Anda di halaman 1dari 5

Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12


September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesiayang mengakibatkan sejumlah korban tewas
dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil
merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki
mereka. Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh
tindakan aparat.

Latar Belakang
Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu, seorang anggota Bintara Pembina Desa
tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya,
Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.[5] Biki menolak
permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan
memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket
masjid).
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe
dan Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara
dengan petugas lain. Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta pengurus lain,
Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor.

Kronologi
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai
salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui
kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap
peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul
“Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984


Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah
di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di
tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian
remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu
(8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari
pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok,
Senin, 10 September 1984 Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan
salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang
akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka
supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan
sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan
permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh
Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang
jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.

Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984


Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang
jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu
mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya
semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer)
dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang
Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung
juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak
pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari
sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada
kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-
oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita
menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya,
Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah
perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu
berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan
ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya
jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-
mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur
dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian
yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu
bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan
ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih
sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi
sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam
kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-
peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi
di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang
sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak,
tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi
tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam
yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-
mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni
saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena
tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat
jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil
pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di
sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir
Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak
meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah
pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang
pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer
yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan
mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang
jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan
mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di
dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di
dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar
mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat
saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain. Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah
pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal
LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama
ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini
dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel
Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di
Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor
petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13
September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi.
Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.

Penyebab Terjadinya Kasus

1. Petugas koramil menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got
(comberan).
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak
koramil tidak terima.

Hak yang dilanggar


Dibunuhnya jamaah-jamaah pengajian oleh pasukan ABRI

Penyelesaian atau Penanggulangan

1. Warga seharusnya tidak melakukan demonstrasi karena bisa berakibat pada kerusuhan.
2. Jika melakukan demonstrasi, seharusnya kedua belah pihak yaitu ABRI dan warga menahan
emosi agar tidak terjadi hal-hal yangtidak diinginkan.

3. Pelaku pembunuhan (ABRI) wajib diadili dengan seadil-adilnya agar menimbulkan


efek jera.

Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998,
beberapa kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak korban, termasuk Yayasan 12
September 1984, Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga
Besar untuk Korban Insiden Tanjung Priok (didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra
Beni).[8] Kelompok-kelompok ini mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Komnas HAM
untuk menyelidiki lebih lanjut tragedi tersebut; di DPR, perwakilan A.W. Fatwa dan Abdul
Qodir Jaelani, yang pernah ditangkap setelah tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih
lanjut.[8] Pada tahun 1999, Komnas HAM sepakat untuk menyelidiki insiden tersebut,
membentuk Komisi Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok
(KP3T).
KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya, termasuk mantan
jaksa agung Djoko Sugianto. Laporan yang dihasilkan, yang dirilis pada awal Juni 2000,
menemukan bahwa tidak ada pembantaian sistematis dalam insiden tersebut.[8] Ini tidak
diterima dengan baik oleh masyarakat umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300
anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerang markas Komnas HAM saat mengenakan
pakaian Islami dan syal hijau.[9] Mereka memecahkan jendela dengan batu dan batang
rotan, melebihi jumlah dan banyak pasukan keamanan.[9] FPI marah atas laporan tersebut
dan beranggapan telah terjadi praktik kolusi dengan militer, dengan alasan bahwa tindakan
tersebut diabaikan oleh militer; dan bersikeras agar Komnas HAM dihapuskan.[9] Sementara
itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menulis bahwa Komnas
HAM telah menerapkan standar ganda saat menyelidiki masalah tersebut; dia mengatakan
bahwa mereka tampak lebih enggan untuk menyelidiki insiden Tanjung Priok dan lebih
memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999.[8] Pemimpin Partai Bulan Bintang Ahmad
Sumargono menyebut keputusan tersebut mengecewakan kaum Muslim di mana-mana.

Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang
menunjukkan bahwa 23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas
keterlibatan mereka; Ia meminta pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih
lanjut.[8] Presiden Abdurrahman Wahid juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada
pengadilan yang akan datang. Beberapa pejabat militer membuat surat pengampunan
(islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak mengandung pengakuan bersalah, korban
menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.[8] Islah pertama meliputi 86 keluarga, seperti
yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga Biki terjadi pada islah kedua. Pada
tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.[8] Hasil islah tersebut, beberapa korban
atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik M.A. Rachman bahwa tuntutan harus
dijatuhkan.[8]Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.

Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan


undang-undang hak asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke
pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan;[15][17] persidangan dimulai pada bulan
September tahun itu.[16] Mereka yang dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno
Mascung, pemimpin Peleton II Batalyon Artileri Pertahanan Udara saat itu, dan 13
bawahannya.[17] Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk komandan militer Jakarta Try
Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani, dibebaskan dari tuntutan, seperti
mantan Presiden Soeharto dan mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Penuntutan
dipimpin oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa bertugas sebagai saksi
penuntutan. Beberapa petugas yang diadili divonis bersalah, sementara Sriyanto dan
Pranowo dibebaskan. Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan mengajukan banding atas
pembebasan Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak.[15] Keputusan tersebut kemudian
dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.
TUGAS KELOMPOK
D

OLEH:

NAMA KELOMPOK :

1. Dea Amelia
2. Laraschinta Septhiani
3. Maftu Ahnan
4. Moh Aldiyansyah
5. Rihdatul Aisy
6. Yuyun Septiani

Kelas : XII IPA 3

Guru : Roh Ngatin S.pd

SMA NEGERI 7 PALU

TAHUN AJARAN 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai