Anda di halaman 1dari 4

Lalu, apa yang terjadi pada 12 Mei 1998 itu?

Demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti


merupakan rangkaian aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sejak awal 1998. Aksi
mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh
kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998. Jika sebelum Sidang Umum MPR pada
1-11 Mei 1998 aksi mahasiswa digelar di dalam kampus, saat sidang itu digelar mahasiswa
mulai bergerak ke luar kampus. Dikutip dari dokumentasi Kompas, di sela sidang, pada 5 Maret
1998, sekitar 20 mahasiswa Universitas Indonesia bahkan pernah bertemu Fraksi ABRI untuk
menyuarakan penolakan laporan pertanggungjawaban Soeharto. Meski demikian, tuntutan itu
sebatas didengarkan dan tidak dipenuhi. Setelah Soeharto terpilih kembali, aksi mahasiswa
mulai dilakukan di luar kampus. Aksi di kampus Trisakti pada 12 Mei 1998 tercatat sebagai salah
satu demonstrasi mahasiswa terbesar yang dilakukan di luar kampus.

Posisi kampus yang strategis, dekat dengan kompleks gedung DPR/MPR, menjadikan
Universitas Trisakti menjadi titik berkumpul mahasiswa dari berbagai kampus. Kompas
mencatat, aksi itu dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Agenda aksi saat itu termasuk mendengarkan
orasi Jenderal Besar AH Nasution, meski kemudian tidak jadi datang. Orasi pun dilakukan para
guru besar, dosen, dan mahasiswa. Sekitar pukul 13.00 WIB, peserta aksi mulai keluar kampus
dan tumpah ruah di Jalan S Parman. Mereka hendak long march menuju gedung MPR/DPR di
Senayan. Barisan depan terdiri dari para mahasiswi yang membagi-bagikan mawar kepada
aparat kepolisian yang mengadang ribuan peserta demonstrasi. Negosiasi pun dilakukan.
Pimpinan mahasiswa, alumni, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim
Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril sepakat bahwa aksi damai hanya bisa dilakukan hingga depan
Kantor Wali Kota Jakarta Barat, sekitar 300 meter dari pintu utama Trisakti. Berdasarkan
kesepakatan itu, mahasiswa melanjutkan aksi dengan menggelar mimbar bebas menuntut
agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR. Aksi berjalan hingga pukul 17.00 WIB, tanpa
ketegangan yang berarti. Saat itu, sebagian peserta aksi juga mulai masuk ke dalam kampus.

Akan tetapi, justru saat 70 persen mahasiswa sudah masuk ke dalam kampus, terdengar letusan
senjata dari arah aparat keamanan. Sontak, massa aksi yang panik kemudian berhamburan, lari
tunggang langgang ke dalam kampus. Ada juga yang melompati pagar jalan tol demi
keselamatan diri. Setelah itu, aparat keamanan bergerak dan mulai memukuli mahasiswa.
Perlawanan dilakukan, mahasiswa mulai melempar aparat keamanan dengan benda apa pun
dari dalam kampus. Baca juga: 20 Tahun Reformasi, Jusuf Kalla Sebut Ada Tiga Perubahan
Pokok Dihujani peluru tajam Penembakan terhadap mahasiswa diketahui tidak hanya berasal
dari aparat keamanan yang berada di hadapan peserta demonstrasi. Dalam berbagai
dokumentasi televisi, terlihat juga tembakan yang dilakukan dari atas fly over Grogol dan
jembatan penyeberangan. Aparat keamanan tidak hanya menembak dengan menggunakan
peluru karet. Pihak kampus pun menemukan adanya tembakan yang terarah, dengan
menggunakan peluru tajam. "Kita sudah bilang aparat jangan represif, tapi kok seperti ini.
Mahasiswa saya ditembaki dengan peluru tajam, dan itu berlangsung di dalam kampus," ujar Adi
Andojo yang juga menjadi Ketua Krisis Centre Universitas Trisakti. "Padahal seharusnya ada
prosedurnya. Kok ini tiba-tiba pakai peluru tajam, dan mereka (mahasiswa) sudah berada di
dalam kampus. Padahal mahasiswa tidak melawan, tidak melempar batu, dan tidak melakukan
kekerasan. Mahasiswa saya itu sudah berangsur-angsur pulang ke kampus," kata Adi.

Wakil Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman yang hadir di kampus Trisakti pun menyatakan
adanya serangan terhadap kemanusiaan dalam menangani aksi massa. Mahasiswa yang
menjadi korban penembakan kemudian dilarikan ke sejumlah rumah sakit terdekat, terutama RS
Sumber Waras. Suasana memilukan begitu terasa di Unit Gawat Darurat RS Sumber Waras.
Rasa cemas, sedih, takut, serta marah begitu terasa. Dalam jumpa pers yang dilakukan, pihak
kampus menyatakan ada enam korban tewas, yang beberapa hari kemudian dipastikan ada
empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban. Misteri penembak Dikutip dari buku Mahasiswa
dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016) yang ditulis Rosidi Rizkiandi,
ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun'im Idries mengatakan bahwa hasil visum memang
memperlihatkan serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh Hery Hertanto. Peluru itu biasanya
digunakan senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1. Saat itu, senjata Styer digunakan oleh
satuan Brimob atau Kopassus. Hasil otopsi Tim Pencari Fakta ABRI juga mengungkap hasil
yang sama. Hal senada juga didapat dari uji balistik di Forensic Technology Inc di Montreal,
Kanada. Namun, Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah anak buahnya
menggunakan peluru tajam. Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi
hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata.
Persidangan terhadap enam terdakwa beberapa tahun kemudian juga tidak dapat mengungkap
siapa penembak mahasiswa yang menggunakan peluru tajam dan motifnya. Enam terdakwa
hanya dituduh dengan sengaja tidak menaati perintah atasan. Misteri penembakan masih
menyelimuti sejarah kelam itu. Akan tetapi, empat mahasiswa yang tewas dalam Tragedi 12 Mei
1998 tetap dikenang sebagai pahlawan reformasi.

Peristiwa kerusuhan selalu tersimpan dalam memori masyarakat era 1998-an. Bagi yang tidak tahu
menahu terkait tragedi 12 Mei 1998, berikut Tagar rangkum sejumlah fakta tentang peristiwa
runtuhnya Orde Baru itu.

1. Ingin Soeharto Akhiri Pemerintahan

10 Maret 1998, Presiden Kedua RI Soeharto kembali menjadi presiden Indonesia,


untuk ketujuh kalinya setelah ditetapkan dalam Sidang Umum MPR. Kekuasaan
Soeharto yang berlangsung selama 31 tahun itu pun sangat membuat gerah
mahasiswa dan aktifis di seluruh Indonesia.

2. Demonstrasi Besar

Serangkaian aksi demontrasi menuntut pemerintahan Soeharto berakhir


dilancarkan seluruh aktifis pun mahasiswa. Jika sebelumnya aksi mahasiswa
digelar di dalam kampus, saat Soharto kembali menjadi presiden, mahasiswa mulai
melakukan demonstrasi yang tercatat sebagai demonstrasi terbesar mahasiswa itu,
ke luar kampus.

Setelah mendengar orasi dari para guru besar, dosen, dan mahasiswa, mahasiswa
yang berasal dari berbagai kampus itu pun mulai keluar kampus pada 13:00 WIB
membanjiri Jalan S Parman. Mereka berniat untuk long march menuju gedung
MPR/DPR RI di Senayan. Mahasiswi berada di barisan depan membagi-bagikan
bunga mawar pada aparat kepolisian yang siap sedia menjaga demonstrasi.
3. Aksi Damai Berujung Tragedi

Namun, setelah dilakukan negosiasi antara pimpinan mahasiswa, alumni, Dekan


Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol
(Inf) A Amril, disepakati bahwa aksi damai hanya bisa dilakukan hingga depan
Kantor Wali Kota Jakarta Barat, atau 300 meter dari pintu utama Universitas
Trisakti.

Tak menentang kesepakatan, mahasiswa melanjutkan aksi damai hingga pukul


17.00 WIB, menggelar mimbar bebas menuntut agenda reformasi dan Sidang
Istimewa MPR. Pada saat waktu aksi akan berakhir, sebenarnya sebagian peserta
aksi telah mulai masuk kembali ke area kampus.

Tetap, disaat yang sama justru suara letusan senjata terdengar dari aparat yang
berdiri di hadapan peserta demonstrasi. Bahkan, dalam berbagai dokumentasi,
terlihat tembakan yang dilakukan dari atas fly over Grogol dan jembatan
penyeberangan. Mahasiswa yang mendengar suara letusan senjata panik, berlarian
kesana kemari mencari jalan untuk masuk area kampus kembali.

Tak lama kemudian, aparat keamanan bergerak dan mulai memukuli mahasiswa.
Tak mau diam, mahasiswa yang di area kampus melawan aparat keamanan dengan
melemparkan beda apapun disekitarnya.

4. Menewaskan Empat Mahasiswa Trisakti

Saat terjadi peristiwa diketahui adanya mahasiswa yang menjadi korban


penembakan. Mereka pun kemudian dilarikan ke sejumlah rumah sakit terdekat,
salah satunya Rumah Sakit Sumber Waras. Kemudian pihak kampus menyatakan
ada enam korban tewas dari peristiwa damai yang berujung rusuh penembakan
tersebut.

Empat dari enam korban adalah mahasiswa Trisakti, mereka Elang Mulia
Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.

5. Peluru Kaliber Tewaskan Mahasiswa

Seperti dikutip dari buku yang ditulis Rosidi Rizkiandi, Mahasiswa dalam Pusaran
Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap 2016, ahli kedokteran forensik dr
Abdul Mun'im Idries mengungkapkan hasil visum memperlihatkan serpihan peluru
kaliber 5,56 mm di tubuh Heri Hertanto.
Peluru yang biasanya digunakan senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1,
senjata yang memang digunakan satuan Brimob atau Kopassus saat itu.

Bukan hanya ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun'im Idries, hasil otopsi Tim
Pencari Fakta ABRI, uji balistik di Forensic Technology Inc di
Montreal, Kanada mendapatkan hasil yang sama mengenai penyebab kematian
salah satu mahasiswa bernama Heri Hertanto.

6. Penembak Masih Misteri

Hingga 21 tahun berlalu, belum juga ditemukan dan diketahui siapa sebenarnya
orang dibalik penembakan terhadap mahasiswa di Trisakti. Karena, usai peristiwa
berlangsung Jenderal Pol Dibyo Widodo, Kapolri yang menjabat saat itu
membantah bahwa anak buahnya telah menggunakan peluru tajam dalam
mengamankan demonstrasi.

Senada dengan dia, Kapolda Metro Jaya Hamami Nata saat itu, juga
menyatakan polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru
karet, dan gas air mata. Meski akhirnya ada enam orang oknum aparat yang
menjadi terdakwa beberapa tahun kemudian, tetap saja tidak terungkap siapa dan
apa motif dari penembak para pahlawan reformasi tersebut. Terdakwa hanya
dijatuhkan tuduhan karena dengan sengaja tidak menaati perintah atasan. []

Anda mungkin juga menyukai