Anda di halaman 1dari 4

TRAGEDI TRISAKTI MEI 98

Dandy Try Yacoby: 14410123


Sembilan mahasiswa dinyatakan belum kembali. Tragedi trisakti merupakan
pelajaran berharga bagi kita semua, bagaiman suatu pengorbanan yang harus
dibayar oleh sekelompok mahasiswa untuk memperjuangkan apa yang
diyakininya tanpa pernah menyerah untuk kedamaian negerinya.
Tragedi Trisakti merupakan
peristiwa penembakan mahasiswa pada saat
demonstrasi yang menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Perisiwa tersebut
terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 dan menewaskan empat mahasiswa puluhan
lainnya luka-luka. Mereka yang tewas tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Heri
Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam
kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan
dada. Mahasiswa menuntut pemerintah untuk secepatnya melaksanakan
reformasi politik, ekonomi, dan hukum, serta menuntut dilaksanakannya Sidang
Umum Istimewa MPR.
Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan
pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi
bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR
saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap
menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa
terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak
terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi
supaya suara mereka didengarkan.
Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan
oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR
1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia
termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998.
Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP
Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena
mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok
dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai
perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan
demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang
berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga
terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk
rumah sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi
tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi
sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa
Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai
Presinden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde
baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda
krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR
di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke

kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti.


Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4
mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa
dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk
dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke
seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak
mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.

Kronologi
Tragedi Trisakti yang di identikkan dengan demontrasi yang menuntut turunnya
Soeharto sebagai Presiden merupakan salah satu titik balik. Kematian yang
terjadi dalam tragedi tersebut bersama dengan keruntuhan ekonomi, kebrutalan
ABRI, korupsi rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi , telah memporakporandakan benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial.
Jika diamati, peristiwa Trisakti tersebut dilatar belakangi oleh Ekonomi Indonesia
mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia.
Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR,
termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari
kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka
dihambat oleh blokade dari Polrimiliter. Beberapa mahasiswa mencoba
bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru
ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar
berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan
penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras . Satuan
pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian
RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad,
Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor.
Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu
orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan
peluru tajam.

Identifikasi:
Adanya serangan yang sistematis terhadap mahasiswa Trisakti saat itu menjadi
ciri utama kejahata keanusiaan. Serangan yang dilakukan aparat TNI dan POLRI
pada peristiwa tersebut sangat jelas bukan merupakan serangan dalam
pengertian perang. Tetapi serangan dalam pengertian suatu rangkaian
perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan
penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi, sebagaimana

yang dimaksud dalam penjelasan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Penyerangan terhadap para demonstran pada peristiwa ini tampak tidak terukur
dan di luar batas-batas kewajaran (exesive use of force). Sebagaimana standar
operasi pengendalian huru-hara penggunaan gas air mata, meriam air dan
tembakan salvo memang dilakukan, akan tetapi penggunaan cara itu terutama
senjata api dengan peluru karet atau tajam tetap harus dibatasi. Pada peristiwa
ini, para demonstran tak hanya dibubarkan dengan perangkat penghalau, tapi
banyak yang diserang secara fisik, ataupun dianiaya, bahkan dalam beberapa
kejadian terjadi pelecehan dan serangan seksual, yang menunjukkan operasi
pengendalian itu di luar batas kewajaran.
Upaya Penyelesaian pada kasus ini salah satunya dengan pembentukan Komisi
Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan
Semanggi II. Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus Trisakti dan
Semanggi I dan II ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan
Militer, namun sehubungan dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran
HAM berat, tuntutan keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat, dan dalam
rangka penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia, dipandang
perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan dengan membentuk Komisi
Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Maka
dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati
pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang selanjutnya dituangkan dalam SK
Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/ 2001 tanggal 27 Agustus 2001.
Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia peristiwa
Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II didasarkan atas:
1.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
2.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
3.Keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001.
4.Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/2001 tanggal 27
Agustus 2001 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia peristiwa Trisakti, Semanggi I& II.
Tugas dan wewenang KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II adalah :
1.Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang terjadi dan
kasus-kasus yang berkaitan
2.Meminta keterangan pihak-pihak korban
3. Memanggil dan memeriksa saksi-saksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat
dalam pelanggaran hak asasi manusia
4.Mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan pelanggaran hak asasi manusia

5.Meninjau dan mengumpulkanketerangan di tempat kejadian dan tempat


lainnya yang dianggap perlu
Meskipun sudah dibentuk KPP HAM Trisakti, semanggi I dan II. Namun
kenyataannya, penyelesaian kasus trisakti nasibnya kurang lebih sama dengan
reformasi, yaitu mati suri. Bertahun-tahun sudah kasus trisakti terjadi, tapi para
pelaku tidak pernah terungkap dengan terang benderang, sehingga mereka tak
pernah dibawa ke meja hijau.
Padahal Komnas HAM menengarai adanya pelanggaran HAM berat pada
penangan demonstrasi mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998. Salah satu indikasi
sulitnya membongkar kasus ini adalah keterlibatan orang-orang penting
(berkuasa) pada saat itu atau bahkan sampai saat ini sehingga ada banyak
kepentingan yang menghalang-halangi penuntasa kasus ini.Tahun demi tahun
terus bergulir. Pemerintah (presiden) pun telah beberapa kali berganti, namun
penyelesaian kasus trisakti tidak tahu rimbanya. Komnas HAM menyatakan
bahwa mereka telah menyerahkan laporan penyalidikan kasus itu sejak 6 Januari
2005 kepada Kejaksaan Agung. Namun sampai saat ini tidak ada tindak lanjut
yang jelas yang dapat diketahui masyarakat terutama keluarga korban.

Tujuh belas tahun lebih kasus Trisakti terjadi, Presiden juga sudah mengalami
pergantian sebanyak tiga kali, namun kasus ini belum juga ada kejelasan.
Menurut saya setidaknya apabila pemerintah dirasa tidak bisa membuka siapa
dibalik peristiwa ini bisa saja mengambil langkah dengan melakukan
penyelesaian diluar pengadilan atau non litigasi. Bisa saja dengan mediasi,
konsoliasi dan juga bisa dengan bermusyawarah untuk mendapat kesepakatan
bersama. Karena meskipun tidak ada penyelesaian secara hukum, setidaknya
pemerintah memiliki itikad baik dalam penyelesaian kasus ini. Karena esensi dari
penyelesaian kasus pelanggaran HAM sangat penting bagi keluarga korban,
penting untuk memajukan perlindungan HAM di masyarakat, pemulihan kondisi
atas ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah juga sebagai acuan
agar tidak terjadi pelanggaran HAM berat dimasa yang akan datang.
Untuk itu diperlukan keseriusan, kejujuran, dan kebranian berbagai pihak untuk
menuntaskan kasus ini. Presiden serta menkopolhukam dan kementrian hukum
dan HAM yang ada dibawahnya harus bertindak. DPR memberikan pengawasan
dan meningkatkan pemerintah, Kejaksaan Agung harus mengambil langkah
strtegis. Demikian juga keberadaan Komnas HAM dan pihak lainnya untuk samasama mencari solusi penyelesaiann kasus ini. Tanpa itu semua, sepertinya kita
masih harus menunngu bagaimana akhir dari tragedy Trisakti

Anda mungkin juga menyukai