Anda di halaman 1dari 6

Ancaman - Ancaman Integrasi Nasional

1. Spionase

 Seperti yg sdh kita pahami, spionase adalah kegiatan inteligen negara lain yang berusaha
untuk mendapatkan rahasia kemiliteran Indonesia.
 Sebagai contoh, kami memilih kasus Ghassem Saberi Gilchalanm dan penyadapan
handphone mantan Presiden Susilo Bambang Y. oleh Australia.
 Pada Kamis (27/5/2021) sekitar pukul 18.00, polisi menyergap calon penumpang di
Bandara Soekarno-Hatta karna terbukti menggunakan paspor plasu . dia bernama,
Ghassem Saberi Gilchalanm, warga negara Iran.
 Namun, setelah diselidiki lebih lanjut, ditemukan 11 handphone dan di salah satu
handphonenya ditemukan 3 data pejabat tinggi Indonesia

 Sedangkan untuk Skandal penyadapan Australia-Indonesia adalah kasus dokumen


rahasia yang dibocorkan pada tahun 2013 oleh mantan mata-mata Amerika
Serikat Edward Snowden yang kemudian dikutip oleh Australian Broadcasting
Corporation (ABC) dan surat kabar The Guardian.
 Dokumen tersebut berisi berisi daftar target penyadapan percakapan telepon pada tahun
2009 yang menunjukkan sejumlah nama diantaranya adalah Presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono.

2. Multidemonsional
Virus corona menjadi topik terhangat sejak dua pekan terakhir Januari 2020. Virus ini
mendadak menjadi teror mengerikan bagi masyarakat dunia, terutama setelah merenggut
nyawa ratusan orang hanya dalam waktu dua pekan.
Satu hal yang paling mengkhawatirkan adalah virus ini terus mencari mangsa, sementara
obatnya hingga saat ini belum ditemukan.
Dampak yang pertama yang sangat terasa dan mudah sekali dilihat adalah melemahnya
konsumsi rumah tangga atau melemahnya daya beli masyarakat secara luas.

3. Pelanggaran wilayah
1. Klaim China di Laut Natuna Utara

Reuters pada Kamis (2/12/2021) melaporkan, China meminta Indonesia menghentikan


pengeboran minyak dan gas alam di wilayah maritim di Laut China Selatan, yang diklaim
kedua negara milik mereka. Masalah tersebut sudah terjadi sejak awal tahun ini tanpa
jalan keluar.

Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Farhan,


mengatakan kepada Reuters, ia menerima pengarahan perihal sepucuk surat dari diplomat
China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia, yang dengan jelas meminta RI
menghentikan pengeboran di rig sementara lepas pantai, karena aktivitas tersebut
dilakukan di wilayah China.

2. Sikap Indonesia soal kepemilikan Laut Natuna Utara

Indonesia mengatakan ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi
eksklusif milik kedaulatan Republik Indonesia di bawah Konvensi PBB tentang Hukum
Laut, dan pada 2017 menamai wilayah itu Laut Natuna Utara.

China keberatan dengan perubahan nama itu dan bersikeras bahwa jalur air tersebut
berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan, yang ditandai dengan
"sembilan garis putus-putus" berbentuk U. Konflik Natuna saat ini Sengketa Laut China
Selatan telah terjadi sejak tahun 1947. Dasar yang digunakan China untuk mengeklaim
seluruh Kawasan Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus (nine-dash line)
yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan Brunei
Darussalam. Dalam sengketa Laut China Selatan, Indonesia dianggap menjadi penengah
dan tidak pernah mengeklaim wilayah itu. Di beberapa kali kesempatan Menteri Luar
Negeri Retno Marsudi meminta setiap negara menghargai hukum internasional yang
tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)
yang ditetapkan pada 1982.

Tidak hanya kapal perang yang masuk ke daerah Laut Natuna Utara, Cina juga pernah
memprotes pergantian nama laut tersebut. Sebelum bernama Laut Natuna Utara, perairan
tersebut lebih dikenal dengan Laut Cina Selatan. Menurut Susi, seluruh pihak
menganggap bahwa natuna adalah salah satu titik penting kedaulatan Indonesia di laut.
"Kemenangan kita di Laut Natuna adalah penentu dari spirit kebangsaan, spirit persatuan,
dan spirit pertahanan untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Itu titik utama. Pulau terluar
adalah bagian paling penting dari Indonesia," ujar Susi dengan nada yang tegas.

Susi mengatakan, sebagian besar perbatasan Indonesia dengan negara lain adalah laut.
Dan itu, kata Susi, sangat luas. "Jadi kita tidak mungkin memagari laut. Ratusan KRI,
ratusan Polair punya speed boat, dijajarin tidak bisa memagari laut," ujar Susi.

4. konflik komunal

Kejadian ini terjadi di Rutan Mako Brimob Depok pada Mei 2018.Kerusuhan ini


berawal dari seorang narapidana yang ribut tentang makanan.

Makanan dari keluarga narapidana harus dicek terlebih dahulu, tetapi narapidana
tersebut tidak terima jika harus dilakukan pemeriksaan.

Setelah itu terjadilah perdebatan antara petugas kepolisian dengan narapidana yang
bersangkutan. Hal lainnya juga dipicu oleh keinginan tahanan untuk bertemu dengan
Aman Abdurrahman alias Oman, terdakwa kasus bom Thamrin.

Pada Rabu, 9 Mei 2018 seluruh narapidana teroris tersebut berhasil mengurai Mako
Brimob. Para narapidana tersebut merebut senjata polisi dan menyandera sembilan polisi.

Empat polisi berhasil dievakuasi dan selamat, sedangkan lima lainnya gugur dengan
luka akibat senjata tajam di leher. Lima polisi yang gugur dalam kerusuhan Mako
Brimob ini sebagai berikut:

- Briptu Luar Biasa Anumerta Fandy Nugroho

- Iptu Luar Biasa Anumerta Yudi Rospuji

- Aipda Luar Biasa Anumerta Denny Setiadi

- Briptu Luar Biasa Anumerta Syukron Fadhli

- Briptu Luar Biasa Anumerta Wahyu Catur Pamungkas.

Polisi melakukan penyerbuan kepada tahanan dan memberi ultimatum untuk


menyerahkan diri. Sebanyak 155 tahanan akhirnya menyerahkan diri kepada polisi dan
kerusuhan dapat dibendung.Dalam kejadian ini Humas Pengadilan Negeri Jakarta Timur
memvonis hukuman mati kepada enam terdakwa.

4. Konflik pertahanan dan keamanan


Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984 merupakan salah satu
kasus peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada Masa Orde Baru,
yang dilakukan aparat pemerintah terhadap warga Tanjung Priok. 

Dalam buku Bencana Umat Islam di Indonesia 1980-2000 oleh Irfan S. Awwas pada 2002
kerusuhan di Tanjung Priok ini bermula dari cekcok antara Bintara Pembina Desa (Babinsa)
setempat dengan warga Tanjung Priok pada 7 September 1984.

Awalnya Babinsa datang ke musala kecil bernama musala As-Sa'adah dan memerintahkan
untuk mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum
muslimin, dan disertai pengumuman tentang jadwal pengajian yang akan datang. Keesokan
harinya pada 8 September 1984, seorang oknum ABRI beragama Katholik yaitu Sersan Satu
Hermanu, mendatangi musala untuk menyita pamflet yang dinilai berbau SARA. 

Namun tindakan Hermanu amat menyinggung perasaan umat Islam. Ia masuk ke dalam
masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding musala dengan air got, bahkan menginjak
Alquran. Tentu saja tindakannya tersebut membuat warga marah dan motor Hermanu
dibakar. 

Lalu pada 10 September tahun 1984, beberapa anggota jamaah musala berpapasan dengan
salah seorang petugas Koramil yang mengotori musala mereka. Terjadilah cekcok mulut di
antara kedua pihak yang akhirnya dilerai oleh Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua
orang Takmir Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat.

Kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir Masjid untuk membicarakan masalah yang
sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam kantor, massa di luar telah berkumpul.
Kedua pengurus Masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoalannya
disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran tersebut. 

Para jamaah yang berada di luar mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah
seorang dari kerumunan massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata
seorang marinir, kemudian dibakar. 
Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang
lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan musala
tersebut dan seorang lainnya yang ketika itu berada di tempat kejadian. Salah seorang yang
ikut membakar motor bernama Muhammad nur juga turun ditangkap. Akibat penahanan
keempat orang itu, kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang kemudian
memunculkan tuntutan agar membebaskan mereka yang ditangkap.

Lalu pada 12 September tahun 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan


ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, termasuk
kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan keras yang
isinya menyampaikan ultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00
WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa mengadakan demonstrasi.

Saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1,500 orang demonstran bergerak menuju
Kantor Polsek dan Koramil setempat. 

Sebelum massa tiba di tempat yang dituju, mereka telah dikepung dari dua arah oleh
pasukan bersenjata. Massa demonstran berhadapan dengan tentara yang sudah siaga tempur.
Pada saat sebagian pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran
sudah dikepung dari segala penjuru.

Lalu terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung
mengarahkan moncong senjatanya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap
penjuru terdengar suara letusan senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur
berlumuran darah.

Anda mungkin juga menyukai