demonstrasi besar-besaran yang berujung pada tindak anarkis melawan pihak militer
yang mewakili pemerintah. Para mahasiswa dan demonstran memprotes Orde Baru
dan Soeharto nya yang kental dengan KKN dalam pemerintahannya yang berakibat
pada ketidakmampuan dalam mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan
masa pemerintahan Soeharto yang sudah terlalu lama yang juga penuh dengan
berbagai penyimpangan sejarah.
1. Tragedi Trisakti
PENYEBAB.
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia
sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung
DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul
12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian.
Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di
universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI,
Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon
Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi
dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam
keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru
tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara
diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Tragedi Trisakti
LIMA belas tahun yang lalu, enam mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembus
peluru polisi. Mereka menjadi martir saat melakukan aksi demonstrasi menolak pemilihan
kembali Soeharto sebagai Presiden, pada 12 Mei 1998 silam. Kematian pejuang pro
demokrasi itu, dengan cepat menyebar dan membakar amarah rakyat.
Peristiwa itu terjadi saat ribuan mahasiswa menggelar longmarch dari kampus Trisakti
di Grogol, menuju Gedung DPR/MPR di Slipi Jakarta. Namun, baru sampai depan kampus,
mereka sudah dihadang ratusan polisi bersenjata lengkap dengan posisi siap menembak.
Meski dihadapkan dengan moncong sejata, pemuda-pemudi pemberani ini tak gentar.
Mereka tetap melangsungkan aksi demonstrasi dengan menggelar mimbar bebas di
jalan selama berjam-jam. Polisi yang kesal kemudian menyuruh mahasiswa masuk, sambil
mengancam akan menembak jika mereka tak mendengar.
Mahasiswa pun setuju untuk kembali ke dalam kampus dengan damai. Namun, saat
akan masuk ke dalam kampus, mereka mendapat provokasi hingga berujung pada bentrokan
fisik. Suasana berubah menjadi chaos, dan terdengar suara rentetan tembakan ke arah massa
pro demokrasi itu.
Enam orang dinyatakan tewas dalam peristiwa penembakan itu. Sementara 16 orang
mahasiswa lainnya, termasuk pelajar, dan masyarakat yang ikut dalam aksi mengalami luka
parah. Mereka dipukuli, diinjak, dan menjadi korban penembakan brutal polisi.
Para mahasiswa yang tewas tertembak dalam tragedi Trisakti adalah Elang Mulia
Lesmana (Fakultas Arsitektur 1996), Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi 96), Heri Heriyanto
(Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin 95), Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan
Manajemen 96), Vero (Fakultas Ekonomi 96), dan Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil 95).
Selain mahasiswa, Samsul Bahri, siswa STM juga tewas. Dia terkena peluru tajam
pada bagian perutnya hingga terburai, dan langsung dilarikan ke rumah sakit untuk operasi.
Sayang, nyawa pelajar pemberani ini tak tertolong.
Pada saat yang sama, di kampus Atmajaya, massa mahasiswa yang tergabung dalam
Forum Kota (Forkot) tengah melakukan aksi mimbar bebas di dalam kampus. Saat
mendengar rekannya tewas tertembus timah panas, mereka berencana bergabung dengan
mahasiswa Trisakti. Namun, baru sampai depan kampus, mereka dihadang polisi.
Pasca peristiwa itu, amuk massa terjadi dimana-mana, hingga 15 Mei 1998. Ribuan
gedung, toko, dan rumah dihancurkan. Bahkan ada yang dibakar oleh massa. Sasaran
kemarahan massa saat itu dialihkan kepada etnis China. Tidak hanya menjarah, massa juga
membunuh, dan memperkosa para wanita keturunan etnis minoritas itu.
Situasi benar-benar tidak terkendali. Mahasiswa ada yang coba menenangkan, namun
gagal. Sedang aparat kepolisian, dan tentara yang berjaga-jaga di lokasi saat itu, hanya
menonton dari kejauhan. Alhasil, ribuan orang menjadi korban. Ada yang tewas dalam
bentrok, hilang diculik, hingga terpanggang api saat melakukan penjarahan.
Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), pelaku kerusuhan pada 13-15
Mei 1998 dibagi menjadi dua golongan. Terdiri dari massa pasif (massa pendatang) yang
karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan kedua kelompok provokator.
Para provokator ini, umumnya bukan dari wilayah setempat. Secara fisik, mereka
tampak terlatih, dan sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap). Bahkan
mereka tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang
terbakar. Belum diketahui siapa provokator ini.
Mereka juga membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak
dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov,
dan sebagainya.
Kelompok inilah yang menggerakkan massa dengan memancing keributan,
memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran, melakukan perusakan awal, pembakaran, dan
mendorong aksi penjarahan. Kelompok ini datang dari luar, dan bukan penduduk setempat.
Jumlah mereka hanya belasan, tetapi sangat terlatih.
Kelompok ini mempunyai kemampuan ahli dan terbiasa menggunakan alat untuk
kekerasan. Mereka juga memiliki mobilitas yang tinggi dan kerja yang sistematis. Dalam
aksinya, mereka kerap menggunakan sarana transportasi, seperti motor, mobil/Jeep, dan alat
komunikasi (HT/HP).
Pada umumnya, kelompok ini sulit dikenali walaupun di beberapa kasus dilakukan
oleh kelompok dari organisasi pemuda (contoh di Medan, ditemukan keterlibatan langsung
Pemuda Pancasila). TGPF juga menemukan fakta adanya keterlibatan anggota aparat
keamanan dalam kerusuhan di Jakarta, Medan, dan Solo.
Dalam kesimpulannya, TGPF menyatakan, kerusuhan Mei bersifat saling terkait
antar-lokasi, dengan model yang mirip provokator. Skala kerusuhan ini sangat besar dan
terdapat keseragaman waktu. Lebih jauh, kerusuhan terjadi secara berurutan, dan sistematis.
Tim juga menemukan, dugaan adanya faktor kesengajaan yang mengandung unsur
penumpangan situasi. Dimana para provokator diduga sengaja menciptakan kerusuhan,
sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite.
Kesimpulan itu merupakan penegasan bahwa terdapat keterlibatan banyak pihak,
mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah
anggota dan unsur di dalam ABRI yang ada di luar kendali dalam kerusuhan itu.
Tim itu, kata dia, musti terdiri dari tim penyidik kejaksaan, anggota penyelidik
Komnas HAM, Mahkamah Agung, dan DPR. Dijelaskan, gagasan ini sebenarnya sudah
pernah ada ketika Sekjen Komnas HAM masih dijabat Asmara Nababan. Bersama dengan
anggota KPP HAM, Albert Hasibuan, ia pernah bertemu dengan Jaksa Agung, M.A.
Rachman. Dan, ide tersebut muncul. Namun, “Tim itu gagal dibentuk karena Asmara
Nababan tak terpilih lagi jadi Sekjen," katanya. Alhasil, gagasan itu mentah lagi disusul
pergantian anggota komisi.
Lebih lanjut, Pangaribuan menyatakan, jaksa pasti kesulitan memproses kasus ini
karena Undang-Undang HAM saling bertolak belakang satu sama lain. "Kalau sudah disidik,
mau dibawa ke mana berkas itu? Pengadilannya saja tidak ada," katanya. Ia merujuk hasil
Panitia Khusus DPR untuk kasus ini yang menyatakan bahwa peristiwa penembakan itu
bukan tergolong pelanggaran HAM berat. Maka, agar kasus ini bisa diadili, DPR harus
mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc kepada Presiden, sesuai pasal 43, UU
26/2000.
Pasal itu berbunyi, “Seorang komandan dinyatakan bersalah jika tak mencegah anak
buahnya melakukan pelanggaran HAM, atau tidak mau menyerahkannya ke penuntutan
untuk diadili.” Faktanya, kata Pangaribuan, pengadilan militer sudah menghukum para
prajurit yang jadi tersangka kasus ini. Sementara, untuk mengadili para komandannya harus
dibentuk pengadilan HAM ad hoc dulu. Repotnya, pembentukan pengadilan seperti itu pun
melanggar pasal 91, UU Hak Asasi Manusia, Nomor 39/1999.