenal yaitu Amir Biki untuk

membebaskan 4 warga yang ditangkap aparat tersebut. Amir Biki diharapkan dapat

menjadi mediator dalam penyelesaian kasus tersebut karena beliau terkenal

kedekatannya dengan pihak militer dan pemerintahan dalam penyelesaian berbagai

masalah di Tanjung Priok. Amir Biki sebagai pimpinan Posko 66 diharapkan sebagai

penengah antara pihak masyarakat dan militer. Amir Biki akhirnya menuruti

permintaan warga dan segera menghubungi pihak militer untuk melobi agar dapat

membebaskan 4 tahanan namun usahanya gagal.


Amir Biki

Sehari setelahnya pada tanggal 12 September 1984 telah diagendakan pengajian

remaja Islam jauh hari sebelum kejadian bentrokan dengan pihak militer di Jalan

Sindang Raya, lorong 102 pada pukul 20.00 WIB. Pengajian tampak berbeda karena

warga yang berjumlah ribuan sudah sangat marah akibat perlakuan pihak militer

terhadap penangkapan 4 warga Tanjung Priok dan pelecehan di Mushola As-Sa’adah

beberapa hari sebelumnya. Sehingga warga meminta Amir Biki untuk mengisi

pengajian dan menjelaskan usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga

Amir Biki yang tidak pernah menjadi mubaligh dalam acara pengajian mengisi

ceramahnya yang berisi seruan, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita

meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes

pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak

membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak

dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”


Amir Biki mengultimatum kepada pemerintah agar membebaskan para

tahanan paling lambat pukul 23.00 WIB malam itu juga. Sehingga jika tidak

terpenuhi tuntutan tersebut akan menggerakkan masa untuk melaksanakan

demonstrasi besar-besaran di Kodim maupun Polres. Usai pengajian selesai 1500-an

massa demontran berkumpul untuk melaksanakan aksi protes. Dari masa tersebut

dibagi menjadi dua, yang pertama menuju ke Kodim dan yang kedua menuju ke

Polres. Amir Biki menginstruksikan kepada para demonstran untuk tetap menjaga diri

dari sikap yang malah merugikan diri sendiri seperti memancing keributan dan

merusak dalam masa perjalanan.

Kelompok Pertama : Menuju Polres

Dalam perjalanan menuju polres kelompok pedemo pertama pada jarak 200

meter sebelum sesampainya di polres, para demonstran dihadang oleh pihak militer

dengan seragam loreng-loreng dengan membentuk baris pagar betis dengan senjata

api otomatis yang telah siap untuk digunakan. Massa sadar bahwa mereka telah

dikepung oleh pihak militer dari berbagai arah. Massa kala itu memang tampak

tenang tanpa adanya gerak-gerik yang berarti. Hanya dengan semangat dan teriakan

pekik takbir yang seringkali dikeluarkan oleh massa. Kemudian pimpinan militer

menginstruksikan kepada anggotanya untuk mundur dengan aba-aba suara“ Mundur-

Mundur”. Tentara kemudian mundur dua kali langkah dan tanpa adanya dialog

dengan massa, tentara langsung memberondong massa hingga selang waktu kira-kira

20-30 menit. Lampu-lampu jalan kala itu tiba-tiba mati. Massa kala itu yang

berjumlah ratusan panik serta mencoba untuk melarikan diri, namun banyak yang
langsung tewas seketika terkena terjangan peluru tajam. Tentara yang tidak memiliki

ampun terus menembaki massa yang telah banyak sekarat di jalanan.

Tentara menyisir setiap mayat agar memastikan tidak ada yang masih hidup.

Massa yang masih hidup mencoba berdiri dan melarikan diri namun ditembaki oleh

tentara. Kemudian datang konvoi dua truk militer beroda sepuluh dari arah pelabuhan

yang penuh dengan para tentara didalamnya menabarak dan melindas para korban

yang belum sempat melarikan diri yang sedang tiarap di pinggir jalan. Suara jeritan

terdengar keras di jalanan karena lindasan truk oleh jamaah yang masih hidup dan

bersembunyi di parit-parit jalan. Kemudian dari atas truk tentara menembaki jamaah

yang dirasa masih hidup. Kemudian mayat-mayat maupun orang yang terluka yang

berserakan di jalan di ambil dan di masukan dalam truk. Serta adanya mobil

pemadam kebakaran yang langsung mnyiram darah yang ada di jalanan. Sebagian

jamaah yang terluka dapat melarikan diri.

Para korban dibawa kerumah sakit tentara Gatot Subroto. Rumah sakit di

Jakarta selain Rumah Sakit Tentara waktu itu dilarang menerima korban Tanjung

Priok. Salah satu saksi mata yang masih hidup yaitu Yusron Zaenuri, kala itu beliau

ikut dimasukkan dalam truk bersama dengan 30-40 mayat-mayat. Beliau dapat

selamat karena pura-pura mati. Ketika sesampainya di rumah sakit Yusron berteriak

meminta tolong dari tetumpukan mayat, para perawat segera memindahkan beliau

dari ruang mayat ke ruang lain. Pada jam 21.00 tepatnya di (TPU) Mengkok

Sukapura Cilincing terdapat beberapa tentara yang sangat menjaga kawasan tersebut.

sehingga kecurigaan para jasad di kuburkan di komplek TPU tersebut. Setelah

tuntutan para keluarga korban dan pihak aktivis kemanusiaan terhadap pemerintah
semakin kuat. Akhirnya menggali di TPU berhasil pada tahun 1998. Penggalian

tersebut menemukan beberapa kerangka manusia yang diduga sebagai jasad korban

tragedi Tanjung Priok.

Kelompok Kedua : Menuju Kodim

Kemudian pada rombongan kedua dipimpin langsung oleh Amir Biki yang

menuju ke Kodim. Jarak demonstran dengan Kodim kira-kira 15 meter dan

didepannya telah dihadap oleh barisan militer. Dari para rombongan tersebut yang

diperbolehkan untuk masuk hanya 3 termasuk Amir Biki. Setelah tiga orang tersebut

maju menuju Kodim, tiba-tiba berondongan peluru ditujukan kepada mereka. Tiga

orang tersebut otomatis langsung syahid termasuk Amir Biki. Rombongan pendemo

yang dibelakang panik dan segera melarikan diri namun militer memberondong

peluru yang menewaskan puluhan rombongan. Kasus Tanjung Priok sebenarnya

dapat dicegah dengan baik oleh pihak berwenang pasalnya pada kejadian sebelumnya

tepatnya pada tanggal 12 September 1984 pukul 10.00 WIB telah terjadi lobi oleh
Amir Biki di kantor Satgas Intel Jaya untuk menyelesaikan masalah 4 tahanan

tersebut. Jenderal LB Moerdani sebagai Jendral ABRI seharusnya dapat mencegah

tragedi tersebut yang telah banyak menewaskan ratusan orang. Karena dalam

beberapa waktu di media massa sering melontarkan bahwa kemampuan aparat sangat

mudah mencegah berbagai konflik di Indonesia.

Tragedi Tanjung Priok menurut Pemerintah

• Try Sutrisno (Kiri) sebagai Laksusda Kopkamtib Mayjen Try Sutrisno, LB Moerdani

(Tengah) sebagai Panglima Kopkamtib Jenderal TNI, Harmoko (Kanan sebelah LB

Moerdani) sebagai Menteri Penerangan, dan Kepala Polda Metro Jaya Mayjen (Pol)

Soedjoko (Paling kanan) dalam penjelasan kepada pers pasca tragedi Tanjung Priok.

Menurut versi pemerintah yang dipublikasikan oleh LB Moerdani setelah 10

jam paska tragedi tersebut bermula pada tanggal 10 September 1984. Dua petugas
keamanan yang kebetulan dari militer yang dihadang oleh warga Tanjung Priok dan

kemudian motornya dibakar oleh massa. Kemudian petugas menangkap 4 petugas

yang terlibat atas permasalahan tersebut. Kemudian pada tanggal 12 September 1984

adanya pengajian tanpa izin dan bersifat menghasut diselenggarakan oleh warga

Tanjung Priok dan di isi oleh Amir Biki, Syarifin Maloko, dan M. Nasir. Dimana isi

ceramahnya juga menuntut pemerintahan untuk membebaskan 4 tahanan yang

ditahan. Kemudian setelah pengajian selesai para demontran dibentuk dan berkumpul

untuk menuju ke Polres dan Kodim sebanyak 1500-an orang.

Kemudian ketika di Polres warga yang kala itu ingin menerobos barisan

militer yang sedang berjaga diluar Polres melakukan tembakan peringatan yang

arahkan di tanah dan kaki demonstran namun tidak dihiraukan. Massa kemudian

mundur karena ditambahinya petugas keamanan. Para demonstran marah dan

merusak mobil, rumah, dan Apotek yang mengakibatkan korban tewas. Massa

semakin beringas datang kembali ke Polres sambil ada yang membawa celurit.

Akhirnya tentara menembaki para demonstran yang kala itu dirasa sudah sangat

membahayakan bagi militer karena berusaha merebut senjata milik tentara. Total

korban tewas menurut pemerintah Yaitu sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53

orang. Namun Sontak (Solidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) merilis bahwa

korban tewas akibat tragedi tersebut sebanyak 400 orang.

Akibat pernyataan pemerintah yang dirasa tidak sesuai dengan kejadian yang

nyata, maka tokoh-tokoh Islam nasional melaksanakan penandatanganan Lembar

Putih 22 oleh Tokoh-tokoh Syafrudin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Anwar

Harjono, AM Fatwa, Hoegeng, Ali Sadikin, dan HR Dharsono. Banyak sekali korban
yang terluka atau yang masih hidup pasca tragedi Tanjung Priok banyak yang

ditangkap dan disiksa untuk menyatakan kesaksian palus sebagai dalang bentrokan.

Banyak pula tokoh-tokoh Lembar Putih 22 yang ditangkap seperti AM Fatwa, Letjen

HR Dharsono, Salim Kadir, Prof. Oesmany Al Hamidi, dan Abdul Qadir Djaelani.

Mereka ditangkap dengan dugaan dan pengadilan dengan vonis berat dan sesat.

Dimana banyak sekali keluarga yang kehilangan anggotanya yang ikut

demontrasi pada tragedi tersebut. Keluarga banyak yang mencari jasad-jasad korban

yang hilang paska tragedi tersebut. Belum lagi adanya penangkapan orang-orang

yang terduga terlibat tanpa adanya penyelidikan dalam tragedi Tanjung Priok untuk

disiksa dan diskriminasi terhadap keluarga korban baik dalam bidang ekonomi,

sosial, dan pendidikan yang sangat dikengkang terutama kepada anak-anak korban.

Sehingga anak-anak hidup berat tanpa tanggungan pekerjaan akibat meninggalnya

kakak atau bapaknya sebagai tulang punggung ekonomi utama keluarga serta tidak

mendapatkan pendidikan secara memadai akibat tidak cukup biaya.

Proses Hukum Tragedi Tanjung Priok

Penegakan hukum atas tragedi Tanjung Priok dirasa sangat kurang berpihak

bagi keluarga korban. Tidak adanya penahanan terhadap pihak militer yang terlibat

dalam kasus seperti Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar. Serta

menghapus nama LB Moerdani (meninggal tahun 2004) dan Try Sutrisno. Pada tahun

2006 mahkamah Agung akhirnya memberikan pembebasan hukum terhadap pihak-

pihak yang harusnya bertanggung jawab. Selain itu kejaksaan tidak menindak secara

serius tuntutan korban yang diajukan atas kejahatan kemanusian dengan hanya

mengunakan pidana umum yang berbasis KUHAP. Negara kala itu juga tidak
menindak secara politik dimana pemerintah tidak secara serius melihat akar persoalan

yang terjadi atas tragedi di pengadilan HAM.

Dewi Wardah istri Amir Biki Peringatan 17 tahun tragedi Tanjung Priok 2001

Pengadilan tidak berjalan dengan baik karena banyak terjadi penyogokan atas

persidangan tersebut. Pengadilan juga gagal membuka tabir sejarah yang sebenarnya

dimana masih banyak dari keluarga korban yang masih mencari korban yang hilang,

banyak keluarga yang menderita baik secara fisik seperti cacat, harta benda untuk

mengobati korban, dan stigma buruk terhadap keluarga korban. Ganti rugi kepada

keluarga tidak dibayarkan secara adil dan menyeluruh. Para korban tetap

melaksanakan tuntutan setelah persidangan 2006 yaitu penegakan hukum terhadap

tersangka dan ganti rugi. Usaha yang dilakukan yaitu melalui Pengadilan Negeri pada

28 Februari 2007 untuk menuntut ganti rugi. Kala itu pengadilan negeri dipimpin

oleh hakim tunggal yaitu Martini Marjan. Martini Marjan menolak mentah-mentah

tuntutan para korban. Hakim menolak persaksian saksi atas fakta penderitaan yang

dialami korban.

Kesimpulan
Dalam beberapa sejarah yang telah dialami kaum muslin seperti contoh

Tragedi Tanjung Priok kurang ditanggapi bahkan cenderung adanya upaya untuk

melupakan sejarah tersebut secara sistemik. Seharusnya kejadian tersebut masuk

dalam kurikulum sejarah anak-anak sekolah seperti sejarah GS30-PKI. Karena

kejahatan kemanusian yang besar dan sistemik terhadap masyarakat sipil. Terbukti

jika kita lihat kasus GS30PKI atau Bom Bali akan lebih dapat diakses dan dipahami

oleh banyak kalangan. Jika umat Islam diduga sebagai tersangka korupsi atau teroris

maka akan sangat gencar dalam pemberitaan di media nasional. Namun beda

ceritanya jika umat muslim yang jadi korban pasti kurang mendapatkan sorotan.

Seperti korban keganasan PKI terhadap umat muslim 1948 di Madiun, Tragedi

Tanjung Priok dan Talang Sari, korban pembantaian warga muslim maluku oleh

milisi Kristen, pembakaran masjid tolikara, dan de-Islamisasi sejarah umat Islam.

Upaya-upaya tersebut sesungguhnya telah lama ada bahkan sejak jaman kolonial

Belanda untuk menghabisi politik Islam. Sehingga solusi sebagai umat Islam yaitu

memperkokoh barisan umat Islam dan harus memiliki media Massa yang besar dan

kuat sebagai corong aspirasi umat baik dalam bentuk Televisi, Koran, Majalah,

Radio, dan Webset.


Daftar Pustaka

Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta

Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008 (Santosa, 2008:170).

KH Saifuddin Zuhri. Isyu “Komando Jihad” dan “Negara Islam” dalam Unsur
Politik dalam Da’wa. Al Ma’arif: Bandung, 1982.

Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998. Tanjung Priok Berdarah
Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta: Gema Insani Press

S.D., Subhan dan Gunawan, F.X. Rudy (ed). 2004. Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada
Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok. Jakarta: Gagas Media dan Kontras.
Fatwa, A.M. 1999. Dari Mimbar ke Penjara: Suara Nurani Pencari Keadilan dan
Kebebasan. Bandung: Mizan

Anda mungkin juga menyukai