Anda di halaman 1dari 3

Pengunduran diri presiden soeharto

Pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto mengatakan reformasi baru dapat


dilaksanakan pada 2003, pernyataan tersebut disampaikan melalui Menteri
Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Dachlan. Sehari kemudian, 2
Mei 1998, pernyataan yang mendapat respons keras dari sejumlah kalangan,
termasuk mahasiswa saat itu, diralat oleh Presiden Soeharto, pihaknya
kemudian menyatakan reformasi dapat dilakukan sejak saat itu, yakni 1998.
Di hari yang sama, Presiden Soeharto memangkas subsidi energi mengikuti
saran dari International Monetery Fund atay IMF. Karuan saja keputusan
tersebut menyulut aksi penolakan dari mahasiswa di beberapa wilayah di
Indonesia. Sebab, akibat kebijakan tersebut harga Bahan Bakar Minyak atau
BBM naik dari Rp700 menjadi Rp1.200 per liternya.

Naiknya harga BBM di tengah ekonomi masyarakat sedang terpuruk


memicu demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota di Indonesia, pada 4 Mei
1998 Mahasiswa di Medan, Bandung serta Yogyakarta melakukan aksi
demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan saat para demonstran bentrok
dengan aparat keamanan. Demonstrasi besar-besaran masih berlanjut hingga
5 Mei 1998 di Medan, demonstrasi ini juga berujung kerusuhan.
Pada 9 Mei 1998, Soeharto menghadiri pertemuan Konferensi Tingkat
Tinggi atau KTT G-15 di Kairo, Mesir, sekaligus kali terakhir lawatan Soeharto
ke luar negeri sebagai presiden. Kemudian pada 12 Mei 1998, bertepatan
dengan hari Selasa pukul 16.30 WIB, ribuan mahasiswa Universitas Trisakti
melakukan aksi damai untuk menyampaikan aspirasi ke DPR/MPR. Namun
aksi pawai tersebut dihadang oleh aparat keamanan.
Peristiwa tersebut berujung pada penembakan aparat keamanan terhadap
demonstran yang mengakibatkan empat orang mahasiswa Trisakti tewas.
Mereka adalah Hafidin Royan, Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, dan
Hendryawan, keempat mahasiswa ini dikenang sebagai pahlawan reformasi
dan peristiwa tersebut dinamai Tragedi Trisakti.

Sehari setelah peristiwa berdarah tersebut, sejumlah mahasiswa dari


berbagai Universitas di Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang mendatangi
Kampus Universitas Trisakti untuk menyampaikan duka cita. Namun, secara
tiba-tiba menjelang tengah hari sekelompok masa datang dari Jalan Daan
Mogot menuju Kampus Universitas Trisakti dan bentrok dengan aparat
keamanan. Peristiwa tersebut terjadi di bawah jembatan layang Grogol,
Jakarta Barat. Hari itu disebut juga dengan Hari Rabu Kelabu 13 Mei 1998,
yang menyebabkan Jakarta jadi kota berdarah.

Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 semakin menjadi pada 14 Mei 1998,


penjarahan dan perusakan toko dan rumah etnis Tionghoa terjadi di sejumlah
kota di Indonesia. Sekitar 288 orang tewas dan 101 mengalami luka-luka
akibat peristiwa itu, data tersebut dicatat oleh Palang Merah Indonesia.
Kerugian DKI Jakarta akibat kerusuhan tersebut diperkirakan mencapai Rp2.5
triliun dengan perincian sebanyak 4.939 bangunan rusak, 21 di antaranya
merupakan bangunan milik pemerintah.
Suasana Jakarta semakin mencekam, 16 Mei 1998, warga asing secara
massal kembali ke negara mereka dan berusaha secepat mungkin
meninggalkan Jakarta, menyebabkan Bandara penuh sesak. Soeharto
kembali memanggil Wiranto bersama KSAD Jenderal Subagyo dan Menteri
Sekretaris Negara Saadillah Mursyid. Soeharto menginstruksikan kepada
mereka untuk membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
atau Kopkamtib.

Kemudian pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa dan delegasi mendatangi


gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasi agar Soeharto mundur dari
jabatan presiden, mereka menyebut diri sebagai delegasi Gerakan Reformasi
Nasional. Di depan massa, Ketua DPR/MPR Harmoko didampingi sejumlah
wakilnya mengadakan siaran pers. Dalam siaran pers tersebut, Harmoko
menyampaikan bahwa dirinya dan juga jajaran DPR lainnya juga
menghendaki serta menyarankan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.

Mendengar kabar tersebut, 19 Mei 1998, Soeharto kemudian memanggil


sejumlah tokoh Islam yang terdiri dari sembilan orang. Di antaranya yaitu
Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam
pertemuan tersebut berlangsung selama dua jam lebih, para tokoh agama ini
menyampaikan bahwa rakyat Indonesia tetap menginginkan Soeharto mundur
dari jabatan presiden. Namun Soeharto tetap kukuh bahwa dirinya tetap bisa
mengatasi keadaan saat itu, ia menolak mundur dan mengusulkan
pembentukan Komite Reformasi.
Sehari sebelum mundurnya Soeharto, 20 Mei 1998, malam hari Soeharto
menerima surat hasil keputusan dari 14 Menteri Koordinator Kabinet
Pembangunan VII yang menyatakan sikap tidak bersedia menjabat sebagai
menteri dalam kabinet mendatang yakni Kabinet Reformasi maupun reshuffle
Kabinet Reformasi. Soeharto merasa terpukul dan ditinggalkan oleh orang-
orang kepercayaannya. Malam itu, setelah berdiskusi dengan sejumlah
pejabat, di antaranya Wiranto, akhirnya Soeharto bersedia melengserkan
jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie dan akan diumumkan
keesokan harinya.
Kamis, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, tepat pukul
09.05, Soeharto mengumumkan mundur dari jabatan presiden dan digantikan
B.J. Habibie sebagai presiden ketiga RI. Dengan begitu, dimulainya era
reformasi.

Anda mungkin juga menyukai