Anda di halaman 1dari 3

Mengenang Tragedi Trisakti : Martir Demokrasi yang Mati Ditembak Peluru

Besi

Jakarta - 12 Mei 1998 merupakan hari yang muram dalam sejarah modern Indonesia.
Setidaknya, empat orang mahasiswa Trisakti mati setelah ditembak peluru besi, saat mereka
ingin melengserkan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun. 

Dalam buku "Sejarah Pergerakan Nasional" yang ditulis Fajriudin Muttaqin, dkk,
ditulis peristiwa ini bermula lantaran krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun
1998. Kegoyahan ekonomi ini merupakan bagian dari akibat krisis finansial di kawasan Asia.
Lantas, rakyat pun mulai kehilangan kepercayaan kepada presiden Soeharto yang sudah
berkuasa selama 32 tahun. Soeharto sudah dianggap tidak mampu lagi mengatasi krisis
berkepanjangan ini. 

Mahasiswa pun menuntut Soeharto agar lekas turun dari tampuk kekuasaan. Namun,
Soeharto tetap pada pendiriannya untuk melakukan reformasi usai tahun 2003. Protes para
mahasiswa pun makin tak terbendung lantaran reformasi tak kunjung terlaksana. Aksi
demonstrasi bermunculan kembali di sejumlah daerah. Seperti di antaranya, Jakarta,
Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan daerah lainnya. 

Kemudian dampak dari peristiwa demonstrasi pun semakin membara. Apalagi setelah
disiram oleh kenaikan harga bensin, yang mana dari harga Rp 700 menjadi Rp 1.200.
Meledaklah peristiwa 12 Mei yang dikenal dengan tragedi Trisakti. Kekacauan pecah saat
mahasiswa Trisakti dihalangi saat hendak menuju Gedung DPR. 

Aparat keamanan akhirnya mengeluarkan tembakan peringatan. Namun, tembakan itu


bukan peluru karet, melainkan peluru besi. Mahasiswa pun kocar-kacir pergi menyelamatkan
diri, sebagian bahkan ada yang berlindung di gedung kampus Trisakti. Namun, tembakan itu
justru mengenai beberapa mahasiswa. Hingga akhirnya empat mahasiswa gugur dalam
peristiwa ini. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998),
Hafidin Royan (1976-1998) dan Hendriawan Sie (1975-1998). Sedangkan mahasiswa lainnya
luka-luka dan dibawa ke RS Sumber Waras. 

Akhirnya Soeharto Lengser.


Melihat dampak dari sejumlah demontrasi dan tragedi berdarah Trisakti ini, sidang
paripurna pun diusulkan untuk digelar. Masih dari buku "Sejarah Pergerakan Nasional",
dijelaskan bahwa Ketua DPR/MPR Harmoko menyatakan bahwa kepada pers, Wakil Ketua
dan Ketua Dewan setuju menggelar sidang paripurna pada 19 Mei 1998. Sejumlah tokoh
turut diundang ke Istana untuk berdiskusi soal masalah ini. Mereka adalah Emha Ainun
Nadjib, Megawati, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, Nurcholis Madjid dan tokoh lainnya.
Hingga hasilnya, pada hari Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa dirinya
melepaskan jabatannya sebagai Presiden. Berita lengsernya Soeharto ini pun disambut oleh
hiruk-pikuk kegembiraan dari masyarakat. 
Siapa Sang Penembak? 
Lantas, usai tragedi Trisakti, sejumlah aparat keamanan diadili. Dalam buku "Hari-
hari Terpanjang Menjelang Mundurnya Presiden Soeharto dan Beberapa Peristiwa Terkait
(2001)" yang ditulis James Luhulima, dijelaskan bahwa setidaknya ada delapan belas polisi
yang diadili karena tragedi tersebut. Mereka dianggap bertanggung jawab atas sejumlah
korban meninggal dan luka dalam tragedi tersebut. Pemimpin Kompi II Yon B Brimob
Kapten Polisi Agustri Heryanto yang merupakan bagian dari aparat pengamanan pada saat
itu, membantah dirinya terlibat. Seperti yang dikutip majalah Tempo, dia menyebut
pengadilan itu sebagai sidang dagelan, lantaran dirinya tidak terlibat. 

21 Tahun berlalu, Tragedi Trisakti Masih Misteri


21 tahun setelah tragedi tersebut, Universitas Trisakti menggelar peringatan Tragedi
12 Mei 1998. Jajaran rektorat dan para mahasiswa mengenakan pakaian serba hitam dan
menabur bunga sebagai bentuk napak tilas. Gelapnya pengungkapan Tragedi Trisakti
disinggung oleh pejabat sementara (Pjs) rektor Universitas Trisakti, Ali Ghufron Mukti dalam
pidatonya. 

"Dalam peristiwa 12 Mei 1998 itu, keempat nyawa mereka melayang akibat peluru
panas yang ditembakkan. Namun sampai kini, pemerintah yang juga bertanggung jawab
akibat kematian mahasiswa Trisakti belum menemukan titik terang siapa pelaku yang harus
benar-benar bertanggung jawab. Walau tim investigasi sudah dibentuk, namun titik terang
peristiwa 12 Mei 1998 belum menemukan jawabannya sampai kini," ucap Ali.
Analisis berita berdasarkan karakteristik bahasa jurnalistik
1. Ringkas, Singkat, Padat

• Setidaknya, empat orang mahasiswa Trisakti mati setelah ditembak peluru besi,


saat mereka ingin melengserkan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama
32 tahun.
• Setidaknya, empat orang mahasiswa Trisakti mati setelah ditembak peluru besi,
saat mereka ingin melengserkan Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama
32 tahun.

2. Lugas & Jelas


3. Sederhana, Mudah Dipahami.
4. Hindari Jargon
5. Logis
6. Mengutamakan kalimat aktif

Anda mungkin juga menyukai