Anda di halaman 1dari 14

Empat Mahasiswa Trisakti Itu Dianugerahi Penghargaan Jakarta, NU Online Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan kepada

empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban penembakan pada masa reformasi 1998 sehingga meninggal dunia, di Istana Negara, Jakarta, Senin. Mereka adalah (alm) Elang Mulia Lesmana, (alm) Hafidhin Royani, (alm) Hery Hartanto, dan (alm) Hendriawan Sie, yang telah meninggal pada tanggal 12 Mei 1998, ketika aksi besarbesaran menumbangkan rezim Orde Baru. Pada kesempatan itu ahli waris almarhum yang menerima tanda penghargaan tersebut. Pemberian penghargaan diberikan atas jasa-jasa mereka yang besar terhadap bangsa dan negara Indonesia, khususnya sebagai pejuang reformasi. Pengorbanan jiwa mereka dinilai telah mendorong bergulirnya reformasi yang telah memungkinkan perubahan besar dan mendasar dalam ketatanegaraan RI, sehingga dapat menciptakan kehidupan bernegara yang demokratis. Seperti diingat bahwa kematian empat mahasiswa Trisakti akibat penembakan aparat ketika itu, memicu kemarahan massa pada bulan Mei 1998, sehingga kemudian terjadi kerusuhan dan penjarahan luar biasa di Jakarta. Dan demonstrasi besar-besaran para mahasiswa dengan menduduki Gedung DPR/MPR RI hingga Presiden Suharto turun. Selain keempat mantan mahasiswa Trisakti, Presiden juga memberikan penghargaan Bintang Jasa Pratama kepada 11 orang lainnya melalui keputusan presiden yang berbeda. Turut hadir acara penyerahan penghargaan itu adalah para menteri kabinet Indonesia Bersatu serta pejabat negara lain, seperti Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah dan Ketua DPR RI, Agung Laksono (ant/Die)

Hari ini, 13 tahun lalu, empat mahasiswa gugur diterjang peluru panas. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie. Keempatnya adalah mahasiswa Universitas Trisakti yang menjadi martir di awal gerakan reformasi 1998. Pembunuhan terhadap empat mahasiswa Trisakti itu ternyata tak menyurutkan perlawanan mahasiswa dan berbagai kelompok pro-demokrasi yang sudah lelah dengan rezim yang otoriter dan korup. Mereka ingin perubahan secepatnya. Gelombang reformasi yang terjadi pada bulan Mei itu dengan cepat menjalar ke berbagai kota di Indonesia. Mereka meneriakkan slogan yang sama: bersihkan Indonesia dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Di jalanan harapan itu tumbuh dan berkembang. Harapan yang pernah mekar tentang Indonesia masa depan yang lebih baik.

Presiden Soeharto akhirnya memang menyerah. Ia mundur. Reformasi menang, setelah jalanan dipenuhi demonstran. Juga beberapa pusat pertokoan yang habis terbakar dengan puluhan, mungkin ratusan korban jiwa tak bernama yang ikut terbakar di dalamnya. Rezim baru dibentuk. Dimulai dari Habibie yang meneruskan estafet kepemimpinan Soeharto. Lantas berpindah tangan ke Gus Dur, Megawati, dan kini dipegang Soesilo Bambang Yudoyono yang sudah memasuki masa kekuasaannya untuk periode kedua. Reformasi mengubah tatanan politik secara cukup radikal. Dari politik yang tersentralisasi, pusat-pusat kekuasaan kini menyebar hingga ke tingkat kabupaten/kota. Dari DPR yang tunduk patuh kepada kekuasaan presiden berubah menjadi DPR yang sangat otonom dari eksekutif. Bahkan dalam beberapa kasus, cukup kelihatan betapa kekuasaan DPR terasa sangat dominan yang membuat pejabat pemerintah, termasuk presiden, harus ekstra hati-hati dalam membuat kebijakan. Amandemen UUD 1945 telah memungkinkan semua perubahan itu terjadi. Semua memang bisa terjadi berkat reformasi. Juga suasana keterbukaan dan kebebasan yang kita nikmati bersama sekarang ini. Ini harus kita syukuri. Tapi kembali ke semangat awal reformasi, apakah kita sudah berhasil mengikis habis KKN? Tigabelas tahun berlalu. Barangkali ada baiknya kita bertanya kepada warga yang kini masih berjuang mempertahankan hidup di jalan-jalan, menjadi pedagang kaki lima. Atau bertanya kepada para petani di desa dan di gunung. Juga kepada kaum buruh di pelabuhan Apakah kaum pinggiran itu sudah merasakan berkah reformasi sebagaimana mereka yang duduk di pemerintahan dan DPR? Empat martir mahasiswa Trisakti tak boleh menjadi korban sia-sia. Indonesia yang lebih baik harus tetap kita perjuangkan. Kolusi, korupsi, nepotisme ternyata belum tuntas diikikis. Bupati, walikota, gubernur, bekas menteri, hingga anggota DPR banyak yang sudah dikirim ke penjara. Semua menjadi pertanda, reformasi harus dilanjutkan. Bukan sekadar perubahan kekuasaan yang kita inginkan. Bukan gedung DPR megah yang kita impikan. Bukan citra presiden penuh polesan yang kita dambakan. Indonesia yang bersih, menghargai kemajemukan, dan demokratis, itulah cita-cita kita bersama.

Tragedi Trisakti 12 Mei

Peringatan Tragedi Trisakti 12 Mei Civitas akademika Trisakti menggelar acara peringatan tragedi 12 Mei 1998 di halaman parkir Trisakti, Kamis (12/05). Peringatan tragedi 12 Mei 1998 juga bertujuan agar masyarakat tidak lupa akan peristiwa yang merenggut empat nyawa mahasiswa Trisakti. Presiden Mahasiswa Trisakti Sutan Nalendra mengatakan, peringatan ini juga sebagai bentuk kepedulian seluruh civitas akademi Trisakti untuk mendukung pengungkapan dalang intelektual di balik peristiwa tersebut. Peringatan ini sebenarnya ada tiga tujuan, yakni melawan akan lupanya masyarakat terhadap peristiwa ini, agar mahasiswa Trisakti selalu ingat mengenai peristiwa ini, dan mendukung agar kasus ini dapat segera dituntaskan, kata Sutan di halaman parkir Trisakti, Kamis (12/05). Sutan berharap agar semua pihak yang mengetahui mengenai kejadian sebenarnya saat itu agar kooperatif dalam mengungkap fakta yang sebenarnya. Kapolri saat ini, Jenderal Polisi Timur Pradopo, juga dianggap mengetahui peristiwa tersebut terkait jabatannya saat itu sebagai Kapolres Jakarta Barat.

Kita ingin semua pihak yang mengetahui apa yang terjadi dibalik tragedi tersebut agar banyak bicara supaya kasus ini cepat terungkap siapa dalang intelektualnya. Karena siapapun yang melakukan pelanggaran HAM berat harus bertanggung jawab, pungkas Sutan.

Tragedy semanggi 1 Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.

Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru. Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masingmasing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.

Garis waktu

Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi. Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.

Esok harinya Jumat tanggal 13 November 1998 mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja[1].

Deskripsi
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu. Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi. Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala[3][4].

Tragedi Semanggi II
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.

Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB. Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.
Daerah lain

Selain di Jakarta, pada aksi penolakan UU PKB ini korban juga berjatuhan di Lampung dan Palembang. Pada Tragedi Lampung 28 September 1999, 2 orang mahasiswa Universitas Lampung, Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton. Di Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer Ardiansyah (Universitas IBA Palembang) tewas karena tertusuk di depan Markas Kodam II/Sriwijaya.

Peringatan
Pada 14 November 2005, para mahasiswa menaburkan bunga di Jl. Sudirman tepat di depan kampus Universitas Atma Jaya untuk memperingati tujuh tahun Tragedi Semanggi I. Sehari sebelumnya, peringatan Tujuh Tahun Tragedi Semanggi I diadakan di Sekretariat Jaringan Solidaritas Keluarga Korban Pelanggaran HAM (JSKK), Jalan Binong 1A, samping kompleks Tugu Proklamasi. Dimulai dengan konferensi pers, diskusi, dan ditutup dengan pemutaran film dokumenter Perjuangan Tanpa Akhir karya AKKRa (Aliansi Korban Kekerasan Negara). [5] [6]

Pengusutan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pertemuannya dengan Presiden Habibie saat itu meminta pemerintah untuk memberi penjelasan tentang sebab dan akibat serta pertanggungan jawab mengenai peristiwa tanggal 13 November itu secara terbuka pada masyarakat luas karena berbagai keterangan yang diberikan ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. (Kompas, 16 November 1998). Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dalam jumpa pers di Hankam mengakui ada sejumlah prajurit yang terlalu defensif dan menyimpang dari prosedur, menembaki dan memukuli mahasiswa. Namun, Wiranto menuduh ada kelompok radikal tertentu yang memancing bentrokan mahasiswa dengan aparat, dengan tujuan menggagalkan Sidang Istimewa. (Kompas, 23 November 1998).[7]

Pengadilan HAM ad hoc

Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan gagal tercapai. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali memveto rekomendasi tersebut. Putusan tersebut membuat usul pengadilan HAM kandas, karena tak akan pernah disahkan di rapat paripurna. Putusan penolakan dari Bamus itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus telah menolak, namun di tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan lagi ke Bamus. Hasil rapat ulang Bamus kembali menolaknya. Karena itu, hampir pasti usul yang merupakan rekomendasi Komisi III itu tak dibahas lagi. Rapat Bamus dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. Dalam rapat itu enam dari sepuluh fraksi menolak. Keenam fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi PBR, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD). Sementara fraksi yang secara konsisten mendukung usul itu dibawa ke paripurna adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi PAN, dan Fraksi PDS.[8] Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR, ini menganulir putusan Komisi III-yang menyarankan pimpinan DPR berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc-membuat penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia Trisakti dan Semanggi semakin tidak jelas. Pada periode sebelumnya 1999-2005, DPR juga menyatakan bahwa kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran berat HAM. 9 Juli 2001 rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Isi laporan tersebut:

F-PDI P, F-PDKB, F-PKB (3 fraksi ) menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat. Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS [9]

Dari: General-Info Judul: UNAIR: Mengenang Tragedi Trisakti: Totalitas dalam Perjuangan Demokrasi Kini Ditagih ... Tanggal: Sat, 12 May 2001 20:02:13 -0700

An archive of all of the messages sent to the UNAIR List is available at: http://www.mail-archive.com/unair@itb.ac.id/ From: "General-Info" <[EMAIL PROTECTED]> Mengenang Tragedi Trisakti Totalitas dalam Perjuangan Demokrasi Kini Ditagih ... PERISTIWA-PERISTIWA itu begitu cepat hilang dari ingatan kita. Aksi yang dilakukan sekitar 2.000 mahasiswa Trisakti ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (10/5), tiba-tiba saja mengingatkan orang kembali terhadap peristiwa pembunuhan empat mahasiswa Trisakti tiga tahun lalu. Sore 12 Mei 1998, Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Alifidin Royan, Hery Hartanto, dan Hendriawan Sie tewas ditembus peluru aparat dalam sebuah aksi damai menuntut Jenderal Besar TNI (Purn) Soeharto mundur dari kursi kepresidenan yang telah dikuasainya seorang diri selama 32 tahun.Namun, jangankan untuk mengabadikan perjuangan Elang dan kawan-kawan, tidak banyak lagi orang yang merasa berkepentingan mengenang kembali pembunuhan terhadap empat mahasiswa itu. Bahkan aksi turun jalan untuk mengingatkan peristiwa itu tidak luput dari kecaman. Seorang ibu, sore hari, setelah aksi itu usai menyampaikan kejengkelannya terhadap para mahasiswa yang ia tuduh memaksa anaknya ikut berdemonstrasi. Ibu itu menceritakan bahwa pintu kampus ditutup oleh mahasiswa, anak laki-lakinya tidak boleh pulang, tetapi dipaksa ikut demonstrasi ke DPR. "Anak saya mahasiswa yang masih baru. Belum tahu apa-apa. Kalau dia tertembak, siapa yang bertanggung jawab. Sampai sekarang, siapa yang melakukan penembakan pada 1998 pun belum ketahuan. Hukum tidak bisa menyentuh mereka," ujar ibu itu kepada Kompas melalui telepon, Kamis malam. Elang, Royan, Hery, dan Hendriawan dan ratusan orang kecil yang tewas dalam kerusuhan Mei 1998 hampir-hampir terlupakan dalam hiruk-pikuk keku-sutan gerakan reformasi saat ini. Korban yang menyusul dalam Tragedi Semanggi I dan II dan deretan ratusan bahkan ribuan orang lainnya menjadi korban kerusuhan antar-etnis dan antar-agama yang mewabah di Tanah Air setelah kekuasaan otoritarianisme dan diktator Orde Baru runtuh, jangan-jangan hanya dikenang sebagai deretan angka. Masa transisi yang telah berlangsung selama tiga tahun makin tidak pasti. Ancaman kembalinya kekuatan lama, militerisme, otoritarianisme, dan berkuasanya nilai-nilai lama makin hari justru makin nyata. *** SERANGKAIAN serangan terhadap para aktivis prodemokrasi (prodem), aksi pembersihan (sweeping) terhadap buku-buku yang sepihak dikategorikan dalam buku-buku "kiri", kekerasan terhadap aktivis buruh, dan aksi-aksi kekerasan terhadap media yang begitu deras merupakan pertanda bahwa transisi tidak lagi mengarah pada demokrasi. Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang menjadi ruh demokrasi pun kini dalam posisi terancam. Pada saat itu barulah para aktivis prodem makin menyadari bahwa pendukung mereka makin berkurang dan kekuatan mereka begitu rapuh menghadapi aksi pembalasan yang dilakukan oleh anasir-anasir lama.

"Kekuatan prodem makin sedikit sedangkan kekuatan musuh masih begitu kokoh dan kini makin berani menampakkan wajahnya," kata Safiq Aleha, aktivis Front Perjuangan Pemu-da Pelajar Indonesia (FPPI). Dalam dialog aktivis prodem di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta Pusat, Kamis (10/5), seorang aktivis menyatakan kerisauannya bahwa Yogyakarta sebagai kota intelektual telah dikuasai kelompok-kelompok sipil bersenjata yang dengan leluasa berkonvoi keliling kota, melakukan penyerangan-penyerangan terhadap pengunjuk rasa, membuat daftar orang yang dicari untuk menjadi sa-saran kekerasan, tanpa tindak-an apa-apa dari aparat. Bahkan, ia menyatakan keheranannya di sepanjang Malioboro bertebaran spanduk-spanduk para pendukung Golkar. Seseorang yang memakai kaos Che Guevara, yang kini justru menjadi ikon kapitalis, bisa sekonyong-konyong dipukuli sekelompok orang. "Arah-arahnya yang disasar bukan hanya buku, tetapi juga orang. Gerakan petani pun juga jadi sasaran dan itu mulai di-kembangkan di daerah-daerah," kata Anung Haryadi, aktivis Walhi. Tokoh teater Ratna Sarum-paet menyatakan bahwa aksi-aksi mereka yang menamakan diri sebagai kekuatan antikomunis telah membuat orang me-rasa terancam. Ia mengaku meminta sekretarisnya untuk tidak lagi memakai kaos Che supaya ia tidak kehilangan orang-orang terbaik yang dimiliki. "Siapa yang berada di balik aksi-aksi ini sudah sangat jelas, yakni mereka yang berkepentingan dan merasa terancam akibat adanya upaya-upaya pelurusan sejarah," ujar Sarumpaet. Kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok berkedok agama dan sekarang juga muncul dalam kelompok yang menamakan diri antikomunis itu, secara kebetulan atau tidak, merebak setelah Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung menyatakan seruan agar aktivis Golkar tidak segan-segan melawan secara fisik apabila diserang. Ironisnya, barisan politisi dan pengamat pengecam Pasukan Berani Mati (PBM) yang mengancam datang ke Jakarta pada saat DPR menjatuhkan memorandum kedua kepada Presiden Abdurrahman Wahid membisu terhadap aksi-aksi kekerasan dan intimidasi yang kini dialami oleh aktivis prodem dan mereka yang diklasifikasikan tanpa nalar sebagai pengikut komunisme. Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) menyatakan bahwa sisa-sisa kediktatoran Orde Baru masih mengontrol resources ekonomi, aparat intelijen/militer, dan mesin birokrasi yang selama ini luput dari sasaran reformasi. Dengan penguasaan sumber-sumber itu, sebuah operasi politik besar tinggal menunggu momentum yang tepat dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan era transisi. Ia mengingatkan bahwa aliansi terselubung antara kekuatan-kekuatan fasisme dan sisa-sisa kediktatoran Orde Baru merupakan ancaman bagi gerakan reformasi. Kegagalan di masa transisi ini, menurut dia, memang tidak akan mengembalikan Indonesia pada kekuasaan Orde Baru semata yang terdiri dari militerisme TNI dan Partai Golkar. "Namun, bukan berarti kekuasaan yang lahir dari kegagalan era transisi akan lebih lunak dari otoritarianisme Orde Baru. Kemungkinan yang lebih buruk bisa terjadi. Sisa-sisa kediktatoran akan kembali ke tampuk kekuasaan bergandeng tangan dengan sekutu politik mereka yang lebih berwatak ideologis dan otoriter," kata Budiman. Reformasi yang lamban dan kompromi-kompromi yang sangat jauh menjadi penyebab utama kekuatan lama makin terkonsolidasi. Unsur-unsur la-ma bahkan

telah bermutasi da-lam wajah baru yang mengesankan bahwa merekalah kaum reformis sejati. Kaum mutan itu kini mengadopsi semua metode perjuangan aktivis prodem dan gerakan reformasi, dari metode aksi massa, pembangkangan si-pil, advokasi dan proses legal, kampanye melalui media, bah-kan aksi-aksi dengan kekerasan yang muncul dalam sejumlah aksi mahasiswa untuk meng-gempur balik kekuatan prodem. *** SUMPAH serapah atau pembenaran bisa saja diarahkan pada dahsyatnya kekuatan lama menguasai sumber-sumber ekonomi maupun politik sehingga bisa berbuat apa saja tanpa batas. Tetapi, apabila boleh jujur, sebagian besar ancaman kegagalan reformasi akibat perilaku dan kesalahan aktivis prodem dan gerakan mahasiswa itu sendiri. Aktivis prodem begitu cepat berpuas diri dan merasa perjuangan telah selesai ketika Soeharto mundur atau pemerintahan hasil pemilu terbentuk. Banyak aktivis ternyata tidak setia pada perjuangannya, tidak tahan hidup "miskin", dan ingin segera berlomba-lomba memanen hasil aktivismenya dengan jalan pintas. Para mantan aktivis prodem yang tiba-tiba memperoleh posisi di parlemen maupun pemerintahan, atau bahkan mereka yang sekadar mempunyai akses kepada penguasa dalam waktu singkat menjadi jutawan. Dari pelanggan bus kota dalam sekejap menjadi pemilik mobil-mobil mewah. Para aktivis mahasiswa 1998 yang beberapa tahun sebelumnya terjun dalam media massa, tenggelam dalam arus jurnalisme "amplop", mengandalkan hidup dari uang yang diberikan oleh narasumber. Daya kritis dan perlawanan tiba-tiba hilang dalam hiruk-pikuk berita dan berubah menjadi anggota barisan pengagum Akbar Tandjung dan Wiranto. Mereka yang terjun dalam organisasi-organisasi nonpemerintah juga berperilaku menjadi penjual proposal, bahkan dengan melakukan kegiatan atau membuat pertanggungjawaban keuangan secara manipulatif demi keuntungan diri sendiri. Kegiatan-kegiatan demonstrasi pun kadang tidak luput menjadi proyek. Sebagian aktivis tega "menjual" kawan-kawannya untuk mempertebal kantungnya sendiri sehingga kecurigaan di kalangan mahasiswa begitu tinggi. Sebaliknya, sebagian besar mahasiswa ternyata memahami gerakan mahasiswa, aksi turun ke jalan, sebagai mode yang tidak ubahnya seperti ponsel, baju, rok, celana panjang, atau celana dalam yang begitu cepat ditinggalkan. Sebagian yang masih setia dalam aktivisme gerakan justru terjebak dalam penyederhanaan perjuangan dalam kubu pro dan kontra Abdurrahman Wahid. Dan mereka melupakan bahwa musuh utama adalah Orde Baru dengan militerisme dan Golkarnya, korupsi, kolusi dan nepotisme. Pekerjaan-pekerjaan yang mesti dilakukan untuk menciptakan civil society dengan memperkuat organisasi buruh, petani, asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi nonpemerintah tidak dilakukan secara serius dan masif. Akibatnya, gerakan-gerakan nonsektarianisme tidak mengalami penguatan yang berarti dalam tiga tahun terakhir ini. Konsolidasi kekuatan-kekuatan itu berjalan demikian lamban dan semua terhanyut sebagai tontonan opera sabun perpolitikan yang makin hari makin membodohkan. Sejarah rupanya berulang. Para aktivis berkhianat pada perjuangannya dan mereka ingin cepat-cepat berebut menjarah panenan. Gerakan mahasiswa 1966 menghasilkan para pendukung Orde Baru dan Golkar yang terlibat dalam apa yang disebut sekarang sebagai korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sisanya

terjun dalam usaha-usaha bisnis kolutif dan menjadi barisan pendukung korporatisme negara atau menjadi intelektual partisan pro penguasa. Hanya segelintir saja orang yang tetap loyal pada perjuangannya, seperti Soe Hok Gie, Arief Budiman, dan A Rahman Tolleng. Pada masa perjuangan kemerdekaan orang-orang setia dalam perjuangan seperti Syahrir, Tan Malaka, Mohammad Hatta tersingkir dari arus utama para penikmat madu kekuasaan. Tjip-to Mangoenkoesoemo dalam era perintis kemerdekaan juga mengalami nasib yang nyaris sama. Usmar Ismail telah menggambarkan arus besar orang-orang yang tidak setia pada perjuangan itu dalam film drama Lewat Jam Malam (1954) yang menceritakan kisah seorang bekas pejuang, Iskandar, yang kesulitan menyesuaikan diri dalam keadaan yang sudah asing. Kawan-kawan Iskandar menjadi pengusaha dengan mempraktikkan cara-cara bisnis yang membuatnya muak dan seorang anak buahnya menjadi centeng rumah bordil. Ketidaksetiaan terhadap pengorbanan mereka yang gugur dalam perjuangan telah terekam dalam kisah sejarah perjuangan kemerdekaan. Ketidaksetiaan terhadap perjuangan itu pula yang dihadapi dalam gerakan reformasi dan prodemokrasi saat ini. Kematian Elang, Royan, Hery Hartanto, Hendriawan, dan para korban Semanggi I dan II tidak perlu diulang. Kematian mereka merupakan simbol totalitas dalam perjuangan menegakkan demokrasi. Totalitas perjuangan itu kini ditagih pada aktivis prodemokrasi dan mahasiswa. Jangan terburu berpuas diri, jangan cepat merasa telah mengubah dunia, perjuangan ini belum menghasilkan apa-apa dan harus kembali berjuang seperti dari titik nol. Upaya itu pun tidak akan berarti tanpa perubahan spiritual dan mentalitas para aktivisnya. (P Bambang Wisudo)

diki.prasstio@yahoo.com rizqimaru@yahoo.com kito_bion@ymail.com ntrie_caiiank_hyun@yahoo.co.id

JAKARTA - Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni Universitas Trisakti, Didik Mukrianto, menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mewujudkan cita-cita dan perjuangan mahasiswa tahun 1998. Ia mengatakan hal itu terkait peringatan Tragedi Trisakti 1998 di Jakarta, Sabtu (14/5). "Cita-cita dan harapan reformasi ini sudah dirasakan dan diwujudkan oleh pemerintahan SBY. Penegakan hukum, demokrasi, kebebasan pers dan perbaikan ekonomi terus-menerus ditingkatkan," kata Didik.

Bahkan, ujar Didik, Presiden Yudhoyono berkomitmen tinggi terhadap penegakan dan penuntasan kasus Mei 1998. "Untuk itu wajib hukumnya kita mendukung terus dan kita apresiasi upaya dan kebijakan SBY tersebut," katanya. Namun demikian, ia mengaku, masih ada cita-cita dari mahasiswa 1998 sebagai peletak dasar demokrasi dan dimulainya era reformasi yang belum terlaksana dengan baik karena berbagai faktor. "Memang masih ada yang belum terlaksana dengan baik seperti otonomi daerah, belum tercapai karena masih banyak masalah dan belum terintegreted dengan baik," katanya. Ia menambahkan yang diperjuangkan teman-teman mahasiswa Trisakti tahun 1998 adalah untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih baik yang mengacu pada sesuatu yang masiv terhadap perubahan bangsa ini dan struktur demokrasi, ekonomi dan kesejehteraan rakyat. "Gerakan 12 Mei 1998 itu adalah ingin perubahan yang mendasar dan tak bisa dilupakan dan itu membuahkan hasil demokrasi seperti sekarang ini," kata dia.

para mahasiswa hanya boleh bergerak sampai di depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari kampus Trisakti. Pada pukul 17.00 para aparat keamanan meminta para mahasiswa untuk kembali ke dalam kampus mereka. Mahasiswa Trisakti bersedia menghentikan aksi dengan syarat para aparat keamanan yang berjaga ditarik mundur. Aparat keamanan menyetujui syarat tersebut dan secara perlahan dan tertib kembali ke dalam kampus. Beberapa saat berselang, sebagian besar mahasiswa Trisakti sudah berada di dalam kampus, tetapi beberapa mahasiswa lainnya masih berada di depan Kantor Wali Kota. Kemudian para mahasiswa berlari tunggang langgang ke dalam kampus karena mendengar suara letusan senjata. Mahasiswa yang tidak sempat lari dan menyelamatkan diri dipukuli oleh para aparat. Bentrokan pun tidak dapat dihindari lagi. Para mahasiswa yang sudah berada di dalam kampus membalas dengan melempari batu ke arah para aparat. Karena dihujani batu oleh para mahasiswa, para aparat kemudian menembakan gas air mata ke arah kampus Trisakti. Para mahasiswa menyaksikan kebrutalan para aparat keamanan, yang tidak lain adalah para polisi menembaki mereka yang sedang berkerumun dari ketinggian. Pada saat itu rekaman bentrokan antara mahasiswa Trisakti dan para polisi banyak beredar dan tersiar di stasiun-stasiun televisi. Dan dari rekaman tersebut terlihat bahwa polisi melepaskan tembakan terarah kepada para mahasiswa Trisakti tersebut. Sehari setelah peristiwa penembakan tersebut. keempat mahasiswa Trisakti dimakamkan. Setelah pemakaman berlangsung ribuan mahasiswa Trisakti mengadakan aksi berkabung

yang diikuti oleh massa dari kalangan luar kampus Trisakti. Menyadari keadaan tersebut, aparat keamanan mulai bergerah mencegah massa. Massa pun mengamuk dan mengadakan aksi perusakan besar-besaran8.

Pada saat kakacauan besar sedang melanda Indonesia, Soeharto sedang tidak berada di Tanah Air karena menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir. Mendengar kekacauan yang terjadi di Tanah Air, maka Soeharto memutuskan untuk pulang sehari lebih cepat, yang seharusnya tanggal 16 Mei 1998 menjadi 15 Mei 19989. Sesampainya di Tanah Air Soeharto mendengar laporan perkembangan terakhir di dalam negeri. Soeharto merasa ini adalah titik dimana kekuasaannya akan berakhir. Lalu Soeharto pun bersedia untuk memenuhi tuntutan masyarakat, yaitu penurunan harga BBM serta berjanji akan me-reshuffle Kabinet Pembangunan VII10. Tindakan
8 N. Hidayat, Dedi. 2008. Pers Dalam "Revolusi Mei": Runtuhnya Sebuah Hegemoni. (Gramedia Pustaka Utama).
pp. 117. 9 Luhulima, James. 2001. Hari-hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan beberapa peristiwa terkait. (PT Kompas Media Nusantara). pp. 131. 10 Tigor Naipospos, Bonar. 1999. Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998. (Pustaka Hidayah). pp. 262.

Soeharto ini sangat tidak biasa, karena Soeharto pantang untuk mengalah kepada keinginan masyarakat. Tindakan Soeharto ini seakan-akan menjadi alat bantu untuk memperpanjang masa kekuasaannya.

Pada tanggal 18 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi masih melanjutkan aksinya dengan mendatangi Gedung MPR/DPR. Tidak seperti aksi-aksi mereka yang biasa terjadi, kali ini aksi mereka tidak mendapat pengamanan dan tindakan pencegahan oleh aparat keamanan. Lalu pada keesokan harinya para mahasiswa dari Universitas Trisakti mendatangi Gedung MPR/DPR dan menurunkan bendera yang ada di gedung utama menjadi setengah tiang untuk mengenang tragedi tewasnya empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Pada hari yang sama, mahasiswa berkumpul memenuhi sekitar Gedung MPR/DPR tersebut. Sangat penuh hingga para mahasiswa bergerombol di atas kubah atap gedung utama. Lalu delegasi-delagasi mahasiswa bergantian masuk ke dalam gedung untuk berdialog dengan ketua DPR saat itu, Harmoko. Mereka mendesak agar Soeharto mundur dari jabatannya dan diberlakukannya pergantian kepemimpinan nasional. Setelah tekanan demi tekanan dilancarkan oleh para mahasiswa, akhirnya Harmoko menyatakan bahwa pimpinan DPR meminta Soeharto secara arif bijaksana mengundurkan diri. Pernyataan Harmoko ini pun disambut gembira oleh seluruh mahasiswa yang berada di Gedung MPR/DPR pada saat itu. Pada tanggal 20 Mei 1998, perwakilan mahasiswa kembali menemui Harmoko di Gedung MPR/DPR. Mereka memberi batas waktu sampai tanggal 22 Mei 1998 untuk pengunduran diri Soeharto dari jabatannya.

Demikian sampai akhirnya proses demi proses berlangsung. Soeharto banyak melakukan pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan guru-guru besar perguruan tinggi untuk meminta nasehat tentang bagaimana pandangan masyarakat terhadap dirinya dan cara dia memerintah, serta memimpin rakyat Indonesia. Berbagai kalangan yang bertemu dengan Soeharto kala itu menjelaskan bagaimana keinginan rakyat Indonesia sesungguhnya dan meminta Soeharto agar bersedia melepaskan jabatannya yang lebih dari 30 tahun diembannya. Soeharto juga menyampaikan bahwa dirinya bukan tidak bersedia untuk mengundurkan diri. Soeharto berpendapat bahwa dirinya tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja ketika negara sedang mengalami keterpurukan. Setelah menerima nasehat-nasehat dari berbagai kalangan masyarakat tersebut, Soeharto bersedia mengundurkan diri. Tetapi Soeharto meminta penguduran dirinya harus secara sah, kontitusional dan damai. Maka pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri setelah membaca naskah pengunduran diri presiden yang dikenal juga dengan nama naskah lengser keprabon.

Dengan semangat juang para mahasiswa dalam setiap aksi yang mereka lakukan, mereka berhasil mengubah Indonesia ke era refrormasi. Kebebasan yang diimpikan oleh rakyat Indonesia ketika Soeharto masih menjabat menjadi presiden, akhirnya dapat terwujud. Walaupun dengan pengorbanan darah, air mata, jiwa, dan perasaan, mereka tetap maju menghantam tembok penghalang yang diciptakan oleh pemerintah. Bukan hanya dengan teriakan-teriakan kosong, tetapi perjuangan mereka sampai kepada bentrokan dengan aparat keamanan, aksi penembakan, batu melawan timah panas, tidak lagi mereka hiraukan. Dalam pikiran mereka bukanlah lagi keselamatan diri mereka sendiri dan keluarga mereka, tapi juga nasib bangsa Indonesia yang saat itu menghadapi kesengsaraan. Soeharto dengan segala tindakan otoriter, korupsi, kolusi dan nepotisme berhasil diruntuhkan. Hal ini membuktikan sebesar apapun kekuatan pemerintah yang otoriter dapat diruntuhkan dengan perlawan dari suatu pressure group. Bahkan pressure group ini pun tidak segan-segan untuk melawan dan mengorbankan apa yang mereka miliki untuk ditukar dengan kemerdekaan.

Anda mungkin juga menyukai