KELOMPOK 2
1. TRAGEDI TRISAKTI
RINGKASAN KASUS
UPAYA PENYELESAIAN
Tanggal 6 Juni 1998, pengadilan militer untuk kasus Trisakti dimulai
di Mahkamah Militer 11-08 Jakarta dengan terdakwa Lettu Polisi Agustri
Haryanto dan Letda Polisi Pariyo. Tanggal 31 Maret 1999, enam terdakwa
kasus Trisakti dihukum 2-10 bulan. Tanggal 18 Juni 2001, kasus penembakan
terhadap 4 mahasiswa Universitas trisakti kembali disidangkan di Mahkamah
Militer 11- 08 Jakarta. Persidangan kali ini mengajukan sebelas orang anggota
Brimob Polri. Tanggal 9 Juli 2001, rapat paripurna DPR RI mendengarkan
hasil laporan Pansus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II (TSS), disampaikan
Sotardjo Surjoguritno. Isi laporan: Fraksi PDI P, Fraksi PDKB, Fraksi PKB
(3 fraksi) menyatakan kasus Trisakti terjadi unsur pelanggaran HAM berat,
sedangkan Fraksi Golkar, Fraksi TNI/Polri, Fraksi PPP, Fraksi PBB, Fraksi
Reformasi, Fraksi KKI, Fraksi PDU (7 partai) menyatakan tidak terjadi
pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti. Tanggal 30 Juli 2001, Komisi
Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti dibentuk oleh Komnas HAM. Bulan
Januari 2002, sembilan terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti di
Pengadilan Militer dihukum 3-6 tahun penjara. Tanggal 21 Maret 2002,
Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti menyimpulkan 50 perwira TNI
atau Polri diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Tanggal 11 Maret
2003, Kejaksaan Agung menolak melakukan penyelikan untuk kasus Trisakti
karena tidak mungkin mengadili kasus sebanyak 2 kali (prinsip ne bis in
idem). Kejaksaan agung menyatakan bahwa kasus penembakan mahasiswa
Trisakti telah diadili di Pengadilan Militer tahun 1999 sehingga Kejaksaan
Agung tidak bisa mengajukan kasus yang sama ke pengadilan. Ketua Komnas
HAM menyatakan bahwa prinsip ne bis in idem tidak bisa diberlakukan
karena para terdakwa yang diadili di Pengadilan Militer adalah pelaku
lapangan, sementara pelaku utama belum diadili. Tanggal 30 Juni 2005,
Komisi Hukum dan HAM DPR merekomendasikan kepada pimpinan DPR RI
agar kasus Trisakti dibuka kembali. Putusan terhadap hal ini akan dinyatakan
dalam rapat pimpinan DPR RI 5 Juli 2005. Dukungan juga dating dari fraksi-
fraksi di DPR, yaitu Fraksi PKS, Fraksi PDI P dan Fraksi PDS. Tanggal 6 Juli
2005, rapat pimpinan DPR gagal mengagendakan pencabutan rekomendasi
Pansus DPR 2001 yang menyatakan kasus Trisakti bukan pelanggaran HAM
berat. Padahal beberapa hari sebelumnya tingkat Komisi III DPR telah
bersepakat untuk membatalkan rekomendasi tersebut. Tanggal 5 Maret 2007,
diadakan rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III DPR RI dan
Kejaksaan Agung. Dalam rapat ini Kejaksaan Agung tetap bersikukuh tidak
akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc.
Selain itu, komisi III juga memutuskan pembentukan panitia khusus
(PANSUS) orang hilang. Tanggal 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah
(Bamus) DPR RI memutuskan tidak akan mengagendakan persoalan
penyelesaian Tragedi Trisakti, semanggi I dan Semanggi II (TSS) ke rapat
Paripurna 20 Maret 2007, artinya penyelesaian kasus TSS akan tertutup
dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya. Secercah
harapan muncul ketika April 2015, Jaksa Agung H.M. Prasetyo menyatakan
pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk
menyelesaikan kasus pelangaaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei
1998. Komisi ini terdiri dari Kemetrian Koordinator Politik, Hukum dan
Keamanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional
Indonesia, Badan Intelejen Negara serta Komnas HAM (www.bbc.com).
Telah ada upaya nyata dalam penyelesaian kasus Tragedi Trisakti dalam
perspektif hukum maupun HAM. Namun nampaknya belum ada kesungguhan
dan komitmen yang kuat dalam menuntaskan kasus ini. Penuntasan kasus
tidak hanya di permukaan saja tetapi harus sampai ke akar-akarnya.
2. PEMBUNUHAN MUNIR
RINGKASAN KASUS
UPAYA PENYELESAIAN
Munir Said Thalib, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) meninggal
dua jam saat melakukan penerbangan ke Amsterdam pada 7 September 2004
silam. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) dalam diskusi daring
pagi ini menyatakan, penyelesaian kasus tersebut cenderung stagnan. Karena
baru terungkap pelaku lapangan yang membunuh Munir, yakni pilot Garuda
Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto.Perwakilan KASUM yang juga
anggota KontraS, Arif Nur Fikri, menyampaikan kasus pembunuhan Munir
turut menyeret sejumlah aktor negara. Hal itu merujuk pada dokumen Tim
Pencari Fakta (TPF) kasus Munir serta fakta-fakta dalam persidangan.Tapi
dalam beberapa proses persidangan, fakta persidangan, itu melibatkan
sejumlah aktor negara, fasilitas-fasilitas negara juga digunakan untuk
pembunuhan kasus Munir .Bagi KASUM, konteks kasus pembunuhan
terhadap Munir bukan hanya tanggung jawab Pollycarpus yang telah
menjalani masa hukuman, seorang. Sebab, kasus kematian Munir ada
campur tangan negara. perlu ada ketegasan dari negara untuk mengungkap
kasus pemunuhan Munir. Penting dalam kasus ini, otak pembunuhan harus
diusut sampai ke aktor intelektual.Dalam bahasa Arif, “Ini menyerang soal
perlindungan terhadap pembela HAM sehingga penting bahwa ketika ada
campur tangan atau ada tanggung jawab negara, itu ada perlindungan atau
jaminan terhadap pembela HAM.”Pascakematian Munir, lanjut Arif,
intimidasi dan kekeradan terhadap para pembela HAM atau human right
defender jumlahnya banyak. Artinya, penting adanya tanggung jawab dari
negara untuk memberikan jaminan perlindungan — atau setidaknya
membikin aturan terkait dengan pembela HAM.Dalam pandangan Arif,
semacam ada proses keberulangan dan proses ketidakpastian terkait
perlindungan terhadap pembela HAM. Dia berharap, Komnas HAM turut —
bahkan bisa — mendorong kasus munir sebagai sebuah bentuk pelanggaran
HAM berat.“Itu penting, bahwa Munir adalah pembela HAM, dia
melakukan kerja-kerha soal isu HAM tapi di situ tidak ada jaminan dan
perlindungan,” tegas dia.Perwakilan KASUM lainnya cum peneliti
Imparsial, Husein Ahmad dengan merujuk pada dokumen Tim Pencari Fakta
(TPF) kasus Munir menyatakan, jika aktor intelektual pembunuhan masih
berada dalam lingkaran kekuasaan. Bahkan, hingga kini mereka masih bisa
melenggang bebas.Menurut Husein, masih berkeliarannya dalang
pembunuhan Munir begitu menciderai perasaan keluarga dan kerabat dari
Munir. Tak hanya itu, hal tersebut juga bisa membahayakan aktifitas
pembela HAM di Tanah Air.sikap negara yang terus melakukan pembiaran
atau impunitas terhadap otak pembunuh Munir tidak bisa dibiarkan. Bagi
dia, salah satu cara kongkret bisa ditempuh melalui Komnas HAM.
RINGKASAN KASUS
Daerah Operasi Militer" (DOM), di mana Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala
besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh.[2]
Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan
eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan, dan
pembakaran desa.[3] Amnesty International menyebut diluncurkannya
operasi militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.
Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota
keluarga tersangka militan diculik dan disiksa.[4] Diperkirakan lebih dari 300
wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan [5] dan antara 9.000-
12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan 1998
dalam operasi ABRI tersebut.[1]
UPAYA PENYELESAIAN
Operasi ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel ABRI yang
terlibat atas perintah Presiden BJ Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998
setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.
RINGKASAN KASUS
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebuah hak kodrat yang secara
ilmiah ada didalam diri mansuia sejak didalam kandungan, HAM
merupakan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada
hambanya (Pangaribuan, 2017). Oleh sebab itu siapapun tidak boleh
mengambil hak atau menghilangakan hak seseorang. Setiap manusia
memiliki hak yang sama, tidak dibedakan dari mana asalnya, kaum elit
atau pun rakyat biasa. Persamaan memiliki arti bahwa setiap manusia
berasal dari produk yang sama yaitu diciptakan dari Tuhan Yang Maha
Esa tidak boleh membeda-bedakan antar manusia mana pun, atas dasar
itulah kemudian dirumuskan dalam undang-undang bahwa setiap
manusia berkedudukan sama dihadapan mata hukum begitu juga
memiliki hak yang sama (Nasution, 2018). Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina bermula pada
tanggal 23 Juni 2008, terjadi sebuah penembakan pertama yang dilakukan
oleh warga Israel terhadap warga sipil Palestina yang sedang
mengumpulkan kayu bakar didekat perbatasan Beith Lahia oleh seorang
militer dari Israel. Pada hari yang sama dengan kejadian penembakan
terdapat dua buah mortar mendarat di Gaza, dalam insiden ini tidak ada
korban, tetapi yang dilakukan oleh Israel sudah melanggar prinsip
kemanusiaan. Pada bulan September Israel mengirimkan dua mortir dan
tiga roket yang ditembakan ke Gaza, tetapi masih tidak menimbulkan
korban. Setelah dua bulan kemudian di bulan Oktober – November,
konflik antara Gaza dan Israel semangkin meningkat. Mereka saling
menyerang dan mulai menampakan gencatan senjata pada tanggal 19 Juli
2008. Roket dan mortar dikirim dan saling merusakan gedung-gendung
tinggi yang ada di negara mereka dan banyak menewaskan warga sipil
(Guevarrato, 2014).
Serangan yang dilakukan oleh Israel telah banyak merusak dan
menghancurkan tempat tinggal, tempat ibadah, dan kator PBB yang
digunakan untuk lembaga bantuan. Sebagain besar negara di belahan
bumi lainnya, terutama negara-negara yang memiliki penduduk
beragama Islam sangat mengecam tindakan yang dilakukan oleh Israel
terhadap Palestina. Bagi mereka Israel telah mengambil hak-hak yang
dimiliki oleh warga sipil Palestina. Israel juga telah melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM). Para pembela Hak Asasi Manusia Internasional di berbagai dunia
mengatakan bahwa perlakukan Israel terhadap Palestina
ini merupakan perlakukan kejahatan perang. Dalam hal ini PBB juga
mengatakan bahwa blockade Israel terhadap Gaza merupakan kejahatan
perang dan sudah melanggar hak-hak kemanusiaan. Kerusuhan yang
terjadi di Gaza sangat menyayat hati, ketika seorang perawat perempuan
Palestina bernama Rezana al-Najjar, ditembak oleh tentara Israel saat
hendak menyelamatkan korban kerusuhan yang terjadi di jalur Gaza.
Menurut beberapa saksi mata yang berada di jalur kejadian mengatakan
bahwa perawat yang bernama Rezana telah menggunakan baju putih dan
mengisyaratkan bahwa dia adalah seorang perawat. Rezana juga telah
mengangkat tangannya memberikan isyarat bahwa dia meminta waktu
untuk menolong korban yang tertembak. Tetapi tantara Zionis Israel tak
peduli dan tetap menembak Rezana yang pada waktu itu dia masih
berumur 21 tahun. Walaupun sempat diberi pertolongan tetapi nyawa
Rezana tidak bisa tertolong lagi oleh peluru yang telah menancap di
tubunya. Dengan kejadian ini betapa kejamnya tentara Israel yang telah
mengambil hak-hak warga sipil Palestina (Pratama, 2020).
Gencatan senjata yang dilakukan oleh Israel dan Palestina, dimana
menurut Israel adalah operasi Cast Lead ini jelas melanggar prinsip-prinsip
dalam hukum humaniter. Serangan yang berlangsung ini cukup lama
yakni selama 22 hari serta mengakibatkan timbulnya banyak korban yang
sebagian besar adalah penduduk sipil di jalur Gaza. Hal ini sangat
bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang berujung melanggar
HAM. Pelanggaran HAM yang dilakuakn Israel terhadap warga sipil
Palestina tampaknya sudah diabaikan oleh pengadilan Internasional.
Sudah banyak resolusi tentang konflik Israel dan Palestina telah
dikeluarkan oleh PBB. PBB juga telah meluncurkan misi tentang
penyelidikan kejahatan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina,
banyak mendapat kecaman juga dari ngara-negara lain yang mengatakan
bahwa Israel telah melanggar HAM. Namun, Israel masih melakukan
kejahatan dan melanggar hak-hak warga sipil Palestina. Seorang pakar
HAM PBB Prof.Richard Falk, yang bertugas di wilayah Palestina
mengatakan bahwa para pemimpin pemerintah di Israel sebenarnya
sudah layak untuk diseret ke pengadilan kriminal Internasional karena
telah menyebabkan krisis kemanusiaan di jalur Gaza yang mengakibatkan
blockade yang dilakukan Israel (Hengki, 2019).
Penulis sependapat dengan Aulia, (2021); Mudore, (2019) bahwa
perlakukan Israel terhadap Palestina sudah benar-benar melanggar hak
asasi manusia (HAM). Dimana kita hidup seharusnya damai, aman,
sejahtera, akan tetapi di Palestina justru yang terjadi ketakutan,
ketidakamanan dan kelaparan yang melanda. Tentu saja seharusnya PBB
ikut serta dan menindak lanjuti hal ini dengan cepat, karena jika tidak
ditindak maka akan terjadi pelanggaran HAM secara terus menurus.
RINGKASAN KASUS
UPAYA PENYELESAIAN
Oleh karena itu terdapat fungsi ekstra Majelis Umum perihal veto yang berdasarkan
Resolusi 377 A (V) “Uniting for Peace Resolution” tahun 1950 dengan
menyelenggarakan sidang darurat khusus untuk membentuk komisi-komisi
penyelidikan dan pasukan PBB terhadap pelanggaran HAM di Myanmar. Sanksi
yang dapat diterapkan ialah sanksi ekonomi dikarenakan sebagai alat penegakan
hukum yang paling efektif dalam proses edukasi dan peningkatan standar hak asasi
manusia di Myanmar. Proses ini dimaksudkan agar negara Myanmar bersikap
kooperatif dan terbuka dan melakukan langkah penguatan dengan melakukan
tindakan ratifikasi instrumen hukum hak asasi manusia internasional. Proses
kedepannya diharapkan agar adanya penghapusan hak veto untuk kemudahan dalam
mewujudkan peningkatan perdaban manusia berhubungan dengan keamanan dan
perdamaian dunia.
RINGKASAN KASUS
1. Holocaust
Pada masa kuasa, Hitler merupakan pembunuh masal yang tidak ada tandingannya.
Seorang anti yahudi yang secara terbuka mengumumkan "Bunuh setiap orang
Yahudi", hingga hasilnya, orang tua, hingga anak kecil yang tidak bersalah di
masukkan kedalam kamar gas, dan dalam beberapa tahun saja, sekitar 6.000.000
orang yahudi dipulangkannya ke alam baka.
Orang orang Rusia dan Gypsy turut menjadi korban keganasan Hitler, hasilnya,
terciptanya Camp Maut yang merupakan tempat pembunuhan masal bagi mereka,
disitulah anggota badan mayat di pereteli satu persatu, dari jam, cincin samapai
jenazahnya pun dipergunakan untuk pabrik sabun.
Ada juga eksperimen anak kembar di tahun 1943 hingga 1944. Ia ingin mengetahui
apakah tubuh manusia dapat dimanipulasi secara tidak wajar. Sebanyak 1.500
pasang kembar dipenjara di Aushwitz dan menjadi bahan eksperimen Mengele
beserta timnya.
Banyak sejarah dunia yang terjadi oleh karena Hitler, yang tidak akan pernah
terjadi tanpa adanya Hitler.
Hitler telah menyebabkan kematian sekitar 35 juta jiwa dalam setiap peperangan
yang dia dalangi.
Hitler begitu fenomenal, betapa seorang asing (Hitler dilahirkan di Austria, bukan
Jerman), betapa seorang yang tidak punya pengalaman politik sama sekali, tidak
punya duit, tidak punya hubungan politik, mampu dalam masa kurang dari 14
tahun, dapat menjadi pemimpin kekuatan dunia.
Hitler gagal total dalam merampungkan cita citanya, dan akibat akibat yang
tampak pada generasi berikutnya malah kebalikan dari apa yang ia kehendaki,
misalnya.. Hitler bermaksud menyebarkan pengaruh Jerman serta wilayah
kekuasaan Jerman. Akan tetapi daerah taklukannya hanyalah bersifat sementara
dan singkat, dan kini bahkan Jerman barat dan Jerman timur jika di gabung
menjadi satu, masih lebih kecil ketimbang Republik Jerman tatkala Hitler menjadi
Kepala Pemerintahan.
Adalah dorongan nafsu Hitler untuk membantai Yahudi, tapi lima belas tahum
setelah Hitler berkuasa, sebuah negara yahudi merdeka berdiri untuk pertama
kalinya setelah 200 tahun