Media Massa adalah alat yang penting bagi tersebarnya informasi baik dalam
bentuk berita dan hiburan melalui TV, Koran, Radio, maupun Internet. Di jaman
sekarang sangatlah mudah untuk mengakses berita. Media massa dapat juga menjadi
kekuatan politik yang hebat. Penggiringan opini dalam pemilihan presiden 2014 telah
terbukti membuat banyak masyarakat terpecah menjadi dua kubu. Itupun salah
satunya karena adanya faksi-faksi televisi yang berkepentingan akan politik. Begitu
juga berita yang selalu miring terhadap umat Islam seperti munculnya ISIS, tragedi
Bom Bali, WTC, dan lain sebagainya, dikaitkan dengan agama Umat Islam sebagai
agama kekerasan. Banyak yang terpengaruh bahkan ikut mencaci Agama Islam baik
secara langsung maupun tidak langsung mengenai konsep Jihad, poligami, dan
lainnya tanpa menelisik apakah berita tersebut adalah palsu atau rekayasa intelejen
dalam pelemahan umat Islam. Akhirnya umat sendiri menjadi phobia atau ketakutan
baik. Salah satunya yaitu adanya Tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984 yang telah
menewaskan ratusan warga Tanjung Priok. Pertumpahan darah yang terjadi tanpa
adanya alasan yang jelas, akan membawa kerusakan yang besar bagi kehidupan
manusia dan dosa yang besar terjadi di atasnya. “Barang siapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
(QS. 5 : 32).
sebagai Kholifah/pemimpin di muka bumi ini. Sehingga beban dan tanggung jawab
untuk merawat bumi ini harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Tugas utama tersebut
jika dilihat dari ranah sosial adalah pemerintahan/negara. “Setiap kalian adalah
yang terbesar bagi bangsa dan negara yaitu kemerdekaan Indonesia. Negara yang
telah kita rasakan, tumbuh di dalamnya, dan kita cintai bersama. Namun tragedi besar
dan telah terjadi terhadap umat Islam sebagai bagian dari negara tepatnya pada tahun
1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara menjadi catatan gelap bagi sejarah negara.
Sebagai wilayah pinggir laut di Ibu Kota Jakarta tentu saja Tanjung Priok adalah
kawasan yang sangat strategis mengingat terdapat pelabuhan besar yang bersejarah
bagi perjalanan negara. Namun pada tahun tersebut keadaan bangsa secara politik
stabilitas politik dan keamanan terhadap negara. Kala itu negara sedang menggodok
dan memaksa penerapan asas tunggal Pancasila dalam berkehidupan bernegara.
Dimana hal-hal yang berbau Islam akan dicap sebagai ekstrem kanan atau subversif
terhadap pemerintahan orde baru. Di era tersebut hal-hal yang berbau Islam seperti
Jilbab dan buku-buku Islami dilarang dan di awasi peredaranya dengan ketat.
Permainan intelejen kala itu memang sangat gencar untuk melawan Umat
Islam. Mulai dari isu “ Komando Jihad”, Pelemahan politik umat Islam dengan
ditolaknya Parmusi (Partai Muslim Indonesia), Istilah Ekstrem Kanan, dan lain
sebagainya. Pemerintahan kala itu yang dipimpin oleh Soeharto sangatlah jauh dari
tokoh-tokoh Islam bahkan sangat dekat dengan tokoh-tokoh anti Islam seperti Ali
yang sangat benci dengan Islam dalam berbagai aspek. LB Moerdani melarang
para pejabat militer. Beliau adalah pentolan Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) sebagai dalang dibalik gerak-gerik jaman Orde Baru. Kronologi-
Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia” oleh Mata Ust. Abdul
Qadir Djaelani sebagai ulama yang dituduh salah satu dalang dalam tragedi Tanjung
Priok.
➢ Kronologi-Kronologi
Pada jaman inilah kekuatan tentara sangatlah kuat di dalam proses intervensi
terhadap masyarakat. Kala itu Tanjung Priok telah ditargetkan sebagai operasi
intelejen yang akan semakin menyudutkan umat Islam. Berseberangan dengan masjid
Al-Hidayah yang ada di Tanjung Priok telah dirikan bioskop tugu yang sering
Kemudian adanya pelecehan oleh Babinsa sersan satu yang bernama Harmanu
yang beragama Katolik telah menyinggung umat Islam. Dia masuk ke Musholla As-
sa’adah yang berada di Gang IV Koja tanpa melepaskan alas kaki untuk
umat yang penting seperti adanya protes larangan menggunakan jilbab dan lain
September 1984. Kala itu daerah-daerah lain selain Tanjung Priok sangat diawasi
dalam dakwah keagamaan, namun di daerah Tanjung Priok tidak diawasi dengan
sepenuhnya. Jaring Intelejen telah disebar didaerah Tanjung Priok oleh pihak militer
sebagai hantaman terhadap umat Islam. M.Natsir dan Syarifudin Prawiranegara yang
kala itu masih hidup telah memperingatkan bahaya kepada para ulama-ulama untuk
seantero Tanjung Priok bahwa telah ada pelecehan oleh pihak militer terhadap
mushola, bahwa ada oknum militer masuk tanpa melepaskan alas kaki dan menyirap
pamflet mushola dengan air comberan. Pada hari berikutnya tepatnya pada tanggal 10
September 1984 dua oknum koramil yang telah melaksanakan aksi pelecehan tersebut
berpapasan dengan warga jamaah Mushala as-Sa’adah Tanjung Priok. Dengan emosi
warga tersebut adu mulut dengan anggota koramil tersebut ditengah jalan.
Namun dapat dilerai oleh Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman dua orang
takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdekatan dengan Musholla As-sa’adah. Dua
anggota koramil tersebut akhirnya dibawa ke Masjid Baitul Makmur yang berada di
Namun ternyata pihak militer tidak mau berdamai. Keadaan disekitarnya ternyata
sudah tidak kondusif mengingat masyarakat sudah marah besar. Akhirnya kerusuhan
pecah dimana motor salah satu oknum militer dibakar masa yang tak bertanggung
jawab dengan maksud menumpahkan segala kekesalan terhadap tragedi yang telah
terjadi. Akhirnya para aparat Kodim yang dibantu oleh Koramil menangkap 4 orang
yaitu Syarifuddin Rambe, Sofyan Sulaiman, Ahmad Sahi sebagai pengurus Musholla
As-sa’adah, dan Mohammad Nur yang dituduh sebagai dalang pembakar motor.
Namun tindakan Harmanu yang telah melecehkan mushola tidak pernah di usut oleh
Pada hari selasa tanggal 11 September 1984 massa yang telah kehilangan
kesabaran mengunjungi salah satu tokoh yang terkenal yaitu Amir Biki untuk
membebaskan 4 warga yang ditangkap aparat tersebut. Amir Biki diharapkan dapat
masalah di Tanjung Priok. Amir Biki sebagai pimpinan Posko 66 diharapkan sebagai
penengah antara pihak masyarakat dan militer. Amir Biki akhirnya menuruti
permintaan warga dan segera menghubungi pihak militer untuk melobi agar dapat
remaja Islam jauh hari sebelum kejadian bentrokan dengan pihak militer di Jalan
Sindang Raya, lorong 102 pada pukul 20.00 WIB. Pengajian tampak berbeda karena
warga yang berjumlah ribuan sudah sangat marah akibat perlakuan pihak militer
beberapa hari sebelumnya. Sehingga warga meminta Amir Biki untuk mengisi
Amir Biki yang tidak pernah menjadi mubaligh dalam acara pengajian mengisi
ceramahnya yang berisi seruan, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita
meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes
pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak
tahanan paling lambat pukul 23.00 WIB malam itu juga. Sehingga jika tidak
massa demontran berkumpul untuk melaksanakan aksi protes. Dari masa tersebut
dibagi menjadi dua, yang pertama menuju ke Kodim dan yang kedua menuju ke
Polres. Amir Biki menginstruksikan kepada para demonstran untuk tetap menjaga diri
dari sikap yang malah merugikan diri sendiri seperti memancing keributan dan
Dalam perjalanan menuju polres kelompok pedemo pertama pada jarak 200
meter sebelum sesampainya di polres, para demonstran dihadang oleh pihak militer
dengan seragam loreng-loreng dengan membentuk baris pagar betis dengan senjata
api otomatis yang telah siap untuk digunakan. Massa sadar bahwa mereka telah
dikepung oleh pihak militer dari berbagai arah. Massa kala itu memang tampak
tenang tanpa adanya gerak-gerik yang berarti. Hanya dengan semangat dan teriakan
pekik takbir yang seringkali dikeluarkan oleh massa. Kemudian pimpinan militer
Mundur”. Tentara kemudian mundur dua kali langkah dan tanpa adanya dialog
dengan massa, tentara langsung memberondong massa hingga selang waktu kira-kira
20-30 menit. Lampu-lampu jalan kala itu tiba-tiba mati. Massa kala itu yang
berjumlah ratusan panik serta mencoba untuk melarikan diri, namun banyak yang
langsung tewas seketika terkena terjangan peluru tajam. Tentara yang tidak memiliki
Tentara menyisir setiap mayat agar memastikan tidak ada yang masih hidup.
Massa yang masih hidup mencoba berdiri dan melarikan diri namun ditembaki oleh
tentara. Kemudian datang konvoi dua truk militer beroda sepuluh dari arah pelabuhan
yang penuh dengan para tentara didalamnya menabarak dan melindas para korban
yang belum sempat melarikan diri yang sedang tiarap di pinggir jalan. Suara jeritan
terdengar keras di jalanan karena lindasan truk oleh jamaah yang masih hidup dan
bersembunyi di parit-parit jalan. Kemudian dari atas truk tentara menembaki jamaah
yang dirasa masih hidup. Kemudian mayat-mayat maupun orang yang terluka yang
berserakan di jalan di ambil dan di masukan dalam truk. Serta adanya mobil
pemadam kebakaran yang langsung mnyiram darah yang ada di jalanan. Sebagian
Para korban dibawa kerumah sakit tentara Gatot Subroto. Rumah sakit di
Jakarta selain Rumah Sakit Tentara waktu itu dilarang menerima korban Tanjung
Priok. Salah satu saksi mata yang masih hidup yaitu Yusron Zaenuri, kala itu beliau
ikut dimasukkan dalam truk bersama dengan 30-40 mayat-mayat. Beliau dapat
selamat karena pura-pura mati. Ketika sesampainya di rumah sakit Yusron berteriak
meminta tolong dari tetumpukan mayat, para perawat segera memindahkan beliau
dari ruang mayat ke ruang lain. Pada jam 21.00 tepatnya di (TPU) Mengkok
Sukapura Cilincing terdapat beberapa tentara yang sangat menjaga kawasan tersebut.
tuntutan para keluarga korban dan pihak aktivis kemanusiaan terhadap pemerintah
semakin kuat. Akhirnya menggali di TPU berhasil pada tahun 1998. Penggalian
tersebut menemukan beberapa kerangka manusia yang diduga sebagai jasad korban
Kemudian pada rombongan kedua dipimpin langsung oleh Amir Biki yang
didepannya telah dihadap oleh barisan militer. Dari para rombongan tersebut yang
diperbolehkan untuk masuk hanya 3 termasuk Amir Biki. Setelah tiga orang tersebut
maju menuju Kodim, tiba-tiba berondongan peluru ditujukan kepada mereka. Tiga
orang tersebut otomatis langsung syahid termasuk Amir Biki. Rombongan pendemo
yang dibelakang panik dan segera melarikan diri namun militer memberondong
dapat dicegah dengan baik oleh pihak berwenang pasalnya pada kejadian sebelumnya
tepatnya pada tanggal 12 September 1984 pukul 10.00 WIB telah terjadi lobi oleh
Amir Biki di kantor Satgas Intel Jaya untuk menyelesaikan masalah 4 tahanan
tragedi tersebut yang telah banyak menewaskan ratusan orang. Karena dalam
beberapa waktu di media massa sering melontarkan bahwa kemampuan aparat sangat
• Try Sutrisno (Kiri) sebagai Laksusda Kopkamtib Mayjen Try Sutrisno, LB Moerdani
Moerdani) sebagai Menteri Penerangan, dan Kepala Polda Metro Jaya Mayjen (Pol)
Soedjoko (Paling kanan) dalam penjelasan kepada pers pasca tragedi Tanjung Priok.
jam paska tragedi tersebut bermula pada tanggal 10 September 1984. Dua petugas
keamanan yang kebetulan dari militer yang dihadang oleh warga Tanjung Priok dan
yang terlibat atas permasalahan tersebut. Kemudian pada tanggal 12 September 1984
adanya pengajian tanpa izin dan bersifat menghasut diselenggarakan oleh warga
Tanjung Priok dan di isi oleh Amir Biki, Syarifin Maloko, dan M. Nasir. Dimana isi
ditahan. Kemudian setelah pengajian selesai para demontran dibentuk dan berkumpul
Kemudian ketika di Polres warga yang kala itu ingin menerobos barisan
militer yang sedang berjaga diluar Polres melakukan tembakan peringatan yang
arahkan di tanah dan kaki demonstran namun tidak dihiraukan. Massa kemudian
merusak mobil, rumah, dan Apotek yang mengakibatkan korban tewas. Massa
semakin beringas datang kembali ke Polres sambil ada yang membawa celurit.
Akhirnya tentara menembaki para demonstran yang kala itu dirasa sudah sangat
membahayakan bagi militer karena berusaha merebut senjata milik tentara. Total
korban tewas menurut pemerintah Yaitu sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53
orang. Namun Sontak (Solidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) merilis bahwa
Akibat pernyataan pemerintah yang dirasa tidak sesuai dengan kejadian yang
Harjono, AM Fatwa, Hoegeng, Ali Sadikin, dan HR Dharsono. Banyak sekali korban
yang terluka atau yang masih hidup pasca tragedi Tanjung Priok banyak yang
ditangkap dan disiksa untuk menyatakan kesaksian palus sebagai dalang bentrokan.
Banyak pula tokoh-tokoh Lembar Putih 22 yang ditangkap seperti AM Fatwa, Letjen
HR Dharsono, Salim Kadir, Prof. Oesmany Al Hamidi, dan Abdul Qadir Djaelani.
Mereka ditangkap dengan dugaan dan pengadilan dengan vonis berat dan sesat.
demontrasi pada tragedi tersebut. Keluarga banyak yang mencari jasad-jasad korban
yang hilang paska tragedi tersebut. Belum lagi adanya penangkapan orang-orang
yang terduga terlibat tanpa adanya penyelidikan dalam tragedi Tanjung Priok untuk
disiksa dan diskriminasi terhadap keluarga korban baik dalam bidang ekonomi,
sosial, dan pendidikan yang sangat dikengkang terutama kepada anak-anak korban.
kakak atau bapaknya sebagai tulang punggung ekonomi utama keluarga serta tidak
Penegakan hukum atas tragedi Tanjung Priok dirasa sangat kurang berpihak
bagi keluarga korban. Tidak adanya penahanan terhadap pihak militer yang terlibat
dalam kasus seperti Sriyanto, Pranowo, Sutrisno Mascung dan RA. Butar-Butar. Serta
menghapus nama LB Moerdani (meninggal tahun 2004) dan Try Sutrisno. Pada tahun
pihak yang harusnya bertanggung jawab. Selain itu kejaksaan tidak menindak secara
serius tuntutan korban yang diajukan atas kejahatan kemanusian dengan hanya
mengunakan pidana umum yang berbasis KUHAP. Negara kala itu juga tidak
menindak secara politik dimana pemerintah tidak secara serius melihat akar persoalan
Dewi Wardah istri Amir Biki Peringatan 17 tahun tragedi Tanjung Priok 2001
Pengadilan tidak berjalan dengan baik karena banyak terjadi penyogokan atas
persidangan tersebut. Pengadilan juga gagal membuka tabir sejarah yang sebenarnya
dimana masih banyak dari keluarga korban yang masih mencari korban yang hilang,
banyak keluarga yang menderita baik secara fisik seperti cacat, harta benda untuk
mengobati korban, dan stigma buruk terhadap keluarga korban. Ganti rugi kepada
keluarga tidak dibayarkan secara adil dan menyeluruh. Para korban tetap
tersangka dan ganti rugi. Usaha yang dilakukan yaitu melalui Pengadilan Negeri pada
28 Februari 2007 untuk menuntut ganti rugi. Kala itu pengadilan negeri dipimpin
oleh hakim tunggal yaitu Martini Marjan. Martini Marjan menolak mentah-mentah
tuntutan para korban. Hakim menolak persaksian saksi atas fakta penderitaan yang
dialami korban.
Kesimpulan
Dalam beberapa sejarah yang telah dialami kaum muslin seperti contoh
Tragedi Tanjung Priok kurang ditanggapi bahkan cenderung adanya upaya untuk
kejahatan kemanusian yang besar dan sistemik terhadap masyarakat sipil. Terbukti
jika kita lihat kasus GS30PKI atau Bom Bali akan lebih dapat diakses dan dipahami
oleh banyak kalangan. Jika umat Islam diduga sebagai tersangka korupsi atau teroris
maka akan sangat gencar dalam pemberitaan di media nasional. Namun beda
ceritanya jika umat muslim yang jadi korban pasti kurang mendapatkan sorotan.
Seperti korban keganasan PKI terhadap umat muslim 1948 di Madiun, Tragedi
Tanjung Priok dan Talang Sari, korban pembantaian warga muslim maluku oleh
milisi Kristen, pembakaran masjid tolikara, dan de-Islamisasi sejarah umat Islam.
Upaya-upaya tersebut sesungguhnya telah lama ada bahkan sejak jaman kolonial
Belanda untuk menghabisi politik Islam. Sehingga solusi sebagai umat Islam yaitu
memperkokoh barisan umat Islam dan harus memiliki media Massa yang besar dan
kuat sebagai corong aspirasi umat baik dalam bentuk Televisi, Koran, Majalah,
Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta
KH Saifuddin Zuhri. Isyu “Komando Jihad” dan “Negara Islam” dalam Unsur
Politik dalam Da’wa. Al Ma’arif: Bandung, 1982.
Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998. Tanjung Priok Berdarah
Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta: Gema Insani Press
S.D., Subhan dan Gunawan, F.X. Rudy (ed). 2004. Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada
Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok. Jakarta: Gagas Media dan Kontras.
Fatwa, A.M. 1999. Dari Mimbar ke Penjara: Suara Nurani Pencari Keadilan dan
Kebebasan. Bandung: Mizan