Anda di halaman 1dari 8

TUGAS PKN

PELANGGARAN KASUS HAM DI INDONESIA

XI MIPA 1
ANNISA NUR FIRDAUSI
01/09/2019

A. KASUS PEMBUNUHAN MARSINAH


Marsinah adalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja
pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia
ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi
dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa
Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah merupakan salah seorang dari 15 orang perwakilan para
buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Kasus
pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS bermula dari surat
edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada
pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan
kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut
dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti
tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993,
Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat
Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan
untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp
1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei 1993, tanpa Marsinah, 13 buruh yang
dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim)
Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka
dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim.
Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8,
keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.

Dalam penyelesaian kasus ini, secara resmi Tim Terpadu telah


menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan
terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di
bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah
kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki putih ke
rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah
disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan
sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun,
namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah
Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah
menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa
penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.

Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional),


dikenal sebagai kasus 1713.  Hingga kini kasus Marsinah tetap menjadi
misteri.
B. KASUS TRAGEDI SEMANGGI

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat


terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan
tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I
terjadi pada 11-13 November 1998, , yang menyebabkan tewasnya 17 warga
sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24
September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan
sebelas orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban
luka-luka.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan
puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak
untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara
mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan
membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan.
Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan.
Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi
Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung
dan merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban
kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya
adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi
Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin
menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma
Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi
terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan
penembakan ke dalam kampus AtmaJaya.
Jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Pada 24 September
1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan
kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk
mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB)
yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan
kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer.
Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-
sama menentang diberlakukannya UU PKB.

Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka


tembak di depan Universitas Atma Jaya.

Sejak berkas penyelidikan peristiwa Semanggi I dan Semanggi II


diserahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung pada tahun 2002 hingga
tahun 2008, sampai saat ini berkas tersebut masih belum juga ditindaklanjuti
ke tahap penyidikan maupun penuntutan. Sejumlah alasan dikemukakan
Jaksa Agung, mulai dari berkas yang tidak dapat ditingkatkan ke tahap
penyidikan karena aparat pelaksana di lapangan telah diadili di Pengadilan
Militer, hingga belum terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk peristiwa
tersebut.
C. KASUS PENEMBAKAN MAHASISWA TRISAKTI

Peristiwa Trisakti ini bermula dari kondisi perekonomian Indonesia


yang sedang jatuh di awal 1998. Krisis ekonomi yang menerpa Asia pada
waktu itu cukup berimbas terhadap perekonomian Indonesia. Berlatar
belakang krisis finansial tersebut mahasiswa menuntut Presiden Soeharto
yang telah berkuasa lebih dari 3 dekade untuk turun. Demonstrasi besar –
besaran pun terjadi menuntut DPR/MPR menurunkan Soeharto.
Di awali dengan mimbar bebas pada 12 Mei 1998, mahasiswa
kemudian bergerak keluar kampus menuju gedung DPR/MPR. Di tengah
perjalanan menuju gedung DPR/MPR aksi mahasiswa di hadang oleh satuan
petugas dari kepolisian dengan perlengkapan pentungan dan tameng
lengkap. Setelah melalui negoisasi yang cukup alot akhirnya mahasiswa
dihentikan disana tepat di depan kantor Walikota Jakarta Barat. Aksi spontan
mahasiswa berlanjut dengan mimbar bebas di depan kantor Walikota Jakbar
tersebut, seiring dengan bertambahnya aparat dari Pengendalian massa
(Dalmas), Kodam Jaya dan aparat kepolisian lainnya.
Di tengah – tengah hujan negoisasi antara Mahasiswa dengan Dandim
dan Kapolres berlanjut, akhirnya terjadi kesepakatan setelah dari pihak
Mahasiswa di bujuk oleh Dekan FE dan Dekan FH Universitas Trisakti bahwa
kedua belah pihak sama – sama mundur. Aparat dan mahasiswa sama –
sama mundur teratur sampai terjadi provokasi oleh seorang oknum yang
mengaku sebagai alumni Trisakti dan menyebabkan suasana menjadi tegang.
Setelah terjadi negoisasi kembali, akhirnya mahasiswa mundur secara
teratur kembali ke kampus Trisakti. Di tengah – tengah teraturnya mahasiswa
kembali ke kampus Trisakti beberapa aparat provokatif kepada mahasiswa
yang menyebabkan beberapa mahasiswa terpancing emosinya. Bersamaan
dengan itu aparat secara membabi buta menyerang mahasiswa dengan
tembakan dan gas air mata. Kepanikan yang terjadi membuat mahasiswa lari
menuju kampus, tetapi oleh aparat tetap di kejar, dipukul, diinjak dipopor
senjata dan tindakan kekerasan lainnya. Tembakan dan pelemparan gas air
mata semakin merajalela kearah mahasiswa. Tidak lama berselang, pasukan
Unit Reaksi Cepat (URC) bermotor mengejar mahasiswa sampai gerbang
kampus. Mahasiswa yang telah berada didalam kampus tak luput dari
sasaran tembak, dengan formasi siap tembak dan
beberapa sniper mahasiswa yang telah di dalam kampus berjatuhan oleh
peluru dari aparat. Dan tidak dapat di elakkan lagi 4 mahasiswa Trisakti
tewas. dan puluhan lainnya luka – luka. Mereka tewas tertembak di dalam
kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala,
tenggorokan,dan dada.
Bertahun-tahun sudah Tragedi Trisakti berlalu, namun sampai saat ini,
pemerintah seolah kesulitan mengungakap siapa pelaku dalam peristiwa
tersebut. Padahal Komnas HAM telah menyatakan bahwa Tragedi Trisakti ini
merupakan pelanggaran HAM berat. Salah satu hal yang menyebabkan
sulitnya mengungkap pelaku, adalah dikarenakan adanya orang-orang yang
penting(berkuasa) saat itu, ditambah lagi adanya pihak-pihak yang
menghalang-halangi penuntasan kasus ini. Komnas HAM menyatakan bahwa
mereka telah menyerahkan laporan penyelidikan kasus ini sejak 6 Januari
2005 kepada Kejaksaan Agung. Tetapi sampai saat ini, tidak ada kelanjutan
yang jelas, sehingga masalah ini menjadi terlunta-lunta.
D. KASUS PEMBUNUHAN MUNIR

Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 –


meninggal di Jakarta jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur
38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM
Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau
Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin
melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang
bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak
balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir.
Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju
Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat,
pada 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol
Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi
Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa
arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia.
Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang
menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis


14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim
menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti,
menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum
pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah
telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan
lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi
independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke
publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga
orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra,
ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir.
Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun demikian,
pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat
kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang
memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.
E. KASUS KONFLIK SAMPIT

Konflik Sampit tahun 2001 merupakan puncak dari pertikaian antara


suku Madura dengan suku Dayak, yang telah terjadi beberapa insiden
sebelumnya. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari
1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba
di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan
oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.
Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah.
Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari
warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah
memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri
komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak
selama konflik ini. Suku Dayak memiliki sejarah praktik ritual pemburuan
kepala (ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.
Perang Sampit adalah puncak dari pertikaian antara etnis Madura
dengan Dayak yang sudah berlangsung sejak tahun 1972. Dalam kasus
tersebut, pemerintah sudah berupaya untuk mengatasi kerusuhan tersebut
dengan menerjunkan TNI dan Polri. Selain itu, pemerintah juga berusaha
mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Meskipun pertikaian itu memakan
banyak korban jiwa dan kerugian materi, tetapi pemerintah tidak bisa
menerapkan hukum negara yang berlaku. Karena pertikaian tersebut masih
kental dengan nuansa etnis. Selain itu, pemerintah juga sulit menangkap
pelaku kerusuhan, karena terlalu banyak. Dan jika dilakukan penangkapan,
ditakutkan malah akan menimbulkan kerusuhan lagi .
Analisis pelanggaran HAM

A ) kasus marsinah
Kasus pembunuhan Marsinah, jelas melanggar Pasal 28D ayat (2) UUD
1945. Dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan  layak dalam hubungan kerja. Berkumpul ataupun
berkelompok dengan tujuan melakukan tindakan  pemogokan dan unjuk rasa pun
telah mendapat perlindungan hukum. Tentu dengan syarat bahwa kumpulan massa
tersebut tidak melakukan tindakan anarkis. Dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan setiap orang berhak untuk berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat untuk maksud-maksud yang damai. Selain
itu, kasus pembunuhan Marsinah juga melanggar Pasal 28A UUD 1945. Dalam
Pasal 28A dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dam kehidupannya. Kasus pembunuhan Marsinah di atas
merupakan pelanggaran HAM berat. Karena, ada unsur penyiksaan dan
pembunuhan sewenang-wenang didalamnya. Dalam UUD 1945, jelas bahwa
tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan
Marsinah dan kawan-kawan buruh.
B) TRAGEDI SEMANGGI
Tragedi Semanggi merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan setiap orang berhak untuk
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak menyampaikan pendapat
adalah kebebasan bagi setiap warga negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan
sistem demokrasi pancasila di Indonesia. Selain itu, tragedi Semanggi juga
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28A UUD 1945, yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dari kehidupannya.
Dalam tragedi Semanggi, terjadi kerusuhan yang memakan korban jiwa.
C ) KASUS TRISAKTI
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti adalah salah satu pelanggaran
terhadap Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan setiap orang berhak untuk berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak menyampaikan pendapat adalah
kebebasan bagi setiap warga negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan sistem
demokrasi pancasila di Indonesia. Dalam kasus Trisakti, para mahasiswa melakukan
demo agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden Indonesia. Tapi, aparat
kepolisian malah membubarkan mereka dengan cara yang nggak nyantai. Selain itu,
kasus penembakan terhadap mahasiswa Trisakti merupakan pelanggaran terhadap
Pasal 28A UUD 1945. Dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dalam kasus Trisakti, terjadi
kerusuhan yang memakan korban jiwa dengan tewasnya 4 mahasiswa.
D ) KASUS MUNIR
Kasus pembunuhan Munir, termasuk dalam pelanggaran
terhadap 28A UUD 1945. Dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dari kehidupannya. Dalam
kasus Munir, terlihat adanya usaha dari pihak tertentu untuk
menyingkirkan Munir dengan cara menghilangkan nyawanya.

E ) KONFLIK SAMPIT
Menurut analisis kami, Perang Sampit merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 28B ayat (2) UUD 194, yang menyatakan setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminsi. Dalam Perang
Sampit, pastilah ada korban yang masih anak-anak, yang tewas dalam
perang tersebut. Selain itu, Perang Sampit juga merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 28H ayat (1) 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Perang Sampit, masyarakat
yang tinggal di sana merasa tidak aman dan tidak nyaman. Perang
Sampit juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28A UUD 1945,
karena didalamnya terdapat pembantaian terhadap suatu etnis. 

Anda mungkin juga menyukai