Anda di halaman 1dari 3

Abdul Qadir Djaelani, tokoh masyarakat sekaligus ulama di Tanjung

Priok yang dihukum 18 tahun penjara oleh Pemerintah Orde Baru ini
mengungkapkan, kejadian ini bermula sejak 8 September 1984 setelah
aparat memasuki tempat ibadah tanpa melepas lars-nya. Selain itu,
mereka juga mencopot pamflet-pamflet yang dianggap berisi ujaran
kebencian terhadap pemerintah.

Kerusuhan mulai terjadi ketika beberapa jemaah musala bertengkar


dengan para tentara yang melakukan tindakan represif. Walaupun
sempat mereda, situasi tiba-tiba kembali ricuh setelah seorang warga
membakar beberapa motor milik tentara.

Terkait hal ini para aparat tersebut menangkap empat orang yang
terduga sebagai provokator. Pada 11 September 1984, para jemaah
meminta bantuan dari Amir Biki, tokoh masyarakat daerah tersebut.
Berdasarkan Kontras, Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara
Korban Tragedi Priok, Amir Biki yang merespon permintaan jemaah
tersebut meminta Kodim untuk melepaskan 4 orang yang ditahan
tersebut. Namun, hal ini tidak diindahkan oleh pihak aparat dan Amir
Biki merasa dipermainkan.

Dengan adanya pemicu tersebut, Amir Biki mencoba untuk


mengumpulkan ulama-ulama dan para tokoh agama untuk melakukan
protes terhadap kinerja para aparat tersebut. Dalam hal ini Amir Biki
juga mengundang berbagai forum umat Islam di Jakarta.

Pagi 12 September 1984, sekitar 1.500 orang bergerak menuju Polres


Tanjung Priok dan juga ke Kodim yang jaraknya 200 meter dari Polres.
Massa yang sedang berjalan ke tempat tersebut disambut dengan
butiran-butiran peluru yang keluar dari senapan otomatisnya.
Hal tersebut banyak membuat massa bergelimpungan, berlari ke sana
kemari. Selain itu dalam aksi ini juga memakan korban jiwa dan ratusan
orang yang terluka. Berdasarkan temuan Komnas HAM, yang dimuat
dalam kontras.org, setidaknya 79 orang dalam peritsiwa tersebut
menjadi korban, 55 orang mengalami luka-luka dan 23 orang lainnya
dinyatakan meninggal dunia, sementara puluhan orang ditangkap dan
ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang
lain dinyatakan hilang.

Pada 10 September 1984, Sersan Hermanu, anggota dari Bintara Pembina Desa
sampai di Masjid As Saadah di Tanjung Priok. 

Di sana ia menyuruh pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk
yang berisi tulisan kritik kepada pemerintah. Namun, Biki menolak permintaan
tersebut. 

Hermanu kemudian memutuskan untuk melakukannya sendiri. Ketika sedang


melakukannya, ia memasuki area masjid tanpa melepas alas kakinya. 

Mendengar laporan tersebut, warga yang dipimpin pengurus masjid Syarifuddin


Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang Hermanu. 

Akibat aksinya tersebut, Rambe, Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi dan
Muhammad Noor ditangkap. 

Penyelesaian kerusuhan tersebut adalah dengan menangkap dan


menghukum pihak yang dianggap sebagai oknum militer pemicu
kerusuhan yang menyebar pamflet anti pemerintah kepada warga selain
menggunakan senjata dalam menghentikan demonstran. Namun,
penyelesaian tersebut bukanlah solusi ideal karena masih menyisahkan
sejumlah misteri. Kerusuhan tersebut mengakibatkan jatuhnya kurang lebih
700 korban dimana mayat-mayat demonstran umumnya diangkut dan
dimakamkan tanpa nisan dan sekitar 400 warga Tanjung Priok hilang atau
terbunuh.   Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa
dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah
menyelesaikan tugasnya untuk mengadili perkara tersebut pada
pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh
Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung dan
kawan kawan, yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan putusan terdakwa
Sutrisno Mascung, dkk telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan dan
percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung,
dkk dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno
Mascung, dan 2 tahun penjara untuk anggotanya2. Sebelumnya,
Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada
para terdakwa lainnya dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung
Priok. Pada 30 April 2004, Majelis Hakim yang mengadili perkara R. Butar-
Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar selaku Komandan Kodim 0502
Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa
pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar,
Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso menjatuhkan pidana berupa
pidana penjara selama 10 tahun

Anda mungkin juga menyukai