Anda di halaman 1dari 2

“SISI KELAM PADA SEPTEMBER HITAM DI TANJUNG PRIOK”

Masih ingat dengan tragedi Tanjung Priok 12 September 1984?


Generasi muda saat ini mungkin lupa, terlebih lagi saat ini mungkin sudah tidak ada pelajaran
sejarah yang diberikan di sekolah demi menutupi masa lalu penguasa Orde Baru pada masa
tersebut.

Kilas Balik Peristiwa

Pemerintah Orde Baru yang direstui DPR, melalui undang-undang itu menginginkan
Pancasila menjadi asas tunggal. Semua organisasi di Nusantara wajib berasaskan Pancasila.
Artinya, siapapun yang tidak sejalan dengan garis politik rezim Orba maka layak dituduh
sebagai anti-Pancasila (Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi, 2015:161).
Partai atau organisasi sekuler tentu tak punya masalah besar dengan hal tsb. Namun, bagi
organisasi atau partai berbasis agama. Pengesahan UU ini menimbulkan perdebatan.

Kronologi

8 September 1984

Ditengah suasana yang memanas beredar kabar seorang Babinsa meminta Amir Biki
untuk melepas brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah. Namun permintaan tersebut
ditolak sehingga anggota Babinsa memindahkannya sendiri dengan memasuki area sholat
masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran terhadap etika masjid). Hal ini memicu
emosi hingga akhirnya warga setempat membakar motor babinsa dan berujung dengan
penangkapan oleh aparata terhadap Syarifuddin Rambe, Sofwan Sulaeman, pengurus lain
bernama Ahmad Sahi, dan Muhamad Nur

Massa menuntut pembebasan tahanan. Sekitar pukul 11 malam waktu setempat, para
pemrotes mengepung komando militer yang kemudian ditembaki oleh Personel militer dari
Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6. Sekitar tengah malam.

11 September 1984
Jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki untuk merampungkan permasalahan ini. “Kita
tidak boleh merusak apapun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu
bukan golongan kita,” –Amir Biki (tokoh masyarakat yang dianggap mampu memediasi
antara massa dengan tentara di Kodim maupun Koramil). Namun permohonan pembebasan 4
tahanan itu tetap tidak digubris

12 September 1984

 Sekitar 1.500 orang bergerak, sebagian menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke
arah Kodim yang berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekira 200 m.

Massa yang menuju Polres dihadang pasukan militer dengan persenjataan lengkap
bahkan alat-alat berat termasuk panser (Kontras, 2004: 20).

Seruan takbir yang digaungkan oleh massa dibalas dengan rentetan tembakan dari
senapan otomatis. Korban bergelimpangan, ribuan orang panik dan berlarian di tengah
hujan peluru yang terus di bombardir oleh aparat.

 Dari arah pelabuhan, dua truk besar yang mengangkut pasukan tambahan datang
dengan kecepatan tinggi. Tak hanya memuntahkan peluru, dua kendaraan berat itu
juga menerjang dan melindas massa yang sedang bertiarap di jalanan. Suara jerit
kesakitan berpadu dengan bunyi gemeretak tulang-tulang yang remuk. Pernyataan
Djaelani di pengadilan mengamini bahwa aksi brutal aparat itu memang benar-benar
terjadi.

 3 orang perwakilan rombongan Amir Biki diminta maju namun disambut dengan
tembakan yang memicu kepanikan massa hingga puluhan orang tewas termasuk Amir
Biki.

Tidak diketahui secara pasti berapa korban, baik yang tewas, luka-luka, maupun
hilang, dalam tragedi di Tanjung Priok karena pemerintah Orde Baru menutupi fakta
yang sebenarnya.

 Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53
orang luka-luka dalam insiden tersebut (A.M. Fatwa, Pengadilan HAM ad hoc
Tanjung Priok, 2005: 123).

 Berbeda dengan Solidaritas Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang juga didukung
oleh kesaksian Djaelani menyebutkan jumlah korban tidak kurang dari 400 orang
tewas dalam tragedi berdarah itu, belum termasuk yang luka dan hilang (Suara
Hidayatullah, Volume 11, 1998: 67).

Anda mungkin juga menyukai