KELAS : XI AKL 2
Latar Belakang
Pada tanggal 19 September 1984, Sersan Hermanu,[4] seorang anggota Bintara Pembina Desa
tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya,
Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah.[5] Biki menolak
permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan
memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap
etiket masjid).[5][6]
Sebagai tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe
dan Sofwan Sulaeman, membakar motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang
berbicara dengan petugas lain.[5][6] Keduanya kemudian menangkap Rambe dan Sulaeman, serta
pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor
Gencarnya gerakan hak asasi manusia pasca lengsernya Suharto pada tahun 1998, beberapa
kelompok dibentuk untuk mengadvokasi hak-hak korban, termasuk Yayasan 12 September
1984, Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok 1984, dan Keluarga Besar untuk
Korban Insiden Tanjung Priok (didirikan oleh janda Biki Dewi Wardah dan putra Beni).
[8]
Kelompok-kelompok ini mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Komnas HAM untuk
menyelidiki lebih lanjut tragedi tersebut; di DPR, perwakilan A.M. Fatwa dan Abdul Qodir Jaelani,
yang pernah ditangkap setelah tragedi tersebut, mendesak penyelidikan lebih lanjut.[8] Pada
tahun 1999, Komnas HAM sepakat untuk menyelidiki insiden tersebut, membentuk Komisi
Investigasi dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok (KP3T).[8]
KP3T terutama terdiri dari tokoh politik dari rezim sebelumnya, termasuk mantan jaksa
agung Djoko Sugianto.[8] Laporan yang dihasilkan, yang dirilis pada awal Juni 2000, menemukan
bahwa tidak ada pembantaian sistematis dalam insiden tersebut.[8] Ini tidak diterima dengan baik
oleh masyarakat umum. Pada tanggal 23 Juni 2000, sekitar 300 anggota Front Pembela
Islam (FPI) menyerang markas Komnas HAM saat mengenakan pakaian Islami dan syal hijau.
[14]
Mereka memecahkan jendela dengan batu dan batang rotan, melebihi jumlah dan banyak
pasukan keamanan.[14] FPI marah atas laporan tersebut dan beranggapan telah terjadi praktik
kolusi dengan militer, dengan alasan bahwa tindakan tersebut diabaikan oleh militer; dan
bersikeras agar Komnas HAM dihapuskan.[14] Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Yusril Ihza Mahendra menulis bahwa Komnas HAM telah menerapkan standar ganda
saat menyelidiki masalah tersebut; dia mengatakan bahwa mereka tampak lebih enggan untuk
menyelidiki insiden Tanjung Priok dan lebih memilih menyelidiki krisis Timor Leste tahun 1999.
[8]
Pemimpin Partai Bulan Bintang Ahmad Sumargono menyebut keputusan tersebut
mengecewakan kaum Muslim di mana-mana. [8]
Pada bulan Oktober 2000, Komnas HAM mengeluarkan laporan lain yang menunjukkan bahwa
23 orang, termasuk Sutrisno dan Moerdani, harus diselidiki atas keterlibatan mereka; Ia meminta
pengadilan ad hoc untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut.[8] Presiden Abdurrahman
Wahid juga meminta penyelidikan lebih lanjut pada pengadilan yang akan datang. Beberapa
pejabat militer membuat surat pengampunan (islah) dengan keluarga korban; meski islah tidak
mengandung pengakuan bersalah, korban menerima kompensasi sejumlah Rp. 1,5-2 juta.[8] Islah
pertama meliputi 86 keluarga, seperti yang diwakilkan oleh Rambe, sedangkan untuk keluarga
Biki terjadi pada islah kedua. Pada tanggal 1 Maret 2001 sejumlah islah telah dibuat.[8] Hasil islah
tersebut, beberapa korban atau keluarga mereka menyarankan kepada penyidik M.A.
Rachman bahwa tuntutan harus dijatuhkan.[8] Investigasi baru berlanjut pada bulan Juli 2003.[15]
Di bawah tekanan internasional, pada tahun 2003 DPR menyetujui penggunaan undang-undang
hak asasi manusia tahun 2000 untuk membawa pelaku pembantai ke pengadilan atas kejahatan
terhadap kemanusiaan;[13][16] persidangan dimulai pada bulan September tahun itu.[15] Mereka yang
dibawa ke pengadilan termasuk Kolonel Sutrisno Mascung, pemimpin Peleton II Batalyon Artileri
Pertahanan Udara saat itu, dan 13 bawahannya.[16] Pejabat berpangkat tinggi saat itu, termasuk
komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata L. B. Moerdani,
dibebaskan dari tuntutan, seperti mantan Presiden Soeharto dan mantan Menteri
Kehakiman Ismail Saleh.[16][17] Penuntutan dipimpin oleh Widodo Supriyadi, dan Wakil Ketua
DPR A.M. Fatwa bertugas sebagai saksi penuntutan.[12][18] Beberapa petugas yang diadili divonis
bersalah, sementara Sriyanto dan Pranowo dibebaskan.[6] Pada tahun 2004 kantor Kejaksaan
mengajukan banding atas pembebasan Sriyanto dan Pranowo, namun ditolak.[13] Keputusan
tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.[6]
4Tragedi Smanggi 1