Anda di halaman 1dari 25

Contoh Kasus Pelanggaran Ham di Indonesia

1. Pembantaiaan Rawagede
Peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM berupa penembakan beserta pembunuhan
terhadap penduduk kampung Rawagede (sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang,
Jawa Barat) oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 diringi dengan dilakukannya
Agresi Militer Belanda I. Puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang
kebanyakan dibunuh tanpa alasan yang jelas. Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag
menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah
Belanda harus membayar ganti rugi kepada para keluarga korban pembantaian Rawagede.
2. Penembakan Misterius
Diantara tahun 1982-1985, peristiwa ini mulai terjadi. Petrus adalah sebuah peristiwa
penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para preman yang sering menganggu
ketertiban masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun kemungkinan pelakunya
adalah aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai seragam). Kasus ini termasuk
pelanggaran HAM, karena banyaknya korban Petrus yang meninggal karena ditembak.
Kebanyakan korban Petrus ditemukan meninggal dengan keadaan tangan dan lehernya diikat
dan dibuang di kebun, hutan dan lain-lain. Terhitung, ratusan orang yang menjadi korban
Petrus, kebanyakan tewas karena ditembak.
3. Penculikan Aktivis
Kasus penculikan dan penghilangan secara paksa para aktivis pro-demokrasi, sekitar 23
aktivis pro-demokrasi diculik. Kebanyakan aktivis yang diculik disiksa dan menghilang,
meskipun ada satu yang terbunuh. 9 aktivis dilepaskan dan 13 aktivis lainnya masih belum
diketahui keberadaannya sampai kini. Banyak orang berpendapat bahwa mereka diculik dan
disiksa oleh para anggota militer.
4. Kasus Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib adalah aktifis HAM yang pernah menangani kasus-kasus pelanggaran
HAM. Munir lahir di Malang, tanggal 8 Desember 1965. Munir meninggal pada tanggal 7
September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia ketika ia sedang melakukan perjalanan
menuju Amsterdam, Belanda. Spekulasi mulai bermunculan, banyak berita yang
mengabarkan bahwa Munir meninggal di pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan
diracuni. Namun, sebagian orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni dengan
Arsenikum di makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus ini sampai sekarang
masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty Internasional dan
tengah diproses. Pada tahun 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto selaku Pilot Garuda
Indonesia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka
dari kasus pembunuhan Munir, karena dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir
dan meninggal di pesawat.

5. Pembunuhan Aktivis Buruh Wanita, Marsinah


Marsinah merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya (CPS) yang
terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah muncul ketika Marsinah bersama dengan
teman-teman sesama buruh dari PT. CPS menggelar unjuk rasa, mereka menuntut untuk
menaikkan upah buruh pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dia aktif dalam aksi unjuk rasa buruh.
Masalah memuncak ketika Marsinah menghilang dan tidak diketahui oleh rekannya, dan
sampai akhirnya pada tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan meninggal dunia. Mayatnya
ditemukan di sebuah hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur
dengan tanda-tanda bekas penyiksaan. Menurut hasil otopsi, diketahui bahwa Marsinah
meninggal karena penganiayaan berat.
6. Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah satu kasus penembakan kepada para
mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota polisi dan militer. Bermula
ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti sedang melakukan demonstrasi setelah
Indonesia mengalami Krisis Finansial Asia pada tahun 1997 menuntut Presiden Soeharto
mundur dari jabatannya. Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Trisakti.
Dikabarkan puluhan mahasiswa mengalami luka-luka, dan sebagian meninggal dunia, yang
kebanyakan meninggal karena ditembak dengan menggunakan peluru tajam oleh anggota
polisi dan militer.
7. Peristiwa Tanjung Priok
Kasus ini murni pelanggaran HAM. Bermula ketika warga sekitar Tanjung Priok, Jakarta
Utara melakukan demonstrasi beserta kerusuhan yang mengakibatkan bentrok antara warga
dengan kepolisian dan anggota TNI yang mengakibatkan sebagian warga tewas dan lukaluka. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 September 1984. Sejumlah orang yang terlibat
dalam kerusuhan diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, begitu pula dengan
aparat militer, mereka diadili atas tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Peristiwa ini dilatar belakangi masa Orde Baru.
8. Pembantaian Santa Cruz
Kasus ini masuk dalam catatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian
yang dilakukan oleh militer atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di Pemakaman
Santa Cruz, Dili, Timor-Timur pada tanggal 12 November 1991. Kebanyakan warga sipil
yang sedang menghadiri pemakaman rekannya di Pemakaman Santa Cruz ditembak oleh
anggota militer Indonesia. Puluhan demonstran yang kebanyakkan mahasiswa dan warga sipil
mengalami luka-luka dan bahkan ada yang meninggal. Banyak orang menilai bahwa kasus ini
murni pembunuhan yang dilakukan oleh anggota TNI dengan melakukan agresi ke Dili, dan
merupakan aksi untuk menyatakan Timor-Timur ingin keluar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan membentuk negara sendiri.

9. Peristiwa 27 Juli
Peristiwa ini disebabkan oleh para pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan
mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996. Massa mulai
melempari dengan batu dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan anggota TNI dan ABRI
datang berserta Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke jalan-jalan, massa mulai merusak
bangunan dan rambu-rambu lalu-lintas. Dikabarkan lima orang meninggal dunia, puluhan
orang (sipil maupun aparat) mengalami luka-luka dan sebagian ditahan. Menurut Komnas
Hak Asasi Manusia, dalam peristiwa ini telah terbukti terjadinya pelanggaran HAM.
10. Kasus Dukun Santet di Banyuwangi
Peristiwa beserta pembunuhan ini terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi lagi
hangat-hangatnya terjadi praktek dukun santet di desa-desa mereka. Warga sekitar yang
berjumlah banyak mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan dan pembunuhan
terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumlah orang yang dituduh dukun
santet dibunuh, ada yang dipancung, dibacok bahkan dibakar hidup-hidup. Tentu saja polisi
bersama anggota TNI dan ABRI tidak tinggal diam, mereka menyelamatkan orang yang
dituduh dukun santet yang masih selamat dari amukan warga.
Bentuk-Bentuk Pelanggaran HAM
Bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang biasa didapati masyarakat antara lain:

Diskriminasi adalah pembatasan, pelecehan, dan pengucilan yang dilakukan langsung


atau tidak langsung yang didasarkan pada perbedaan manusia baik itu etni, agama, suku
dan ras.
Penyiksaan adalah perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan baik itu
jasmani maupun rohani

Bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM berdasarkan jenisnya antara lain:


1. Bentuk pelanggaran HAM bersifat berat
Pembunuhan massal (genisida)
Penghilangan orang secara paksa
Pembunuhan sewenang-wenang

Perbudakan atau diskriminasi secara sistematis

2. Bentuk pelanggarna HAM bersifat ringan


Pencemaran nama baik
Pemukulan
Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
Penganiayaan
Menghilangkan nyawa orang lain

Contoh Kasus Pelanggaran HAM Beserta Kronologi, Penyebab, Hak yang Dilanggar
dan Penyelesaian
1. Tragedi Trisakti
Penyebab
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia
sepanjang 1997 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke
gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul
12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian.
Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 5.15
sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan.
Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik
dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan
terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI,
Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon
Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi
dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam
keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru
tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara
diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Hak Yang Dilanggar
Salah satu hak yang dilanggar dalam peristiwa tersebut adalah hak dalam kebebasan
menyampaikan pendapat. Hak menyampaikan pendapat adalah kebebasan bagi setiap warga
negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan sistem demokrasi pancasila di Indonesia.
Peristiwa ini menggoreskan sebuah catatan kelam di sejarah bangsa Indonesia dalam hal
pelanggaran pelaksanaan demokrasi pancasila.. Dari awal terjadinya peristiwa sampai
sekarang, pengusutan masalah ini begitu terlunta-lunta. Sampai sekarang, masalah ini belum
dapat terselesaikan secara tuntas karena berbagai macam kendala. Sebenarnya, beberapa saat
setelah peristiwa tersebut terjadi, Komnas HAM berinisiatif untuk memulai untuk mengusut
masalah ini. Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini adalah
pelanggaran HAM yang berat. Masalah ini pun selanjutnya dilaporkan ke Kejaksaan Agung
untuk diselesaikan. Namun, ternyata sampai sekarang masalah ini belum dapat diselesaikan
bahkan upayanya saja dapat dikatakan belum ada. Belum ada satupun langkah pasti untuk

menyelesaikan masalah ini. Alasan terakhir menyebutkan bahwa syarat kelengkapan untuk
melakukan siding belum terpenuhi sehingga siding tidak dapat dilaksanakan. Seharusnya jika
pemerintah benar-benar menjunjung tinggi HAM, seharusnya masalah ini harus diselesaikan
secara tuntas agar jelas agar segala penyebab terjadinya peristiwa dapat terungkap sehingga
keadilan dapat ditegakan.
Penyelesaian
Agar masalah ini dapat cepat diselesaikan, diperlukan partisipasi masyarakat untuk ikut turut
serta dalam proses penuntasan kasus ini. Namun, sampai sekarang yang masih berjuang
hanyalah para keluarga korban dan beberapa aktivis mahasswa yang masih peduli dengan
masalah ini. Seharusnya masyarakat dan mahasiswa tidak tinggal diam karena pengusutan
kasus ini yang belum sepenuhnya selesai. Walaupun sulit untuk menuntaskan kasus tersebut
secara sepenuhnya, tetapi jika masyarakat dan mahasiswa ingin bekerjasama dengan pihak
terkait seharusnya masalah bisa diselesaikan, dengan catatan stakeholder yang bersangkutan
harus jujur dalam memberikan informasi. Di luar itu semua, ada hal lain yang sebenarnya
bisa diambil oleh masyarakat dan mahasiswa dalam peristiwa tersebut, yaitu semangat
melawan pemerintahan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Walaupun
bisa dibilang bahwa Indonesia dari tahun ke tahun terus membaik dan berkembang dari segi
pembangunan, tetapi tetap banyak masalah yang sebenarnya bisa terlihat jika kita berbicara
dari tentang pemerintahan. Beberapa contoh masalah-masalah pemerintahan yang ada, yaitu
korupsi, perebutan kekuasaan untuk kepentingan golongan, berbagai praktik kecurangan
dalam menapai kekuasaan, dan masalah lainnya. Dari masalah-masalah tersebut, seharusnya
masyarakat dan mahasiswa banyak mengambil peran dalam pengarahan dan evaluasi
kepemimpinan. Untuk peran mahasiswa tak dapat dipungkiri akan semakin besar karena di
pundak mereka ada sebuah beban tanggung jawab dimana para mahasiswa dituntut harus
membentuk pemimpin-pemimpin yang cakap untuk mengelola Indonesia yang lebih baik di
masa depan. Agar peristiwa ini tak kembali terulang, Hak kebebasan berpendapat setiap
warga negara benar-benar harus ditegakan.
2. Marsinah
Penyebab
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi
unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat
dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin
Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon
Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh
mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah
pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka
perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.Sampai dengan tanggal 5
Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan

perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan


karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah
karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah
itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal
8 Mei 1993.
Hak Yang Dilanggar
Kasus pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Alasannya adalah karena telah melanggar hak hidup seorang manusia. Dan juga karena sudah
melanggar dari unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan
pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong patut dianggap kejahatan
kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi
tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas bahwa tindakan oknum pembunuh
melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya.
Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun
1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.
Penyelesaian
Hak Asasi setiap manusia harus dihargai oleh manusia yang lain yang dalam kasus ini adalah
hak asasi berpendapat dan hak untuk hidup. Selain itu, kasus marsinah yang tak kunjung usai
ini diakibatkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas para penyidik. Seharusnya
kredibilitas dan transparansi penyidikan lembaga terhadap suatu kasus haruslah dijaga oleh
para penegak hukum sehingga tercipta keadilan dan ketentraman masyarakat Indonesia
3. Peristiwa Pembunuhan Munir

Penyebab
Delapan tahun silam, tepatnya pada 2004, Indonesia dikejutkan oleh meninggalnya seorang
aktivis HAM, Munir Saib Thalib. Kematianya menimbulkan kegaduhan politik yang
menyeret Badan Intelijen Negara (BIN) dan instituti militer negeri ini. Berdasarkan hasil
autopsi, diketahui bahwa penyebab kematian sang aktivis yang terkesan mendadak adalah

karena adanya kandungan arsenik yang berlebihan di dalam tubuhnya. Munir meninggal
ketika melakukan perjalanan menuju Belanda. Ia berencana melanjutkan studi S2 Hukum di
Universitas Utrecht, Belanda, pada 7 September 2004. Dia menghembuskan nafas
terakhirnya ketika pesawat sedang mengudara di langi Rumania.
Hak Yang Dilanggar
Hak yang di langgar dalam kasus munir yaitu karena telah menghilangkan nyawa dengan
sengaja atau sudah melanggar hak untuk hidup. Banyak orang yang terlibat dalam kejadian
itu. Orang pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya
terpidana) adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada
7 September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu
dan mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir semakin terkuat
tatkala Pollycarpus meminta Munir agar berpindah tempat duduk dengannya. Sebelum
pembunuhan Munir, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon
yang terdaftar oleh agen intelijen senior. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus
BP dijatuhi vonis 20 tahun hukuman penjara. Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak
mengakui dirinya sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surat
tugas dan hal-hal yang janggal. Namun, timbul pertanyaan, untuk apa Pollycarpus membunuh
Munir. Apakah dia bermusuhan atau bertengkar dengan Munir. Tidak ada historis yang
menggambarkan hubungan mereka berdua.
Selidik demi selidik, akhirnya terungkap nomor yang pernah menghubungi Pollycarpus dari
agen Intelinjen Senior adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni Mayor Jenderal (Purn)
Muchdi Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR pernah menduduki jabatan sebagai
Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yang ditinggali Prabowo Subianto (pendiri Partai
Gerindra). Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Indonesia.
Penyelesaian
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir juga
merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saat itu lebih bersifat otoriter.
Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan
cara-cara yang bersifat otoriter k arena setiap manusia atau warga Negara memiliki hak untuk
memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman.
Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang
seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.
4. Peristiwa Tanjung Priok
Kronologi
Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai
salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke
dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia

mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir
Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi
pembelaannya berjudul Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam
Indonesia.
Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Saadah
di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang
tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa
undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9
September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Saadah menjadi
pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan
penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Saadah berpapasan dengan salah seorang petugas
Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya
dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka
supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan
sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya
dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta
bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut
tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Saadah.
Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang
jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak
perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang
dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara
penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang
Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Saadah, terus
berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig
dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian
kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan
memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, Mari kita
buktikan solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes
pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela
kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus

memprotesnya. Selanjutnya, Amir Biki berkata, Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau
adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang
dimaksud bukan dan jamaah kita). Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua:
sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh
pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, Mundurmundur! Teriakan mundur-mundur itu disambut oleh jamaah dengan pekik, Allahu
Akbar! Allahu Akbar! Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjatasenjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka,
selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit
histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang
berteriak, Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak! Lebih sadis lagi,
mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi
sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam
kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan
peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas
jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak
atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh
mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar
terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi
jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil
mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan
melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau
orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama
kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas
menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh
Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh
militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3
orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7
meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru
yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan
jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian
yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan

diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh
tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu
dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di
dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di
dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di
kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan
mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi
apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau
berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar
kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal
mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan
Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa
jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan,
disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di
saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12
September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel
Jaya.
Penyebab
1. Petugas koramil menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air
got (comberan)
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak
koramil tidak terima.
Hak Yang Dilanggar
Dibunuhnya jamaah-jamaah pengajian oleh pasukan ABRI
Penyelesaian
1. Warga seharusnya tidak melakukan demonstrasi karena bisa berakibat pada kerusuhan.
2.

Jika melakukan demonstrasi, seharusnya kedua belah pihak yaitu ABRI dan warga
menahan emosi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

3. Pelaku pembunuhan (ABRI) wajib diadili dengan seadil-adilnya agar menimbulkan efek
jera.

Bom Bali I ( 12 Oktober 2002 )


Bom Bali terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 di kota kecamatan Kuta di pulau
Bali, Indonesia, mengorbankan 202 orang dan mencederakan 209 yang lain, kebanyakan
merupakan wisatawan asing. Peristiwa ini sering dianggap sebagai peristiwa terorisme
terparah dalam sejarah Indonesia.
Beberapa orang Indonesia telah dijatuhi hukuman mati karena peranan mereka dalam
pengeboman tersebut. Abu Bakar Baashir, yang diduga sebagai salah satu yang terlibat dalam
memimpin pengeboman ini, dinyatakan tidak bersalah pada Maret 2005 atas konspirasi
serangan bom ini, dan hanya divonis atas pelanggaran keimigrasian.
Korban Bom Bali I

Australia 88
Indonesia 38 (kebanyakan suku Bali)
Britania Raya 26
Amerika Serikat 7
Jerman 6
Swedia 5
Belanda 4
Perancis 4
Denmark 3
Selandia Baru 3
Swiss 3
Brasil 2
Kanada 2
Jepang 2
Afrika Selatan 2
Korea Selatan 2
Ekuador 1
Yunani 1
Italia 1
Polandia 1
Portugal 1
Taiwan 1

Pelaku Bom Bali I

Abdul Goni, didakwa seumur hidup


Abdul Hamid (kelompok Solo)
Abdul Rauf (kelompok Serang)
Abdul Aziz alias Imam Samudra, terpidana mati
Achmad Roichan
Ali Ghufron alias Mukhlas, terpidana mati
Ali Imron alias Alik, didakwa seumur hidup
Amrozi bin Nurhasyim alias Amrozi, terpidana mati
Andi Hidayat (kelompok Serang)
Andi Oktavia (kelompok Serang)
Arnasan alias Jimi, tewas
Bambang Setiono (kelompok Solo)
Budi Wibowo (kelompok Solo)
Dr Azahari alias Alan (tewas dalam penyergapan oleh polisi di Kota Batu tanggal 9
November 2005)
Dulmatin
Feri alias Isa, meninggal dunia
Herlambang (kelompok Solo)
Hernianto (kelompok Solo)
Idris alias Johni Hendrawan
Junaedi (kelompok Serang)
Makmuri (kelompok Solo)
Mohammad Musafak (kelompok Solo)
Mohammad Najib Nawawi (kelompok Solo)
Umar Kecil alias Patek
Utomo Pamungkas alias Mubarok, didakwa seumur hidup
Zulkarnaen

Bom Bali II ( 1 Oktober 2005 )


Pengeboman Bali 2005 adalah sebuah seri pengeboman yang terjadi di Bali pada 1 Oktober
2005. Terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang
tewas dan 196 lainnya luka-luka.
Pada acara konferensi pers, presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan telah
mendapat peringatan mulai bulan Juli 2005 akan adanya serangan terorisme di Indonesia.
Namun aparat mungkin menjadi lalai karena pengawasan adanya kenaikan harga BBM,
sehingga menjadi peka.
Tempat-tempat yang dibom:

Kaf Nyoman
Kaf Menega
Restoran R.AJAs, Kuta Square

Menurut Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
(Menko Polhukam), Inspektur Jenderal (Purn.) Ansyaad Mbai, bukti awal menandakan
bahwa serangan ini dilakukan oleh paling tidak tiga pengebom bunuh diri dalam model yang
mirip dengan pengeboman tahun 2002. Serpihan ransel dan badan yang hancur berlebihan
dianggap sebagai bukti pengeboman bunuh diri. Namun ada juga kemungkinan ransel-ransel
tersebut disembunyikan di dalam restoran sebelum diledakkan.
Komisioner Polisi Federal Australia Mick Keelty mengatakan bahwa bom yang digunakan
tampaknya berbeda dari ledakan sebelumnya yang terlihat kebanyakan korban meninggal dan
terluka diakibatkan oleh shrapnel (serpihan tajam), dan bukan ledakan kimia. Pejabat medis
menunjukan hasil sinar-x bahwa ada benda asing yang digambarkan sebagai "pellet" di dalam
badan korban dan seorang korban melaporkan bahwa bola bearing masuk ke belakang
tubuhnya
Korban Bom Bali II
23 korban tewas terdiri dari:

15 warga Indonesia Flag of Indonesia.svg


1 warga Jepang Flag of Japan.svg
4 warga Australia Flag of Australia.svg
3 lainnya diperkirakan adalah para pelaku pengeboman.

Pelaku Bom Bali II


Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, seorang pejabat anti-terorisme Indonesia
melaporkan kepada Associated Press bahwa aksi pengeboman ini jelas merupakan "pekerjaan
kaum teroris".
Serangan ini "menyandang ciri-ciri khas" serangan jaringan teroris Jemaah Islamiyah, sebuah
organisasi yang berhubungan dengan Al-Qaeda, yang telah melaksanakan pengeboman di
hotel Marriott, Jakarta pada tahun 2003, Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun
2004, Bom Bali 2002, dan Pengeboman Jakarta 2009. Kelompok teroris Islamis memiliki ciri
khas melaksanakan serangan secara beruntun dan pada waktu yang bertepatan seperti pada 11
September 2001.
Pada 10 November 2005, Polri menyebutkan nama dua orang yang telah diidentifikasi
sebagai para pelaku:

Muhammad Salik Firdaus, dari Cikijing, Majalengka, Jawa Barat - pelaku peledakan di
Kaf Nyoman
Misno alias Wisnu (30), dari Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawunganten, Cilacap, Jawa
Tengah - pelaku peledakan di Kaf Menega

Kemudian pada 19 November 2005, seorang lagi pelaku bernama Ayib Hidayat (25), dari
Kampung Pamarikan, Ciamis, Jawa Barat diidentifikasikan.

Tragedi Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan
dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama
dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah
transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal
dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya
seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217
korban luka - luka.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan
sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat
masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga
terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di
jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah
satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang
merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat
kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat
adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan,
mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat
ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya,
Jakarta[2]. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi
penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus
Atma Jaya.
Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka.
Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan
disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah
korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit
Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta),
Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana,
Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang
korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2
orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam
Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara
456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan
benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat
keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk
Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan
kepada aksi-aksi mahasiswa.

Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan
sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai
kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk
bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan
Universitas Atma Jaya.
Kasus Marsinah
Marsinah (10 April 1969?Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur
Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan
terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan
di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono
(pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian
Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat
penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th.
1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya
dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya
disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya
beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera
Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan
PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah
dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi
unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat
dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin
Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer
(Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan
harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp
550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam
kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15
orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa
mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah
karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk
menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah
itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai
akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung
jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk
Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap,
mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian
diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah
membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim
dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D.
Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam
pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS)
menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik,
lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita,
Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain
itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan
Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan
(bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan
ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah

"direkayasa".

Kasus Munir ( Pejuang HAM )


Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 meninggal di Jakarta
jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab
yang juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif
Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi
orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang
menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu
menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota
tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu.
Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar
mengungkap kasus pembunuhan ini.
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada
pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi
nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk
terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang
penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan
menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7
September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat
diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga
dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir,
meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin
menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman
penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang
pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin
mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa
sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon
yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu
Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim
tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo
Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia
adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah
padanya.Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat
kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas
kini tengah diperiksa
Kasus Babeh Baekuni
Nama Bakeuni alias Babe, mendadak terkenal. Setelah ditangkap polisi, lelaki berusia 50
tahun itu diduga menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi anak-anak jalanan di Jakarta. Ada
yang dibuang di Jakarta, sebagian dikubur di sawah milik keluarganya di tepi Kali Gluthak
Desa Mranggen, Magelang, Jawa Tengah. Babe memang berasal dari desa itu.
Sebelum namanya terkenal karena kasus pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya hanya
dikenal di kalangan terbatas: Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat anak-anak jalanan. Di
mata anak-anak itu, yang sebagian kini beranjak dewasa, Babe adalah dewa penolong. Bukan
saja dia menyediakan tempat menginap di kontrakannya di Gang Mesjid RT 06/02,
Pulogadung, Jakarta Timur tapi Babe juga melindungi anak-anak itu. Pernah suatu hari,
teman saya bernama Diki, dipalak laki-laki bernama Gomgom. Laki-laki itu lebih tua dan
lebih besar dibandingkan Diki.
Ketika Diki mengadu ke Babe, Gomgom langsung didatangi Babe dan diancam, kata Anggi
Setiawan, 17 tahun, yang pernah ikut dan tinggal bersama Babe. Perkenalan Anggi dengan
Babe terjadi 10 tahun silam, saat usia Anggi baru tujuh tahun. Anggi ingat, saat itu dia sedang
mengamen di pintu tol Cakung, ketika melihat banyak anak-anak pengamen lainnya akrab
dengan seorang pria penjual rokok. Anak-anak itu memanggilnya Babe, kenang Anggi.
Sejak itu Anggi kemudian tinggal di rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap hari empat hingga
lima anak jalanan menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya bisa bertambah hingga 15 anak.
Kata Anggi, semua anak diperlakukan sama. Anggi ingat, Babe selalu memotong pendek,
rambut anak-anak jalanan itu. Potongannya seragam: Bagian depan dibiarkan panjang, dan
dipangkas habis di bagian belakang. Karena air untuk mandi terbatas, bergiliran anak-anak itu
dimandikan Babe.
Biasanya kata Anggi, dimulai dengan guyuran dari atas lalu tangan anak-anak itu
direntangkan. Babe kemudian menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen. Sabun cuci itu
juga digunakan sebagai sampo. Nunduk, nunduk, Anggi masih ingat kata-kata Babe saat 10
tahun lalu memandikannya. Ketika anak-anak itu sudah terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya
bangun dan mencuci baju anakanak. Dia keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk berjualan
rokok, dan kembali ke rumah sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan anakanak. Sarapan
pagi sudah disediakan Babe.
Menunya menu ikan cuek goreng, sayur sawi dan satu baskom sambal. Malam hari, Babe
mengajak patungan membeli mi instan. Dia juga memasok nasi goreng untuk kami, kata
Anggi. Begitu seterusnya, setiap hari. Kalau misalnya ada anak yang sakit, Babe pula yang

mengobati mereka. Biasanya, kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak itu. Dia disayangi
anakanak, dan saya menganggap sebagai orang tua sendiri, kata Anggi yang masih punya
orang tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber Unicef Deni 13 tahun yang juga pernah
tinggal di kontrakan Babe bercerita, Babe selalu mengajarkan anak-anak itu agar uang hasil
mengamen dikumpulkan dan diberikan kepada orang tua masing-masing.
Sebagian anak-anak jalanan yang tinggal di rumah Babe, memang masih memiliki orang tua,
termasuk Anggi. Kalau anak-anak itu tidak menurut, misalnya, Babe mengancam mereka
agar tidak tinggal bersamanya. Sering pula Babe mengajak anakanak itu ke Magelang, tempat
asal Babe. Sebelum berangkat, Babe meminta mereka menabung, untuk bekal ongkos. Sehari
lima ribu rupiah. Saya pernah ikut Babe, Desember lalu, setelah menabung selama satu
bulan, kata Deni.
Mungkin karena semua perhatiannya kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu Babe pernah
menjadi sumber Unicef. Badan PBB itu mencoba mengangkat kehidupan anakanak jalanan
termasuk yang ada di Jakarta dan di tempat Babe. Kini semua berubah. Babe ditangkap polisi
dan diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap anak-anak jalanan itu. Kepada polisi, Babe
mengaku membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist Merdeka Sirait meragukan keterangannya.
Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak itu menduga korban Babe bisa lebih 15
orang. Alasan Arist, ada sekitar 15 foto anak jalanan yang dikoleksi Babe.
Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang disenangi dia (Babe),
kata Arist. Benarkah Babe yang melakukan semua pembunuhan sadis itu? Polisi
menunjukkan foto-foto korban. Babe enggak mengakui kalau memang tidak kenal. Dia akan
bilang enggak kenal, kata Rangga B. Rikuser, pengacara Babe. Mengutip keterangan Babe,
Rangga bercerita, Babe membunuh anakanak itu dengan cara dijerat menggunakan tali
plastik. Biasanya, Babe membelakangi korban, lalu leher mereka dikalungi tali plastik.
Tangan kanan Babe kemudian mendorong kepala korban ke depan, dan tangan kirinya
menarik tali ke belakang.
Dia menikmati erangan bocah-bocah yang dijerat lehernya itu. Detik-detik bocah itu
meregang nyawa menjadi sensasi tersendiri bagi Babe, kata Rangga. Jika korban sudah
meninggal, barulah Babe menggauli bocah-bocah itu. Korbannya pasti berkulit bersih dan
putih, karena sewaktu anak-anak, kulit Babe juga bersih, kata Rangga. Babe bukan tidak
menyesal melakukan pembunuhan itu. Masih menurut Rangga, usai memotong tubuh
korbannya, Babe selalu menyesal tapi dia juga sulit menghentikan nafsunya. Babe, karena itu,
juga seolah selalu memberi tanda ke polisi agar kelakuannya segera terungkap.
Caranya, setiap korban yang dibunuh, selalu dia letakkan dalam kardus air mineral. Seharihari dia kan berdagang rokok, dan air mineral, kata Rangga. Dan tanda dari Babe itu baru
diketahui polisi, awal Januari silam: Sebuah kardus air mineral ditemukan berisi potongan
tubuh seorang bocah, yang belakangan diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun. Babe atau
yang dikenal juga dengan sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai pelakunya. Dari
mulut Babe, belakangan muncul pengakuan, jumlah korban yang dibunuhnya bisa lebih 10
orang. Semuanya dimasukkan dalam kardus air mineral. Saya percaya dan tidak percaya dia
jadi pembunuh, kata Anggi. _ rangga prakoso.

KASUS KASUS YANG LAIN SEPERTI :


1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI
Umumnya terjadi pada masa pemerintahan PresidenSuharto, dimana (dikemudian hari
berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM
oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan
rakyat semakin keras.
2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5
bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil,
sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru)
sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan,
beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang
telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan
operasinya di daerah daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan
masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran
rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah
pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat
masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga
masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka luka,
ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000
jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya upaya penyelesaian konflik
yang dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya
penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi
Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling
menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi
di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan
yang terjadi saat ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar
kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan
konmflik jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang
menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari
jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.

Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam
melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada
aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang
muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi
penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur jalur distribusi barang
ini biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam danKristen tetapi sejak 1 bulan lalu
sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa penguasa ekonomi baru pasca
konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak anak korban langsung/tidak langsung dari konflik
karena banyak diantara mereka sudah sulit untukmengakses sekolah, masih dalam keadaan
trauma, program PendidikanAlternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan
mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah)
selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan
oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat obatan
tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal;
puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi.
Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan
oleh media cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media),
ada media yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa
Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara
Pembaruan MuslimMaluku).
3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan
maupun gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol
agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang menjadi atribut Tuhan kita Yesus
Kristus. Hal-hal ini dicatat dalam buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang
kekejaman gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang
hyprocricy Gereja Potestan yang menghakimi seorang pezinah dan kelompok-kelompok
yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters, juga film A Song for A Raggy Boy,
The Headman, The Name of the Rose , dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film
yang lumayan baru, yang diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman,
dua nama ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film
GOYAs GOST.
Mungkin saja film GOYAs GOST ini akan membuat marah sebagian kelompok, namun apa
yang dikemukakan oleh Zaentz dan Forman, sebagaimana kekejaman Inkuisisi telah
tercatat dalam sejarah hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisanlukisan karya Seniman Spanyol Francisco Goya (17461828 ), yang menjadi tokoh sentral
dari film GOYAs GOST ini.

Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam
lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity)
entah itu Kristen, Islam atau agama apapun. Atas nama agama yang suci mereka melakukan
pelecehan yang tidak suci kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21,
akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia yang beragama
melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan sejenisnya menteror dengan
bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita telah prejudice menempatkan orang-orang
Muslim di sekitar kita sama jahatnya dengan kelompok Al-Qaeda. Di sisi lain Amerika
Serikat (AS) sebagai polisi dunia sering memakai isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda
untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan
dan negara-negara lain yang disinyalir ada terorisnya. Namun kehadiran pasukan AS dan
sekutunya di Iraq tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya
yang super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur
dalam perang-kota, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga kalah
dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman dari dalam
negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya. Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony
Blair memilih mengakhiri karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam
posisi yang sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris kalangan Islam
Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh dunia. Tapi tidak menutup
kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George Bush adalah juga seorang Fundamenalis
dalam Agama yang dianutnya, karena gaya Bush yang sering secara implisit terbaca
dimana ia menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari
para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung fundamentalis
entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah isu anti terorisme (Islam), sutradara Inggris, Ridley Scott
memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk
menyindir Presiden Bush yang sering menggunakan katacrusades dalam pidatonya. Film
The Kingdom of Heaven adalah sebuah otokritik bagi Kekristenan, dan sajian ironisme
dari ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4 abad itu
bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah hitam.
Di bawah ini review dari sebuah film, tentang kejahatan dibawah payung Agama, bukan
berniat melecehkan suatu Agama/ Aliran tertentu, melainkan sebagai perenungan apakah
perlakuan seseorang melawan/menindas orang lain yang tidak seagama itu tujuannya
membela Allah? membela tradisi? membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?
4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan
dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan
tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar
berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu

keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing
hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan
tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam UndangUndang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer)
disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun
sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama
dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa
menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam
mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah
melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa
tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan diskriminatif dengan keputusan terhadap
terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim
dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari
Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat
Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan
selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta
mengatakan, Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir
rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia
5. Kontroversi G30S
Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR
bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk
memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang
memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah
rekonsiliasi. Anggaplah kasus ini selesai, jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba
menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S.
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore
harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit kecuali
Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai
tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan
PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi
itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak
sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak

mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12)
jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. Mereka
menggunakan alat pisau atau golok, urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang
yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka
terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, Kejadian itu biasanya malam. Proses
pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahuntahun
dan
Khmer
Merah
melakukannya
dalam
tempo
empat
tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama,
budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan
komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga,
militer yang diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media
yang menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang
semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal.
Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para
jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur
dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu
dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara.
Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih
parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan
keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan
pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan
elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. Atau militer
setidaknya memberi contoh, ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata
Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran
darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang
kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor
pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen
Belgia 23 September 2000 dengan tema Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang
Sejarah, secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus
dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang
dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari
ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah
disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih
hidup.

Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu
ide dengan hasil pertemuan Belgia. Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. saya pernah mewawancarai
seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah
yang anggota PGRI itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua
sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir
ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.
Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku
pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan
pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan
menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika
tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka
hanya meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, Apakah Anda menyimpan dendam? Sang
anak menjawab, Semula Ya. Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya
hilang. Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya. Mereka,
tambah Hardoyo, juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak
harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.

Anda mungkin juga menyukai