Anda di halaman 1dari 15

TIGA KASUS PELANGGARAN HAM

1. PERISTIWA TANJUNG PRIOK


Tanggal 12 September 1984, tepat hari ini 35 tahun silam, adalah titi mangsa yang begitu
kelabu bagi umat muslim. Di Tanjung Priok, Jakarta Utara, darah tumpah. Dari percik
pemantik beberapa hari sebelumnya, polemik berpuncak pada tetesan darah pada 12
September 1984. Pecahlah kerusuhan yang melibatkan massa Islam dengan aparat
pemerintah Orde Baru (Orba). Korban tewas nyaris seluruhnya meregang nyawa lantaran
diterjang timah panas dari senapan tentara.

Pertumpahan darah sesama anak bangsa itu bermula dari penerapan Pancasila sebagai asas
tunggal yang mulai gencar digaungkan sejak awal 1980-an. Semua organisasi di bumi
Nusantara wajib berasaskan Pancasila, tidak boleh yang lain. Artinya, siapapun yang tidak
sejalan dengan garis politik rezim Orba maka layak dituduh sebagai anti-Pancasila (Tohir
Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi, 2015: 161).

A.Mereka yang Dituding Subversif


Di tengah suasana yang terkesan represif itu, terdengar kabar dari langgar kecil di pesisir
utara ibukota. Abdul Qadir Djaelani, seorang ulama sekaligus tokoh masyarakat Tanjung
Priok, disebut-sebut kerap menyampaikan ceramah yang dituding aparat sebagai provokatif
dan berpotensi mengancam stabilitas nasional.

Dari situlah kejadian berdarah itu bermula. Dalam eksepsi pembelaannya di pengadilan,
Abdul Qadir Djaelani menyampaikan kesaksian yang barangkali berbeda dengan versi
“resmi” pemerintah Orde Baru.

Selepas subuh usai peristiwa Tanjung Priok, Djaelani dijemput aparat untuk dihadapkan ke
meja hijau. Akhir 1985, pengadilan menjatuhkan vonis terhadap mantan Ketua Umum
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) itu. Djaelani dihukum penjara 18 tahun dengan
dakwaan telah melakukan tindak pidana subversi melalui ceramah, khotbah, dan tulisan-
tulisannya (Tempo, Volume 23, 1993:14).

Selain Djaelani, persidangan juga menyeret sejumlah tokoh cendekiawan Islam lainnya
seperti AM Fatwa, Tony Ardi, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, Hasan Kiat, dan
lainnya, yang dituding sebagai “aktor intelektual” bentrokan tersebut.

Setidaknya ada 28 orang yang diadili dalam rangkaian sidang yang berlangsung selama lebih
dari 3 bulan itu. Majelis hakim menyatakan seluruh tertuduh dinyatakan bersalah, dan
dijatuhi sanksi bui yang lamanya bervariasi, hingga belasan tahun seperti yang dikenakan
kepada Djaelani.
Djaelani sempat menyampaikan eksepsi pembelaannya di pengadilan, termasuk kronologi
yang mengiringi insiden berdarah Tanjung Priok pada 12 September 1984 itu. Kesaksian
Djaelani ini lalu diterbitkan dalam buku yang judulnya sama dengan judul eksepsi
pembelaannya di pengadilan (A.Q. Djaelani, Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif
terhadap Umat Islam Indonesia: Sebuah Pembelaan, 1985).

B.Pemantik Bentrok di Tanjung Priok


Dalam eksepsi pembelaannya, Djaelani menceritakan awal mula perselisihan warga kontra
aparat itu. Sabtu, 8 September 1984, dua Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Koramil
datang ke Musala As-Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok. Mereka memasuki area
tempat ibadah tanpa melepas sepatu dengan maksud mencopot pamflet yang dianggap berisi
ujaran kebencian terhadap pemerintah.

Djaelani menyebut kedua Babinsa itu memakai air comberan dari got untuk menyiram
pamflet tersebut. Dalam persidangan, hal ini diakui oleh Hermanu, salah seorang anggota
Babinsa pelakunya yang dihadirkan sebagai saksi, dengan dalih:

”… pamflet-pamflet itu ditulis dengan pilox yang tidak bisa dihapus dan tidak ada peralatan
di tempat itu untuk dipakai menghapusnya. Maka, tidak ada cara lain kecuali menyiramnya
dengan air comberan.” (Irfan S. Awwas, ed., Bencana Umat Islam di Indonesia Tahun 1980-
2000, 2000:30).

Kelakuan dua Babinsa ini segera menjadi kasak-kusuk di kalangan jemaah dan warga sekitar
kendati masih menahan diri untuk tidak langsung merespons secara frontal. Namun, tidak
pernah ada upaya nyata dari pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang untuk segera
menyelesaikan masalah ini secara damai sebelum terjadi polemik yang lebih besar.

Dua hari kemudian, masih dari penuturan Djaelani, terjadi pertengkaran antara beberapa
jemaah musala dengan tentara pelaku pencemaran rumah ibadah. Adu mulut itu sempat
terhenti setelah dua Babinsa itu diajak masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur
yang terletak tidak jauh dari musala. Namun, kabar telah terlanjur beredar sehingga
masyarakat mulai berdatangan ke masjid.

Situasi tiba-tiba ricuh karena salah seorang dari kerumunan membakar sepeda motor milik
tentara. Aparat yang juga sudah didatangkan segera bertindak mengamankan orang-orang
yang diduga menjadi provokator. Empat orang ditangkap, termasuk oknum pembakar motor.
Penahanan tersebut tak pelak membuat massa semakin kesal terhadap aparat.

Namun, kata Djaelani, masyarakat masih mencari cara agar persoalan ini tidak harus
melibatkan massa dalam jumlah besar. Keesokan harinya, tanggal 11 September 1984,
jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki untuk merampungkan permasalahan ini. Amir
Biki adalah tokoh masyarakat yang dianggap mampu memediasi antara massa dengan tentara
di Kodim maupun Koramil.
Massa Islam vs Aparat Negara
Amir Biki segera merespons permintaan jemaah itu dengan mendatangi Kodim untuk
menyampaikan tuntutan agar melepaskan 4 orang yang ditahan. Namun, ia tidak memperoleh
jawaban yang pasti, bahkan terkesan dipermainkan oleh petugas-petugas di Kodim itu
(Kontras, Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok, 2004:19).

Merasa dipermainkan, Amir Biki kemudian menggagas pertemuan pada malam harinya
untuk membahas persoalan serius ini. Para ulama dan tokoh-tokoh agama dimohon datang,
undangan juga disebarkan kepada umat Islam se-Jakarta dan sekitarnya. Forum umat Islam
itu dimulai pada pukul 8 malam dan berlangsung selama kurang lebih 3 jam.

Amir Biki sebenarnya bukan seorang penceramah. Namun, oleh jemaah yang hadir, ia
didesak untuk menyampaikan pidato dalam forum tersebut. Amir Biki pun naik ke mimbar
dan berseru:

“Kita meminta teman-teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes
pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela
kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita
harus memprotesnya!”

“Kita tidak boleh merusak apapun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan,
berarti itu bukan golongan kita,” lanjut Amir Biki mengingatkan para jemaah, seperti
dituturkan Abdul Qadir Djaelani dalam persidangan.

Lantaran permohonan pembebasan 4 tahanan itu tetap tidak digubris hingga menjelang
pergantian hari, maka paginya, 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak, sebagian
menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke arah Kodim yang berjarak tidak terlalu jauh,
hanya sekira 200 meter.

Kontroversi Jumlah Korban


Massa yang menuju Polres ternyata sudah dihadang pasukan militer dengan persenjataan
lengkap. Bahkan, tidak hanya senjata saja yang disiapkan, juga alat-alat berat termasuk
panser (Kontras, 2004: 20). Peringatan aparat dibalas takbir oleh massa yang terus
merangsek. Para tentara langsung menyambutnya dengan rentetan tembakan dari senapan
otomatis.

Korban mulai bergelimpangan. Ribuan orang panik dan berlarian di tengah hujan peluru.
Aparat terus saja memberondong massa dengan membabi-buta. Bahkan, seorang saksi mata
mendengar umpatan dari salah seorang tentara yang kehabisan amunisi. “Bangsat! Pelurunya
habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” (Tanjung Priok Berdarah: Tanggung Jawab Siapa?,
1998: 32).

Dari arah pelabuhan, dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang dengan
kecepatan tinggi. Tak hanya memuntahkan peluru, dua kendaraan berat itu juga menerjang
dan melindas massa yang sedang bertiarap di jalanan. Suara jerit kesakitan berpadu dengan
bunyi gemeretak tulang-tulang yang remuk. Pernyataan Djaelani di pengadilan mengamini
bahwa aksi brutal aparat itu memang benar-benar terjadi.

Kejadian serupa dialami rombongan pimpinan Amir Biki yang menuju Kodim. Aparat
meminta 3 orang perwakilan untuk maju, sementara yang lain harus menunggu. Ketika 3
perwakilan massa itu mendekat, tentara justru menyongsong mereka dengan tembakan yang
memicu kepanikan massa. Puluhan orang tewas dalam fragmen ini, termasuk Amir Biki
(Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, 2001: 56).

Tidak diketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun hilang,
dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta yang
sebenarnya. Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan
53 orang luka-luka dalam insiden tersebut (A.M. Fatwa, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung
Priok, 2005: 123).

Namun, pernyataan Panglima ABRI tersebut sangat berbeda dengan data dari Solidaritas
untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang juga didukung oleh kesaksian Djaelani.
Lembaga ini menyebut bahwa tidak kurang dari 400 orang tewas dalam tragedi berdarah itu,
belum termasuk yang luka dan hilang (Suara Hidayatullah, Volume 11, 1998: 67).

Presiden Republik Indonesia yang berkuasa kala itu, Soeharto, tampaknya tidak pernah
menyesalkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok 1984 itu. Dalam buku Soeharto: Pikiran,
Ucapan, dan Tindakan Saya yang terbit 4 tahun setelah insiden memilukan tersebut, sang
penguasa berucap:

“Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan
keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan
menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan.
Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan.”
2. TRAGEDI TRISAKTI
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap
mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini
menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya
luka.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998),
Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di
dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan
dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti ini juga digambarkan dengan
detail dan akurat oleh seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie D. Widowati dalam karyanya
berjudul Langit Merah Jakarta.

Latar belakang dan kejadian


Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia
sepanjang 1997-1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung
Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.

Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul
12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian.
Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.

Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat
keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para
mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di Universitas Trisakti. Namun
aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke Rumah
Sakit Sumber Waras.

Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9,
Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti
Huru Hara Kodam serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata,
Steyr, dan SS-1.

Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam
keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam,
hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru
tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Kronologi
 10.30 -10.45
o Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran
parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan
segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan
universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
 10.45-11.00
o Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang
yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta
mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda
keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
 11.00-12.25
o Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen,
karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan
lancar.
 12.25-12.30
o Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat
keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk
turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota
MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
 12.30-12.40
o Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang)
dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk
tetap tertib pada saat turun ke jalan.
 12.40-12.50
o Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju
Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
 12.50-13.00
o Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota
Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan
yang terdiri dua lapis barisan.
 13.00-13.20
o Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa
(Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan
komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres
Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk
terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan
satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat
mulai bergabung di samping long march.
 13.20-13.30
o Tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di mana long march tidak
diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan
dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya
tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak
pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa
(Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
 13.30-14.00
o Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai
mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang
tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi
membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang
tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
 14.00-16.45
o Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula
dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan
dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan
turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan
saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
o Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis
tersebut.
 16.45-16.55
o Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah
baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tetapi
setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta
ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
 16.55-17.00
o Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali
ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa
menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan
Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima
kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri
secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
o Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba
seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya
tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah
massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira
salah seorang anggota aparat yang menyamar.
 17.00-17.05
o Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa
mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat
dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala
kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa
dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan
negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing baik massa
mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
 17.05-18.30
o Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan
aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor
pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga
orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan
tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
o Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa
mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa
mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut
terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air
mata dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor,
penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi.
Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa
tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
o Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang
bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan
sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil
lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa
mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi
tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan
melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat
yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa
yang berlarian di dalam kampus.
o Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang
dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu
menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang
terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal
dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang
lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-
luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka tersebut
memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
o Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam
kampus.
 18.30-19.00
o Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu
mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda
menuju RS.
 19.00-19.30
o Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian
gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung
yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun
ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan
dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
 19.30-20.00
o Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari
ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan
mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan
Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan
syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang).
Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
 20.00-23.25
o Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh
korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
o Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh
pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.
 01.30
o Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro
Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin,
Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton
Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W
Soeharto.

3. KHASUS MUNIR
Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta di
dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah seorang
aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif
Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras,
namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa
itu. Saat itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari
Kopassus. Masa muda

Munir Said Thalib lahir di Malang, 8 Desember 1965. Ia merupakan anak keenam dari tujuh
bersaudara Said Thalib dan Jamilah.[2] Munir sempat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya dan mendapat gelar sarjananya. Selama menjadi mahasiswa, Munir dikenal sebagai
aktivis kampus yang sangat gesit. Ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Koordinator Wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum
Indonesia pada tahun 1989, anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir
Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum
Universitas Brawijaya pada tahun 1988, Sekretaris Al-Irsyad cabang Malang pada 1988, dan
menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Aktivitas
Munir mewujudkan keseriusannya dalam bidang hukum dengan cara melakukan
pembelaan-pembelaan terhadap sejumlah kasus, terutama pembelaannya terhadap kaum
tertindas. Ia juga mendirikan dan bergabung dengan berbagai organisasi, bahkan juga membantu
pemerintah dalam tim investigasi dan tim penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).

Beberapa kasus yang pernah ia tangani yaitu pada kasus Araujo yang dituduh sebagai
pemberontak melawan pemerintahan Indonesia untuk memerdekakan Timor timur dari Indonesia
pada 1992, kasus Marsinah (seorang aktivis buruh) yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994,
menjadi penasehat hukum warga Nipah, Madura, dalam kasus pembunuhan petani-petani oleh
militer pada tahun 1993, menjadi penasehat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan, dalam
kasus kerusuhan di PT.Cheil Samsung, dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan pada tahun 1995,
[3]
Penasehat hukum Muhadi (sopir) yang dituduh melakukan penembakan terhadap seorang
polisi di Madura, Jawa Timur pada 1994, penasehat hukum para korban dan keluarga Korban
Penghilangan Orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada tahun 1997
hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban pembantaian dalam tragedi Tanjung
Priok 1984 hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa
di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), penasehat hukum dan koordinator advokasi kasus-
kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, Papua, melalui Kontras. Termasuk beberapa kasus di
wilayah Aceh dan Papua yang dihasilkan dari kebijakan operasi Militer. Munir juga aktif di
beberapa kegiatan advokasi dalam bidang perburuhan, pertanahan, Lingkungan, Gender dan
sejumlah kasus pelanggaran hak sipil dan politik.Pada Tahun 2003, Munir bersikeras untuk ikut
dengan sejumlah aktivis senior dan aktivis pro demokrasi mendatangi DPR paska penyerangan
dan kekerasan yang terjadi di kantor Tempo, padahal ia masih diharuskan beristirahat oleh
dokter.

Pada tahun 2004, Munir juga bergabung dengan Tim advokasi SMPN 56 yang digusur
oleh Pemda. Selain itu, ia juga seorang yang aktif menulis di berbagai media cetak dan
elektronik yang berkaitan dengan tema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan kepolisian,
Politik dan perburuhan. Munir adalah sosok pemberani dan tangguh dalam meneriakkan
kebenaran. Ia adalah seorang pengabdi yang teladan, jujur, dan konsisten. Berkat pengabdiannya
itulah, ia mendapatkan pengakuan yang berupa penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri.
Di dalam negeri, ia dinobatkan sebagai Man Of The Year 1998 versi majalah UMMAT,
penghargaan Pin Emas sebagai Lulusan Universitas Brawijaya yang sukses, sebagai salah
seorang tokoh terkenal Indonesia pada abad XX, Majalah Forum Keadilan. Sementara di luar
negeri, ia dinobatkan menjadi As Leader for the Millennium dari Asia Week pada tahun 2000,
The Right Livelihood Award (Alternative Nobel Prizes) untuk promosi HAM dan kontrol sipil
atas militer, Stockholm pada Desember 2000, dan An Honourable Mention of the 2000
UNESCO Madanjeet Singh Prize atas usaha- usahanya dalam mempromosikan toleransi dan
Anti Kekerasan, Paris, November 2000.

Kematian
Kronologi Pembunuhan Munir
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot
Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor
kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya pada saat itu. Penerbangan menuju
Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004,
pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah
meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi
oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang
menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen
senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri
bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005,
tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari
Pembela HAM Indonesia.

Proses pengadilan bagi pihak terlibat


Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen
senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim
investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Purwoprandjono, ditangkap dengan dugaan kuat
bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir]. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah
padanya.Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial
dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah
diperiksa.

Karier
 Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
 Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (2001)
 Koordinator Badan Pekerja KONTRAS (16 April 1998-2001)
 Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998)
 Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI (1997)
 Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996)
 Direktur LBH Semarang (1996)
 Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995)
 Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993)
 Ketua LBH Surabaya Pos Malang
 Relawan LBH Surabaya (1989)
 Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang 1988.
 Koordinator IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia 1989.
 Anggota Forum Studi Mahasiswa untuk pengembangan berpikir, Unbraw 1988.
 Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Unbraw 1988.
 Sekretaris Al Irsyad cabang Malang 1988.
 Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
 Penasihat hukum warga Nipah, Madura dalam kasus pembunuhan petani oleh militer
1993.
 Penasihat hukum sebelas buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Sidoarjo teman Marsinah
yang diberhentikan secara paksa kepada perusahaan dan pihak Kodim melalui hukum
perdata.
 Penasihat hukum keluarga Marsinah yang dianiaya terlebih dahulu sebelum dibunuh.
 Penasihat hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus
kriminalisasi dengan tuduhan subversi dan gugatan tata usaha negara atas perkara
pemecatan Sri Bintang Pamungkas sebagai dosen di Universita Indonesia (1997).
 Penasihat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus PT Chief Samsung,
dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan (1995).
 Penasihat hukum Muhadi supir yang dituduh melakukan penembakan terhadap petugas
polisi di Madura, Jawa Timur (1994).
 Kasus penghilangan secara paksa 24 korban aktivis korban dan mahasiswa 1997 dan
1998.
 Penasihat korban dan keluarga korban kasus Tanjung Priok 1984, hingga 1998.
 Penasihat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I
(1998) dan Semanggi II (1999).
 Penasihat hukum dan koordinator advokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh,
Lampung, dan Papua (ribuan kasus yang terrjadi akibat operasi militer).
 Anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor timur tahun 1999.
 Membongkar kasus penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar yang berujung
diadilinya personel Tim Mawar.
 Suardi Tasrif Award tahun 1998 dari Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) untuk kategori
organisasi yang mengembangkan hak-hak informasi kepada masyarakat atas pelanggaran
HAM.
 Serdadu Award (1998) dari organisasi para seniman dan pemusik jalanan Jakarata, atas
upayanya dalam mempromosikan penegakan HAM.
 Yap Thiam Hien Award tahun 1998 sebuah penganugrahan paling bergengsi di bidang
HAM di Indonesia.
 KontraS menjadi anggota dan partisipan AFAD, sebuah jaringan kerja organisasi yang
mengadvokasi kasus orang hilang se Asia – Pacific
 Sebagai Leaders for the Millenium pilihan Asia Week tahun 2000
 Man of The Year dari Majalah Ummat tahun 1998.
 Seratus tokoh Indonesia Abad XX dari majalah Forum Keadilan.
 Penganugerahan peniti emas sebagai alumni berprestasi dari Universitas Brawijaya tahun
1999.
 The Right Livelihood Award (alternative nobel prizes) dari Swedia untuk pengembangan
kontrol sipil atas militer dan promosi HAM.
 An Honourable Mention of the 2000 Unesco Madanjeet Singh Prize atas usahanya
mempromosikan toleransi dan anti kekerasan, Paris, November 2000

Organisasi
 Sekretaris BPM FH Unibraw (1988)
 Ketua Senat Mahasiswa FH Unibraw (1989)
 Anggota HMI Komisariat Hukum Unibraw
 Ketua Umum Komisariat Hkukum Unibraw HMI Cabang Malang
 Sekretaris Al Irsyad Kabupaten Malang (1988)
 Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah
 Sekretarsi Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai.

Penghargaan
 Right Livelihood Award 2000, Penghargaan pengabdian bidang kemajuan HAM dan
kontrol sipil terhadap militer (Swedia, 8 Desember 2000)
 Mandanjeet Singh Prize, UNESCO, untuk kiprahnya mempromosikan Toleransi dan
Anti-Kekerasan (2000)
 Salah satu Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (Majalah Asiaweek,
Oktober 1999)
 Man of The Year versi majalah Ummat (1998).
 Suardi Tasrif Awards, dari Aliansi Jurnalis Independen, (1998) atas nama Kontras
 Serdadu Awards, dari Organisasi Seniman dan Pengamen Jalanan Jakarta (1998)
 Yap Thiam Hien Award (1998)
 Satu dari seratus tokoh Indonesia abad XX, majalah Forum Keadilan

Kasus-kasus penting yang pernah ditangani


 Penasihat Hukum dan anggota Tim Investigasi Kasus Fernando Araujo, dkk, di Denpasar
yang dituduh merencanakan pemberontakan melawan pemerintah secara diam-diam
untuk memisahkan Timor-Timur dari Indonesia; 1992
 Penasihat Hukum Kasus Jose Antonio De Jesus Das Neves (Samalarua) di Malang,
dengan tuduhan melawan pemerintah untuk memisahkan Timor Timur dari Indonesia;
1994
 Penasihat Hukum Kasus Marsinah dan para buruh PT. CPS melawan KODAM V
Brawijaya atas tindak kekerasan dan pembunuhan Marsinah, aktivis buruh; 1994
 Penasihat Hukum masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan
pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur;
1993
 Penasihat Hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus subversi
dan perkara hukum Administrative Court (PTUN) untuk pemecatannya sebagai dosen,
Jakarta; 1997
 Penasihat Hukum Muchtar Pakpahan (Ketua Umum SBSI) dalam kasus subversi, Jakarta;
1997
 Penasihat Hukum Dita Indah Sari, Coen Husen Pontoh, Sholeh (Ketua PPBI dan anggota
PRD) dalam kasus subversi, Surabaya;1996
 Penasihat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus perburuhan PT. Chief
Samsung; 1995
 Penasihat Hukum bagi 22 pekerja PT. Maspion dalam kasus pemogokan di Sidoarjo,
Jawa Timur; 1993
 Penasihat Hukum DR. George Junus Aditjondro (Dosen Universitas Kristen
Satyawacana, Salatiga) dalam kasus penghinaan terhadap pemerintah, Yogyakarta; 1994
 Penasihat hukum Muhadi (seorang sopir yang dituduh telah menembak polisi ketika
terjadi bentrokan antara polisi dengan anggota TNI AU) di Madura, Jawa Timur; 1994
 Penasihat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
 Penasihat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di
Tanjung Priok 1984; sejak 1998
 Penasihat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi Semanggi I dan
II; 1998-1999
 Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
 Penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku
 Penasihat Hukum dan Koordinator Advokat HAM dalam kasus-kasus di Aceh dan Papua
(bersama KontraS)

Anda mungkin juga menyukai