1 Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia
POLITIK, HAM, DAN DEMOKRASI
Pelanggaran HAM Secara Vertikal dan Horizontal di Indonesia Oleh : Restik Anggada Pratama 071112045
Pelanggaran HAM diberikan definisi sebagai setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara, baik sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian secara hukum untuk mengurangi membatasi atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. 1 Berdasarkan definisi tersebut maka sifat pelanggaran HAM dapat digolongkan menjadi vertical dan horizontal. Pelanggaran HAM vertical adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat terhadap rakyat, sedangkan pelanggaran HAM horizontal adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh warga Negara yang satu terhadap warga Negara lainnya. Berikut ini penulis akan memaparkan lebih lanjut mengenai pelanggaran HAM di Indonesia baik secara vertical, maupun secara horizontal.
Pelanggaran HAM secara vertikal di Indonesia : Kasus Tanjung Priok 1984
Kronologi Kejadian Pada pertengahan tahun 1984, Beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang mubaligh yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada jama'ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tersebut sudah lama menjadi masalah yang kontroversi. Kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif tentara. 2 Pada tanggal 7 september 1984, seorang Babinsa beragama katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama "Musholla As-sa'adah" dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin, yang disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang. Tak heran jika kemudian orang- orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa itu. Pada hari berikutnya Babinsa itu
1 Hamzah, A. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Hal. 76 2 Poesponegoro, MD dan Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 642644
2 Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan. Pada tanggal 10 september 1984, Syarifuddin rambe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid "Baitul Makmur" yang berdekatan dengan Musholla As-sa'adah, Berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke adalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka sedang berbiacara di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba saja salah satu dari kerumunan massa menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata SEOrang marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi. Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer. Tapi kali ini usahanya tidak berhasil. Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini. Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi. Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. sebelum massa tiba di tempat yang dituju, tiba- tiba mereka telah terkepung dari dua arah oleh pasukan yang bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur. Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk
3 Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia sambil mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran. Dari segala penjuru terdengan dentuman suara senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan, Dari atas truk tentara dengan membabi buta menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian. Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti. Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok. Setelah para korban diangkut, datanglah mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalanan dari genangan darah para korban penembakan. Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara.
Penyelesaian Masalah Tragedi Tanjung Priok ini diselesaikan di Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, pada tahun 2003 2004. 3 Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk mengadili perkara tersebut pada pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung, dkk, yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan
3 McGlynn, JH. 2007. Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images. Jakarta: The Lontar Foundation, hlm. 202
4 Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia dan percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung, dkk dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, dan 2 tahun penjara untuk anggotanya. 4
Sebelumnya, Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa lainnya dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30 April 2004, Majelis Hakim yang mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar- Butar selaku Komandan Kodim 0502 Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun.
Proses Persidangan Dalam putusan pertama, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan. 5 Menurut Majelis Hakim, unsur-unsur yang terbukti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Tanjung Priok adalah adanya serangan, ditujukan terhadap penduduk sipil, serangan yang meluas atau sistematik. Sedangkan dalam putusan model kedua, unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi. Mengenai unsur meluas atau sistematik ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum yang didasarkan pada bukti-bukti yang ditemukan di persidangan, bukan merupakan bukti adanya serangan sistematik atau meluas sifatnya yang merupakan unsur dari kejahatan kemanusiaan. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum atas peristiwa tanggal 12 September 1984 yang terjadi di Jalan Yos Soedarso, Tanjung Priok lebih menunjukkan bukti terjadi bentrokan seketika atau spontan antara aparat dan massa (bandingkan dengan tuntutan JPU). 6 Dengan demikian, bentrokan yang terjadi secara spontan atau seketika bukan merupakan delik adanya kejahatan kemanusiaan atau ciri terjadinya pelanggaran HAM yang berat karena bentrokan seketika atau spontan merupakan ciri yang biasa yang terjadi di dalam kejahatan pada umumnya.
Pelanggaran HAM secara horizontal di Indonesia: Konflik Sunni dan Siah, Sampang, Madura
4 Ibid., Hlm. 235 5 Linton, S. 2006. "Accounting for Atrocities in Indonesia" dalam The Singapore Year Book of International Law Vol 10 No.1: Hlm. 199231. diakses pada 14 April 2014 6 Ibid
5 Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia
Kronologi Konflik Sunni dan Syiah Ketegangan antara Sunni dan Syiah sudah terjadi sejak tahun 2004. Yaitu ketegangan antara Kyai Mamun dan Kyai Ali Kharar, namun ketegangan ini tidak berujung pada kekerasan karena ketokohan Kyai Mamun. Tekanan pada kelompok Syiah di Sampang menguat sejak tahun 2006 setelah Kyai. Mamun meninggal dunia. Dan semakin diperburuk dengan keretakan antara Utz. Rois dan Utz. Tajul, dimana keluarga terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu dipimpin oleh Utz. Tajul (Iklil, Hani, dan Umma), dan Utz. Rois (Achmad, Budur, Kalsum dan Fatimah). Tekanan pada tahun 2006 diwarnai dengan adanya pengadangan terhadap kelompok Syiah di Nangkrenang yang hendak mengikuti kegiatan Asyura di Malang, meskipun aksi ini tidak berujung pada bentrokan secara fisik. 7 Dan pada tanggal 9 April 2007, saat berlangsung acara Maulid di kediaman Utz. Tajul Muluk Dusun Nangkrenang, sejumlah besar massa yang berasal dari Karang Penang datang mengadang tamu yang menghadiri acara. Massa meminta Utz. Tajul Muluk menghentikan acara dan menghentikan dakwah Syiah. Kemudian Utz. Tajul Muluk dipaksa membuat pernyataan kembali ke ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah yang dibacakan di atas panggung dihadapan massa. 8
Pada tahun 2009 khususnya setelah Utz. Rois keluar dari Syiah ditandai dengan menguatnya intimidasi dan tekanan terhadap penganut Syiah dan mobilitas massa yang intensif. Para ulama Madura yang tergabung dalam BASSRA (Badan Silaturahmi Ulama Semadura) mengeluarkan ultimatum terhadap Syiah tidak boleh melakukan dakwah Syiah dan kembali ke Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada tanggal 15 Desember 2009, Utz. Rois menyatakan keluar dari Syiah. 9 Dalam pandangan Kesbangpol Kabupaten Sampang hal ini menimbulkan persaingan pengaruh ketokohan di Desa Karang Gayam Kecamatan Omben. Tanggal 26 Oktober 2010 Bakorpakem mendesak Utz. Tajul tidak mengadakan ritual dan dakwah Syiah, Utz. Tajul membuat surat pernyataan tidak akan melakukan aktivitas dakwah demi keselamatan umat banyak. Tanggal 27 Juli 2010, sejumlah massa dari desa Bluuran berkumpul di dusun Nangkernang hendak menyerang rumah kediaman Utz. Tajul. Merespon aksi tersebut, pihak Polres dan Pemda Sampang meminta Utz. Tajul tidak kembali ke
7 Semendawai, AH. 2013. Tentang Penyerangan Terhadap Penganut Syiah di Sampang Madura. Jakarta: KOMNASHAM. Hlm. 4-6 8 Ibid, Hlm. 7-9 9 Fayumi, Badriyah dalam Semendawai, AH. 2013. Tentang Penyerangan Terhadap Penganut Syiah di Sampang Madura. Jakarta: KOMNASHAM. Hlm. 16-19
6 Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia kampungnya dan Pemda Sampang siap merelokasi Utz. Tajul sesuai dengan rekomendasi Forum Ulama Sampang. Karena adanya ancaman dan desakan dari massa, maka pada tanggal 29 Juli 2011 Utz. Tajul menandatangani surat pernyataan yang menyatakan kesediannya untuk sementara waktu keluar dari Sampang selama satu tahun menuju ke Malang. Deretan ketegangan Sunni- Syiah akhirnya pada 29 Desember 2011 berujung pada pembakaran rumah komunitas Syiah. Jumlah rumah yang dibakar sebanyak 4 (empat) rumah yaitu 2 (dua) rumah Utz. Iklil, 1 (satu) rumah Sdri. Hani dan 1 (satu) rumah Utz. Tajul Muluk dengan jumlah 15 jiwa yang menghuni 4 (empat) rumah tersebut. Pembakaran rumah-rumah tersebut dilakukan oleh oleh massa kurang lebih 1000 orang yang berasal dari 4 (empat) desa yaitu Desa Karang Gayam, Desa Pandeng, Desa Bluuran dan Desa Tlambeh (Massa dari aliran Sunni atau Aswaja) yang terdiri dari orang dewasa, perempuan, dan anakanak yang membawa kayu, celurit, batu dan linggis, disamping itu massa juga menutup akses jalan menuju TKP guna menghalangi petugas keamanan. Akibat aksi pembakaran yang dialami Komunitas Syiah yang tinggal di Desa Karang Gayam Kecamatan Omben Kabupaten Sampang, sebanyak kurang lebih 300 jiwa mengungsi ke Gor Sampang. 10
Pasca kejadian tanggal 29 Desember 2011, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sampang mengeluarkan fatwa tertanggal 1 Januari 2012 yang menyatakan ajaran yang dibawa Tajul Muluk adalah sesat dan merupakan penistaan terhadap Islam. Kemudian pada tanggal 2 Januari 2012 PCNU Kabupten Sampang mengeluarkan surat pernyataan yang mendukung fatwa MUI Kabupaten Sampang. Tanggal 3 Januari 2012 BASSRA meminta MUI Pusat dan MUI Jawa Timur untuk mengeluarkan fatwa sesat terhadap Syiah, dan meminta kepada Pemkab Sampang agar melarang ajaran Syiah di Madura. Pada 10 April 2012, Pengadilan Negeri Sampang memutuskan vonis 3 bulan 10 hari terhadap Musikrah (50 tahun) tersangka pelaku pembakaran rumah pimpinan Syiah dan pesantren Syiah pada 29 desember 2011. Dengan dikurangi masa tahanan, tersangka langsung bebas. Kekerasan terhadap komunitas penganut Syiah di Sampang Madura Jawa Timur kembali terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012. 11 Pada sekitar pukul 08.00 Wib ratusan massa bersenjata tajam seperti celurit, pedang, dan pentungan serta bom molotov telah berkumpul di kampung Nangkernang untuk menghadang kepergian anak-anak penganut Syiah ke pondok
10 Ibid, Hlm. 25-27 11 Mafas, Salamun Ali dalam Semendawai, AH. 2013. Tentang Penyerangan Terhadap Penganut Syiah di Sampang Madura. Jakarta: KOMNASHAM. Hlm. 38
7 Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia pesantrennya seperti di Bangil 4 Laporan Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) Tentang Penyerangan terhadap Penganut Syiah di Sampang, Madura dan di Pekalongan. Bahwa ada imbauan yang disampaikan melalui pengeras suara di mushola-mushola termasuk mushola milik Utz. Rois Al Hukama agar para muslimin berkumpul menghadapi para penganut Syiah yang dianggap sesat. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis terhadap 6 (enam) tersangka pelaku serangan terhadap Komunitas Penganut Syiah pada 26 Agustus 2012, masing-masing Mukhsin alias Tamam Bin Mohamad Rowi 10 bulan penjara dengan pasal pengeroyokan, Mat Safi bin Misnoto dengan 1 tahun 6 bulan penjara dengan pasal penganiayaan, Saniwan alias Muhriyah 8 bulan penjara dengan pasal pengeroyokan, dan Saripin 8 bulan penjara dengan pasal pengeroyokan. Sementara Rois Al Hukama yang diduga sebagai terdakwa utama justru divonis bebas pada 16 April 2013. Sementara Hadiri alias Hosen didakwa pelaku pembunuhan terhadap Hamamah divonis 4 tahun penjara. 12 Tanggal 20 Juni 2013, sekitar 168 penganut Syiah Sampang direlokasi paksa oleh Pemkab Sampang ke Rumah Susun Puspo Argo Sidoarjo dengan menggunakan 3 truk dan 2 bus polisi dan dikawal oleh 3 mobil patroli.
Penyelesaian Masalah Upaya-upata rekonsiliasi terkait Konflik penganut Syiah dan Sunny di Sampang, Madura, Jatim sampai saat ini masih terus dilakukan. Memang masih memerlukan waktu membawa kedua pihak untuk mendapatkan pemahanan yang bisa diterima kedua pihak. Namun demikian, pemerintah terus melakukan pendekatan kepada para ulama, mengingat peran dan posisi ulama di Pulau Madura yang sangat dominan. Demikian juga peran pemda sampang yang terus didorong pro aktif di lini depan penyelesaian konflik ini sesuai amanah UU Pemda dan UU Penanganan Konflik Sosial di daerah yang menjadi tanggung jawab kepala daerah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berkunjung ke Sampang pada awal desember 2013, telah memperoleh laporan dari Tim Rekonsiliasi Syiah yang diketuai oleh Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Abd A'la. Presiden SBY mengatakan, dalam pertemuan informal dengan Tim Rekonsiliasi Syiah Sampang itu, ia mendengarkan perkembangan penyelesaiannya dari Ketua Tim Prof. A'la. Saat bertemu dengan Tim Rekonsiliasi Syiah itu, Presiden SBY antara lain didampingi oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Agama Suryadharma Ali, Mendagri Gamawan Fauzi, Mensesneg Sudi Silalahi, Seskab Dipo Alam, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Mendikbud M Nuh, Kapolri Jendral Sutarman, dan Panglima
12 Ibid., Hlm. 42-46
8 Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia TNI Jendral Moeldoko. Hingga saat ini, proses rekonsiliasi tersebut masih berjalan dan pemerintah terus berupaya untuk sedapatnya meredam konflik.
REFERENSI :
Hamzah, A. 1986. Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Linton, S. 2006. "Accounting for Atrocities in Indonesia" dalam The Singapore Year Book of International Law Vol 10 No.1: Hlm. 199231. McGlynn, JH. 2007. Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images. Jakarta: The Lontar Foundation Poesponegoro, MD dan Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Semendawai, AH. 2013. Tentang Penyerangan Terhadap Penganut Syiah di Sampang Madura. Jakarta: KOMNASHAM