Latar Belakang
Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu, seorang anggota Bintara Pembina Desa
tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya,
Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.[5] Biki menolak
permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan
memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket
masjid).
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe
dan Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara
dengan petugas lain. Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus lain,
Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor.
Kronologi
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai
salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui
kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap
peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul
“Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-
mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni
saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena
tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat
jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil
pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di
sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir
Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak
meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah
pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang
pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer
yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan
mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang
jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan
mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di
dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di
dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar
mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat
saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain. Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah
pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal
LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama
ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini
dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel
Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di
Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor
petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13
September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi.
Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
1. Petugas koramil menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan).
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak
koramil tidak terima.
1. Warga seharusnya tidak melakukan demonstrasi karena bisa berakibat pada kerusuhan.
2. Jika melakukan demonstrasi, seharusnya kedua belah pihak yaitu ABRI dan warga menahan
emosi agar tidak terjadi hal-hal yangtidak diinginkan.
Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998,
beberapa kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak korban, termasuk Yayasan 12
September 1984, Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga
Besar untuk Korban Insiden Tanjung Priok (didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra
Beni).[8] Kelompok-kelompok ini mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Komnas HAM
untuk menyelidiki lebih lanjut tragedi tersebut; di DPR, perwakilan A.W. Fatwa dan Abdul
Qodir Jaelani, yang pernah ditangkap setelah tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih
lanjut.[8] Pada tahun 1999, Komnas HAM sepakat untuk menyelidiki insiden tersebut,
membentuk Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok
(KP3T).
KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya, termasuk mantan
jaksa agung Djoko Sugianto. Laporan yang dihasilkan, yang dirilis pada awal Juni 2000,
menemukan bahwa tidak ada pembantaian sistematis dalam insiden tersebut.[8] Ini tidak
diterima dengan baik oleh masyarakat umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300
anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang markas Komnas HAM saat mengenakan
pakaian Islami dan syal hijau.[9] Mereka memecahkan jendela dengan batu dan batang
rotan, melebihi jumlah dan banyak pasukan keamanan.[9] FPI marah atas laporan tersebut
dan beranggapan telah terjadi praktik kolusi dengan militer, dengan alasan bahwa tindakan
tersebut diabaikan oleh militer; dan bersikeras agar Komnas HAM dihapuskan.[9] Sementara
itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menulis bahwa Komnas
HAM telah menerapkan standar ganda saat menyelidiki masalah tersebut; dia mengatakan
bahwa mereka tampak lebih enggan untuk menyelidiki insiden Tanjung Priok dan lebih
memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999.[8] Pemimpin Partai Bulan Bintang Ahmad
Sumargono menyebut keputusan tersebut mengecewakan kaum Muslim di mana-mana.
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang
menunjukkan bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas
keterlibatan mereka; Ia meminta pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih
lanjut.[8] Presiden Abdurrahman Wahid juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada
pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat pengampunan
(islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak mengandung pengakuan bersalah, korban
menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.[8] Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti
yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah kedua. Pada
tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.[8] Hasil islah tersebut, beberapa korban
atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik M.A. Rachman bahwa tuntutan harus
dijatuhkan.[8]Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.
OLEH:
NAMA KELOMPOK :
1. Dea Amelia
2. Laraschinta Septhiani
3. Maftu Ahnan
4. Moh Aldiyansyah
5. Rihdatul Aisy
6. Yuyun Septiani