Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan
negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya
Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan demikian Surat Perintah 11 Maret
(Supersemar) sebagai tonggak lahirnya Orde Baru. Usaha melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen menjadi tujuan utama
pembentukan pemerintahan Orde Baru. Namun, kehati-hatian pemerintah Orde
Baru terhadap bahaya komunis menyebabkan peran negara sangat besar dan
mendominasi kehidupan masyarakat. Akibatnya terjadi beberapa tragedi
memilukan, yang menelan korban jiwa. Salah satunya adalah Tragedi Tanjung
Priok 1984.
Hak Asasi Manusia adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang
menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara
teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. HAM
melekat pada setiap diri manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HAM?
2. Apa saja peraturan yang mengatur tentang pelanggaran HAM?
3. Bagaimana kronologi Tanjung Priok 1984?
4. Bagaimana pelanggaran HAM pada peristiwa Tanjung Priok 1984?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian HAM.
2. Untuk mengetahui peraturan yang mengatur tentang pelanggaran HAM.
3. Untuk menjelaskan kronologi Tragedi Tanjung Priok 1984.
4. Untuk mengetahui pelanggaran HAM pada peristiwa Tanjung Priok 1984.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian HAM
Berikut ini adalah beberapa pengertian mengenai Hak Asasi Manusia
menurut para ahli, antara lain:
 Menurut John Locke, HAM merupakan suatu hak yang diberikan langsung
oleh Tuhan yang bersifat kodrati. Artinya adalah hak yang dimiliki oleh
setiap manusia menurut kodratnya dan tidak dapat dipisahkan hakikatnya,
sehingga sifatnya adalah suci.
 Menurut Miriam Budiarjo, hak asasi manusia adalah hak yang harus
dimiliki pada setiap orang yang dibawa sjak lahir ke dunia dan menurut
Miriam Budiarjo hak tersebut memiliki sifat yang universal, hal ini karena
dimiliki tanpa adanya perbedaan ras suku, budaya, agama, kelamin, dan
sebagainya.
 Menurut Oemar Seno Adji, hak asasi manusia adalah hak yang melekat
pada setiap martabat manusia sebagai insan dari ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa yang memiliki sifat tidak boleh dilanggar oleh siapapun itu.
 Menurut Komnas HAM, HAM adalah hak asasi manusia yang mencakup
dari berbagai bidang kehidupan manusia, baik itu sipil, politik, sosial dan
kebudayaan, ataupun ekonomi. Bidang-bidang tersebut tidak dapat
dipisahkan antara satu dan yang lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak paling dasar
dan pokok yang dimiliki oleh manusia sejak ia lahir tanpa membedakan bangsa,
ras, suku, agama, dan jenis kelamin dan tidak dapat direnggut oleh orang lain.

B. Peraturan yang Mengatur tentang Pelanggaran HAM


1. Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang memungkinkan
HAM bersifat universal untuk seluruh umat manusia di dunia.
2. Konvensi Internasional, yang meliputi hak kebebasan mengeluarkan
pendapat, berkumpul, berserikat, beragama; hak kedudukan yang sama
dalam hukum; ha katas penghidupan yang layak; dan ha katas pengajaran.
3. UUD 1945 (pasal 27, 28 A- J, 29, 31, 32, 33, 34).
4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
5. Kepres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak
Anak.
6. UU No 8 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam.

C. Kronologi Tragedi Tanjung Priok 1984


Seperti semua tragedi lain yang tetap menyisakan air mata. Tanggal 12
September 1984 akan dikenang sebagai hari yang kelam dalam perjalanan bangsa
Indonesia. Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah,
jiwa yang melayang.
1. Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) yang salah satunya dikenal
beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu, tanpa membuka sepatu,
memasuki mushala As-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta
Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala
dengan air got/comberan bahkan ada yang menyebutkan Sersan Satu
Hermanu juga menginjak Al-Qur’an . Tindakan Sersan Hermanu sangat
menyinggung perasaan ummat Islam. Padahal pengumuman tadi hanya
berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.

2. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984


Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah
menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib
untuk menawarkan penyelesaian kepada jamaah kaum muslimin.

3. Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984


Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan
salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah
pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah
Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua
pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penengahan
sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak
ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas
Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim
sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4
orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.

4. Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984


Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang
diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan,
karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang
dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika
ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki
untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

5. Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984


Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja
Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada
peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya
tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak
pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian
kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk
naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir
Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita
meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita
protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu.
Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau
mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya,
Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang
merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang
dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah
pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju
Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kira 200 meter jaraknya, di situ
sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar
betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke
tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan
“mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar!
Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan
senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang
berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah
pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat
Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak,
“Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis
lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak
maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda
sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari
atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata
otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di
pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di
atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka
yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat
menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan
bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas
oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi
jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer
itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan
melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua
buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang
terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah
pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans
dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan
membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim
dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor
Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan
perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan
jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7
meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu
diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang
menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang
menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri
mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis.
Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid.
Kemudian, mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda
10, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju
Rumah Sakit Gatot Subroto. Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu
langsung dibawa ke kamar mayat.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung
Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib
Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya,
apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media
massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan
seawal mungkin.
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI,
Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18
orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari
fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK),
diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan
cacat. Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana
Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12
September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan
dengan aparat.
Sebenarnya sejak beberapa bulan sebelum tragedi, suasana Tanjung
Priok memang terasa panas. Tokoh-tokoh Islam menduga keras bahwa
suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh oknum-oknum tertentu
dipemerintahan yang memusuhi Islam. Terlebih lagi bila melihat yang
menjadi Panglima ABRI saat itu, Jenderal Leonardus Benny Moerdani,
adalah seorang Katholik yang sudah dikenal permusuhannya terhadap
Islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di
luar tanjung Priok. Sebab, di kawasan lain kota Jakarta sensor bagi para
mubaligh sangat ketat. Adanya rekayasa dan provokasi untuk memancing
ummat Islam dapat diketahui dari beberapa peristiwa lain sebelum itu,
misalnya dari pembangunan bioskop Tugu yang banyak memutar film
maksiat diseberang Masjid Al-Hidayah. Tokoh senior seperti M. Natsir dan
Syafrudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang
ke Tanjung Priok agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun seruan ini
rupanya tidak sampai kepada para mubaligh Priok. Dari cerita Syarifin
Maloko, ketua SONTAK dan mubaligh yang terlibat langsung peristiwa 12
September, ia baru mendengar adanya larangan tersebut setelah berada di
dalam penjara. Rekayasa dan pancingan ini tujuannya tak lain untuk
memojokkan Islam dan ummatnya di Indonesia.

D. Pelanggaran HAM pada Peristiwa Tanjung Priok 1984


Masalah yang terjadi di Tanjung Priok ini menjadi sebuah perhatian serius.
Pemerintah dinilai tak bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik dan
melanggar HAM. Dalam sebuah laporan investigasi Kasus Tanjung Priok
terbitan Kontras pada Maret 2000, Komisi Penyelidik Pemeriksa dan
Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) dibentuk. Pembentukan KP3T untuk
melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM karena mendapat tekanan yang
serius dari berbagai pihak untuk segera mengusut tuntas peristiwa tersebut.
Laporannya adalah terdapat sebuah kesewenang-wenangan dari pihak
aparat terhadap korban. Pihak aparat juga melakukan penangkapan dan
penahanan di luar proses hukum terhadap seseorang yang dicurigai ikut dalam
insiden tersebut. Selain itu, adanya penghilangan paksa juga terjadi selama selang
waktu tiga bulan sejak peristiwa 12 September 1984. Saat itu, korban ditangkap
dan ditahan secara semena-mena tanpa ada surat pemberitahuan kepada pihak
keluarga dan tanpa alasan yang jelas. Selain dalam penangkapan dan penahanan,
dalam persidangan juga diketemukan ketidakjujuran selama prosesi. Hasil dari
KP3T menyebutkan nama-nama yang terlibat dalam aksi pelanggaran HAM
tersebut, yaitu dari Babinsa, Kesatuan Arhanud, Koramil Koja, Polres Jakarta
Utara dan beberapa perwira tinggi selama kejadian itu. Karena termasuk
pelanggaran HAM berat, pemerintah diminta untuk menuntaskan kasus itu.
Kasus ini akhirnya dianggap sudah diselesaikan melalui proses mediasi dan
islah yang panjang.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seperti semua tragedi lain yang tetap menyisakan air mata. Tanggal 12
September 1984 akan dikenang sebagai hari yang kelam dalam perjalanan bangsa
Indonesia. Tragedi Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah,
jiwa yang melayang.
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI,
Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang
dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK
(SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400
orang tewas, belum terhirung yang luka-luka dan cacat. Tokoh-tokoh Islam
menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh
oknum-oknum tertentu dipemerintahan yang memusuhi Islam.

B. Saran
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus menjunjung tinggi
dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara murni, karena
dalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia itu sendiri. Salah
satunya adalah saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Hal ini
penting, agar tidak timbul konflik-konflik yang dapat berujung pada kejadian
yang menelan korban jiwa, apalagi kalau korban adalah orang yang tidak
bersalah.
DAFTAR PUSTAKA

Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data,
Yogyakarta: Gema Insani Press via

http://peristiwa-id.com/search/contoh-kasus-pelanggaran-ham-pada-masa-orde-
baru/

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/12/14471401/tragedi-tanjung-priok-
dari-provokasi-subversi-hingga-pelanggaran-ham?page=all.

Anda mungkin juga menyukai